Chapter 7 - Brickwall

RenJiao's POV

Canggung? Sudah pasti. Bingung? Tidak perlu dipertanyakan. Risih? Sudah kurasakan setiap saat. Takut? Mungkin itu yang menggambarkan perasaanku sekarang, betapa takutnya aku untuk berhadapan dengan Olivia. Anak itu sebenarnya tidak melakukan hal yang salah, hanya saja aku merasa tidak enak begitu melihat ayahnya. Tidak heran dia bisa mengenaliku, dia tau dari ayahnya yang, well, bisa dikatakan memiliki reputasi yang besar.

Namun, bukan itu yang jadi masalah. Ketika akan pulang dan ibuku sedang sibuk sendiri, tak sengaja aku melihat bagaimana Olivia diperlakukan. Lengan atasnya digenggam erat, seperti tak sudi bila dia lolos tanpa rasa sakit. Ucapannya yang kasar disertai dengan bentakan. Bila aku yang ada di posisi Olivia, aku akan berusaha untuk melawan. Akan tetapi ..., kembali lagi bagaimana dia sepertinya mengalami kekerasan juga.

"Nothing changes between us." Itulah yang dikatakan oleh Olivia saat kami berada di kelas. Meski dia bilang seperti itu, jelas kalau dia sebenarnya marah akan dirinya sendiri, marah karena tidak bisa terlihat baik di hadapanku.

"RenJiao, mau catetan gua? Lu pasti ketinggalan banyak banget pelajaran gara-gara pindah, kan?" Mataku yang terfokus kepada Olivia seketika tersentak. Benar, ujian tinggal hitungan jari dan aku tidak bisa tenang saja.

"Hm, boleh," ujarku setelah mengalihkan pandangan dari Olivia.

Rasanya sangat berat untuk melakukannya, seperti perasaan takut kalau anak itu akan hilang begitu lepas dari pengawasanku. Dari punggungnya terlihat seperti seseorang yang begitu rapuh, sedang menahan beban begitu berat dan membuatnya sesak. Aku yang selama ini tidak peduli kepada orang lain atau percaya akan ada teman sejati seketika tidak bisa menahan rasa sakit di dada. Olivia kesepian, aku melihatnya, semua melihatnya.

Namun, tidak ada dari mereka yang peduli.

Anak-anak itu dengan sukarela memberikan catatan, berkata tidak apa bila aku memberikannya sedikit terlambat karena mereka juga belum tentu akan belajar, akan lebih baik bila ada di tangan anak yang serius. Awalnya aku pikir itu sesuatu yang bagus, sayangnya ada seseorang yang mulai mengatakan hal-hal aneh. Memang kita tidak akan pernah lepas dari orang-orang yang tidak menyukai kita, tapi dari ucapan mereka semua rasanya itu lebih dari tidak suka, tetapi benci.

"Liatin tuh, sok lagi dia."

"Mentang-mentang terkenal, trus merasa dia punya kuasa kali, ya?" Salahkah aku bila ingin berteriak dan memerintahkan mereka semua agar berhenti?

"Untung gua nggak dukung dia dari awal, keliatan banget fake jadi orang. Heran masih ada aja yang percaya sama orang kayak dia."

Semua cercaan itu aku diamkan, aku berusaha keras untuk mengabaikan suara-suara yang tidak diinginkan. Akan tetapi, ada seseorang spesifik yang sama sekali tidak tahan mendengarnya. Tentu saja itu adalah Olivia. Dia yang semula bertumpu kepala di meja kini duduk dengan tegak, kepalanya menunduk seperti menunggu anak-anak itu melanjutkan ucapan mereka. Jantungku berdegup kencang, merasa takut juga menunggu tidak sabar akan apa yang dia lakukan selanjutnya.

Suara bantingan memenuhi kelas yang sepi. Semua pandangan kini terarah kepada satu orang yang sudah sangat kami ketahui siapa pelakunya. Olivia terkekeh kecil, seperti menantang semua yang ada di dalam kelas. Suara tawanya itu diakhiri dengan embusan napas panjang khas orang yang kelelahan. Sejujurnya, aku rasa ini kali pertama aku mendengar Olivia mengeluarkan suara seperti itu, seperti dia benar-benar merasa muak dengan anak-anak di sekolah.

"Mulut lu pada kayaknya lebih enak kalo dijait deh. Biar enggak ada yang buang-buang oksigen lagi."

