6. Saya Istrinya


Cinta itu antara menghalalkan dan meninggalkan karena Tuhan, atau tetap bertahan dalam sebuah kemaksiatan. (Anonim)
.
.
.

Nata baru tiba di kantor lima belas menit lalu. Lelaki itu baru mendaratkan bokongnya pada kursi kerja sekitar sepuluh menit. Layar komputer menyala, matanya terarah pada laptop, tapi pikirannya terbang jauh pada sosok Mahika. Tolong sadarkan Nata, apa dia telah menikahi seorang bidadari? Sampai-sampai tak terbesit sedikitpun rasa curiga perempuan itu saat Nata mendapat telpon dari nomor tak dikenal. Biasanya para istri akan langsung mencak-mencak mencecar penuh curiga kan, suaminya mendapat telpon dari nomor asing. Kenapa Mahika bisa setenang itu?
Nata jadi bingung, harus bersyukur atau was-was atas sikap tenangnya sang istri.

Pikiran Nata kacau. Dia menyalahkan diri sendiri yang tidak bisa tegas saat Airis menghubungi. Harusnya bisa diangkat saja telponnya, lalu katakan jika dia sudah memiliki kehidupan lain, Nata yang sekarang berbeda dengan yang dulu. Atau kalau bisa sekalian saja blokir nomornya.

Dulu, Nata kira godaan syaitan dalam rumah tangga hanya masalah klasik yang tak perlu effort lebih untuk mengatasi. Sudah melaksanakan kewajiban ibadah salat dan lain-lain, Nata pikir rumah tangganya akan aman dari ancaman godaan iblis. Nyatanya tidak begitu.

Di dalam otak Nata terasa ruwet, seperti kabel-kabel yang saling bersilangan tak beraturan, memikirkan tentang Mahika dan Airis. Masalah kecil kalau didiamkan lama-lama jadi masalah besar, Nat! Batinnya bergumam sendiri.

Kenapa harus sesusah ini untuk jujur pada Mahika bahwa Airis, mantan kekasihnya menghubungi kembali. Nata terlalu takut Mahika kecewa terhadapnya. Acakan kasar pada kepalanya sebagai implikasi ruwetnya pikiran Nata saat ini.

"Nat, kita mau ke lapangan dulu." Suara dibarengi tepukan di bahu menyadarkan Nata dari lamunan. Raegan menggendong backpacker miliknya pamit akan ke lapangan untuk tinjauan langsung pada tempat yang akan dibuat desain taman nanti.

"Ngelamun wae, Nat." Rakha menimpali.

Dengkusan pelan Nata mencuat. Rakha sialan! Dia melamun seperti sekarang juga gara-gara si Rakha-Rakha itu. Kalau saja temannya satu itu tak membocorkan nomor teleponnya pada Airis, pasti benak Nata sekarang tidak dipenuhi rasa bimbang.

"Gara-gara Lo!" Sembur Nata. Rakha membeliak. Ekspresinya dibuat seolah-olah kaget. Kebiasaan manusia satu itu, terlalu lebay kalau menyoal improvisasi.

"Kok jadi gue?"

"Gara-gara Lo ngasih nomer gue ke Airis. Dia jadi nelponin gue terus."

Rakha mendelik lagi. Lelaki itu menatap, seolah tak percaya pada Nata. "Ciee yang dihubungi mantan." Kelakarnya membuat Nata hampir saja melempar gulungan kertas tebal pada kepala Rakha. Apa temannya satu itu sinting? Kenapa harus memberikan nomor tanpa bertanya lebih dulu padanya? Nata jadi uring-uringan.

Raegan yang sejak tadi menyimak, ikut tertawa lebar. "Nah, loh, gue bilang juga apa, mantan enggak diundang sih, jadi nyariin lagi kan, Pak Nata." Komentar yang makin menambah runyam otak Nata.

"Diem Lo pada! Sengaja apa gimana, mau bikin rumah tangga gue berantakan."

