Bab 3

Di fizzo sudah bab 16 yaaa.
Yuk yang mau baca langsung ke sana free sampe tamat 😘

.

Damar beranjak dari duduknya dan segera melangkah keluar untuk melihat siapa yang datang. Dia pikir tamunya di depan pintu rumah, ternyata berada di luar gerbang.

Ia pun harus berjalan melewati halaman rumahnya yang besar itu, dimana dua mobil terparkir di luar, dan tiga motor berjajar di dekatnya.

Damar pun melongok ke luar pagar kecil, ia melihat seorang gadis berdiri di dekat motor maticnya.

“Winda, ngapain ke sini malam-malam?” tanya Damar seraya menghampiri gadis yang ia kenal sebagai sahabat kekasihnya itu.

Winda menoleh ketika Damar menyebut namanya, dan ia langsung menarik tangan pria itu untuk mendekatinya dan menjauh dari depan rumah.

“Damar, lu harus tanggung jawab. Gentle dong jadi cowok, masa lu tega sih lihat Jihan ngebesarin bayinya sendiri? Kalau pun digugurin, emang lu nggak takut kalau nanti terjadi apa-apa sama dia?” ucap Winda dengan nada pelan tapi tegas.

Damar membuang napas kasar, lalu mengalihkan pandang ke jalanan. “Bukan gue nggak mau tanggung jawab, Win. Tapi gimana dia nggak mau gue ajak kawin lari, yaaah resikonya ya kalau nikah sama gue, gue nggak bisa ngasih dia banyak uang, karena semua fasilitas dari ortu ditarik.”

“Tapi minimal lu kudu perjuangin dong, masa begini, kesannya Jihan tuh perempuan murahan tau nggak sih.”

“Lagian kenapa dia terima tuh uang dari nyokap gue?”

“Ya mana gue tau, karena udah kecewa kali sama lu juga. Dan asal lu tau ya, nyokapnya Jihan datang ke kosan, dan tau semuanya.”

“Apa? Lu serius, trus gimana? Ibunya mau datang ke rumah gue? Mungkin kalau ibunya datang dan bilang ke nyokap gue, gue bisa direstuin, Win.”

“Kaga! Ibunya malah ngiram kalau yang ngehamilin Jihan itu si Ezra. Ezra yang mau nikahin Jihan. Tuh, lu rela nggak cewek lu nikah sama cowok lain?”

Kedua mata Damar pun membulat dengan sempurna, dadanya berdebar hebat. Dengan kedua tangan mengepal, ia merasa panas hatinya mendengar pernyataan Winda barusan. Sampai kapanpun dirinya tidak akan terima kalau Jihan menikah dengan laki-laki lain selain dirinya.

“Jangan bercanda, Win. Nggak lucu!”

“Gue nggak bercanda, Damar. Besok mereka mau pulang kampung, Ezra mau hubungi keluarganya buat ngelamar Jihan sebelum usia kandungan Jihan makin lama makin besar.”

Damar mengacak rambutnya dengan kasar, ia memejamkan mata sejenak sambil memikirkan bagaimana caranya ia harus menggagalkan pernikahan itu.

“Jam berapa mereka besok berangkat?” tanya Damar dengan suara lemah.

“Habis Zuhur.”

“Oke, besok bilang Jihan, gue mau ketemu sama dia pagi. Di tempat biasa.”

“Pokoknya gue nggak mau sampai sahabat gue satu-satunya kenapa-kenapa gara-gara kenal sama lu dan keluarga lu!” ancam Winda sambil menunjuk Damar, dan ia lalu naik ke motornya, memakai helm sebelum tancap gas meninggalkan Damar yang masih termenung di depan rumahnya.

.

Malam itu Jihan benar-benar tidak bisa tidur dengan nyenyak, sejak tadi ia tak melihat sohibnya. Ia bahkan tak tahu ke mana Winda pergi, Teo juga Ezra pun tak bisa menghubunginya. Ia takut kalau gadis itu datang menemui sang kekasih, lalu marah-marah di rumahnya sana.

“Nduk, jam berapa tow ini? Kok belum tidur kamu?” tanya wanita paruh baya yang berbaring di atas kasur.

Sang ibu sudah tertidur sejak pukul 20.00, selepas sholat isya Ummayah merasa tubuhnya begitu lelah. Terlebih setelah mengetahui apa yang terjadi dengan putri semata wayangnya itu.

“Jam setengah dua belas, Bu. Winda ke mana ya, kok belum balik juga.”

“Coba ditelpon, nanti kenapa-kenapa di jalan.”

“Udah, Bu. Nggak bisa. Sebentar ya, tak keluar dulu.”

“Mau ke mana?”

“Nemuin Ezra sama Teo, minta tolong mereka buat cari Winda.”

