2. Setelah Menikah, Lalu Apa?
Cinta yang sesungguhnya, tak memasung hubungan sebelum akad terjabat.
.
.
.
"Terima kasih Mahika."
"Buat apa, Mas?"
"Kamu sudah mau menerima saya."
"Ini yang namanya takdir dan jodoh, Mas. Qadarullah, jodohnya saya, Mas Nata."
"Kamu bahagia, Mahika?"
"Insyaallah, saya bahagia."
Tak ada keraguan di mata Mahika ketika menatap suaminya dibarengi anggukan takdzim.
Akad nikah telah dilaksanakan, pernikahan sudah dihelat. Tepat tiga hari ini Mahika resmi menjadi istri Pranata. Masih tersimpan manis dalam ingatan Mahika, saat Nata menjabat erat tangan Ayah, melafalkan kalimat sakral ijab qobul, memanggul penyerahan taklif oleh Ayah - berpindahnya tugas dan tanggungjawab ayah sebagai wali Mahika kepada Nata sebagai suami sang putri. Mulai detik itu juga segala sesuatu menyangkut Mahika, baik dan buruknya, bahagia dan sedihnya menjadi tanggung jawab suaminya.
Malam terdiam hening. Semilir angin menyentuh pori-pori kulit. Hawa dingin kota Batu bertambah dengan turunnya air langit sejak sore tadi.
Di bawah atap yang sama kedua tangan itu saling menggenggam erat. Mata yang beradu pandang, dada berdesir gugup. Kini tak ada lagi yang ditakutkan, tak pula cemas akan bisikan syetan, karena Mahika telah halal bagi Nata.
Hari-hari Nata mulai berubah. Sebelum subuh menyapa ada yang menepuk lembut pipinya, berbisik mesra untuk sekadar membangunkan sepasang matanya yang memejam rapat. Saat sepasang kelopak matanya mekar sempurna, ada senyum cantik nan teduh yang menyambut. Mahika akan berikan kecupan di pipi kanannya sebelum berbisik, "Bangun Mas, subuhnya hampir tiba, masih sempat dua rakaat Sunnah fajar," ucapnya membikin jantung Nata bergetar hebat.
Nata sontak terbangun, duduk sebentar menyandar pada kepala ranjang guna kumpulkan kesadaran, lalu kakinya dengan cepat melesat ke kamar mandi. Usai mengenakan sarung dan koko, lalu berdiri tegap di depan Mahika sebagai imam saat laksanakan dua rakaat sunnah qobliyah subuh. Setelahnya sembari menanti subuh tiba, Mahika akan mengambil mushaf muraajah hapalannya, lalu, saat adzan berkumandang, Nata pamit bergegas berangkat ke mushala. Dulu, sebelum menikah, jangankan salat berjamaah di mushala, salat di rumah saja di akhir waktu.
Ternyata kalimat ; "Menikah itu menangkan hati, menentramkan jiwa." Bukan sekadar selentingan semata. Nata merasakan sendiri, serunyam apapun pekerjaan yang dilakukan, sepelik apapun menghadapi kesibukan hari, tapi saat pulang ke rumah, memandang wajah teduh Mahika, semua rasa lelahnya sirna seketika berganti rasa sejuk dalam hati.
"Apa saya boleh tanya sesuatu, Mas?" Mahika tatap lekat mata hitam sepekat malam milik Nata.
Nata tersenyum lembut. "Tentu, kamu mau tanya apa?" Tanya berbalas tanya, Nata bawa jemari Mahika yang terjalin erat pada tangannya ke depan bibir, memberi kecupan sayang.
"Kenapa Mas Nata memilih saya?" Bola cokelat Mahika menyelam ke dalam sepasang retina sang suami. Meski bukan kali pertama, saat mata memandang, ada gemuruh menyalak dalam dada keduanya.
"Karena saya mencintai kamu, Mahika," jawab Nata, matanya memancarkan keyakinan penuh. "Karena saya enggak mau pisah sama kamu. Karena kebesaran Allah, yang menjadikan manusia berjodoh, dan kamu adalah jodoh saya."
Mahika menunduk haru. Tak perlu lagi jawaban lain, dia merasa lebih dari cukup dengan apa yang Nata katakan barusan. Mahika merasa beruntung, di usia yang baru menginjak 23 tahun telah bertemu jodoh. Tak mau menumpuk dosa akibat hubungan yang terpasung sebelum akad, dia beranikan menantang keseriusan Nata. Gayung bersambut. