Chapter 5 - S.O.S

Gina's POV

"Belom dapet panggilan lanjutan?" Aku memperhatikan Kiara yang makan dengan brutal, untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan tidak memikirkan tentan berat badannya yang bisa melonjak tinggi.

"Gak usah ngomong sama gua." Balasan dingin dan sedikit kasar dari Kiara sudah menjelaskan segalanya. Aku menggelengkan kepala sembari tertawa kecil, merasa situasi seperti ini adalah situasi yang sangat ajaib. "Kenapa ... kenapa gua nggak dapet kabar?!

Merasa begitu frustasi, akhirnya Kiara melempar bungkus makanannya ke sembarang tempat. Untungnya ini adalah rumahnya sendiri sehingga aku tidak perlu memikirkan tentang membersihkan semua sampah yang ada. Ekspresi penuh masalah terlihat jelas ketika dia kembali membuka ponselnya, mencari-cari sesuatu sebelum membanting ponselnya ke sofa tempat dia duduk sekarang. Selama semua hal itu terjadi, aku hanya bisa terkekeh kecil.

Memang belakangan ini aku mendengar hal-hal yang terkesan lucu. Seseorang bernama RenJiao lebih pantas mengambil posisi Kiara. Mungkin, orang-orang yang ingin bekerja dengan Kiara juga sudah dengar bahwa RenJiao berada di daerah sini. Dengan begitu, tentu saja pekerjaan akan dilimpahkan kepada gadis tersebut. Siapa yang lebih populer, mereka lah pemenangnya. Sama seperti sekarang, bila Kiara tidak lebih terkenal dari RenJiao, dia tidak akan pernah dihubungi kembali.

Tau kalau Kiara akan seperti itu sampai perasaannya tenang, aku langsung membuka ponselku dan mengabaikan semua pesan masuk, tidak peduli apakah itu dari anak-anak sekolah, atau orang di rumah. Menemukan akun RenJiao sama sekali tidak sulit. Hanya dengan membuka satu akun terkutuk sudah membawaku kepadanya. Centang biru yang terpampang cantik di samping namanya membuat senyuman muncul di bibirku. Dia akan jadi lawan yang sulit.

Sembari membuka akunnya, aku terus memperhatikan foto-foto yang dia posting di sana. Nampak cantik, seperti tuan putri. Jelas saja banyak orang yang membandingkan Kiara dengan RenJiao. Senyuman lain tersungging di bibirku sebelum aku duduk di samping Kiara. Sebuah pemikiran yang akan menguntungkan kami berdua seketika terlintas di benakku. Ini akan jadi kesempatan emas baik untuk Kiara, maupun diriku sendiri.

"Lu pikir ... RenJiao bakal ngambil ini kesempatan?" Kiara menggigiti kukunya, tindakan yang dia lakukan ketika menahan marah. "Secara, dia baru aja pindah tapi udah dapet tawaran. Orang waras manapun juga bakal langsung terima! Nggak ... nggak boleh sampe begitu. Gua bakal datengin kantornya sendiri besok!"

Aku terkekeh kecil melihat Kiara yang seperti itu. Semenjak dia memiliki nama, dia mudah takut seperti ini. "Tenanglah ... buat apa lu gegabah? Mau nama lu jadi tercoreng Cuma gara-gara satu anak?"

"Cuma? Lu bilang cuma?!" Kiara langsung menatapku dengan mata berapi-api, reaksi yang sangat aku duga semenjak mengenalnya. "Lu gampang ngomong gitu karena enggak di posisi gua! Sial ... lu liat nggak akunnya? Jumlah followers-nya?! Yang lebih parah, centang biru!"

"Thats why, you have me here, right?"

Kiara yang mendengar itu mengerutkan kening dalam. Semua emosi dan amarah yang terlihat di matanya langsung menghilang begitu saja. "Maksud lu ... apa? Lu nggak akan lakuin hal aneh, kan?"

"Just trust me. Gua selalu ada di pihak lu, Kiara."

***

Bagi kebanyakan orang, akhir pekan akan mereka gunakan untuk bersama keluarga. Biasanya aku juga seperti itu, tapi kali ini aku akan membantu Kiara seperti yang sudah kujanjikan. Pada akhirnya, aku tau kalau anak itu tidak bisa apa-apa tanpa bantuanku. Sama seperti Stephanie yang lambat laun akan mengejar-ngejarku untuk membantunya. Sifatnya yang sekarang, arogan dan sok bisa, tidak akan bertahan lama. Topengnya yang tebal tidak akan selamat.