"Nggak usah banyak bacot!" seru anak pertama yang mengataiku. "Lu itu cuma suruhannya dia aja, kan? Makanya sok pahlawan. Kalo nggak, lu dibayar sesuatu, kan ...? Cewek rendahan kek lu nggak usah sok!"

Anak tersebut butuh beberapa saat sebelum akhirnya sadar dengan siapa dia berbicara. Meski tidak ada yang memberitau, semuanya sadar kalau menghina Olivia di hadapannya seperti sebuah kutukan. Akan ada banyak hal buruk yang terjadi kepada mereka yang melakukan. Bagi Olivia, dari apa yang kulihat, hidupnya hanya dipenuhi dengan hal buruk hingga tercipta memangsa atau dimangsa.

Aku sendiri terbiasa dengan hidup seperti itu. Orang akan mengincar siapa yang lemah dan menjatuhkannya agar terlihat lebih hebat. Bila tidak ingin menjadi korban yang dijatuhkan, maka kau harus bergerak lebih dulu dalam menjatuhkannya. Jika menghindar tidak mendapat balasan, maka satu-satunya cara adalah untuk bertahan, tidak peduli seberapa kotor tindakanmu. Bertahan hidup adalah tujuan utama di sini.

Belum ada pertengkaran yang bisa pecah, seorang kakak kelas yang sepertinya pernah aku lihat entah di mana mengintip masuk. Di belakangnya ada Carla yang tampak takut-takut. Sepertinya dia tidak berani dengan Olivia setelah mendengar suaranya berteriak. Mata kami, aku dan kakak kelas itu, bertatapan hingga dia berjalan mendekatiku. Dia baru berhenti ketika berada tepat di hadapanku.

"Lu Wu RenJiao, kan?" Aku tidak akan heran bila orang-orang bertanya, tapi entah mengapa rasanya dia hanya sedang mengujiku.

Kusipitkan mataku sebelum menjawab dengan nada menantang, "Kenapa? Ada urusan sama gua?" Jelas tindakanku ini membawa dua respons berbeda. Kakak kelas dengan name tag Ayu Gina Dewi mendengkus pelan dan anak-anak yang mendengar menahan napas.

"Fiesty, I like it," kekeh kakel itu sebelum meletakkan kedua tangan di mejaku, mendekatkan wajahnya kepadaku. "Tapi saying, lu nggak akan bertahan lama dengan gaya sok lu itu. 'Cause I'm the boss here."

"Xiàng dì yù wǒ huì xiāng xìn tā." Ucapanku berhasil membuat semuanya bungkam. Bagaimana tidak? Mereka, sebagian, tidak akan mengerti apa yang aku bicarakan. Aku sudah melihat daftar kelas bahasa yang ada di sini, dan Bahasa Mandarin tidak populer sama sekali.

Melihat ekspresi kakak kelas yang terkejut itu jelas membuatku merasa sedikit lebih baik, seperti aku sedang menang sebuah lomba yang sangat penting. Olivia, yang sedari tadi mendengarkan, terlihat sama terkejut dengan anak-anak lainnya. Mereka tidak menyangka kalau aku akan membungkam kakak kelas yang tidak sopan dengan Bahasa Ibu. Orang-orang yang hanya bisa berani di mulut saja bukanlah tandinganku.

Mungkin karena merasa malu, kakak kelas itu akhirnya memutuskan untuk mendecih dan mengucapkan perpisahan kepadaku, berkata kalau aku harus hati-hati lain kali. Di saat yang bersamaan bel tanda masuk berbunyi, sehingga aku yakin dia tidak akan merasa buruk karena sudah pergi lebih dulu, dia akan menganggap dan beralasan kalau dia pergi karena bel tanda masuk sudah terdengar. Memikirkannya saja sudah membuatku terkekeh, dia berlagak serba bisa dan serba hebat, padahal dia hanya seorang penggertak tanpa aksi.

Aku tidak ingin mengakuinya, tetapi aku tau hubunganku dan Olivia berbubah semenjak hari itu. Aku yang biasanya selalu bersama ketika pulang sekolah kini justru hanya bisa sendirian sembari membaca buku catatan yang tidak begitu rapih. Aku masih akan tetap menghargai usaha orang tersebut yang dengan setia masih mencatat meski sudah tidak memiliki niatan sama sekali. Bila aku jadi orang ini, jelas aku sudah meninggalkan catatan dan berusaha mencari sesuatu yang bisa membuatku terhibur.

