Bab 2
.
“Ibu, kok ke sini ndak bilang-bilang? Kan bisa aku jemput di terminal.” Jihan yang sedang duduk seketika beranjak dan menghampiri sang ibu.
Mereka berempat yang ada di kamar Jihan menyalami wanita paruh baya tersebut. Termasuk teman laki-laki Ezra yang sejak tadi duduk di luar kamar sambil merokok.
“Kan Ibu ke sini mau bikin kejutan buat kamu, Nduk.” Ummayah, nama wanita paruh baya itu. Ibu dari seorang gadis bermata cokelat bernama Jihan.
Ummayah datang dari salah satu desa di Jawa Tengah. Ia begitu merindukan sang putri yang hampir setahun tidak pulang, karena selalu lembur bekerja katanya.
Ummayah pun duduk di atas kasur, dan tangannya mengenai sebuah alat yang sejak tadi diperdebatkan. Kedua matanya membulat sempurna, menyadari kalau benda pipih panjang itu adalah alat tes kehamilan.
“Siapa ya hamil, Nduk?” tanya Ummayah menatap satu persatu dari ketiganya yang berada di dalam kamar.
Jantung Jihan berdegup kencang, bagaimana dia bisa jujur kalau dirinyalah yang sedang hamil. Kalau jujur, pasti sang ibu akan mengejar Damar untuk meminta pertanggung jawaban. Sementara dirinya sudah mengambil uang 500juta itu dari orang tua kekasihnya tersebut.
“Jihan, Bu,” ucap Ezra membuat Jihan dan Winda saling pandang.
Plak!
Ummayah seketika berdiri dan menampar Ezra, membuat pria itu meringis menahan sakit seraya memegangi pipinya.
“Ibu suruh kamu jaga Jihan, Zra. Bukan kaya gini, malah kamu bikin dia hamil.” Suara bergetar dan raut wajah kecewa tampak pada wanita paruh baya itu. “Ibu kecewa sama kamu, Zra.”
“Tapi bukan Ezra pelakunya, Bu,” sahut Jihan mencoba untuk menjelaskan semuanya.
“Kamu nggak usah nutupin, nggak usah berbohong atau membela dia. Kalian salah, yaudah salah. Ibu nggak mau tahu, Ezra. Kamu harus segera nikahi Jihan! Ibu malu, sumpah Ibu malu. Gimana Ibu bilang ke Bapak nanti, ha? Punya anak perempuan satu saja nggak bisa jaga diri.”
Ummayah terduduk sambil menangis sesenggukan. Jihan pun merasa tak enak dan tak tega, harusnya ia langsung membuang tespack itu tadi agar ibunya tak melihat.
Winda yang duduk pun berdiri dan menarik tangan Ezra untuk keluar dari kamar.
“Lu apa-apaan sih, Zra. Jadi gini kan?” ujar Winda merasa geram, karena dirinya ingin membela sohibnya.
“Kenapa? Salah kalau gue ngomong jujur ke Ibu? Biar Jihan tahu kalau dia itu udah salah.”
“Dan lu juga salah! Emang sengaja kan lu ngomong begitu, biar Ibu ngiranya lu yang hamilin Jihan. Ambisi lu buat dapetin Jihan gue tahu banget, Zra! Tapi inget, sampai kapan pun, Jihan tuh Cuma anggap lu sebagai sahabat aja. Nggak lebih!”
“Kok jadi elu yang sewot sih, Win. Kenapa? Bukannya harusnya lu seneng ya, karena Jihan akhirnya pisah juga sama Damar. Kan lu demen sama dia,” ucap Ezra dengan menaikkan satu alisnya, dan tersenyum miring.
“Gue nggak masalah kalau disuruh tanggung jawab nikahin Jihan. Gue juga nggak masalah kalau Jihan nggak suka sama gue. Paling nggak, gue udah nyelamatin satu nyawa yang nggak berdosa yang ada di rahimnya Jihan,” sambung Ezra lagi dan melangkah kembali masuk ke dalam kamar.
Winda terdiam, hatinya begitu kesal melihat betapa gigihnya Ezra untuk tetap mendapatkan hati seorang Jihan. Padahal selama ini dirinya susah payah mencari perhatian laki-laki itu, tapi tetap saja Jihan yang menjadi pusat perhatiannya.
“Udah sih, Win. Biarin, nggak usah ikut campur, kaya nggak tahu Ezra aja.” Suara cowok yang duduk di teras membuat Winda menoleh.
“Eh Teo, kalau begini caranya ya keenakan Damar lah. Jangan mentang-mentang dia punya duit, orang kaya, jadi bisa mempermainkan kita.”