Tidak perlu dipertanyakan lagi, walau ini adalah kali pertama aku bertemu atau mendengar nama RenJiao, begitu melihat foto keluarganya aku sudah bisa mengetahui siapa saja mereka. Tentunya, salah satunya adalah ayahnya yang bergerak di bidang bisnis. Orang kaya sepertinya tentu akan bertemu dengan keluargaku. Karenanya, dengan mudah aku bisa menemukan kantor di mana RenJiao dan ayahnya sering berada di akhir pekan.

Sebagai anak satu-satunya, sudah bisa dipastikan kalau dia dituntut untuk jadi seseorang yang sempurna. Menjadi sempurna itu berarti berlatih menjadi penerus perusahaan. Mungkin karena itu dia sering membangkang dan memutuskan untuk menjadi seorang influencer. Orangtuanya tidak akan bisa mengelak keinginannya ketika dia sudah terkenal. Tentunya, mereka juga harus menjaga martabat keluara Wu, kan?

"Ah, Nona Gina!" Mendengar namaku disebut aku langsung melirik ke arah sumber suara dan melihat seseorang yang tidak terlalu kukenali. "Saya dengar Anda akan datang ke sini. Anda ingin bertemu dengan Tuan Wu, kan?"

Aku mengangguk untuk mengiyakan pertanyaan itu. "Aku sudah ada janji."

"Lewat sini," ucap orang itu sebelum menunjukkanku jalan menuju lift tersendiri. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk bisa bertemu dengan Tuan Wu yang disebut-sebut itu, ayah dari RenJiao. Begitu melihatku, dia langsung tersenyum lebar.

"Gina Ayu Dewi, sudah lama sekali tidak melihatmu. Aku masih ingat saat kau kecil, suatu kebetulan kita akan bertemu lagi."

"Apa kabar, Paman?" Aku membungkuk kecil untuk menunjukkan rasa hormatku.

Tuan Wu, ayah dari RenJiao, tersenyum ramah sebelum memperbolehkanku untuk duduk dan berbincang dengannya selama beberapa saat. Tak terasa aku sudah berbincang dengannya hampir dua jam, membicarakan tentang waktu yang sudah lama kami lewatkan. Pertama kali aku bertemu dengannya saat aku tidak lebih dari umur delapan, memiliki kesempatan setelah hampir sepuluh tahun tentunya sesuatu yang memukau.

Selama aku berbincang, aku tidak kunjung melihat RenJiao. Seharusnya hari ini adalah jadwalnya berada di kantor dan setidaknya dia harusnya datang barang sekali ke sini. Melihatnya tidak kunjung datang, aku memutuskan untuk bertanya kepada Tuan Wu, tentang keberadaan anaknya yang selama ini dikabarkan menjadi penerus perusahaan. Dengan mudahnya aku bisa mendapatkan jawaban darinya, bahwa RenJiao hari ini tidak masuk ke kantor.

Setelah berpamitan, aku kembali membuka akunnya dengan akun milikku yang lain. Jelas terlihat di status yang dia buat kalau sekarang dia sedang berada di suatu tempat. Hanya ada satu daerah yang bisa aku pikirkan ketika melihatnya memotret meja rias. Dia mendapat panggilan dari salah satu brand dan ingin dia menjadi bintang iklannya. Sungguh, pada posisi ini, aku sendiri tidak yakin kalau Kiara memiliki kemungkinan untuk menang.

Namun, aku sudah berjanji. Bahwa aku akan terus berada di pihaknya.

***

"Lu udah liat postingan si RenJiao belom?" Hal pertama yang menarik perhatianku ketika masuk ke dalam kelas adalah anak-anak yang ribut membahas tentang RenJiao. Dan nampaknya Kiara yang mendengar sama sekali tidak merasa senang.

"Gua udah liat! Gila, keren banget! Temanya putri kerajaan gitu, kan? Dia cocok banget, enggak heran kalo bentar lagi dia bakal dapet panggilan buat main film sih."

