Bab 6



Ezra tersenyum kecil mendengar ucapan Jihan barusan. Meskipun ia tak yakin kalau cinta itu benar-benar hilang dari gadis di sebelahnya itu. Karena ia tahu betul bagaimana Jihan kala berhubungan dengan Damar.

Perlahan Damar yang sejak tadi memperhatikan keduanya, berbalik badan. Dia datang dengan topi, juga masker yang menutupi wajahnya. Sehingga tak ada yang mengenalinya di sana.

Sementara hati Jihan masih terasa sesak, jujur saja ia tak menginginkan anak yang di dalam rahimnya itu tumbuh, lalu lahir dan besar dengannya. Karena itu semua akan mengingatkannya pada laki-laki yang selama ini menemani hari-harinya.

“Nduk, Nak Ezra. Ayo! Itu bus nya udah datang,” panggil Ummayah yang baru saja datang dari toilet dan menghampiri keduanya.

“Iya, Bu.” Ezra membantu calon ibu mertuanya itu membawakan tas menuju bus yang sudah terparkir menunggu penumpang naik.

Jihan beranjak dari duduk dan mengikuti langkah Ezra juga sang ibu. Namun, seketika tali sepatunya terlepas, ia pun terpaksa harus membungkuk dan membetulkan tali sepatunya.

Lalu Jihan berdiri, dan tiba-tiba ada yang menarik tangannya hingga ia berbalik badan.

Bugh!

Dekapan dari seseorang membuat Jihan tersentak, harum parfum yang tak asing, usapan lembut di kepala dan suara yang ia kenal membuatnya berontak.

“Lepasin!”

“Sayang, please, aku tahu aku salah, aku tahu harusnya aku bisa pertahanan hubungan kita. Maafin aku, Sayang. Jangan pergi, aku mau kamu dan ibu kamu datang ke rumah dan bicara sama mama.”

“Lepasin nggak? Atau aku teriak!”

“Nggak! Aku nggak akan lepasin sampai kamu maafin aku, dan kita bisa kembali kaya dulu lagi.”

“Mas Damar! Tolong lepaskan saya!” ujar Jihan kali ini dengan nada sedikit kesal, karena ia benar-benar tak bisa bergerak.

“Nggak! Aku nggak akan membiarkan kamu menikah sama Ezra. Kamu nggak cinta sama dia kan? Kamu Cuma cintanya sama aku kan, Han?”

Jihan memejamkan matanya, lalu dengan sigap ia menginjak kaki mantan kekasihnya itu. Akhirnya dekapan tangan Damar pun terlepas, dan laki-laki menjerit menahan sakit.

“Kita putus! Sejak Mama kamu memintaku jatuhin kamu! Jangan ganggu hidup aku lagi!” Jihan berlari menuju bus yang mana tadi ia melihat Ezra dan ibunya naik.

Jihan langsung duduk di samping Ezra, karena ternyata sang ibu lebih memilih duduk di depan yang mana di sebelahnya ada seorang ibu-ibu paruh baya seusianya juga.

“Nduk, kamu sama Ezra ya. Ibu di sini,” ujar Ummayah ketika melihat putrinya duduk di bagian belakang.

Ezra memberi tempat pada gadis berambut panjang itu di pojok dekat jendela, sementara dirinya yang duduk di pinggir.

“Ngapain dia?” tanya Ezra yang sejak tadi memperhatikan Jihan dan Damar dari kejauhan.

“Nggak usah kepo!”

“Katanya nggak cinta, tapi dipeluk diem aja.”

“Apaan sih lu, jangan rese deh,” sahut Jihan sewot.

“Jangan benci-benci banget sama dia, nanti anak lu mirip bapaknya.”

“Bisa diem nggak lu? Berisik tau nggak!”

“Jihan-Jihan, coba dari dulu lu pacaran sama gue, nggak bakalan begini kejadiannya. Gue bakalan jaga kehormatan lu sampai halal.” Ezra menatap gadis di sebelahnya yang sibuk mengambil ponsel dari tas, memasang headset di telinga, lalu memundurkan kursi untuk bersandar, kemudian memejamkan matanya.

Ezra tertawa kecil melihatnya, Jihan benar-benar tidak ingin mendengar lagi ucapannya itu.

.

Tepat tengah malam bus yang membawa mereka bertiga pun tiba di terminal. Lalu Ezra menyewa taksi online untuk mengantar sampai rumah.

Karena rumah mereka hanya berbeda RT saja, jadi bisa sekalian jalan.

“Nak Ezra, makasih ya, besok tolong kamu bilang orang tua kamu untuk datang ke rumah ya. Kami tunggu.” Ummayah mengingatkan.

“Iya, Bu. Nanti saya bicara sama Ayah dan Ibu saya.”

Setelah Jihan dan ibunya masuk ke dalam rumah. Ezra pun kemudian pulang dengan langkaj gontai, sebelum mengetuk pintu rumahnya ia berjalan mondar-mandir di depan pintu.