“Ya gimana, buktinya si Jihan ngambil tuh duit. Berarti kan dia yang mau dimainin.”
Winda mengepalkan tangannya geram. “Iih lu nggak ngerti sih gimana jadi cewek. Serba salah kalau udah kaya gini.”
“Makanya, jadi perempuan jangan terlalu nurut sama pacar. Pacar apa Tuhan? Menjauhi larangannya dan menuruti perintahnya. Kalau udah kejadian baru nangis-nangis. Itu kenapa gue males pacaran, bawaannya ya nafsu pasti.”
“Nggak usah ceramah, Bro. Gue nggak butuh ceramah lu.”
Winda beranjak dari tempatnya, ia pun menuju ke motor metik berwarna putih yang terparkir di halaman kosan. Ia memakai helm dan mulai menghidupkan mesin motornya, lalu tancap gas pergi meninggalkan keruwetan yang terjadi di sana.
.
Di tempat lain, Damar tampak berjalan mondar mandir dengan menggenggam sebuah ponsel. Sejak tadi dia ingin sekali menghubungi gadis yang sampai detik ini masih dicintainya itu. Siapa lagi kalau bukan Jihan, keadaan membuatnya menjadi tak berkutik saat ini.
“Damar, ternyata kamu di sini. Mama cariin dari tadi kirain ke mana. Ayo makan malam dulu, ada yang mau dibicarakan sama Papa.” Haryanti, sang mama mengajak putra sulungnya itu menuju ruang makan.
Damar yang sejak tadi hanya termenung di samping rumah pun, akhirnya mengikuti langkah sang mama ke ruang makan. Di sana sudah terlihat adik laki-laki, dan adik perempuannya tengah duduk di kursinya masing-masing.
Damar pun menarik kursi untuknya duduk. Menatap wajah sang Papa yang kelihatan berseri dan masih berkharisma meski usianya sudah tak lagi muda.
“Damar, usia kamu kan sudah dua puluh lima. Sudah saatnya Papa membawa kamu masuk ke perusahaan.” Suara bariton milik Sunaryo Adjiman membuat anak laki-lakinya itu terdiam.
Damar hanya menunduk, ia sebenarnya malas ikutan mengurus perusahaan papanya. Karena bakat dan hobinya ada di bidang seni musik. Bukan mengurus keuangan kantor atau administrasi lainnya.
“Kalau aku nggak mau gimana, Pa? Kan ada Dimas, dia baru lulus tuh. Cocok kan jurusannya ekonomi bisnis.” Damar melirik sang adik yang duduk tepat di hadapannya.
Pria berkulit putih bermata sipit itu tampak menunduk saja. Meskipun dirinya baru lulus kuliah, tapi ia sama sekali tidak ada keinginan untuk masuk dan bergabung dengan perusahaan sang papa.
“Papa pilih kamu karena usia kamu lebih dewasa dari pada Dimas. Pengalaman kamu juga lebih banyak, Papa nggak mau tahu, besok kamu ikut ke kantor.”
Damar menghela napas pelan, sambil menyuap nasi ke dalam mulutnya. Ucapan sang papa memang tak bisa dibantah lagi sudah, dari pada dirinya kehilangan semua fasilitas atau dicoret dari kartu keluarga.
Hingga makan malam selesai, Damar masih duduk di kursinya. Sambil menyesap kopi dan bermain game. Tiba-tiba sang mama duduk di sebelahnya.
“Damar, Mama mohon kali ini kamu harus mau masuk perusahaan Papa. Mama nggak mau kalau sampai Dimas yang gantiin Papa kamu,” ucap sang mama sedikit berbisik.
Damar melirik sekilas wajah mamanya. “Mama kenapa sih? Kayanya ambisi banget aku harus gabung ke perusahaan Papa. Sampai Mama tega ngasih uang pacar aku dan suruh ninggalin aku. Aku bukan barang, Ma. Aku juga punya hati,” protes Damar kesal.
“Ya pokoknya, Mama nggak suka sama Dimas.”
“Mah, Dimas kan anak Mama juga. Bedanya apa coba sama aku?”
Haryanti menelan ludah dan mengalihkan pandangannya. “Yah pokoknya kamu sama Dimas beda. Titik.”
Tanpa menjelaskan apapun, Haryanti beranjak dari duduk lalu pergi meninggalkan sang putra. Damar hanya menggeleng saja, tak mengerti apa maksud ucapan mamanya.
“Mas Damar, maaf. Di luar ada perempuan nyariin Mas Damar,” ujar wanita paruh baya yang baru saja menghampiri Damar.
Damar mengernyit, siapa yang datang malam-malam? Atau mungkin Jihan?
.
Di fizzo free udah sampai bab 7 yaaa 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top