Chapter 2 - New Recruitment

Gina's POV

"Woi!" Aku menarik lepas headphone yang digunakan oleh Kiara, mendapat ekspresi tidak senang darinya. "Udah kerjain tugasnya belom?"

"Males. Minta sama anak laen aja. Dikumpulinnya masih besok kok."

"Justru itu!" Seruanku tidak digubris oleh Kiara. Dia justru menggunakan kembali headphone-nya dan membaringkan kepala di atas meja.

Sikapnya yang seperti ini sudh berlangsung semenjak awal masuk sekolah. Dia selalu menghindari konfrontasi. Stephanie yang tidak pernah bersama kami lagi—lebih jarang dari biasanya—berhasil membuat Kiara merasa tidak tenang. Mungkin sebagian dari dirinya merasa kalau kematian Rena adalah salahnya. Dia juga selalu bertanya kepadaku apa mungkin aku juga merasa bersalah atas apa yang menimpa gadis tersebut.

Aku hanya memiliki satu jawaban untuk itu. Ini semua bukan salahku. Kematian Rena bukan karena salahku atau perbuatanku. Mungkin mereka akan melihatku sebagai pem-bully, tapi aku tau mereka juga berpikir sama. Mereka adalah orang-orang yang juga membuat Rena merasa depresi. Aku juga tau batasan, aku tidak akan membuat orang lain sampai ingin bunuh diri. Dengan begitu, orangtuaku yang justru akan bermasalah.

"Dav, kantin yuk!" Mendengar nama anak baru disebut membuatku menatap ke arahnya. Dia adalah pindahan saat awal semester, dari data yang kudapat ayahnya memiliki cabang baru di daerah sini sehingga satu keluarga pindah untuk mengurus usaha tersebut.

"Duluan aja. Masih ada kerjaan." Anehnya, aku tidak bisa menemukan apa-apa lagi tentangnya, seperti jejaknya tidak pernah terekam. "Kenapa ngeliatin gua? Kalo ada masalah bilang, gak usah sok jadi pengecut!"

Butuh beberapa waktu bagiku untuk sadar kalau Davienna—nama anak itu—sedang berbicara kepadaku. Aku langsung mendengus sebagai respons dan berucap, "Gua punya mata, gua punya hak buat ngeliatin apa pun yang gua suka."

"Beneran? Tapi kayaknya lu ada masalah tuh sama gua. Kalo iri, bilang aja. Losers."

Davienna langsung menutup bukunya dengan suara bantingan keras, beberapa anak sampai terkejut ketika mendengarnya. Dia langsung pergi meninggalkanku tanpa menatap ke arahku untuk terakhir kalinya. Sikapnya yang arogan meski anak baru sungguh menyebalkan dan memuakkan. Pastinya dia berpikir kalau dia bisa mengambil alih sekolah ini atau semacamnya, menjadi pusat perhatian semua orang. Sayang untuknya, Raquel dan Stephanie sudah menempatinya.

Mungkin aku memang tidak menyukai sikapnya yang seperti itu, namun aku merasa kalau dia akan cocok jika bergabung denganku. Dan dengannya, dia juga bisa mendapatkan spotlight yang selama ini dia dambakan. Di dalam kelas tanpa ada Rachelle atau Raquel, pastinya akan lebih mudah bagi kami. Dia tidak harus takut menjadi bahan bully, menjadi sasaran empuk anak-anak kelas lain.

Karena tau aku tidak memiliki pekerjaan lain, ditambah aku tidak memiliki nafsu makan, kuputskan untuk berdiam diri di kelas. Tak lama, aku melihat Cindy yang masuk ke dalam kelas kami. Dia yang terus menangis ketika pemakaman Rena kini sudah tersenyum dengan lebar. Ekspresi yang dia berikan sekarang sama sekali tidak menunjukkan adanya penyesalan. Jika dia tidak menyesal, mengapa aku harus?

"Eh, ada yang liatin lu tuh." Atas ucapan tersebut, Cindy mendongakkan kepalanya dan menatap sekitar sebelum bertatapan denganku.

"Kenapa? Nggak seneng gua liatin?" sahutku tanpa pikir panjang. Cindy terkenal karena tidak peduli ada pem-bully-an, namun bukan berarti dia sasaran yang mudah dijebak seperti Rena. "Kalo nggak seneng tinggal bilang, nggak usah sok jadi korban," kekehku sebelum berjalan keluar kelas.

