8. Tolong Yang Tegas

Kejujuran adalah landasan utama dalam memulai serta menjalani segala hal
.
.
.

Mahika menggersah pelan. Sejak tadi menahan amarah yang meletup-letup di dasar hati. Ingin sekali erupsi murka menghantam seseorang yang mengharapkan perhatian dari suaminya. Rapalan istighfar akhirnya jadi pilihan untuk dia melampiaskan kekesalan.

Dia boleh merasa cemburu, kan? Perempuan mana yang tak akan jealous melihat mantan pacar suaminya masih terus merongrong, ingin dekat, padahal laki-laki yang dikejar sudah memiliki kehidupan lain, memiliki istri yang wajib dijaga perasaannya. Pun dengan Mahika. Kesabarannya seharian ini diuji dengan kedatangan Airis.

Andai perempuan muda itu datang dengan niat baik, ingin menyambung silaturahmi, pasti Mahika tak akan sekesal sekarang. Namun, Airis datang membawa bara masalah. Terang-terangan ingin merengkuh Nata kembali tepat di hadapan Mahika. 

Magrib baru saja pamit. Mahika duduk di sisi ranjang, masih memakai mukena, tatapannya menerawang langit-langit kamar. Ada sesuatu yang mengganjal hati sejak tadi. Kenapa bisa tiba-tiba Airis datang ke tempat kerja Nata, kalau tidak didahului dengan saling kontek. Mahika menggeleng sendiri atas pikiran buruk yang barusan melintasi benaknya. Masa iya, Nata di belakangnya menyimpan secuil kebohongan?

Mahika kembali beristighfar. Segera ditepisnya prasangka buruk itu.

"Sayang, melamun?" Suara Nata menyambangi rungu Mahika. Perempuan itu tergeragap akibat rasa kaget. Kapan Nata masuk ke kamar mereka? Kenapa laki-laki sudah ada di sisinya saat ini?

"Mas, kok enggak salam sih?" Protesan Mahika mendapat cubitan pelan di pipinya dari Nata. Lelaki itu masih mengenakan atribut salat lengkap ; sarung tenun warna biru pirus, baju koko putih, dan peci songkok hitam.

"Sudah Sayang, salam dua kali, tapi enggak ada jawaban," sahut Nata sembari menatap mata sang istri. Mahika ber-oh-pendek.

"Mas, boleh saya tanya sesuatu?" Mahika telisik raut Nata saat melontarkan tanya. Suaminya memberinya anggukan.

Nata berdiri, tanganya terulur pada Mahika, menghelasang istri duduk di sofa agar obrolan keduanya lebih santai dan nyaman.

"Tanya apa?"

Mahika duduk gelisah. Beberapa kali mengubah posisi duduk sebab disergap rasa rikuh. Mau bertanya seputar Airis, tapi bibirnya seakan terjahit rapat, enggan bersuara - takut Nata tersinggung.

"Mahika, mau tanya tentang apa, Sayang?" Nata bertanya keheranan. "Katakan Sayang, kalau ada mengganjal di hati kamu, bilang saja, enggak pa-pa." Pengimbuhan sang lelaki memicu keberanian Mahika.

Mahika menghela napas sebelum memproduksi kalimat. "Mas Nata enggak pernah cerita kalau punya mantan kekasih?"

Nata pulas tengkuk. Mendadak disergap rasa bersalah pada Mahika. Dia pikir, setelah mendengar statement Mahika tentang masa-lalu, yang tak perlu dikisahkan kembali, dibuka gemboknya untuk sekadar diperdengarkan pada orang lain, makanya Nata memilih menyimpan rapat-rapat semuanya. Dalam Islam, pacaran itu dosa, kan? Makanya Nata tak mau mengatakan pada sang istri, agar Mahika tak perlu dihantui prasangka.

"Maaf ya, saya pikir itu sudah masa lalu, tidak perlu lagi diceritakan kembali. Lagian saya malu sama kamu, zaman dulu, sebelum ketemu kamu, dan menjalani hidup dengan lebih baik, saya ini banyak berbuat dosa, Mahika, pacaran, suka ikhtilat, makanya saya enggak mau sampai kamu ilfeel kalau dengar cerita masa lalu saya." Nata duduk menyerong, menatap lekat manik Mahika ketika bicara. Membaca gelagat sang istri yang hanya bergeming, Nata ambil jemari Mahika untuk dia genggam.

"Memang benar Mas, masa lalu tak perlu dikisahkan kembali, apalagi yang menyoal aib dan dosa. Tapi, setidaknya kamu bisa membagitahu, bahwa saya bukan yang pertama buat Mas Nata." Mata Mahika memejam. Saat mengatakannya ada sengatan aneh yang menjalar di hati. Sakit. Namun, dia tak tahu kenapa harus merasa demikian.

Nata menggeleng tegas. "Bagi saya kamu tetap yang pertama, Mahika. Bukankah hubungan yang diridho itu yang dimulai dari saat akad dihelat? Hubungan yang diberkahi, didoakan banyak orang dan malaikat. Buat saya, yang lalu tidak dihitung, hanya masa kini dan masa depan." Nata berujar dengan intonasi serius.

Mahika setuju dengan penggambaran Nata barusan, tapi entah kenapa hatinya belum merasa lega.

"Maaf kalau terkesan enggak percaya sama Mas Nata." Mahika merunduk. Wajahnya yang dibingkai mukena menacra sendu, dia sembunyikan dengan mengalihkan tatapan pada lantai tempatnya berpijak.

"Enggak sama sekali, Mahika. Justru saya yang harus minta maaf, karena kejadian tadi siang, pasti sangat sulit buat kamu. Maaf sudah bikin kamu kecewa."