"Oh, liat nih ada siapa." Suara khas yang sangat teringat memasuki gendang telingaku. Sejujurnya, aku sama sekali tidak memiliki niatan atau berkeinginan untuk mengingat suara itu. Hanya saja, dari caranya berbicara membuatnya mudah teringat.

Aku mendongak dan menyunggingkan senyum sinis. "Kakak kelas kok bisanya cuma bully adek kelasnya?" sindirku sambil menyimpan buku di tangan. "Apa nggak malu soalnya nggak bisa jadi panutan buat anak laen?"

"Nggak usah sok banyak gaya. Lu sendiri juga emang udah jadi panutan buat adek kelas?"

"Jelas. Gua terkenal, banyak yang suka gua, bahkan banyak yang niruin style gua." Dengan ucapan terakhir, aku melirik ke arah anak yang sepertinya adalah Kiara. Semenjak banyak yang membicarakan tentang kami berdua, aku memutuskan untuk mencari tau siapa Kiara ini. Ternyata dia lebih menyedihkan dari yang aku kira.

"Maksud lu apa? Gua nggak ikutin style siapa-siapa!" sergahnya cepat. Dia melirik temannya dengan takut-takut. "Gina, lu liat sendiri kan ini anak kayak apa? Sukanya nuduh orang biar tenar."

Anak yang dipanggil Gina itu mengangguk. Sebuah senyuman yang terasa misterius kini terukir di bibirnya, berbeda dengan senyuman yang aku lihat di kelas tadi. Apa mungkin sebelumnya dia hanya menahan diri? Bila dia memang melakukannya, maka aku sudah selesai. Anak ini memiliki tenaga melebihi diriku, aku tidak akan mungkin memiliki kesempatan untuk melawannya. Bila aku berusaha untuk melindungi diri, aku hanya akan terlihat menyedihkan.

Daripada dimangsa, aku lebih memilih untuk tunduk.

Tapi tidak kepada mahkluk rendahan seperti mereka.

"Kalo mau ngomong itu dijaga, ya? Nggak takut bakal kena pasal pencemaran nama baik? Gua nggak segan laporin orang-orang kayak gitu, loh," ucapku masih tersenyum sinis. Berpura-puralah kuat meski sebenarnya diri ini ketakutan, itu hal yang selama ini aku pegang. Bila aku tunduk sekarang, sama saja seperti aku tidak mau berusaha sebelum menyerah.

"Try me," ungkap Gina. Dia justru terlihat semakin penasaran atas apa yang telah aku beritau barusan. "Selama ini nggak ada yang bisa nuntut gua, jadi buat apa gua takut? Kalo mau cari lawan liat dulu latar belakangnya. Jangan asal gigit. Tau-tau yang digigit racun," Gina berbisik di telingaku, berhasil menyebabkan tubuhku merinding sedikit. Bukan, aku bukan merasa takut, aku hanya merasa ada yang aneh dengan ucapannya.

"Bukannya kalo gitu lu lebih menyedihkan? Karena lu nggak bisa menang dari yang lain, lu berusaha gali masa lalunya. Rendahan, such a trick wont affect me." Kali ini aku menatap mata Gina dengan tajam, memastikan ucapanku tersebut dapat tersalurkan dengan baik.

Merasa muak diperlakukan seperti itu oleh Gina, aku memutuskan untuk meninggalkannya dan berjalan menuju jemputanku yang untungnya datang tepat waktu. Sopir yang ada membuka pintu dan menungguku hingga masuk. Setelahnya, aku membuka jendela dan melambaikan tangan ke arah Gina, berpura-pura seperti seorang teman baik yang berpamitan. Ekspresi yang diberikan Gina kali ini tidak akan pernah tergantikan. Andai aku sedang memakai ponselku, aku pasti akan merekamnya dan memberikannya kepada Olivia.

"Apa anak itu mengganggu?" tanya sopirku ketika kami sudah masuk ke jalan raya. Aku yang masih merasa mual atas kejadian tadi menghirup udara luar dalam-dalam. Tidak sebersih tempat di mana aku biasa tinggal, tapi masih tetap menenangkan. "Apa saya butuh laporkan ke pihak berwajib?"

"Nggak perlu. Pihak berwajib juga nggak bakal nyentuh anak itu. Jelas kalo orang tuanya berpengaruh."

"Baik, dimengerti."

"Manusia rendahan seperti mereka tidak akan bertahan lama melawanku. Kiara, ya? Sepertinya ini akan menarik," kekehku sambil membuka ponsel, memperhatikan akun yang sangat aku kenali sekarang.