Dalam perjalananku keluar, aku tidak lupa untuk menabrak pundak Cindy keras-keras untuk membuatnya sadar. Dia yang merasakan dorongan dariku terdengar mendengus. Meski begitu, dia masih tidak melakukan apa-apa dan hanya berdiam diri. Tau dia tidak mungkin melakukan hal aneh, aku langsung lanjut berjalan keluar kelas untuk melihat Davienna yang mengobrol di depan kelas sebelah, tersenyum begitu lebar besama Rachelle.

"Kalo lu ada kesusahan bilang aja. Nnati gua yang bantu bujuk si Raquel buat belajar bareng. Sekalian si Olip juga ikut, gak papa, kan?"

"Anak kelas sebelas?" Jelas dari nada Davienna kalau dia sama sekali tidak takut dengan Olivia. Sebagai jawaban, Rachelle mengangguk. "Well, gua gak punya hak buat larang kalian karena gua yang jadi intruders dalam lingkungan kalian. Fit yourself."

Davienna tidak menunggu balasan dari Rachelle dan langsung pergi. Dia sempat melirik ke arahku dan terlihat mendengus kecil seperti Cindy baru saja. Reaksi seperti itu jelas menarik perhatian Rachelle karena dia langsung menatap ke arahku. Sebuah senyuman kecil langsung terlihat begitu dia mneyadari kalau aku yang ada di sini. Tidak ada lagi yang perlu kulihat, aku segera berjalan melewatinya.

"Kesel, ya? Kok Davienna mau ngobrol sama Rachelle tapi sama gua nggak. Sadar nggak sih lu, kalo nggak semua hal bisa nurut sama lu? Sejak Laurena meninggal fame lu turun, kan?"

"Gak ada urusannya sama lu." Balasanku berhasil membuatnya terkekeh. "Gak usah ikut campur urusan gua."

Rachelle menggelengkan kepalanya. "Yeah, yeah. Gina always the best."

Rachelle menepuk-nepuk pundakku dan masuk ke dalam kelasnya. Terlihat dari wajahnya yang berseri-seri kalau dia senang dengan keadaanku sekarang. Mengapa hanya aku yang harus menanggung semua beban dari kematian Rena? Rachelle dan timnya yang lebih dulu melewati batas. Terlebih, Rachelle lah yang menemukan jasad Rena. Tapi lihat dia sekarang. Dia bersikap seperti tidak ada yang salah dengan semua itu!

Kekesalanku membawa diriku menuju toilet dan langsung membasuh wajah. Melihat pantulan diriku yang basah seperti itu anehnya berhasil membuatku tenang. Belum aku bisa merasa tenang, dari salah satu bilik terdengar beberapa anak yang mengobrol, lebih tepatnya menggosip. Tidak perlu bertanya untuk tau siapa yang mereka bicarakan karena dengan jelas mereka menyebutkan namaku keras-keras.

"Si Gina. Gua sih heran, ya. Sampe ujian tengah semester masih bisa tahan. Gua kira dia bakal pindah duluan gara-gara takut."

Temannya tersebut terkekeh. "Emang! Mana dia selalu sok deket lagi sama si Davienna. Untung Stephanie udah gak mau deket-deket mereka lagi. Kiara aja udah males, kan? Rasain tuh. Sok jagoan sih!"

"Setuju banget gua!"

Pembicaraan mereka membuatku menunggu sampai anak yang menyebutkan namaku itu keluar. Begitu dia membuka pintu dan bertatapan denganku, tubuhnya langsung lemas dan hampir terjatuh. Suara gaduh yang dia ciptakan membuat temannya ikut keluar. Tau bahwa aku yang berdiri di balik pintu, lagi-lagi temannya tersebut ikut terkejut. Sebuah senyum dapat kuberikan kepada mereka sebagai balasan. Ini adalah ganjaran untuk orang-orang seperti mereka.

"Udah puas ngomongin orangnya? Kalo punya pendapat, jangan sampe ngehasut, ya, Sayang."

Tanpa menunggu mereka menjawab dan sudah merasa puas dengan segalanya, aku langsung kembali ke kelas. Pergi keluar sama sekali tidak ada untungnya dan hanya membuat mood-ku semakin buruk. Bahkan dalam perjalananku kembali, orang-orang menatapku seperti aku adalah pembunuh. Mereka yang seperti itu sungguh menjijikkan. Tanpa sadar mereka juga termasuk pelaku.

