Chapter 4 - The Best
RenJiao's POV
Berada di dalam ruangan klub dengan beberapa yang lain, untungnya sepi, terasa begitu menakjubkan. Sayangnya, salah satu dari mereka jelas merupakan salah satu fans dari konten yang aku buat. Dia menatapku dengan mata berbinar. Perasaanku langsung berubah tidak enak ketika yang lainnya ikut menatapku. Sebuah senyum kecil kuberikan kepada yang lain agar mereka bisa menurunkan pandangan mereka.
"RenJiao, benar?" Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaan tersebut. Orang yang kuduga adalah ketua dari klub kostum langsung menjabat tanganku, bukan hanya satu melainkan keduanya, meski aku sudah memberikan ekspresi tidak senang, sepertinya ketua tersebut masih tidak mengerti apa yang kumaksud dan justru menggerakkan tanganku penuh semangat. "Seneng banget gua pas tau lu beneran bakal ikut klub kita."
Aku terkekeh canggung, berusaha menarik tanganku dari genggaman mau sebelum membalas, "I-iya. Soalnya gua nggak tau mau gabung klub mana. Berhubung gua suka design ...."
"Gua salah satu orang yang suka koleksi design limited dari keluarga lu!" Mendengar itu senyuman yang ada di wajahku langsung luntur. Kali ini aku sama sekali tidak berusaha untuk menutupi ekspresi yang kuberikan, menandakan kalau aku benar-benar tidak suka.
Nampaknya anak-anak yang lain dengan cepat menyadari perubahan ekspresiku sehingga mereka saling senggol dan memeringati yang lain. Tangan sang ketua dengan mudahnya aku lepas, mungkin karena emosi yang mulai tumbuh di dalam diriku. Ketua yang juga menyadari perasaan menekan dariku langsung berdiri di hadapanku, memblokir pandanganku dengan anak yang berani membahas tentang keluargaku. Jika mereka memang penggemarku, mereka akan mengerti mengapa aku bersikap seperti ini.
Ketua tersebut, tanpa merasa malu atau bersalah, menggandeng tanganku dan membawaku ke tempat yang berlainan dengan para anggota lain. Ruangan yang kecil ini tidak membuat keadaan lebih baik. Justru, aku merasa kalau ini seperti sebuah kutukan. Dari tempat aku berdiri, aku dapat mendengar ucapan-ucapan anggota lain, tentunya tidak luput dari kata-kata kasar yang ingin menjatuhkan diriku. Bukankah semua manusia seperti itu?
Sewaktu-waktu manusia akan merasa takjub sampai sembah sujud kepada orang tersebut. Namun, ketika mereka sudah tidak disukai kembali, mereka akan kembali bersikap seperti tidak pernah tunduk kepada orang tersebut. Buruknya lagi, mereka akan menciptakan rumor dari apa yang pernah mereka lihat, membuat sesuatu yang tidak ada jadi ada dan bisa dipercaya oleh orang lain. Sialnya, hampir semua manusia memiliki sifat seperti itu.
"Hundan," bisikku tanpa didengar ketua klub yang masih sibuk menjelaskan tentang kegiatan klub ini.
Apa yang sebenarnya aku lakukan di sini?
***
Sejujurnya, aku tidak tau kenapa hal seperti ini bisa terjadi. Aku menatap tubuh Olivia Carter, nampak lebih kecil dari belakang dibandingkan dari depan, yang berjalan beberapa langkah di depanku. Mungkin karena kejadian hari itu, di mana Olivia melihatku dikerumuni oleh anak laki-laki di luar keinginanku. Semenjak itu, Olivia selalu menempel kepadaku, memiliki berjuta alasan untuk bersama denganku. Sebagian dari diriku merasa senang karena memiliki tempat untuk berlindung.
"Si anjing penjaga udah jadi bodyguard, tuh. Jijik banget gua liatnya. Langsung tunduk gitu." Seberapa keras aku berusaha untuk berpura-pura tidak mengerti, pada akhirnya aku mengerti apa yang dimaksudkan orang-orang itu.