Kiara yang mendengarkan ini mendengkus sebelum menggunakan headpone-nya dan menyilangkan tangan untuk menjadi tumpuan kepalanya di atas meja. Melihat kelakuan Kiara membuatku terkekeh kecil. Manusia itu sungguh tidak terduga. Mereka akan melakukan hal gila untuk bisa bertahan, bahkan sampai membunuh yang lainnya. Kiara sendiri termasuk ke dalam golongan tersebut, golongan yang rela melepas segalanya hanya agar mendapatkan apa yang dia inginkan.

Rasa penasaran membuatku mendekati salah satu anak yang sedang membicarakan RenJiao dan merangkul leher mereka dengan sedikit kasar, menunjukkan kekuatan yang aku miliki sebagai tanda kalau aku lebih kuat dari mereka. Terkejut, keduanya langsung mendongak untuk berpandangan denganku. Sebuah senyum gugup mereka berikan saat sadar aku adalah orang yang mendekati mereka. Semenjak Rena meninggal, aku memang tidak pernah berbuat hal-hal yang terlalu jauh.

"Lagi bahas apa nih? Kayaknya seru. Gua ikutan boleh dong?" ujarku dengan nada sedikit menantang, namun jahil.

"G-Gina ... b-bukan apa-apa, kok!" Anak pertama terkekeh dan melirik kepada anak kedua, jelas memberikan kode untuk membantunya memberikan sebuah alasan. Tentu saja mereka sadar untuk tidak mengganggu Kiara karena dia masih ada dalam circle-ku. Akan tetapi, manusia akan selalu seperti itu. Berpura-pura lupa agar bisa merendahkan yang lainnya.

"Iya, kita nggak lagi bahas apa-apa," kekeh anak kedua.

Bagaimanapun mereka menyangkal, jawabannya sudah terlihat sangat jelas. "Kalo gitu, gua liat dong HP lu. Boleh, kan?" Aku memberikan senyuman dengan maksud kalau mereka tidak bisa menolakku lagi.

Seperti dugaan, mereka yang sudah tidak memiliki pilihan akhirnya memberikan ponsel yang jelas-jelas menunjukkan foto RenJiao, di-upload baru semalam, menandakan dia memang mendapatkan tawaran saat aku sedang berada di kantor ayahnya bekerja. Bukan hanya satu foto saja yang dia kirimkan, melainkan langsung beberapa dengan tema yang serupa. Melihat ini, aku langsung melirik ke arah Kiara yang masih membaringkan kepalanya.

Tanpa mengucapkan apa-apa kepada anak yang kuambil ponselnya, aku membanting pelan ke atas meja, mengabaikan protes yang mereka berikan terkait bunyi keras yang terdengar satu kelas. Masih baik aku memberikannya ke meja dan bukan melempar asal. Dengan begitu, bisa saja ponsel mereka terjatuh ke lantai dan hancur berkeping-keping. Terkadang manusia memang tidak pernah bisa mensyukuri apa yang mereka dapatkan sekarang, aku juga termasuk ke dalam golongan manusia itu.

"Woi!" Aku menarik lepas headphone Kiara, tidak ingin berlama-lama dengannya. Tau kalau hanya aku yang berani melakukan hal seperti itu, Kiara memicingkan mata ketika mendongak. "Gua dapet info soal RenJiao."

Kiara justru mencibir ketika mendnegarku berbicara begitu. "Nggak butuh. Jangan ganggu gua."

"Serius mau lewatin infonya? Jangan nanti rengek ke gua buat kasih tau, ya," ledekku. Aku tau pada akhirnya Kiara akan melakukannya, berlutut di hadapanku agar aku mau memberikan informasi penting itu.

"Nggak peduli, gua nggak mau denger. Tinggalin gua."

Sebuah kekehan berhasil lolos ketika melihat Kiara yang seperti itu. Tapi, aku sama sekali tidak masalah bila dia mau bersikap begitu. Justru akan bagus kepadaku, karena dia akhirnya akan bertekuk lutut untuk mendapatkan informasi yang murahan ini. Berada di atas atau bisa menaklukan seseorang, membuat mereka tunduk akan peraturan yang kubuat, adalah hal paling menakjubkan yang bisa kulakukan. Seperti menjadi dewa dari dunia yang kuciptakan sendiri.