Hingga jam pulang sekolah tiba, tidak ada lagi masalah yang harus aku hadapi. Mungkin anak-anak yang menggosip di kamar mandi sudah menyebar info bahwa aku akan mendengar omongan mereka sehingga mereka memiliih untuk diam saja. Kiara yang sudah selesai mendengarkan pengumuman juga langsung bersiap-siap untuk pulang. Dengan headphone terpasang, dia menyampirkan tasnya hanya pada satu pundak saja.

"Gina," panggil suara yang berhasil membuatku merasa muak. "Jangan pulang dulu." Aku membalikkan tubuhku untuk melihat Carla yang masuk dari pintu belakang. Karena tindakannya, sebelum aku bisa memanggil Kiara, dia sudah berjalan keluar kelas tanpa menoleh ke arahku sedikit pun.

Fakta ini berhasil membuatku merasa lebih kesal dari yang sudah kurasakan. "Kenapa lagi? Gak liat gua sibuk?"

"Lupain soal Kiara. Ada yang lebih penting. Stephanie! Kak Stephanie! Katanya dia gak bakal ikut mulai minggu ini!"

"Maksudnya?" Mendengar nama Stephanie disebut menarik perhatianku seluruhnya.

"Stephanie, dia udah gak bakal ikut meeting!"

Carla berdecak kesal sebelum mengacak-acak rambut pirangnya. Dalam rasa kekesalan dan kebingungan, sebuah tawa kecil terdengar. Kami berdua mengalihkan pandangan untuk melihat Davienna. Berbeda denganku, Carla tidak menyukai Davienna. Katanya dia terlalu kasar dan semena-mena, bila dia bergabung tidak akan ada yang bisa mengontrolnya.

"Oh, sorry, gua ganggu, ya?" Davienna terkekeh kecil lagi. "Abisnya yang kalian omongin kayaknya seru. Stephanie? Si ketua kesiswaan itu? Kumpulnya sama kalian? Wah, ternyata anak-anak di sini lebih hebat dari perkiraan. Daripada fokus sama hal-hal yang gak guna, mending lu ngikutin hal yang lebih guna. Kayak akun sekolah itu."

Davienna tidak mengatakan apa-apa lagi, bahkan tidak bereaksi ketika Carla melayangkan tinju ancamannya. Semenjak kematian Rena, memang ada satu akun sekolah yang menarik perhatian banyak anak. Bahkan aku pun mengikutinya menggunakan akun kosong. Karena akun itu, sangat sulit bagiku dan yang lain untuk membuat semua anak tunduk. Padahal, aku hanya ingin orang lain mendengarkanku.

Ucapan tersebut membuatku mengeluarkan ponsel dan membuka akun tersebut. Dengan nama Protect Cornation, hampir setiap harinya mereka mengirimkan kata-kata untuk menyemangati orang lain. Orang-orang di balik layar juga mneyediakan konsultasi gratis bagi mereka yang membutuhkan. Dan hari ini, mereka membuat postingan baru yang dikirimkan beberapa menit lalu.

"Jangan jadikan momen ini akhir dari cerita kalian, tapi jadikan akhir dari chapter dan memulai lembar yang baru. Jennifer Betts," Carla membacakannya tanpa nada antusias. Jelas sekali dia merasa terganggu dengan keberadaan akun ini.

"Apa mereka sedang bercanda?"

"Oh ... kayanya," mulai Carla dengan ragu. Dia bahkan melirik ke arahku sebelum berlanjut, "Beberapa gambar yang di-post itu gambarnya Rena."

Mendengar nama itu membuatku tersentak. "Rena? Laurena Lloyd?"

Carla hanya mengangguk sebagai balasan. Ekspresinya mengeras seperti dia sedang beradapan dengan Olivia. Melihatnya seperti itu menjadi tanda bahwa dia tidak menyukai ini sama sekali. Karena merasa frustasi, akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan Carla dan mencari Stephanie. Fakta bahwa dia tinggal di asrama adalah hal yang baik.

Beberapa anak tampak mengenaliku ketika menuju ke asrama. Untungnya tidak ada perubahan kamar meski mereka naik tingkat sehingga aku bisa langsung bertemu Stephanie di dalam kamarnya. Dia juga tidak terkejut melihatku, bahkan seperti dia sudah mengantisipasi kedatanganku ini. Senyuman mencemooh terlihat di bibirnya. Tentu saja dia akan bersikap begitu karena hanya ada kami berdua di sini.