Suara jangkrik terdengar menggema, rumah yang jaraknya berjauhan antara satu dengan yang lain membuat keadaan desa tersebut tampak mencekam. Belum lagi udara dingin yang menusuk kulitnya meskipun memakai jaket, rasa gigil terasa di tubuh Ezra.

“Ezra!” Sebuah suara membuat laki-laki jangkung itu menoleh.

“Ayah? A—ayah dari mana malam-malam begini?” tanya Ezra menatap pria paruh baya yang baru saja pulang dengan membawa alat pancing di tangannya.

“Abis mancing di rumahnya Pak Danu. Kamu kok pulang nggak bilang-bilang? Ibukmu sudah tidur pasti, buka saja pintunya nggak dikunci kok.” Pria paruh baya itu lantas berjalan dan mendorong pintu kayu tersebut hingga terbuka, kemudian melangkah masuk.

Ezra pun ke dalam dan meletakkan tas di lantai. Lalu duduk di bangku panjang ruang tamunya, sementara sang ayah menuju ke dapur mengambilkan putranya minum.

“Minum dulu, kamu ke sini sama siapa?” tanya Basirun-ayah Ezra sambil meletakkan secangkir air putih di atas meja.

“Sama Jihan sama ibunya, Yah.”

“Loh kok tumben, memang libur?”

“Mboten, Yah. Izin saja, kangen sama Ayah, Ibu, Naura, Fahira, Husna.” Ezra menyebutkan kedua orang tuanya beserta ketiga adik perempuannya itu.

“Owh, yaudah kalau gitu kamu istirahat. Ayah mau ganti baju dulu. Besok palingan ibumu kaget anak lanange pulang.”

“Njih, Yah.”

Ezra pun mengambil gelas berisi air di atas meja yang disuguhkan sang ayah. Sebelum akhirnya ia ke kamar mandi membersihkan diri, dan lanjut tidur di kamarnya.

.

Adzan Subuh berkumandang, suara gemericik air di kamar mandi terdengar. Kemudian riuh dari dapur rumah Ezra pun membuat hampir seluruh penghuni rumah terbangun, kecuali Ezra yang masih terlelap dengan memeluk guling dan berselimut sarung.

“Ezra pulang, Bu.” Suara pria paruh baya yang baru keluar dari kamar mandi dengan wajah basah memberitahu sang istri.

“Apa? Ezra pulang? Di mana, Yah?” tanya wanita paruh baya yang sedang merebus air untuk mengisi termos.

“Iya, Bu. Di kamarnya. Ayah ke masjid dulu.” Pria paruh baya itu pun melangkah keluar rumah menuju masjid untuk sholat Subuh berjamaah.

Wanita bernama Rahayu itu pun cepat-cepat menuju ke kamar putra sulungnya, mengintip dari balik pintu yang terbuka sedikit. Ia tersenyum kecil tanpa berani membangunkan.

“Ngincen sopo tow, Bu?” tanya gadis berambut panjang yang baru keluar kamar disusul oleh dua lainnya.

“Na, masmu pulang tuh!” ujar sang ibu menunjuk ke dalam kamar.

Gadis berusia sepuluh tahun itu pun melongok ke dalam. Lalu membuka pintu dan hendak masuk, tapi tangan sang ibu cepat menarik ya kembali.

“Jangan dibangunin, kasihan masmu.”

“Njih, Bu,” sahutnya dengan malas.

“Nopo tow, Bu?” kali ini sang kakak yang berusia lima belas tahun bertanya.

“Mas Ezra pulang, Mbak.”

“Oh.”

“Mas Ezra pulang, Bu? Halah palingan ada masalah iku, nggak biasane pulang nggak ngabari. Lebaran aja suka disuruh lembur og.” Ucapan gadis berusia sembilan belas tahun itu membuat sang ibu menggeleng.

“Hush, kalian itu loh, masnya pulang oh malah dicurigai. Sudah pada sholat sana.” Rahayu lalu memerintahkan ketiga putrinya untuk sholat berjamaah.

Suara alarm yang berasal dari handphone milik Ezra pun berbunyi. Dia selalu memasang alarm setiap pukul 05.00, agar tidak kesiangan sholat Subuh.

Kali ini ia terbangun sambil mengusap wajah dan mengucek kedua mata. Menatap sekitar dan tersadar kalau itu bukan kamar kost nya.

.

Keluarga Basirun senang akan kepulangan putra satu-satunya di keluarga tersebut. Bahkan sang ibu memasakkan makanan kesukaan Ezra untuk menyambut kedatangannya.

Namun, Ezra tak ingin membuang waktu terlalu lama di rumah. Karena tujuannya pulang adalah ingin bicara pada kedua orang tuanya kalau dirinya hendak mempersunting Jihan.