"Kira-kira si Rachelle marah nggak, ya? Liatin tuh, nurut banget." Perkataan-perkataan seperti itu diikuti dengan tawa mencemooh, namun meski begitu, Olivia sama sekali tidak terlihat terpengaruh. Dia bahkan melirik ke arah mereka dan melemparkan ekspresi layaknya orang jijik.
"Diem lu! Mau dibunuh sama dia?" ucap salah satu dari kerumunan yang ada. Merasa muak dengan semua itu, bukan karena aku juga jadi target pembicaraan, aku memutuskan untuk berjalan di samping Olivia. Bila seperti ini, kami bukanlah seorang pelayan dan tuannya, melainkan seorang teman.
"Rachelle kakak kelas?" tanyaku kepada Olivia.
Mungkin anak tersebut tidak menyangka aku akan memulai percakapan sehingga dia berhenti berjalan. Tubuhnya bahkan menghadap ke arahku sepenuhnya, seperti ingin memastikan kalau aku memang sedang berbicara dengannya. Kerutan di keningnya tumbuh, menambah kesan tidak percaya akan apa yang telah aku lakukan. Bukannya aku bertanya kembali, aku justru mendengus pelan dan jalan mendahuluinya. Dari langkah kaki yang bisa kudengar, kini dia yang menjaga jarak denganku.
Perjalanan menuju kelas kini diliputi keheningan. Olivia, yang awalnya kukira anak banyak bicara, hanya diam saja sampai kami masuk ke dalam kelas. Pandangannya dia edarkan ke sana kemari, layaknya orang ingin memastikan sesuatu. Aku yang melihat kejanggalan ini hanya bisa menonton sampai akhirnya dia membuka loker di belakang kelas. Berbagai sampah dan kertas jatuh di sana, bercak merah juga terpampang jelas.
"Another useless trick," bisiknya sembari membersihkan isi lokernya. Salah satu kertas yang terjatuh itu langsung kuambil. Biasanya aku akan membiarkan mereka melakukan apa yang mereka inginkan, atau jika memiliki masalah biarlah mereka yang menyelesaikannya. Tetapi, ketika mendengar ucapan Olivia, rasanya seperti ada yang menggelitik di dalamku.
"Mati ... sana?" gumamku sambil membaca tulisan di kertas, menggunakan tinta merah juga gambar tangan yang disilet. Belum aku bisa memproses apa yang terjadi, Olivia menarik kertas dalam genggamanku dan membuangnya bersamaan dengan yang lain. "Lu nggak mau ngelawan?"
"Buat apa? Buang-buang tenaga ngomong sama orang yang nggak ada otaknya." Aku merasa yakin kalau saat mengucapkan itu, dia melirik ke salah satu anak yang ada di dalam kelas. Carla mungkin? "Rachelle kakel, kenalan gua."
Ucapan Olivia terasa seperti menggantung, namun dia tidak melanjutkannya dan justru meninggalkanku berada di barisan belakang seperti anak tersesat. Beberapa pasang mata mulai melirik ke arahku dan berbisik-bisik, pasti membicarakan bagaimana aku dekat dengan Olivia. Bukan aku yang ingin dekat dengan anak itu, aku hanya merasa bisa mempercayainya, satu-satunya anak yang cukup benar di dalam kelas yang penuh kegilaan.
Baru saja aku duduk dan membuka buku pelajaranku, salah satu anak perempuan di dalam kelas seketika berbicara dengan suara lantang. Jelas sekali kalau dia berniat untuk didengar oleh orang lain, dan orang lain itu sialnya adalah aku. Rasanya anak tersebut sudah kehilangan akal karena tiba-tiba saja menyebutkan namaku, membuat anak-anak lain di dalam kelas ikut mendengarnya.
"Lu pada tau, kan? Kalo Kak Kiara lagi diterima buat jadi sampul majalah anak-anak remaja?" Suara yang sok dimaniskan berhasil membuatku merasa muak. "Kira-kira RenJiao bakal dapet tawaran nggak, ya? Soalnya kan dia juga termasuk ke beauty blogger."
"Wu RenJiao? Mana mungkinlah! Cuma ngandelin tampang bawaan aja mana bisa? Mentang-mentang merasa beda dari yang lain dia jadi sok superior gitu," tawa temannya. Hal seperti ini bukanlah hal aneh bagiku sehingga aku memutuskan untuk mengambil inpods di dalam tasku. "Tapi badannya boleh juga tuh. Kira-kira bakal tahan berapa ronde, ya?"
Anak-anak lain yang tidak terlibat dalam percakapan tersebut ikut tertawa dan berbisik-bisik, seperti merasa setuju dengan apa yang mereka katakan. Aku tidak boleh kehilangan kendali. Aku masih baru di sini, hal seperti ini bukan hal asing lagi. Jangan sampai aku terpancing oleh mereka. Mereka hanya orang-orang bodoh yang peduli pada perasaan mereka sendiri. Untuk apa aku memikirkan tentang mereka? Benar, seperti kata Olivia, mereka hanya anak-anak tanpa otak. Aku hanya akan membuang-buang tenaga meladeni mereka.
Setelah berusaha dengan sekuat tenaga, aku akhirnya memasang inpods dan menolak untuk mendengarkan ocehan dari mulut-mulut busuk itu. Mungkin aku yang terlalu naif atau anak-anak itu yang tidak peduli dengan yang namanya privasi, mereka justru mengeraskan suara mereka agar terdengar oleh anak yang lainnya. Pastinya, terdengar olehku yang juga sedang menutupi kedua telinga. Sungguh, apa mereka tidak memiliki malu?
"Mentang-mentang udah centang biru sok dingin ke semua cowok. Mirip lah, ya, sama si Raquel. Udah ada Ice Queen, sekarang ada Beauty Queen, gitu?"
"Mungkin gara-gara itu si Olivia terus-terusan sama dia! Karena sama-sama jadi ratu! Kan dia cuma ...."
Aku yang semula mendengarkan percakapan tersebut, sejujurnya tidak ingin tetapi aku penasaran seberapa jauh mereka akan melanjutkannya, langsung tersentak terkejut ketika melihat Olivia melempar tas seseorang. Jelas itu bukan tas miliknya. Bukan hanya sampai di situ saja, dia mengambil tas lain dan melemparnya ke arah anak-anak yang berbicara kasar itu. Aku melirik ke arah Olivia, melihat rahangnya mengeras dan pandangannya menggelap.
Hebatnya, aku dibuat semakin terkejut ketika melihat dia mengangkat kursi yang semula dia duduki, bersiap untuk melemparnya ke anak-anak itu. Suara jeritan dari mereka, juga anak lain, berhasil membuat anak laki-laki di dalam kelas langsung menahan pundak Olivia. Merasa ini juga jadi masalahku, aku akhirnya berdiri di depan Olivia setelah melepas inpods-ku, menatapnya lekat-lekat. Olivia yang ada di hadapanku jelas berbeda dengan Olivia yang aku ajak bicara sebelumnya.
"Bukannya lu sendiri yang bilang kalo anak kayak mereka itu nggak ada gunanya diladenin?" Olivia, masih menggenggam kursi, menarik napas panjang. Aku memerintahkan kedua anak laki-laki yang menahan Olivia untuk melepasnya. "Anak kalo nggak didik baik-baik sama ortunya ya bakal jadi begitu."
Di luar ekspetasi, Olivia tiba-tiba saja melempar kursi tersebut ke samping, somehow melukai dirinya sendiri. "Sialan! Dasar orang-orang gak guna!" Dengan jeritannya tersebut, Olivia langsung pergi keluar dari kelas, tidak peduli dengan anak-anak yang dia tabrak dengan sengaja.
"Kalo ...," mulaiku sembari membalikkan tubuh, menatap anak-anak yang menyebar rumor tidak jelas. "Kalian emang nggak seneng sama gua, nggak usah bawa-bawa orang lain. Itu tandanya lu nggak bisa rendahin gua tanpa bikin rumor nggak jelas. Ngerti?" Aku memiringkan sedikit kepalaku, untuk membuat mereka sadar kalau pada akhirnya, aku akan tetap berada di atas rantai makanan.
"K-kita nggak nyebar rumor, kok!" Keduanya kembali dikejutkan dengan suara yang begitu lantang. Aku mendongakkan kepala dan melihat Revan yang berdiri di depan pintu. "R-Revan? Kenapa ke sini?"
"Dasar cewek-cewek gila ...."