"Carla udah bilang?" Stephanie tidak menunggu jawabanku dan mengangguk tanda mengerti, pastinya membaca raut wajahku. "Apa susahnya sih buat stay low? Lu juga bisa naikin nilai lu, kan? Makin pinter, orang-orang bakal merhatiin lu. Katanya muak sama Raquel?"

"Kenapa lu mau berenti? Apa karena lu udah punya posisi di kesiswaan? Inget, Steph, lu ada di sini gara-gara siapa? Lu yang cuma anak biasa bisa masuk karena siapa?!"

Ucapanku berhasil membuat Stephanie melempar buku terdekat ke arahku. "Iya. Gua emang cuma anak biasa. Tapi karena semua rencana gua, lu jga bisa ada di posisi ini. Masih gak inget apa yang lu lakuin pas SMP? Perlu gua ingetin?"

Tau bahwa Stephanie memegang kelemahanku berhasil membuatku bungkam. Nampaknya aku yang kewalahan adalah kepuasan tersendiri bagi Stephanie. Dia tertawa keras sampai mengusap air mata yang keluar. Baru setelah beberapa saat dia berhenti dan menghela napas panjang. Tanpa mengatakan apa-apa, dia langsung menyiapkan buku-bukunya.

"Oh. Harusnya lu bersyukur karena Laurena udah gak ada. Gara-gara dia semua rencana itu gagal, kan? Rencana ... buat mendominasi sekolah. Bocah banget."

"Protect Cornation. Lu tau siapa yang ngurus itu, kan?"

Stephanie berbalik dan menatapku galak sebelum tersenyum. "Mau tau siapa yang nyebar gambar Laurena? Udah tau ya kalo cuma gua yang punya gambar dia?"

Pengakuan Stephanie yang tiba-tiba membuatku melangkah mundur. Selama ini tidak ada dari kami yang tau apa hobi Stephanie, namun dia yang merupakan ketua dari kesiswaan akan dengan bebas memiliki akses akan semua murid. Sebelum aku bisa merespons ucapan Stephanie, teman sekamarnya masuk. Terlihat dari tatapannya kalau dia tidak menyukai keberadaanku dan berharap agar aku cepat menjauh dari Stephanie.

Tau aku sudah berada di ujung tanduk, akhirnya aku memutuskan untuk pergi, hanya untuk sekarang. Aku tidak akan membiarkan Stephanie berlagak semaunya. Dia bisa ada di posisi ini karena bantuanku. Lalu sekarang dia mau menyombongkan diri seakan-akan semua adalah usahanya? Memang, semua manusia yang rendah itu tidak akan berubah. Begitu mendapat kekuasaan, mereka akan bersikap semena-mena. Seperti kacang yang lupa akan kulitnya.

***

Aku yang biasanya selalu datang pagi ke sekolah berusaha untuk datang lebih siang dari biasanya. Setelah beberapa bulan mengenal Davienna, aku sekarang tau pola kedatangannya. Dia tidak peduli bila dia terlambat datang, namun bila ada ujian, dia akan datang sangat pagi. Selama ini, dia selalu datang ketika bel berbunyi, karenanya aku berusaha mengikuti jejaknya.

"Gak mau lari?" tanyaku kepada Davienna yang tepat di sampingku. "Bentar lagi bel bunyi, lho."

"Gua ada urusan sama guru. Kalo mau lu aja duluan." Sesuai dengan perkataannya, dia langsung menuju ruang guru di lantai satu.

"Sialan," gerutuku sebelum berlari menuju kelas. Lorong yang ramai menyulitkanku untuk bergerak bebas sehingga tanpa sengaja menabrak seseorang. "Kalo jalan tuh pake mata! Jangan asal nabrak!"

Semburanku membuat anak yang menabrakku terkekeh. "Kalo gua sih jalan pake kaki, ya. Mata itu buat ngeliat."

Hanya mendengar nadanya bicara saja semua akan tau itu siapa. Raquel yang terlihat bad mood memandangku rendah, seperti menganggapku sebuah hama. Semenjak kejadian di kelas dulu, dia tidak pernah menutupi kalung yang dia miliki. Tanpa segan Rachelle juga mengumumkan kalau Sony, kakaknya, adalah sahabat Raquel sampai sebelum dia meninggal. Sesuai ekspetasi, dia mengecualikan alasan Sony tiada, menambah beban pekerjaanku.

"Nunggu apa lagi? Ambil buku gua!" Otomatis aku menatap ke lantai dan melihat buku-buku yang berserakkan. Mengamati bukunya membuatku mendengus kesal. Dia pikir dia siapa yang bisa seenaknya memerintah orang lain?