“Begini, Yah, Bu. Maksud kepulangan ku ini sebenarnya mau minta untuk dilamarkan ke perempuan yang selama ini aku sayang,” ujar Ezra seraya menunduk.

“Apa? Melamar? Siapa perempuan itu, Zra? Apa Ayah sama Ibu kenal?” tanya sang ayah seraya menatap Ezra bergantian dengan sang istri.

“Njih, Pak. Bapak sama Ibu sudah kenal lama, kok.”

“Oh, Alhamdulillah kalau gitu, siapa, Winda tow, Winda?” tanya sang ibu begitu antusias.

“Sanes, Bu. Bukan, tapi, Jihan.”

“Jihannya Wardoyo?” tanya sang ayah dengan suara tinggi.

“Njih, Pak.”

“Duh, Zra. Emang nggak ada perempuan lain apa, Jihan itu kan bukannya sudah punya pacar? Dulu itu pacarnya saja pernah menginap di rumahnya kan? Mosok sekarang kamu yang mau nikahi,” sambung sang ibu.

“Yah, namanya jodoh, Bu. Aku mau habis ini kita ke rumahnya. Soalnya aku sudah janji sama keluarga mereka mau datang hari ini.”

“Kok mendadak tow?”

“Ya kita nggak bisa cuti lama, Bu, Yah.”

“Yawes, yawes. Kalau itu sudah keputusan dan pilihanmu, kita berdua bisa apa. Ayo, Bu. Dandan sing ayu.”

“Makasih, Yah.”

Ezra pun merasa lega karena tak ada perdebatan yang berarti dari kedua orang tuanya itu. Dengan demikian ia pun berharap pernikahannya dengan Jihan akan berjalan lancar sampai hari H nanti. Walaupun belum tahu kapan hari yang akan dipilih untuk menjadi hari yang amat sakral itu.

Ezra hanya datang bersama kedua orang tuanya ke rumah Jihan. Di mana kediaman Jihan juga tidak ramai, karena lamaran tersebut hanya sekadar ucapan saja meminta restu akan adanya pernikahan antara kedua putra putri mereka kelak.

Tiba di rumah kediaman Jihan, keluarga Ezra disambut ramah. Dipersilakan duduk, dan disediakan makanan juga minuman.

Berhubung Jihan anak semata wayang, maka di rumah itu hanya dihuni oleh kedua orang tua Jihan juga dirinya.

Basirun pun mengungkapkan kedatangannya, yakni melamar putri keluarga Wardoyo untuk putranya Ezra.

Jihan yang sejak tadi hanya terdiam, menunduk, dan tak banyak bicara itu sesekali melirik ke arah pria yang hendak menjadi suaminya kelak.

Wajah Ezra memang tampan, bahkan kulitnya lebih putih dari pada Damar. Tapi, selama ini dirinya hanya menganggap pria itu tak lebih dari seorang kakak yang menjaga dan melindunginya selama ini. Bagaimana dia bisa mencintai pria itu kelak.

Jihan hanya mendengar obrolan yang baginya hanyalah basa-basi dari kedua orang tuanya pada orang tua Ezra. Ia enggan menanggapi, apalagi ikutan nimbrung. Karena pernikahan itu tak pernah ia harapkan.

Namun, tiba-tiba saja perutnya bergolak, rasa mual naik ke tenggorokan, rasanya isi perut seperti hendak keluar.

Ia berlari ke kamar mandi, dan berusaha memuntahkan isi dalam perutnya.

“Huek, huek.” Suara Jihan terdengar sampai ke luar.

Keluarga saling pandang, Ummayah segera menghampiri putrinya tersebut. Ia tak jujur pada sang suami akan kehamilan putrinya tersebut, takut kalau sampai nanti Jihan kenapa-kenapa dimarahi oleh ayahnya sendiri.

“Jihan kenapa, Mas?” tanya Basirun pada orang tua Jihan.

“Waduh saya juga ndak tahu, masuk angin mungkin ya, semalam baru sampai, kurang istirahat.”

“Atau jangan-jangan hamil lagi, makanya mereka pulang dadakan begini,” celetuk Rahayu yang langsung menatap wajah putranya itu.

“Benar Jihan hamil, Zra?” tanya Wardoyo seperti menginterogasi.

Ezra menelan ludah, ia bingung harus bicara apa? Jujur atau tidak, karena ini semua menyangkut Jihan.

“Cuma masuk angin kok, Pak. Nanti juga mendingan. Aku istirahat dulu ya.” Jihan yang keluar dari kamar mandi bersama ibuny itu pun lalu masuk ke kamarnya.

Ezra bernapas lega, tapi ia tetap saja tidak tenang. Karena ia tak tahu sampai kapan rahasia itu bisa disembunyikan dari kedua orangtuanya juga bapaknya Jihan.

.
Di fizzo udah bab 40 yaa, free sampe tamat ko

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top