Hari yang kujalani berjalan seperti biasa, mendengarkan orang-orang yang terus berbicara omong kosong, mengatai satu sama lain, bahkan sampai membuat rumor akan anak lainnya untuk kepuasan mereka sendiri. Beberapa dari mereka juga tidak segan untuk membicarakanku dan kemudian terdiam saat melihat aku berada di sekitar mereka. Namun, ada satu hal yang paling mencolok hari ini. Yakni perbincangan hangat mengenai RenJiao dan Kiara.

Pastinya mereka sudah sadar kalau Kiara tidak mendapatkan panggilan yang seharusnya sudah ia lakukan pada akhir pekan kemarin. Banyak anak yang mentertawakannya dan menyebar berita ini ke dalam pesan grup mereka. Anehnya, semua kejadian ini justu membuat perasaanku lebih baik. Aku merasa sangat bahagia sampai tidak peduli kepada orang-orang yang menghinaku.

Ketika istirahat jam kedua datang, aku tak sengaja menabrak satu anak yang memegang nampan berisi makanan penuh, tangannya yang lain menggenggam ponsel. Cahaya yang terang menyakiti mataku tetapi memudahkanku untuk melihat apa yang ada di sana. Aku melirik sekilas ke arah anak yang masih terkejut sebelum mengambil ponselnya. Seseorang, atau lebih tepatnya anak di sekolah ini, sudah menyebarkan berita tentang Kiara yang gagal dalam audisi ke dalam grup.

Tanpa tersadar aku sudah mendengkus pelan. "Berita ini lu dapet dari mana? Kok kayaknya seru, bagi ke gua juga dong," ungkapku dengan nada jahil nan menantang. Anak yang menabrakku itu, sadar kalau itu adalah ponselnya, langsung menunduk dalam-dalam. Bagaimana tidak? Dia pasti merasa sangat malu dan juga bersalah.

"M-maafin gua, Gina. Gua cuma dapet itu ...."

"Ha, ha, ha .... Bullshit," potongku yang tidak mau mendengar anak itu berbicara barang sepatah kata pun. "Mulut lu tuh bau, jadi mending nggak usah ngomong, ya? Ah ... crap!" Aku menyadari ada saus yang menempel di ponsel anak tersebut sehingga aku langsung melemparnya ke lantai, menimbulkan suara nyaring.

"P-ponsel gua ...." Anak itu menatap miris ponsel yang sudah retak baik layar maupun sampingnya. Melihatnya begitu sedih berhasil menarik sedikit empatiku.

"Sedih, ya? Mau gua ganti rugi?" Belum aku bisa mengeluarkan dompetku untuk memberikannya DP sementara, anak itu langsung menjerit. Baru beberapa saat sepertinya dia sadar akan perbuatannya dan langsung menunduk kembali. "Kalo nggak bisa ngelawan ... nggak usah sok-sokan, deh, peasant."

Aku mengusap tanganku yang terkena saus ke baju anak tersebut sebelum mengeluarkan uang seratus ribu beberapa lembar, melemparnya ke wajah anak itu. Aku tidak peduli apakah anak itu menatapku dengan ekspresi membunuh atau tidak. Aku merasa puas dengan apa yang sudah aku dapatkan sekarang. Ini adalah salahnya sendiri, dia menabrakku, dia menyebar rumor, bahkan dia berusaha untuk membentakku. Jika dia tidak melakukan semua itu, harinya akan baik-baik saja.

Dengan perasaan lebih baik, gembira dan sangat senang, aku meninggalkan ruang makan sembari memikirkan tentang berita yang aku lihat. Aku sama sekali tidak mengerti mengapa orang-orang sampai repot membuat perbandingan seperti itu. Tidakkah itu justru merepotkan dan juga melelahkan? Daripada memikirkan berpedaan mereka, akan lebih baik untuk membenahi diri. Aku selalu percaya bahwa diri kita sendiri adalah penentu di mana tahta kita berada.

Semakin lemah kita, maka akan semakin rendah tahta tersebut berada.