"Kenapa? Kan lu yang jatohin. Lu juga yang nabrak gua. Minta maap aja ngga, ngapain gua bantu lu?"

"Kayaknya lu juga harus pake kacamata kayak Carla biar bisa ngeliat siapa yang nabrak."

Tiba-tiba saja tangannya terangkat. Awalnya aku mengira dia akan bermain fisik, nyatanya dia menahan Rachelle untuk berjongkok dan mengambil buku-bukunya. Dia juga tidak segan memicingkan matanya ke arahku, seperti ingin mengancam. Raquel yang irit bicara sudah kembali dan sedang memerintahkanku dengan pandangannya yang memuakkan. Semua orang akan ketakutan melihat pandangannya, tapi tidak denganku.

Beberapa menit berlalu tanpa ada dari kami yang berbicara atau bergerak. Raquel seperti sudah benar-benar membulatkan pikirannya, bahwa ia tidak akan mengambil bukunya. Meski bel sudah berbunyi, Raquel masih terdiam. Rachelle juga tidak melakukan sesuatu dan hanya menurutinya. Anak-anak di sekitar mulai merasa gelisah, tau kami sama-sama keras kepala.

"Masih gak mau ambil? Ternyata ego lu gede juga, ya. Oh, bukan. Topeng lu itu tebel banget."

Ucapan Raquel membuatku marah. Belum aku bisa menyerangnya kembali, seseorang menyela kami. "Guru udah mau naek. Gak usah sok jagoan di depan kelas."

Aku menundukkan kepala dan melihat Davienna yang memunguti buku Raquel. Melihat tamu yang tidak diundang ini membuat Raquel menurunkan tangannya. Dengan segera Rachelle membantu Davienna mengambil buku Raquel. Keduanya bangkit di saat bersamaan, namun saat Rachelle menyimpan buku untuknya sendiri, Davienna memberikannya kepada Raquel dan memutar tubuh agar bisa berhadapan denganku.

Butuh beberapa saat bagiku untuk sadar, ucapan Davienna yang barusan bukan ditujukan untuk Raquel melainkan aku. Setelah sadar, lagi-lagi aku mendengus keras. Bila sudah seperti ini, jelas sekali kepada siapa Davienna memihak. Jika aku sampai membiarkannya, hanya kekacauan yang akan kudapat. Tapi, Davienna juga tau betapa besar pengaruh Raquel di sekolah dan merasa superior.

"Kenapa? Kalah jumlah jadi takut, ya? Ke mana sahabat lu? Siapa namanya? Ah ... Kiara. Kok, sendirian aja?"

"Gak usah sok ikut campur!" omelku.

"Gua punya hak buat ikut campur, katanya lu mau masukin gau ke dalam circle lu, kan? Tapi nyatanya, lu cuma sendirian!"

Ucapan Davienna berhasil membuat darahku mendidih. Tanpa pikir panjang, aku langsung merangsek maju dan siap menamparnya. Belum bisa tanganku menyentuh wajahnya, seseorang menghentikanku. Bukan Rachelle karena dia memiliki ekspresi yang begitu terkejut. Juga bukan Stephanie yang selalu menghentikan masalah kecil seperti ini. Melainkan Kiara.

Berbeda dari biasanya, Kiara memasang ekspresi yang begitu marah kepadaku sambal menggenggam pergelangan tanganku kuat-kuat. Dia mendengus kecil sebelum melempar tanganku asal. Perlahan-lahan dia mendekatiku sampai kami berhadapan sangat dekat. Headphone-nya tergantung di leher, dia juga mengenakan hoodie di balik jasnya. Dengan posisi yang begitu dekat, dia berbisik supaya hanya aku yang mendengar ucapannya.

"Kalo lu punya masalah, jangan bikin gaduh. Udah cukup lu dituduh bunuh Rena. Jangan sampe gara-gara sifat egois lu, semua orang kena."

🥀🌠🥀

(02/10/2023)

Next chapter! Dan kali ini kita ditemukan dengan Gina, which means, akan ada close up pemikiran dan juga pandangan Gina, orang yang dibilang sebagai pembunuh dari Laurena 👀 ada yang bisa tebak apa hubungan Laurena sama Stephanie? Ada juga yang bisa tebak siapa di balik Protect Cornation? 🌚👀

Jangan lupa tinggalkan vote, komen, dan share ke teman kalian, ya! See you next update~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top