Bab 5


.

Ezra masih memikirkan ucapan Jihan tadi saat di kamar gadis itu. Tak begitu paham maksud dari perkataannya. Yang dia tangkap adalah uang pemberian Damar akan digunakan untuk resepsi pernikahannya kelak.

Kini Ezra duduk di atas kasur sambil memegang ponsel. Ia ingin menghubungi keluarganya di kampung, tapi ada rasa takut yang menjalar di dadanya.

Sejak kemarin dirinya belum mengabarkan kalau akan pulang hari ini. Apalagi menyatakan untuk melamar Jihan dan menikahinya. Ia pun bingung apakah akan bicara masalah kehamilan Jihan pada keluarganya.

Ting.

Sebuah pesan WhatsApp seketika masuk di ponselnya. Sebuah nama yang enggan dia buka dan baca isi chatnya.

Damar.
[ Zra, bisa kita bicara? ]

Pesan itu terbaca di notifnya tanpa ia membuka WhatsApp. Pikirannya pun sudah tahu tentang apa yang hendak dibicarakan oleh Damar. Pasti semua tentang Jihan.

Mau ngomong apalagi dia? Hati Ezra bertanya-tanya. Apa dia sudah tahu kalau dirinya akan menikahi Jihan?

Ting. Pesan kembali dikirim oleh Damar.
[ Zra, penting banget. Bales, Zra. Kita ketemu di coffeshop tempat biasa kita nongkrong bareng.]

Lagi-lagi Damar meminta bertemu di tempat memang biasa mereka berkumpul untuk sekadar melepas weekend.

Ezra mengembuskan napas pelan, lalu membuka WhatsApp dan mulai membalas pesan tersebut.

[ Sorry, nggak bisa. Gue sibuk. ] Balas Ezra sambil meletakkan ponselnya di atas kasur.

Tak lama panggilan telepon pun berdering, handphonenya berkedip memperlihatkan nama Damar di layar. Ezra hanya melirik sekilas dan mengabaikannya, dirinya sudah malas untuk meladeni pria yang tidak bertanggung jawab atas apa yang sudah diperbuatnya itu.

Ezra beranjak dari duduk dan keluar kamar, ia berdiri di depan kamar bersandar di dinding pembatas sambil melihat ke bawah.

Kost-an pagi ini terlihat sepi, karena penghuninya sebagian sudah berangkat kerja. Hanya ada dirinya dan Teo yang masih terlelap di dalam kamar.

“Zra, hape lu berisik banget. Siapa sih?” tanya sebuah suara dari balik punggung Ezra.

Dilihatnya cowok yang keluar kamar itu dengan rambut berantakan dan menyodorkan ponsel ke hadapannya.

Ezra tersenyum kecil dan menerima ponselnya. “Sorry, sorry, si Damar males gue.”

Teo kembali masuk dan menghempaskan tubuhnya ke atas kasur lagi. Sementara Ezra melihat di layar handphonenya ada sepuluh panggilan tak terjawab. Akhirnya ia pun menekan tombol power hingga benda pipih itu padam.

.

Di tempat lain, Damar tampak mondar-mandir di ruang kerjanya. Tumpukan berkas di atas meja ia hiraukan, pikirannya masih saja tentang Jihan.

Perasaan bersalah menyelimuti, terlebih ketika ia mendengar kabar kalau gadis yang sampai saat ini masih dicintainya itu akan menikah dengan Ezra. Cowok yang selama ini juga dekat dengannya dan Jihan.

Damar tak bisa berbuat lebih, tiga jam lagi gadis itu akan pulang ke kampungnya. Meminta restu atas pernikahannya itu, dan kemungkinan setelah ini dirinya tidak akan bisa menemui Jihan lagi.

“Permisi, maaf, Mas, berkas yang tadi pagi apa sudah di tanda tangani?” tanya seseorang yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu ruangannya tersebut.

Damar yang sedang berdiri di depan jendela pun menoleh. “Kamu bisa nggak sih kalau mau masuk ketuk pintu dulu.”

“Saya sudah ngucap salam berkali-kali, ketuk pintu juga, tapi Mas Damar nggak dengar. Maaf, saya lancang, karena berkas itu ditunggu Pak William.”

“Yaudah, sebentar, sepuluh menit lagi kamu ke sini.”

“Baik, Mas.” Laki-laki itupun berbalik badan dan keluar ruangan.

Damar bergegas ke tempat duduknya, mengambil beberapa berkas di atas meja. Membuka satu persatu map dan membaca lembar demi lembar.

Harusnya itu sudah ia kerjakan sejak pagi, karena ketika dirinya tiba di kantor pukul 08.05 semua berkas itu sudah ada di mejanya. Sementara saat ini jam di dinding sudah menunjuk pukul sebelas siang.

Dengan teliti Damar menandatangani beberapa berkas pengajuan cuti karyawan, gaji, juga proposal persetujuan untuk meeting besok.

