Chapter 3 - City Stroll
Olivia's POV
"Sam, gua keluar!" Seruanku membuat Sam yang ada di dapur langsung menyembulkan kepalanya.
"Ke mana?!" tanyanya tidak kalah lantang dari suaraku sebelumnya.
"Keluar!"
Sam terlihat kesal dengan jawabanku yang singkat dan ambigu sehingga dia kembali menyahut, "Trus pengawal lu gimana?"
Sebelum Sam menyelesaikan ucapannya, aku sudah keluar rumah dan membanting pintu keras-keras. Dengan begitu dia pasti tau dan sadar kalau aku sudah tidak ada di rumah dan tidak mau mendengarkan ucapannya lagi. Aku juga sudah tau reaksi apa yang akan dia berikan ketika aku kembali nanti. Bukan hanya cacian saja yang pasti dia lontarkan. Mungkin karena aku sudah terbiasa akan hal seperti itu aku tidak terganggu sama sekali.
Kematian Laurena mengejutkan seluruh sekolah selama beberapa saat, tapi hanya dalam hitungan minggu, semua sudah kembai seperti biasa. Termasuk Rachelle yang nampaknya sudah bisa menerima kenyataan bahwa gadis itu sudah tiada. Berada di kelas dua belas tidak menguntungkan bagi mereka sehingga aku sering kali ditinggal sendirian. Rasanya seperti mereka melupakanku.
Tau aku sendirian saja membuat suasana hatiku semakin buruk. Pemikiranku terus dipenuhi oleh anak yang bernama RenJiao. Dia terlihat seperti anak yang baik, namun di saat bersamaan sungguh mencurigakan. Ada yang aneh darinya meski aku tidak bisa menjelaskan apa yang salah. Mungkin Rachelle bisa menebaknya dengan mudah, mengingatkan kalau dia pintar menilai orang lain.
"Sudah lihat video terbaru RenJiao? Katanya dia akan melakukan tur sekolahnya!"
"Denger-denger dia pindah ke daerah sini, kan? Kalo gitu ke sekolah yang terkenal itu, dong?"
"Bukannya yang paling terkenal itu Cornation? Gua denger taon lalu ada kasus bunuh diri di sana."
Rumor tersebut sontak membuatku menatap anak-anak yang menggosip. Entah dari mana mereka mendengar rumor tersebut. Salah satu dari mereka menyadari tatapanku dan langsung memperingati yang lainnya lalu segera pergi. Di mata orang, pandanganku itu sungguh mengerikan. Padahal, aku hanya menatap mereka biasa saja. Tetap saja ada yang berkata kalau tatapanku seperti ingin membunuh seseorang. Nyatanya, aku tidak pernah memiliki niatan seperti itu.
Karena rasa penasaran yang begitu besar, aku membuka ponsel dan membuka media social yang jarang kusentuh. Aku menulis nama RenJiao untuk menemkannya berada di paling atas dengan akun lain mengatas namakan dirinya di bawah-bawah pemilik akun asli. Tidak sampai di situ, bahkan akunnya memiliki centang biru layaknya dia adalah artis yang besar. Aku memerhatikan postingannya sembari mencari tempat duduk. Banyak dari fotonya adalah foto dirinya dengan keluarganya, tersenyum lebar.
Melihat kedua orangtuanya membuatku merasa yakin kalau aku pernah melihat mereka ketika ayah memaksa kami ikut dengannya untuk makan malam. Tidak heran bila dia jadi seterkenal ini. Sikapnya juga mirip dengan Kiara, bedanya, terlihat jelas kalau dia tidak menyukai kerumunan yang ada. Sedangkan Kiara sungguh menikmati kerumunan dan spotlight yang didapatkan. Perbedaan yang sangat jelas membuat segalanya jadi lebih rumit.
"Huh, another beauty queen." Selama beberapa saat aku hanya bisa memandangi akun social media-nya. Beberapa foto membuatku merasa iri, bagaimana dia masih memiliki ibu dan sangat dekat dengan ayahnya. Tapi, sebagian dari diriku berkata untuk tidak mempercayai apa yang ditampilkan di sini.
"Inget gak sama anak yang main piano di sini?"
"Ih, yang cewek itu, ya? Katanya dia dapet kesempatan buat kontes antar negara, tapi dia nolak!"
Sebuah helaan napas terdengar dari lawannya. "Gila. Kalo gua jadi dia langsung terima!"