“Sebentar, Nduk. Duduk sini dulu, Ibu mau kamu jujur sama Ibu.” Ummayah meminta sang putri yang sudah berdiri hendak keluar kamar itu untuk kembali duduk di sebelahnya.

Jihan pun duduk perlahan sambil menatap sang ibu sekilas. “Iya, Bu?”

“Kamu sudah sering melakukan itu sama Ezra? Iya? Kenapa kalian nggak langsung bilang ke Bapak atau Ibu kalau kalian saling sayang, kalian bisa ibu nikahkan sebelum kamu benar-benar hamil seperti ini.” Suara Ummayah pun perlahan terdengar serak karena menahan tangis.

Jihan bingung, dengan Ezra ingin menikahinya saja sang ibu sudah terlihat begitu kecewa. Bagaimana kalau sampai ibunya tahu benih itu anak dari pria lain, yang mana ibunya sama sekali tak mengenal pria itu. Apalagi kalau sampai Ummayah tahu dirinya dibayar oleh pria itu untuk menggugurkan kandungannya.

Jihan takut, kalau ibunya akan mendatangi keluarga Damar. Lalu sang ibu direndahkan di sana, tapi di satu sisi ia pun tak ingin menikah dengan Ezra, walaupun pria itu selama ini sudah baik padanya.

Rasa cinta dan sayangnya seolah sudha habis ia berikan pada Damar seluruhnya. Sampai-sampai ia tak bisa menolak ajakan Damar setiap kali ingin menikmati tubuhnya itu.

“Maafin Jihan, Bu,” ujar Jihan lirih. Hanya kata maaf yang mampu keluar dari mulutnya. Selebihnya ia tak sanggup membuat wanita yang sudah melahirkan dan membesarkannya itu menjadi tambah kecewa.

“Yasudah sana, kamu cari temanmu dulu,” ucap sang ibu sambil menunduk. Ada rasa kesal, karena menganggap kalau dirinya telah gagal mendidik dan menjaga seorang anak perempuannya.

Seandainya saja ia tahu kalau pergaulan di kota itu benar-benar sebebas ini, dari awal dirinya tak akan mengizinkan sang putri untuk menjadi perantau. Bahkan pria yang ia percaya bisa menjaga putrinya, nyatanya sama saja dengan pria hidung belang yang tak ingin melewatkan keadaan.

Jihan pun berdiri di depan pintu kamarnya, menutup pintu tersebut dari luar dan melangkah ke depan gerbang kosan.

Ia melihat sekeliling yang sudah mulai sepi, kios-kios yang berada di seberang jalan pun sudah tutup. Ia kembali ke dalam dan berjalan mondar-mandir sambil menunggu Winda pulang.

Rumah kost yang ditempati Jihan dan Winda ada tiga lantai. Dirinya berada di lantai satu, sementara untuk cowok ada di lantai tiga.

Kost nya memang terbilang bebas, ditambah pemiliknya juga tidak tinggal di sini, melainkan di Bandung. Ada sepasang suami istri yang dipercaya untuk menjaga tempat itu, tapi mereka juga sibuk bekerja.

Namun, rumah kost yang bebas itu bukan alasan Jihan melakukan sex bebas dengan kekasihnya. Justru penghuni kost di tempatnya semua tidak ada yang berani membawa pacarnya masuk kamar.

“Jihan, lu belum tidur?” tanya sebuah suara yang tiba-tiba mengejutkan Jihan.

Jihan menoleh dan melihat Ezra menghampirinya.

“Winda belum balik, Zra.”

“Serius? Tadi gue suruh Teo samperin sih, katanya dia lagi di karaoke gitu.”

“Njir, gue nungguin dia karaokean di sini? Gila tuh anak, bisa-bisanya dia senang-senang di atas penderitaan gue.”

“Yaudah sih, tidur sana. Apa mau gue temenin tidur?”

“Lu jangan macem-macem ya, Zra. Jangan mentang-mentang Ibu mau nikahin kita, lu bis seenaknya aja sama gue.”

“Lu kenapa sih, Han. Perasaan gue salah terus di mata lu. Gue nggak ngapa-ngapain, nggak pernah nyakitin lu. Heloooowww, kalau lu nggak suka sama gue, fine. Tapi lu harus inget, sekarang di dalam rahim lu ada anak yang butuh kasih sayang seorang ayah. Gue Cuma pengen kasih perhatian aja sedikit buat lu.”

“Bodoamat, gue nggak butuh!”

Jihan dengan kesal melangkah ke depan kamarnya, membuka pintu lalu masuk, dan menutup pintunya dengan keras dari dalam.

Ezra hanya menunduk, dia begitu menyayangi Jihan sejak lama. Tapi, entah mengapa gadis itu tak pernah menyukainya sedikit pun.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top