4. Gusar

Hidup adalah seni menggambar tanpa bisa dihapus
(Anonim)
.
.
.

"Nat, ini aku, maaf ya kalau bikin kaget. Aku dapat nomer kamu dari Kak Rakha."

Sekian detik pertama Nata hanya bisa mematung mendengar suara tak asing di seberang sana. Batinnya disergap buncah tak biasa ketika sepasang telinganya kembali merekam suara familiar itu. Menit pertama dia bingung ingin merespons apa sapaan dengan pernyataan kangen di seberang telepon tersebut. Nada bicara yang telah lama tak Nata dengar, kini menyambangi saraf-saraf pendengarannya kembali. Ada sesuatu yang aneh dari irama bicaranya. Terselip sedu sedan ketika Airis - gadis dari masa lalu Nata berkisah bahwa dia telah berpisah dengan suaminya dua bulan lalu.

"Dico suka main tangan, Nat. Lebih dari itu, yang enggak bisa aku terima, dia suka main perempuan di belakangku."

Suaranya mendayu serak akibat menahan isakan tangis. Nata tidak tahu harus memberi komentar bagaimana dengan keluh kesah yang baru didengar.

"Andai waktu bisa diputar, aku benar-benar nyesel udah ninggalin kamu dan lebih memilih Dico. Nata, maafin aku."

Kalimat itu menyentak batin Nata. Biar bagaimanapun, waktu tak akan pernah bisa diputar ulang. Yang telah terjadi akan tetap terjadi meski penyesalan sebesar gunung terucap. Sebagai lelaki yang pernah memiliki perasaan lebih pada Airis, Nata merasa prihatin dengan kejadian yang menimpa perempuan itu, suaranya terlontar memberi afirmasi penguatan bahwa Airis harus banyak bersabar atas cobaan rumah tangganya.

"Nat, aku mau ketemu sama kamu. Aku ... Aku mau menebus semua kesalahan karena udah ninggalin kamu."

Nata mengatakan jika dia tidak berada di Jakarta saat ini. Lelaki itu tak menolak, tidak juga mengiakan keinginan Airis ingin bertemu.

Sore menyapa, langit berhias swastamita. Sorot jingganya terlihat indah, secantik adiwarna, mengingatkan pada sosok sang istri, Mahika, kalau tersenyum meneduhkan, parasnya manis, perangainya lembut dan hangat. Membikin jantung Nata kerapkali berdentum tak beraturan. Hela napasnya terlepas. Rasa rindunya pada sang istri memuncak, tidak sabar ingin segera pulang dan memeluk erat Mahika.

Nata mematikan laptop, bersiap untuk pulang. Dua temannya yang lain masih betah menatap layar komputer masing-masing. Seharian ini Nata dibuat larut dalam rasa gusar akibat pesan singkat, serta suara Airis yang kembali menyapa setelah sekian lama.

"Gue balik duluan, ya!" Nata pamit pada Rakha dan Raegan. Kedua karibnya mengangguk, memberi kata hati-hati pada Nata. Dia berjalan pelan-pelan menuju mobil yang terparkir di pelataran kantor. Tujuan Nata tak langsung ke rumah kontrakan, tapi setir kemudinya diarahkan ke rumah ayah mertua. Tadi sempat berbalas pesan dengan Mahika. Istrinya mengatakan jika menunggu di rumah Ayah. Mahika juga bercerita kalau telah memasak makanan kesukaan Nata, dan berencana mengajak makan malam di rumah ayah.

Sebelum sampai di rumah, Nata membelokkan mobil ke sentra pedagang kaki lima. Membeli dua porsi martabak daging kesukaan ayah mertua sebagai buah tangan. Aroma kulit martabak yang digoreng dengan minyak bercampur butter menyeruak pada indera penciuman. Nata berdiri menunggu pesanannya jadi. Antrean ramai. Beberapa pembeli bahkan sempat adu mulut, merasa sama-sama yang paling dulu memesan. Nata bergeming. Otaknya sibuk memikirkan tentang Airis. Kenapa perempuan itu harus muncul lagi di hidupnya setelah sekian lama, setelah Nata berhasil move on, dan menemukan tambatan hati.

"Dua porsi martabak daging spesial, silakan Pak!" Pegawai lapak martabak menyerahkan kresek besar berisi dua kotak martabak. Nata membayar dan bergegas meneruskan perjalanan.

Gema adzan magrib berseru. Nata kembali menghentikan kendaraannya di masjid yang terlewati. Salat Magrib sebentar saat tiba waktunya. Lelaki itu mengulas senyum. Teringat kata-kata sang istri. Mahika selalu mengatakan jika laki-laki muslim wajib salat di masjid, kecuali udzur syar'i baru boleh di rumah. Semenjak itu Nata tak pernah absen untuk salat di masjid, sesibuk apapun kerjaannya akan ditinggal dulu.

Mengingat nama Mahika, hati Nata diruangi atmosfer kesejukan sendiri. Sungguh, jika ada pertanyaan, hal apa yang paling dianggap keberuntungan di dunia ini, maka, Nata tak akan segan menjawab ; Berjodoh dan menikah dengan Mahika Saynala.

__

Bakda Magrib Nata baru tiba di rumah Pak Hamid - ayah mertuanya.