Tanpa perlu mendengar nama disebutkan, aku sudah tau bahwa orang yang mereka maksud adalah Rachelle. Semenjak kompetisinya, dia menolak untuk bermain di kota kembali. Dia juga sudah jarang bermain di sekolah, seperti itu mengingatkannya akan sesuatu yang buruk. Tidak ingin mendengar ungkapan aneh mereka lagi, aku bangkit dari tempatku duduk dan menghampiri mereka semua.
"Kalo gitu, lu aja yang ikut," celetukku yang berhasil mengejutkan mereka. "Setiap orang itu beda-beda, Sayang."
Anak yang semula begitu heboh langsung terlonjak. Dia menatapku dengan ganas. "Apa hubungannya sama lu? Emang lu siapanya?"
"Gua siapanya nggak penting, kan? Kalo lu aja nggak bisa hargain orang lain, gimana lu mau dihargain?" Tanpa basa-basi aku langsung menepuk-nepuk pelan kepala anak tersebut sebelum pergi dari sana. Bila aku tinggal di sana lebih lama lagi, entah apa yang akan aku lakukan kepada anak-anak tersebut.
Dunia ini memang tidak pernah adil. Kebanyakan orang, bahkan aku, lebih suka melihat dari satu sisi tanpa mau atau menyadari posisi orang yang bersangkutan. Mungkin saja selama ini Rachelle menolak bukan karena dia tidak ingin menjadi pusat perhatian, bisa saja karena dia yang masih belum bisa menerima kepergian Sony. Aku tidak tau janji apa yang ada di antara mereka berdua, tapi terkesan seperti berhubungan dengan mereka yang bermain musik. Lagi pula, Rachelle lebih hebat ketika bermain biola daripada piano.
Anak-anak tersebut berhasil membuat perasaanku yang sudah buruk kian memburuk. Karenanya, aku memutuskan untuk kembali ke rumah, mengingat jam sudah hampir melewati pukul sepuluh. Sam bisa marah besar bila tau kalau aku pergi terlalu lama. Dalam perjalanan pulang, aku terus mendengar pembicaraan orang di sekitar-sekitarku. Entah membahas masalah hari itu, atau keajaiban yang mereka dapatkan.
Begitu sampai di rumah, aku disambut dengan Sam yang berdiri di depan pintu rumah, dua dari pengawalnya berdiri di belakangnya sedangkan salah satu pengawal yang dikhususkan untukku nampak berdiri di belakang Sam. Ekspresi yang dia berikan tidak kalah mengerikan dari Sam sendiri. Tidak tau harus memberi respons apa, aku memutuskan untuk tersenyum lebar dan menggaruk tengkuk sembari menatap Sam, berharap dia membiarkanku kali ini.
Sam menghela napas panjang dan menarik tanganku. "Kalo lu mau ketemu sama temen lu, bilang. Nggak usah main rahasia-rahasiaan sama gua."
"Iya, iya. Ngerti," jawabku malas sebelum menarik tangan yang digenggam oleh Sam. Tanpa menunggu dia mengucapkan apa-apa lagi, aku langsung masuk ke dalam rumah dan mengunci diri di kamar.
"Via, gua serius! Ayah bisa marah kalo sampe tau lu pergi-pergi lagi!" Sam nampak menggedor-gedor pintuku dengan tidak senang. Tau anak itu tidak akan berhenti, aku memutuskan untuk memasang headphone dan membuka ponselku, memperhatikannya sampai tertidur.
Berbeda dengan malam yang ditemani gedoran pintu dari Sam, pagi-pagi sekali aku dibangunkan oleh ketukan dari pelayan rumah. Sam yang berteriak-teriak tidak bisa dibandingkan dengan pelayan yang memanggilku dengan pelan juga lembut. Bila aku tertidur dengan lelap, bisa diyakinkan kalau aku tidak akan bisa terbangun karena panggilan tersebut.
"Anda sudah bangun? Tuan Carter ... ingin bertemu Anda." Aku mengerutkan kening begitu mendengar hal tersebut.
"Tuan ...? Bukan Sam, kan?" Pelayan tersebut menggelengkan kepala seperti ingin meyakinkan diriku. Bagaimana bisa ayah sudah pulang pagi-pagi begini?
Tanpa kuinginkan, suara erangan kasar sudah keluar sembari aku mengacak-acak rambut. Benar-benar tidak bisa dipercaya! Mengapa laki-laki tua itu selalu berhasil menghancurkan hariku? Masih dengan baju tidurku, aku langsung pergi ke kamar ayah, melirik sekilas ke arah kamar Sam yang masih tertutup rapat. Entah dia masih tertidur atau diam-diam mendengarkan percakapanku dengan pelayan barusan.