Seperti dugaan yang kubuat di pagi hari, namun tetap saja semua berjalan lebih cepat dari perkiraan, Kiara mendatangiku ketika jam pulang sekolah. Dia yang biasanya membereskan bukunya lebih lama dari biasanya kini justru selesai lebih awal dan berdiri di depanku. Terlihat dari ekspresinya kalau dia menginginkan sesatu dariku dan tau kalau aku akan bisa menyelesaikan masalah yang dia buat sendiri. Well, ini bukan masalah yang dia buat lebih tepatnya.

"Kenapa? Katanya nggak butuh?" Kiara meringis kecil begitu mendengar kata-kataku. Egonya memang tinggi, tetapi rasa bangga akan diri sendiri darinya justru lebih tinggi, menandakan betapa tamaknya dia. "Mau info soal RenJiao? Lu mau tau apa soal dia?"

"Semuanya, kasih tau gua semuanya soal dia!" Jeritan Kiara tidak diindahkan anak kelas pasalnya hanya tinggal kami berdua saja. "Gua benci cewek sok kayak dia! Bakat natural, cantik dari kecil, harapan semua orang .... Gak, itu semua bohong!"

Aku kembali terkekeh melihat Kiara yang seperti ini. Terkadang, sangat seru untuk melihatnya begitu frustasi, merasa sangat kesal dengan dirinya sendiri. "Lu tau, kan? Kalo mau minta sesuatu ke gua ... lu harus ngasih ke gua balik, beda sama yang gua kasih cuma-cuma kayak tadi."

Sesuai dugaan, Kiara tersenyum pahit. Jelas kalau dia tidak suka dengan deal yang akan kami buat ini. Dia juga sadar kalau ini bukan kali pertama aku meminta sesuatu kepadanya sebagai balasan. Butuh beberapa saat bagi Kiara hingga akhirnya dia mengangguk dan berkata iya, menyetujui persyaratanku ini. Apa pun yang terjadi, Kiara tidak akan pernah bisa menang melawan RenJiao tanpa bantuanku. Dia hanya akan mengecewakan dirinya bila mencoba.

"Lu mau apa?" tanya Kiara dengan nada ketus. Tau kalau Kiara sudah setuju dengan ini, senyumanku mengembang lebar.

"Gua mau ... lu bujuk Stephanie. Buat kita balik kayak dulu lagi. And as a price for that, gua juga akan kasih strategi buat menangin banyak endorse daripada RenJiao. Easy, right?"

Kiara nampak kesal ketika mendengarku memberi tawaran seperti itu. Tentu saja dia akan kesal. Sama seperti kepadaku, sikap Stephanie juga dingin terhadap Kiara. Dia bahkan terkadang berpura-pura tidak mengenal kami setelah Rena meninggal. Berbeda denganku yang selalu menuntut kepada Stephanie, Kiara memilih untuk fokus kepada karirnya saja. Karena hal itu aku yakin Stephanie mau mendengarkan Kiara lebih daripada mendengarkanku. Walau ujungnya dia akan tau aku yang memerintahkan Kiara, Stephanie tidak akan bisa menolaknya.

Sebuah helaan panjang keluar dari bibir Kiara hingga akhirnya dia mengangguk menyetujui. Merasa terlalu senang, sebuah seruan kegirangan keluar. Untungnya, semua anak kini sudah tidak ada di sini dan sibuk menunggu jemputan mereka. Aku mengulurkan tanganku untuk mengikat janji kami, tidak lupa ponselku untuk merekam ini. Jika dia menolak atau mengelak di kemudian hari, maka aku sudah punya bukti kalau dia pernah berjanji untuk memberikan sesuatu kepadaku.

"Hal pertama yang harus lu tau soal RenJiao itu keluarganya. Ayahnnya seorang pengusaha besar, kenal secara pribadi sama gua. And, mamanya RenJiao itu seorang designer terkenal di China. Which means, mereka nggak sesering itu ketemu. Satu hal lagi, RenJiao benci bahas soal mamanya yang pernah selingkuh di depan matanya."

🥀🌠🥀

(03/03/2023)

New chapter sudah hadir!! Gimana chapter yang kali ini? Perlahan-lahan "kebohongan" dari kehidupan sempurna RenJiao mulai terkuak. Ada yg bisa nebak kira2 kebohongan kyk apa yg dimiliki RenJiao di cerita ini? Ikuti kisah mereka sampai end, ya!

Jangan lupa juga untuk tinggalkan vote, komen, serta share ke teman kalian~

See you next update!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top