***

Berjalan di sekitar kelas, untuk pertama kalinya, ternyata lebih menyesakkan dari apa pun. Semua mata memandang ke arahku, membicarakan tentangku, berbisik-bisik menyebut namaku tanpa sadar kalau aku bisa mendengar suara mereka semua. Rasanya aku seperti berada di dalam kandang atau di taman safari, aku adalah hewannya dan mereka adalah penontonnya. Meski terdengar kasar, kiasan itu benar adanya. Mereka sedang puas menatap sesuatu yang langka di dalam kandang itu.

Baru aku akan kembali ke kelasku sendiri, seseorang langsung merangkulku dari belakang. Untung aku bisa menahan jeritan yang akan keluar, sialnya, orang-orang membicarakan tentang aku dan orang yang merangkulku tanpa izin. Benar Revan. Anak itu sepertinya tidak mengerti arti dari penolakan, yang berarti aku tidak ingin dirangkul, disentuh, didekati atau berbicara dengannya. Mungkin otaknya lebih kecil dari hewan terkecil yang ada sehingga tidak bisa berpikir jernih.

"Sendirian? Olivia Carter mana?" Dalam hati aku sudah mendecih, merutuki laki-laki menggunakan bahasa yang dia tidak akan mengerti. "Kangen gua, ya?"

"Gak," jawabku ketus dan melempar tangan Revan dari pundakku. Rasanya aku ingin segera berlari begitu melakukannya, sayangnya aku tidak bisa.

"Bilang aja kalo kangen. Soalnya gua juga kangen kok. Gua denger-denger kemarin ada kakel nyariin lu? Siapa? Kak Gina?"

Mendengar dia menyebutkan nama itu dengan mulus berhasil membuatku melirik ke arahnya, menatap dadanya yang begitu dekat denganku. "Kenal ...?"

"Siapa sih yang nggak kenal Kak Gina? Dia sama gengnya itu kan sering main bareng adek kelas. Oh mereka juga pernah berantem sampe main kasar ke Olivia. Bahkan ada rumor ...."

Belum Revan bisa melanjutkan ucapannya, seseorang dari belakang kami berdeham keras. Suaranya bahkan berhasil membuat anak-anak di sekitarku berhenti berbisik-bisik, setidaknya mereka tidak akan membicarakan tentangku dalam waktu dekat. Revan, juga aku, langsung berbalik untuk menatap siapa yang berdeham begitu, memotong pembicaraan kami. Ketika aku membalikkan tubuh, seorang perempuan yang tingginya tidak jauh berbeda denganku terlihat.

"K-Kak Stephanie!" gagap Revan. Anak yang dipanggil Stephanie ini tersenyum manis, akan tetapi aura yang dia pancarkan begitu mengancam. "K-Kakak lagi tugas?"

Stephanie mengangguk. "Anak baru, ya? Yang lagi rame diomongin? Ah ... siapa namanya?"

"Wu RenJiao," balasku setengah hati.

"Iya, Wu RenJiao. Salam kenal, ya? Aku ... gua Stephanie, ketua kesiswaan walau seharusnya udah turun jabatan. Ternyata lu lebih cantik dari perkiraan. Revan, jangan sebar rumor nggak jelas, ya?"

Begitu menepuk pundak Revan, Stephanie langsung meninggalkan kami berdua. Aku mengerutkan kening, merasa ada yang janggal dengan ucapannya barusan. Karenanya, aku melirik ke arah Revan untuk mendapati anak itu menutup bibirnya rapat, sangat berbeda dengan dirinya yang biasa. Sudah jelas dia tidak akan membeberkan apa yang ditutupi oleh Stephanie di sini. Tau dia tidak ada manfaatnya untukku, aku segera meninggalkan Revan dengan berjalan cepat.

Masih dengan kejadian yang sama, anak-anak langsung memberikan berbagai komenan begitu melihatku. Bahkan, salah satu dari mereka berkata kalau kulit yang aku miliki ini terlalu putih dan mengganggu. Apa aku yang meminta untuk dilahirkan menjadi putih? Apa aku yang memohon-mohon kepada yang di atas agar memberikanku kulit putih dan bersih? Aku sudah terlahir seperti ini, meski aku sudah berusaha untuk membuatnya sedikit gelap, kulitku akan selalu kembali ke warna semulanya.

Aku tau kalau meladeni orang-orang seperti mereka tidak akan ada untungnya sama sekali, tetapi rasanya aku tidak bisa menahan diri. Sekolahan yang aku pikir bisa memberikanku sesuatu lebih baik justru terasa lebih menyesakkan daripada yang terakhir. Mereka semua terus berpikir kalau mereka adalah yang terbaik. Dan cara mereka agar semakin mencolok adalah menjatuhkan lawan, mencari kelemahan lawan tersebut dan terlihat lebih baik karena tidak memiliki apa yang lawan tersebut miliki.

Pemikiran seperti itu sebenarnya terdengar sangat lucu, tetapi aku sama sekali tidak bisa menahan mereka untuk melakukannya. Manusia akan melakukan apa yang mereka rasa benar, tidak peduli bila perlakuan mereka itu akan menyakiti yang lainnya di akhir. Hal yang paling utama adalah prosesnya, supaya mereka semua bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Sedikit dari mereka akan memikirkan risiko dari tindakan gegabah dan tanpa pemikiran panjang.

Atau mungkin aku yang terlalu pemikir sampai-sampai merasa kalau segala hal terlalu berat atau terlalu sulit dilakukan. Untukku sendiri, semua kegiatan—terlebih yang berhubungan dengan kegiatan sosial—adalah yang paling sulit, menandakan bekerja bersama ayah juga termasuk.

"Dia kan selalu promosiin produk-produk skincare, kan? Padahal dia udah dari lahir gitu, kan? Ngapain coba pake promosi gitu? Ketawan banget boongnya!"

"Biasalah. Orang kan bakal ngelakuin apa aja biar bisa dapet duit, nipu juga bakal dilakuin. Liat tuh matanya, sok micing-micing ke arah yang lain. Biar apa coba? Biar keliatan garang gitu? Hih! Malah kayak orang rabun!"

Semua cercaan itu aku balas dengan kekehan pelan. Apa mereka tidak sadar aku mendengarnya atau justru sengaja agar aku mendengarnya? "Itu mulut bisa dijaga?" tanyaku dengan manis.

"Soal apa? Kita nggak bahas apa-apa, kok."

"Nggak usah sok nggak tau, ya," ujarku masih berusaha tenang. Bila aku kehilangan kendali, mereka akan semakin mencari gara-gara. Sejujurnya, aku sudah sangat gatal untuk memusnahkan orang-orang seperti mereka. Sayang semua itu tidak bisa kulakukan di sini.

"Kita emang nggak ngomong apa-apa, kok. Lu jadi orang jangan asal main nuduh aja! Mentang-mentang punya nama, bisa seenaknya nuduh orang, gitu?"

Merasa kesal, aku terkekeh kecil. "Jadi mau mainnya begitu? Fine, gua nggak masalah sama sekali."

Aku segera mengeluarkan ponselku. Tentu aku sudah tau apa yang harus aku lakukan, mengancam mereka dengan rekaman yang sebenarnya tidak ada sama sekali. Walau terdengar licik, ini adalah satu-satunya cara untuk mereka yang menganggap diri lebih hebat mau diam. Aku segera berpura-pura untuk menelepon polisi dan berbincang dengan suara keras, seakan-akan aku memang bicara dengan mereka.

"Saya ada bukti rekamannya, kayak biasa." Setelah melirik, aku terdiam beberapa saat seperti sedang mendengarkan respons polisi yang tidak ada. Tindakanku ini berhasil menarik perhatian mereka. "Oh, abis pulang sekolah bisa, ya? Nanti saya ke sana."

Belum aku mematikan ponselku, seseorang dari belakangku mengambil ponsel tersebut. "Kalo emang salah minta maaf, gitu aja kok repot? Susah yang kalo ngomong sama orang yang nggak punya perasaan sama otak?"

"C-Carter?" Aku melirik ke belakangku, mendapati Olivia yang menggenggam ponsel milikku. Awalnya aku berpikir kalau dia berbicara seperti itu untukku, tapi ternyata untuk kedua anak di hadapanku.

"I-iya! K-kita yang salah! Jangan laporin ke polisi!" Kedua anak itu segera pergi dari tempat dan Olivia mengembalikan ponselku.

"Just an advice, kalo mau bertahan, lu harus bisa jadi penggertak."

🥀🌠🥀
(05/01/2024)

Setelah sekian lama hilang, akhirnya bisa balik update cerita yang satu ini!

Kira2, gimana ya hubungan Olivia sama RenJiao ke depannya? Ikutin terus yuk keseruan mereka di cerita ini~

Jangan lupa untuk tinggalkan vomments kalian dan masukkan library untuk dpt update-nya

See you next week!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top