"Kau tau sesuatu tentang Protect Cornation, kan?" Pertanyaan tepat sasaran ayah berhasil membuatku mematung di depan pintu.
Helaan napas panjang lolos dari bibirku. "Kalau itu yang ingin Ayah bicarakan, aku pergi."
"Semua orang membicarakannya." Ayah terdiam lama, membuat jantungku terasa berjumpalitan. "Kalau sampai kau terlibat di dalamnya, aku akan segera mengirimmu ke luar negeri. Camkan itu."
Ayah sama sekali tidak menatapku dan berjalan keluar, tidak segan-segan sedikit mendorongku untuk mengingatkan akan kata-katanya. Helaan lain berhasil lolos dari bibirku hingga aku berjalan kembali ke kamar. Tidak peduli seberapa buruk hariku dimulai, pada akhirnya aku harus kembali pergi ke sekolah. Senyum pahit terukir di bibirku sepanjang aku bersiap-siap ke sekolah.
"Via, sarap—" Aku tidak membiarkan Sam menyelesaikan bicaranya ketika berjalan melewatinya untuk langsung menuju mobil yang akan mengantarku pagi ini. "Nanti gua ...."
"Gua mau sendiri."
Nada yang kuberikan begitu ketus sampai Sam diam. Biasanya, dia tidak akan bersikap begitu, menyerah tanpa menggangguku, menandakan kalau dia memang mendengarkan percakapan beberapa jam lalu. Begitu berada di dalam mobil, aku lagi-lagi memasang headphone-ku dan membuka ponsel, memperhatikan satu akun yang selama ini menarik perhatian banyak orang. Perasaan aneh berkecamuk di dalam diriku, sampai rasanya aku ingin kabur saja.
"Udah mati ... masih nyusahin orang lain," bisikku sebelum mengeluarkan aplikasi yang sedang kubuka dan menutup mata.
***
"Davienna bakal ikut akhir minggu nanti," ungkapan Rachelle yang begitu santai dan tiba-tiba berhasil membuatku menyeburkan sushi yang sedang aku kunyah. Raquel yang mendengarnya juga membulatkan mata sebelum akhirnya memasang ekspresi dinginnya lagi.
"Gila?" tanyaku singkat. Rachelle hanya menjawab dengan gelengan kepala. "Gua udah pusing mikirin pelajaran ... ditambah dia?"
"Lu kenal? Nggak, kan? Nggak usah takut. Pun kalo dia mau sebar rumor soal lu, ada Raquel kok."
Raquel yang mendengar namanya disebut sampai kembali membulatkan matanya. Dia menunjuk dirinya sebelum menatap ke arahku dan berganti kepada Rachelle, seperti ingin memastikan dia yang sedang dibicarakan, bahwa dia ada di tempat itu sekarang. Rachelle tentu saja bersikap acuh terhadap respons sahabatnya dan justru makan dengan lahap sambal sesekali memperhatikan ponselnya.
Rachelle memang akan seperti ini bila sudah menetapkan pikirannya akan sesuatu sehingga Raquel juga memilih untuk lanjut makan. Menu kali ini dibawa oleh Rachelle. Keluarganya baru saja bertemu dengan seorang klien dari jepang dan membawakan mereka makanan. Meski terdengar aneh untuk membawa sushi sampai paginya, Rachelle berkata kalau mereka menginap di rumahnya, membuatnya muak pagi-pagi. Alasan tersebut juga menjadi pendorong sikap Rachelle yang berubah-ubah.
"Malem ini sibuk nggak?" Bukannya Rachelle, kini Raquel-lah yang bertanya. Kini Rachelle yang menatap anak tersebut dengan mata membulat. "Gua mau makan frozen yogurt, ikut bareng." Begitu berucap seperti itu, Raquel langsung pergi meninggalkan kami.
Hal seperti ini sudah jadi keseharian kami. Raquel, mungkin merasa muak dengan ibunya, jadi lebih sering mengajak kami pergi bersama. Meski begitu, tentu saja dia tidak akan memintanya dengan cara normal. Setiap harinya dia selalu mengatakannya seperti itu adalah perintah yang tidak bisa dielakkan. Tentunya Rachelle tidak pernah masalah dengan hal seperti ini, dia justru merasa sangat bahagia karena Raquel mulai terbuka dan mau mengajak kami untuk bercengkrama.
Dalam perjalananku kembali ke kelas, aku melihat RenJiao yang dikelilingi oleh banyak anak laki-laki. Terlihat dari ekspresi anak itu kalau dia sama sekali tidak suka dengan keadaan yang ada. Selama beberapa saat aku berpikir untuk meninggalkannya seperti itu, namun belum ada satu langkah aku melewatinya, tubuhku seperti bergerak sendiri. Menarik tangan RenJiao kasar dan mendapat makian dari anak-anak yang bersamanya.
"Woi! Pelan-pelan dong! Kasian itu si RenJiao!" Seruan mereka tidak kuindahkan, aku juga tau lebih baik kalau mereka tidak berani denganku sehingga mereka hanya akan diam saja.
"S-sakit!" rintih RenJiao pelan. Begitu di depan toilet, aku menghempaskan tangannya dan memperhatikan pergelangan tangannya yang mulai memerah. "Kenapa sih? Kalo mau ngomong langsung bilang aja!"
"As if. Just be glad I pull you from there," ungkapku sebelum mencibir kecil dan meninggalkan RenJiao untuk masuk ke dalam toilet.
Seperti yang sudah kuduga, RenJiao memutuskan untuk ikut masuk ke dalam, memperhatikanku yang sedang mencuci tangan. Butuh beberapa menit baginya sebelum dia mengalihkan pandangan dan akhirnya berpura-pura sedang memperhatikan ponselnya, padahal, jelas sekali dari pantulan kaca hal dia hanya berpura-pura. Tawa kecil tidak bisa kutahan melihat dirinya yang canggung, tapi aku membiarkan dia seperti itu.
Ketika aku keluar dari toilet, RenJiao pun mengikuti, dia berjalan di belakangku dan menjaga jarak cukup jauh. Dia seperti menggunakanku sebagai tamengnya agar tidak ada anak yang berani mendekatinya. Bisa dikatakan caranya ini sedikit licik, tapi aku sendiri tidak masalah. Selama dia tidak berusaha untuk mengajakku berbicara atau hal semacamnya, aku yakin semua akan baik-baik saja. Bila dia memerintahkanku, tentu itu baru mengganggu.
Lagi pula,
Apa salah bagiku untuk menginginkan seorang teman?
***
"Pesanan untuk Raquel!" Pada panggilan pertama, Rachelle langsung bangkit dari tempatnya, mengambil kertas di tangan Raquel dan menuju counter. Sebuah buku tebal terpampang di hadapan Raquel, terbuka dengan begitu rapih dan menunjukkan berbagai rumus yang berhasil membuat kepalaku terasa pening.
"Lu udah ngerjain sejauh itu?" celetukku yang merasa tidak percaya. Seperti biasa, Raquel hanya menjawab dengan anggukan kepala. "Bukannya lu bilang mau makan ...?"
Tepat begitu aku bertanya, Rachelle membanting tutup buku tebal tersebut, menarik perhatian dari sekitar kami. "Makan dulu, jangan sampe mencair. Jangan sampe kena buku juga, ya."
Melihat keduanya yang begitu berambisi membuat kepalaku terasa sakit sehingga aku menggelengkan kepala dan buru-buru menyuap yogurt milikku sendiri. Lagi-lagi aku melihat perbedaan di antara Raquel dan Rachelle. Di saat Raquel makan dengan lahap, seperti tidak merasakan apa-apa, Rachelle harus bergidik kecil setiap kali menyuap kara sensasi dingin yang dia rasakan di lidahnya. Aku benar-benar tidak mengerti dengan mereka.
Awalnya kami hanya makan dalam diam, menikmati rasa manis dan juga asam dari yogurt yang kami santap, tapi ketika ponsel Raquel berbunyi, dia segera membuka laptopnya yang sedari tadi ada di dalam tasnya. Rachelle langsung menarik kursinya untuk duduk di samping sebelum aku akhirnya ikut menarik kursi juga. Terkadang, mereka juga sangat merepotkan seperti anak kecil yang butuh perhatian lebih.
"Akun yang ini ... baru, ya?" Rachelle menunjuk satu nama yang sangat aku kenali. "Wu RenJiao? Namanya asing."
"Temen ... sekelas," ucapku tanpa pikir panjang. "M-maksud gua dia ada di kelas gua. Anak baru minggu ini." Rachelle dan Raquel melirik sekilas ke arahku sebelum mengangguk tanda paham.