Raegan menipiskan bibirnya. "Tinggal diblokir aja Nat, kalau emang beneran Lo udah enggak mau berhubungan lagi sama Airis. Jangan ditanggapi."

Telak! Nata merasa ditampar bolak-balik mendengar statement Raegan barusan. Blokir ya? Kata-kata itu merangsek ke dalam benak Nata. Antara ingin segera menuruti kalimat Raegan barusan, atau nanti saja tunggu dia jelaskan dulu pada Mahika, baru akan memblokir nomor Airis.

Nata sedang fokus pada hasil desain bangunan berlantai dua yang tengah dia amati. Memindai lagi dengan teliti dari segala sisi, apa hasil kerjaannya sudah tepat dan presisi dari berbagai sudut.
Kantor lumayan sepi, menyisakan dirinya dan dua orang OB yang tengah berkutat dengan tugas masing-masing. Nata melirik jam digital di sisi bawah laptop, sebentar lagi istirahat siang. Lelaki itu berdiri sejenak, sekadar meregangkan otot-ototnya yang tegang akibat kelamaan duduk.

Melangkah ke sisi dispenser untuk mengambil air. Saat bersamaan pintu ruangan diketuk dari luar. Mata Nata refleks terpancang ke arah pintu dibarengi seruan "masuk!"

"Surprise!" Sebuah suara disertai lonjakan girang dengan wajah memancar ceria membuat Nata sontak terpasung kaget. Tolong cubit pipi Nata saat ini, apa dia tidak salah lihat. Sosok tinggi ramping di depannya saat ini adalah perempuan dari masa lalu. Airis.

Perempuan itu mengurai rambut panjangnya yang diombre cokelat terang di bagian sisi dalamnya.

"Kamu ...." Nada bicara Nata tergeragap. Lidahnya mendadak kelu saking terkejutnya.

Perempuan itu, yang memberinya kejutan tertawa lebar. Tangannya membawa beberapa paperbag yang dia angkat sejajar dengan wajah Nata. "Maaf, enggak kasih tahu dulu. Aku ke sini pengin healing, sekaligus ketemu kamu. Aku bawain brownies almond kesukaan kamu." Dia Airis. Tanpa dikomando duduk di sofa two seater yang ada di sisi kanan kubikel.

"Kantor kamu kecil banget gini, apa enggak sumpek, satu ruangan diisi tiga orang, Nat?" Airis berkata seraya matanya mengabsen ke segala sisi ruangan tempatnya berpijak.

Nata ingin menghilang saat ini juga, andai bisa ingin meminjam kantung Doaremon, menggunakan pintu ke mana saja, agar bisa tiba di rumah. Bayangkan, sepuluh menit lagi Mahika akan tiba di kantor - mengantar makan siang. Kembaran hatinya itu tadi janji akan membawakan Nata asupan perut saat istirahat siang. Mungkin, saat in Mahika sedang dalam perjalanan ke kantor ini.

"Airis, bisa kita bicaranya di lobi saja? Enggak enak kalau di sini, cuma ada kita." Nata menengadah, berseru pada Airis.

"Emang kenapa sih, Nat? Kamu kayak sama siapa aja." Airis tertawa pelan.

"Maaf, tapi keadaan sudah beda Airis, saya ... saya sudah menikah, punya istri, ada hati yang harus saya jaga dan lindungi." Nata tak tahan lagi untuk mengatakannya. Sejak kemarin saat bicara di telepon Airis selalu memangkas ucapannya dengan banyak sedu sedan perempuan itu menyoal masalah rumah tangganya.

Airis bergeming. Menatap Nata lekat, kedua retinanya memancar tak percaya dengan apa yang barusan didengar. "Apa itu bukan lelucon semata, Nat?" Tanyanya. Nata berikan gelengan.

Airis menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. Tawa sinis mencuat. "Aku kira waktu Kak Rakha bilang kamu udah nikah, itu cuma candaan. Kamu tahu kan, Kak Rakha enggak pernah serius kalau mengatakan sesuatu."

Nata terdiam. Bingung harus merespons apa pada Airis.