Gelengan Mahika. "Saya enggak kecewa sama Mas Nata, Wallahi, hanya merasa kalau ada satu hal yang harusnya bisa dilakukan." Mahika berpikir, tak ada sapa jika tak ada api. Jika Nata tak menanggapi apapun yang diperbuat Airis, pasti lama kelamaan perempuan itu akan bosan sendiri mengejar-ngejar Nata. Jadi, Mahika harus meminta suaminya untuk mulai bersikap tegas jika besok atau lusa Airis datang kembali menemui Nata.

"Apa itu, Mahika? Jika ada yang bisa saya lakukan buat kamu, biar kamu tenang, pasti akan saya lakukan."

"Mas Nata serius?"

Anggukkan Nata mencuat dibarengi tatapan lekat terpancang ke dalam sepasang manik Mahika. "Serius, Sayang."

"Jauhi Airis, Mas! Jangan tanggapi apapun ajakannya, blokir nomornya, dan jangan pernah kasih atensi apapun sama dia, entah itu karena dia sedang sedih, atau butuh bantuan, lebih baik Mas Nata minta orang lain buat bantuin dia." Mahika menakar eskpresi Nata. Lelaki itu bergeming sejenak, belum merespons apapun kalimat sang istri.

"Mas Nata harus bisa tegas." Mahika dibuat gemas sekaligus mencelus gara-gara diamnya Nata. Kenapa tak langsung mengiyakan pintanya? Harus perang batin dulu ya, untuk bisa mengabuli permintaan yang Mahika sebutkan.

"Tolong Mas. Tolong yang tegas saat berhadapan sama Mbak Airis." Mahika mengiba pinta. Dia tak butuh beribu janji manis, tapi kesungguhan dan tindakan nyata agar bahteranya yang baru berjalan seumur jagung ini bisa terus melaju tanpa banyak hambatan. Perjalanan masih akan sangat panjang. Keduanya tak akan pernah tahu, misteri apa yang menghadang di depan nanti. Kalau bisa diminimalisir, kenapa tidak?

Nata memberi anggukan tegas. Lelaki itu beranjak, kakinya mendekat pada nakas - tempatnya meletakkan ponsel. Nata raih hapenya, membawa kembali pada Mahika.

"Maaf karena saya sudah menyimpan semuanya sendiri. Demi Allah, enggak ada niat lain, kecuali enggak mau bikin kamu kecewa, Mahika." Nata mengetuk aplikasi perpesanan. Pada barisan teratas muncul chat dari nomor tanpa nama. Mengkliknya, lalu menyerahkan pada sang istri untuk dibaca Mahika.

Mahika mengamati beberapa pesan masuk. Dia refleks menekap mulut. Benar dugaannya, tak ada asap kalau tak ada api yang menyulut. Nata tidak jujur sejak awal dia mendapat pesan dari Airis.

"Airis dapat nomor saya dari Rakha. Saya kubur semuanya tentang dia dari sebelum kenal kamu, Mahika. Saya bahkan tidak berhubungan lagi lebih dari satu tahun. Saya juga kaget saat mendapat pesan dan telpon dari nomor tak dikenal, ternyata itu dia."

Mahika menatap suaminya dengan perasaan campur aduk. Ada banyak sekali kata yang ingin dia lontarkan, tapi hanya tertahan di kerongkongan. Dia serahkan kembali ponsel milik Nata.

"Kenapa dikembalikan Sayang? Blokir saja nomornya sekarang."

Mahika menggeleng. Kalaupun ada orang yang dia inginkan memblokir nomor Airis, itu adalah Nata sendiri. Kenapa harus menyerahkan pada Mahika? Kalau niatnya tak mau lagi menanggapi, harusnya hapus saja tanpa banyak ba-bi-bu lagi. Sungguh, di dalam otak Mahika kini merekam kata-kata yang pernah berdengung sebelumnya; lelaki mapan itu banyak, yang tampan apalagi, tapi lelaki setia, yang baik akhkal dan agamanya, itu yang berharga. Di dasar hati terdalam, Mahika menyimpul harap, semoga Nata termasuk dalam golongan laki-laki yang tak hanya berakhlak baik, tapi juga setia pada janji akadnya.

"Mas Nata yang lebih berhak," sahut Mahika pendek.

Baru tangannya akan menekan tombol delete, saat bersaman telepon pintar milik Nata menggema nyaring.

"Angkat saja, Mas." Mahika tahu siapa yang menelpon. Waktu Nata ingin merejeck panggilan masuk, Mahika lebih dulu mencegah. Dia tahu dan yakin telepon itu berasal dari Airis. Mahika ingin tahu, kira-kira strategi apalagi yang akan ditebar si perempuan untuk bisa berada dekat dengan suaminya.

"Ya ampun, Nat! Lama banget sih angkatnya. Kamu lagi ngapain? Jalan yuk, Nat, gabut banget ini aku."

Suara tak asing  itu terdengar melengking dan menggema memenuhi seantero kamar. Nata sengaja menghidupkan loud speaker agar Mahika ikut mendengarnya.

"Nata, kok diem aja sih? Pasti lagi ada istri kamu yang bawel itu ya? Aku belum makan malam, btw, temenin yuk, kita makan bareng, aku belum tahu tempat makan yang enak di sini."

Mahika memilih bergeming. Sementara Nata langsung mematikan sambungan telepon tanpa menjawab suara di seberang sana - yang tak lain adalah, Airis.

Allah, ighfirli, bolehkah aku merasa kecewa dengan keadaan ini? Mahika membatin dalam diam.
🌼🌼🌼

Catatan kaki ;
Ighfirli - ampuni aku.

10-08-2022
1350

Kachan lagi oleng, boleh enggak kasih sejumput semangatnya? 😶

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top