"Keren ada centang birunya .... Oh, gua denger-denger si Kiara bentar lagi juga dapet centang biru." Raquel mengerutkan keningnya saat aku mengungkapkan kebingungan kami. "Dia yang bilang sih, jadi gua nggak tau bener apa nggak. Ngerti sistem centang biru aja nggak gua." Rachelle mengakhiri kata-katanya sembari terkekeh kecil, berhasil mendapat ekspresi datar Raquel.
Tanpa banyak bicara kami langsung memperhatikan layar yang menunjukkan berbagai pesan masuk. Raquel dengan lihainya memilih orang-orang yang memang membutuhkan penangan cepat, secara respons kebanyakan dari mereka justru bertanya kepadaku. Setelah semua selesai, kedua anak itu langsung membereskan barang-barang mereka saat Rachelle tiba-tiba saja menyerahkanku uang dan berkata untuk membeli es krim agar kami bertiga bisa memakannya dalam perjalanan pulang.
Kejadian seperti ini lagi-lagi bukan hal yang aneh. Rachelle yang sering memanjakanku dan Raquel, Raquel yang mengajak kami kumpul bersama, serta aku yang seperti suruhan mereka. Bukan berarti aku merasa keberatan akan itu. Hanya saja semua terasa aneh. Kami yang dulu memegang prinsip tidak akan mempercayai satu sama lain, menjadi satu hanya karena beberapa alasan, kini justru seperti seorang teman sungguhan. Atau sebenarnya kami sudah menjadi teman tanpa sadar?
Perjalanan pulang kami juga ditemani dengan suasana hening. Setiap kali aku melirik sekilas ke arah Raquel, aku bisa melihat pantulan cahaya dari kalungnya. Kini Raquel sudah tidak begitu membenciku, perihal menghentikan Sony. Aku bahkan tidak sadar semuanya sudah baik-baik saja setelah semuanya sudah selesai. Rachelle tidak pernah menyalahkanku, dia sendiri akan belajar untuk menerima kepergian Sony. Sedangkan Raquel sebenarnya tau kalau aku tidak pernah salah.
Kami hanya butuh pelarian untuk semua ini.
"Piano ...," celetuk Raquel tiba-tiba. Kami berdua mengikuti arah pandangnya, melihat piano yang diletakkan di tengah kota untuk dimainkan siapa saja. Ini adalah kali pertama bagi Raquel untuk melihatnya, dia tidak pernah diperbolehkan untuk pergi tanpa ada pemberitahuan.
"Mau gua mainin?" sahut Rachelle yang menatap piano dengan ekspresi sendu. "Gua ... juga udah lama nggak main."
"Terakhir waktu itu, ya." Kata itu jelas merujuk ketika Rachelle memenangkan kompetisi. Dari sana ayahnya tau kalau Rachelle bermain piano kembali dan menyakitinya habis-habisan. Jika bukan karena kami berdua yang menginap, Rachelle sudah pasti akan masuk rumah sakit untuk waktu yang lama.
"Lu pada kenapa sih?" serangku lantang. "Kalo mau main ya tinggal main! Kenapa harus diberentiin sama orang? Bukannya ... Sony ... juga suka kalo lu pada main?!" lanjutku terbata-bata. Dengan cepat aku langsung mengangkat dagu tinggi-tinggi, merasa canggung dengan keadaan yang ada. Tiba-tiba saja aku mendengar kekehan Raquel serta Rachelle yang menahan tawa.
Ketika aku menatap mereka, sebuah senyuman lebar terlihat di masing-masing wajah mereka. "Iya, itu mah lu banget. Bapak lu udah suruh berenti taekwondo, lu masih lanjut. Sony juga ... pasti nggak suka kalo gua berenti gara-gara dia, kan?" Rachelle tersenyum lebar, sebuah senyuman yang dapat dirasakan ketulusannya.
Dan senyuman itu ditujukan untukku.
Seorang Olivia Carter.
🥀🌠🥀
(02/17)2023)
Dan POV terakhir kita kembali dipertemukan oleh Olivia Carter! Siapa yang kangen sama karakter ini? 👀 Kira2 ada yang bisa nebak hubungan Olivia sama RenJiao ke depannya? Ada juga yang tau hubungan Olivia sama Protect Cornation? 👀
Sejauh ini, bagian mana yang paling bikin penasaran dan juga greget? Bagian mana juga yang paling kalian suka? Yuk tinggalkan di kolom komentar!
Anyway, jangan lupa tinggalkan vote, komen, dan share ke temen kalian, ya! See you next update and enjoy~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top