Tidak butuh banyak bicara bagi Revan sebelum dia menarikku keluar dari ruang kelas. Guru yang sepertinya dipanggil karena emosi Olivia sebelumnya sampai terkejut. Bagaimana tidak? Bel tanda masuk sudah hampir berbunyi, tapi aku justru keluar dari kelas seperti tidak peduli dengan hal semacam itu. Bukannya aku ingin ditarik oleh Revan, hanya saja aku takut tidak bisa menahan emosi yang ada di dalam diriku bila terus-terusan menatap anak-anak menyebalkan itu. Apa pun yang terjadi, aku masih manusia yang bisa merasakan sakit.
Revan hanya membawaku ke UKS dan meninggalkanku di sana, berkata dia akan mencari alasan kepada guru dan berbohong kepadanya. Tentu saja pada kesempatan seperti ini aku sama sekali tidak menolak tawaran tersebut. Justru semakin bagus bila aku bisa menjauh dari anak-anak itu untuk waktu yang lama. Selama berbaring di kasur, aku hanya bisa terus memikirkan tentang Olivia. Bagaimana emosinya yang seperti itu sungguh berbeda dengan dirinya yang tidak peduli terhadap dunia luar.
Aku membuka ponsel dengan maksud untuk mengalihkan pikiran, namun ucapan anak-anak itu justru membuatku hilang fokus. Apa di sekolah ini memiliki artis lain? Siapa juga Raquel yang mereka bahas? Sepertinya nama tersebut yang berhasil memancing emosi Olivia. Semakin dipikirkan, sekolah ini justru terasa semakin aneh. As expected dari ibuku yang memilih. Memang aku tidak akan memiliki harapan bila terus mengikuti kata ibu.
Dengan berat hati, aku memutuskan untuk membuka akun yang sedang ramai dibicarakan. Siapa pun yang menggambar komik-komik ini jelas memiliki keahlian. Dia sangat cocok untuk menggambar design baju, membuatku ingin bertemu dengannya. Memperhatikan kotak yang meneruskan untuk mengirim pesan, aku bertengkar dengan diri sendiri, tidak tau apakah aku harus melakukannya atau tidak. Kalau aku melakukannya, apa aku akan terdengar seperti anak tukang mengeluh?
Belum bisa rasa dilemma ini terjawab, aku bisa mendengar suara anak-anak perempuan yang asing, jelas kalau mereka bukan dari kelasku. Bukan hanya satu atau dua anak saja yang masuk, rasanya seperti ada lima di antara mereka. Karena takut ketahuan oleh anak-anak tersebut, tanpa alasan yang jelas, aku menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhku. Dengan begini juga aku bisa mendengarkan percakapan mereka.
"Lu liat si Carter tadi nggak? Gila banget sampe angkat kursi cuma gara-gara bahas soal Raquel. Bener-bener kayak anjing penjaga."
"Kayaknya dia nggak punya malu banget, ya. Dari Raquel terus sekarang ke RenJiao."
Anak-anak itu tertawa keras, merasa puas untuk menghina Olivia saat tidak ada orangnya. "Tapi gua juga jadi penasaran deh. Menurut kalian nih, siapa yang bakal menang di antara RenJiao sama Kiara?"
"Masih dibahas? Aduh, jangan cari gara-gara deh! Udah pasti si RenJiao! Lu nggak inget siapa keluarganya? Mending lu jauh-jauh sama anak kayak gitu. Daripada Kiara, gua lebih takut sama si RenJiao. Inget nggak hari pertama dia di sekolah? Sok tebar senyum manis. Sekarang, belum ada seminggu ... hih!"
Dari ucapan mereka aku sudah bisa menduga kalau mereka sedang bergidik ngeri. Apa itu karena ngeri? Atau merasa jijik? Aku tidak akan bisa membedakan dua hal itu karena tidak melihat ekspresi mereka. Akan tetapi, aku jelas tau maksud dari kata-kata tersebut sama sekali tidak enak. Setelah mengobrol tentang hal lain Selama beberapa saat, akhirnya semua anak itu keluar dari UKS dan tertawa keras, seperti mereka tidak habis melakukan kejahatan.