Damar yang lulusan di bidang seni musik itu di kantor sang ayah tiba-tiba langsung ditunjuk untuk memegang jabatan sebagai kepala HRD.

Antara paham dan tidak, dia tak peduli. Karena pagi tadi ayahnya benar-benar memaksanya untuk datang ke kantor, dan masuk ke ruangan yang saat ini ia tempati.

Setelah selesai semuanya, laki-laki yang tadi datang itu pun kembali ke ruangan.

“Maaf, nama kamu siapa? Jabatan kamu sebagai apa?” tanya Damar pada laki-laki berkemeja garis-garis berwarna hitam di depannya.

“Saya Agung, Mas. Assisten Mas Damar ditunjuk Bapak, biasanya saya yang ngerjain berkas itu. Karena menunggu kesiapan Mas untuk bergabung di sini,” ujarnya.

“Aduuuh kenapa nggak bilang dari tadi sih? Kan gue nggak harus ngerjain ini semua, gue nggak mudeng. Yaudah deh, ini kamu periksa lagi ya, kalau ada yang salah, bilang gue.” Damar menyerahkan berkas tadi pada laki-laki itu.

Agung hanya tersenyum kecil, sebenarnya ia pun sejak tadi khawatir akan hal itu. Namun, sang atasan alias papanya Damar meminta agar jangan membantu anaknya, kecuali Damar sendiri yang bertanya.

Karena sang ayah ingin putranya itu memiliki jiwa yang berani, bertanggung jawab dan tidak sembarangan.

“Baik, Mas. Nanti saya periksa kembali. Terima kasih.”

“Sama-sama, oh iya, saya mau pergi sebentar, udah istirahat kan ya? Nanti kalau papa saya nanya, bilang aja makan siang.”

“Baik, Mas.”

Setelah Agung keluar ruangan, Damar langsung buru-buru merapikan handphone dan dompetnya memasukkan ke dalam tas. Ia pun segera ke basement untuk mengambil motor dan bergegas ke terminal menemui Jihan.

.

Terminal Terpadu Pulogebang yang berada di wilayah Jakarta Timur menjadi pilihan Ezra, Jihan dan sang ibu untuk membeli tiket bus yang akan membawanya pulang ke kampung.

Tiket yang sudah dipegang itu pun sudah siap untuk mengantar mereka kembali. Ketiganya sedang duduk di kursi tunggu sambil menunggu bus yang belum datang.

Tangan Jihan seketika berkeringat, ia pun merasa perutnya yang mual itu membuatnya sedikit tidak nyaman. Takit dalam perjalanan muntah-muntah, ia membawa beberapa plastik sebagai persediaan jika nanti dirinya mabok perjalanan.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Ezra membuat Jihan menoleh dan mengernyitkan dahi.

“Lu panggil gue apa? Kamu? Sejak kapan? Nggak usah sok sweet, Zra,” sahut Jihan sambil mengembuskan napas pelan.

“Ya maaf kalau lu nggak nyaman.”

“Nah, gue lebih nyaman begitu tuh.”

“Kalau lu butuh apa-apa ngomong gue ya. Pokoknya lu nggak usah sungkan, kaya biasa aja kalau lu butuh gue gimana.”

“Iya, Zra, iya. Gue eneg, tapi gimana ya, kalau gue muntahin tuh nggak keluar apa-apa. Kepala juga keliyengan, pengennya sih nggak usah pulang, biar ibu aja, tapi gimana.”

“Udah, untuk sementara kita turutin aja apa kita ibu. Kasihan ibu udah jauh-jauh ke sini, malah tau anaknya kek gini, nggak bisa jaga diri.”

Jihan menunduk, jujur dia malu dan merasa tersindir dengan ucapan sohibnya itu. Tapi, dia akui memang semua kesalahannya, jadi tak bisa mengelak juga.

“Jawab jujur, Han. Apa lu masih cinta sama Damar?” tanya Ezra tiba-tiba.

Jihan menatap sahabatnya dengan tatapan sayu. Hatinya belum bisa melupakan pria yang selama ini selalu menemani hari-hari nya itu. Tapi, di satu sisi ia sangat kecewa dengan apa yang keluarganya Damar lakukan terhadapnya.

“Enggak! Gue udah nggak cinta lagi sama dia!”

Jawaban Jihan membuat pria yang sejak tadi memperhatikannya dari kursi belakang itu serasa sesak. Dadanya sakit seperti tertusuk ribuan jarum. Padahal ia berharap kalau wanita yang dicintainya itu mencarinya, menunggunya datang memberi salam perpisahan. Nyatanya, semua tidak seperti apa yang dibayangkannya.

.

.

Di fizzo udah bab 31 yaa, free kok sampe tamat.

Baca bisa dapet duid juga di sana. 😁

Cerita Pembalasan Terbaik Mantan Istri juga udah tamat di sana, kepoin yuk

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top