"Assalamualaikum Mas." Suara salam dibarengi handel pintu yang ditekan, sejurus daun pintu terkuak sempurna.

"Wa'alaikumussalam, Sayang ..."

Mahika melangkah masuk, membawa tentengan di tangan, senyum manisnya tersuguh pada Nata. "Makan siang buat Mas Nata," ucapnya seraya mengabsen seseorang yang duduk di sofa.

Airis berdiri, kedua tangan dia lipat di depan dada.

Mahika menatap sang suami. Lewat gerakan mata seolah ingin melempar pertanyaan, "Siapa itu, Mas?"

"Oh, kenalin ini Sayang," seru Nata saat menyadari rasa ingin tahu Mahika. "Ini Airis, dia--"

"Mantan pacar terindahnya Mas Nata," ucap Airis memotong kalimat Nata. Tangan perempuan itu terulur pada Mahika dibarengi senyum agak sinis.

Mahika sambut dengan hangat perkenalan ini. "Wah, Masyaallah, cantiknya, salam kenal, saya Mahika, istri tercintanya Mas Nata." Mahika menjawab kalimat Airis dengan nada lembut tapi ada ketegasan dalam nada bicaranya. Senyumnya tetap terpancar pada tamu suaminya itu.
Meski ada dentum-dentum meliar di hati, tapi sebisa mungkin Mahika tahan agar tetap terlihat anggun dan elegan. Jangan ditanya cemburu atau tidaknya seorang Mahika. Dia perempuan biasa, yang memiliki perasaan super lembut layaknya fitrah seorang wanita. Rasa cemburu pasti ada. Bayangkan saja, melihat suamimu berduaan dengan wanita lain - yang bukan mahram, apalagi saat tahu ternyata wanita itu mantan pacar suaminya, Mahika sempat tercenung beberapa saat, tapi dia bisa menguasai keadaan.

Mendengar kata 'istri' yang Mahika lontarkan, tergambar jelas sekali ada raut kurang suka di wajah Airis.

"Masak apa Sayang?" Nata mengalihkan topik guna membunuh rasa rikuh yang terjadi.

"Ada ayam geprek sama sayur asem tadi pagi," terang Mahika. "Mbak Airus ikut makan siang sekalian yuk! Ini saya sendiri loh yang masak." Tawaran Mahika digelengi perempuan dengan tampilan casual seksi tersebut.

"Makasih, tapi aku mending makan di resto atau hotel. Lebih terjamin." Kalimatnya pedas. Bukan Mahika yang keberatan, tapi Nata yang protes karena kata-kata Airis.

"Tolong jangan merendahkan, Ai. Biar gimanapun masakan Mahika tetap yang terbaik buat saya." Pembelaan tanpa diminta membuat Mahika menoleh Nata haru. Merasa usahanya sangat dihargai.

"Enggak papa Mas, mungkin Mbak Airis enggak biasa makan masakan kampung kayak gini."

"Nah, itu istri kamu paham. Aku balik dulu, nanti malam kita jalan yuk, Nat. Aku baru pertama kali loh, ke sini. Belum hapal daerah sini, temani ya. Boleh kan, Mahika?" Airis menatap Mahika saat berucap.

"Boleh Mbak, boleh banget--"

"Thanks." Airis ini rupanya hobi sekali memotong ucapan orang, padahal belum selesai bicara.

"Asal perginya sama saya juga." Lanjut Mahika menambahi.

"Kok gitu?" Airis ingin protes.

"Ya karena saya istrinya Mas Nata, mana boleh suami saya pergi jalan berdua sama perempuan lain, ya saya harus ikut juga, iya kan, Mas?"

Nata manggut-manggut setuju dengan semua statement sang istri. Bibirnya tertarik samar, membentuk senyum tipis. Dia pikir Mahika itu polos, ternyata dibalik kepolosannya Mahika bahkan bisa bersikap tegas lebih dari Nata sendiri.

🌼🌼🌼


08-08-2022
1400

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top