Tindakan mereka membuatku merasa penasaran. Siapa Kiara yang mereka bahas? Mengapa mereka harus membandingkanku dengan Kiara? Apa yang special dengan anak itu hingga harus membuatku merasa tersiksa seperti ini? Aku datang ke sini bukan untuk menunjukkan siapa yang lebih tinggi. Aku hanya ingin menyelesaikan studiku dalam tenang.
Namun, manusia tidak akan berhenti sebelum mereka merasa puas.
***
"Good day, huh?" Aku yang sedang fokus kepada ponselku langsung mendongak, melihat Olivia duduk sembari menunggu jemputannya. "Sorry soal tadi siang. Gua nggak sengaja ilang kendali. Well, that happends at times."
"Kenapa lu masih ngomong sama gua? Bukannya gara-gara gua ...?"
"Apaan sih lu? Nggak usah sok jagoan! Gua ngomong sama orang yang gua mau, itu bukan urusan lu!" Olivia sama sekali tidak memberikanku waktu untuk berbicara. Dia bangkit dari kursi tempat dia duduk dan berdiri di sampingku. "Gua itu ada utang sama Raquel, jadi jangan salah paham. Gua bukan lindungin lu."
Penjelasan Olivia membuatku mendengus pelan. Mungkin dia bisa membohongi orang lain, tapi rasanya sangat tidak mungkin untuk membohongiku. Selama ini belum ada orang yang bisa membohongiku. Meski begitu, aku membiarkannya lewat untuk kali ini, melihat tangannya yang terluka dibiarkan begitu saja. Pastinya, dia lebih suka untuk menyakiti dirinya daripada membiarkan orang lain memberi luka kepadanya.
"Lu nggak inget siapa gua?"
Pertanyaan mendadak Olivia berhasil membuatku melirik ke arahnya. Aku sekali lagi menatapnya dari atas hingga bawah, tidak menemukan sisi yang bisa kukenali. Meski sudah mengerutkan kening, aku masih tidak tau siapa yang sedang aku ajak bicara ini. Apa aku seharusnya mengenal dirinya? Apa aku seharusnya mengingat dia seperti dalam film-film yang menunjukkan sahabat lama? Semakin keras aku berpikir, semakin aku tidak bisa mengingat siapa anak yang ada di sampingku ini.
"Kenalin, gua Olivia Carter. Does it ring a bell?" Selama beberapa saat aku hanya memperhatikan tangannya yang diulurkan kepadaku sebelum aku sadar apa yang dia maksud. Olivia Carter, anak dari pejabat dengan tahta yang tinggi. Jelas aku tidak ingat karena setauku dia hanya memiliki anak laki-laki. "Ayah gua emang nggak pernah ngakuin gua, tenang aja. Dan sebenernya kalo bisa gua nggak mau ngaku jadi seorang Carter. Tapi siapa yang tau? Gua justru ketemu sama Wu RenJiao, partner kerja ayah gua."
Kerutan di keningku seketika tumbuh semakin dalam. "Lu suka ngajak ribut orang, ya?" Olivia hanya tertawa keras mendengar pertanyaanku tersebut. Dia menggelengkan kepala sembari menatap jalanan yang sudah kosong. Anak-anak lain pastinya sudah pulang mengingat ujian semakin dekat.
"Gua bukan suka cari ribut, kok. Gua cuma menjabarkan kebenarannya. Lu kesinggung, ya?" Nada bicara Olivia kini berubah drastis ketika tau aku sudah sadar akan siapa dirinya. Jelas ini membuatku merasa frustasi. Seorang Olivia Carter yang terkenal begitu menyeramkan justru berusaha untuk merendahkanku. "Sedikit advice dari gua. Kalo lu mau dipuji sama mama lu, kalo lu mau dianggap dalam keluarga lu. At least lu harus jadi yang terbaik, kan? Itu motto keluarga lu. Dan caranya lu harus bisa ngalahin Kiara."
🥀🌠🥀
(02/24/2023)
New chapter!! Gimana nih chapter kali ini? Rusuh-rusuhnya udah mulai balik, tapi Olivia sekarang udah ada pawangnya 👀 kira-kira RenJiao bakal jadi sahabat Olivia atau nggak nih? Nantikan terus update-annya, ya~
Jangan lupa tinggalkan komen, like, and share ke teman kalian! See you next week~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top