Dari arah pintu Mahika menyambut. Senyumnya terpancar. Nata perhatikan sang istri, memakai gamis abaya hitam, serta kerudung cokelat muda. Saat tersenyum ada cacat indah yang tergambar jelas di salah satu tebing pipinya. Dekik yang tercipta saat kedua rahangnya tertarik - orang-orang menyebutnya lesung pipit.

"Assalamualaikum, Mas." Mahika langsung salim tangan.

"Wa'alaikumussalam, Sayang," ucapnya sembari merangkum jemari Mahika untuk dia genggam.

"Mas Nata bawa apa?" Tanya Mahika, matanya mengabsen bawaan sang suami.

Nata memberikan tas plastik pada Mahika. "Martabak kesukaan Ayah, Sayang," sahutnya.

"Wah, Ayah pasti senang."

"Ada apa ini, kok nyebut-nyebut ayah?" Pak Hamid baru datang dari masjid, memakai baju Koko dan sarung, usai tunaikan magrib.

"Assalamualaikum, Yah." Nata mengambil tangan ayah mertua, salim dengan takdzim.

"Ini loh Yah, Mas Nata bawain Ayah martabak." Mahika yang menyahut.

"Kok repot-repot, Nak," timpal Pak Hamid. Nata menggeleng samar.

"Enggak repot, Yah." Nata melepas sepatu, kemudian mengempas badannya ke sofa di ruang tamu. Pak Hamid, sang mertua, pamit ke kamar sebentar. Kebiasaan ayah mertuanya, setiap bakda Magrib pasti menyelesaikan muraajah ODOJ, atau one day one juz.

Mahika ingin beranjak ke dapur, membuat teh untuk Nata dan Ayah, tapi Nata menahan langkahnya.

"Mau ke mana, Sayang?"

"Bikin teh buat Mas."

Nata menggeleng, tangannya menarik Mahika untuk menempati ruang kosong di sebelahnya. Sofa abu-abu empat seater itu nampak lengang diduduki dua orang. Nata memangkas jarak. Dia ambil jemari Mahika, menjalinnya erat.

"Di sini saja dulu, saya kangen kamu." Ucapannya memicu derai tawa Mahika.

"Kan, tiap hari ketemu, Mas."

Iya, Mahika paham maksud dari kangen yang Nata ucapkan, bukan sekadar frasa semata. Maklum, pengantin baru, masih yang manis-manisnya yang dilalui tiap hari.

Tanpa Mahika tahu, Nata ingin berada di dekat Mahika, justru karena ingin menghapus ingatan tentang Airis yang beberapa jam lalu datang menganggu. Tak menampik, sejak mendengar suara Airis tadi siang, hati Nata diliputi gusar tak berkesudahan.

"Sudah salat magrib, Sayang?" Nata membuka topik lain. Mahika mengangguk dibarengi senyum.
Mata bundarnya menatap Mata lekat membuat sang lekaki harus memulas tengkuk karena salah tingkah bercampur rasa bersalah. Nata sedang menimbang, apa harus memberi tahu Mahika tentang Airis, atau tidak usah saja.

"Mas, saya tadi masak soto ayam, lengkap sama perkedel kentang, kesukaan Mas Nata. Mau saya siapkan makan sekarang? Biar saya hangatkan dulu sotonya." Mahika bertutur dengan nada ceria. Nata memberinya usapan sayang di puncak kepala Mahika. Lihat saja, kembaran hatinya ini selalu menyenangkan saat dipandang. Rasa bersalah makin menelusup dalam hati, tentang Airis, dan ingatannya yang tak mau lekas hilang.

"Nanti saja ya, nunggu Ayah sekalian, kita makan malam bareng."

Mahika mengangguk patuh. Kembali memandang sang suami. "Mas Nata capek enggak? Mau saya pijit?" Tawaran Mahika digelengi Nata.

Allah, kenapa Mahika sebaik ini. Level rasa bersalah Nata makin berlipat ganda kalau seperti ini. Hatinya kembali diruangi gusar. Mulutnya refleks melepas embusan napas panjang.

"Mas Nata capek banget kayaknya." Tangan Mahika terparkir di pundak sang suami. Memijitnya dengan gerakan pelan. "Pasti pundaknya pegel ya, Mas, seharian duduk depan laptop."

Nata tertawa kecil. "Enggak Sayang, sudah biasa."

"Jangan duduk kelamaan ya Mas, tiap tiga puluh menit harus berdiri, dibuat jalan sebentar, biar otot-ototnya enggak tegang." Mahika berkata sembari tangannya menekan-nekan lembut punggung Nata.

"Oh, kalau itu sih udah pasti, yang tegang cukup di satu tempat saja ya, kan."

Gerakan Mahika terhenti. Matanya setengah membola saat bersemuka dengan Nata. "Ish, Mas Nata ini," protesnya atas ulah jail sang suami. Nata terbahak.

"Loh, maksudnya otaknya yang tegang, ngebul ini kepalanya mikirin desain yang sesuai." Ucapannya dibarengi tarikan raga Mahika, menyandarkan kepala sang istri pada bentangan dadanya. Tak ada penolakan Mahika. Mendekap erat sang istri, berharap setelah ini suara-suara Airis bisa enyah dari pikirannya.

🌼🌼🌼

Mas Nata jangan macam-macam kamu ya, kalau enggak mau digoreng sama pembaca. 🤭

Mahika sebaik dan secantik ini loh.



06-08-2022

1250

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top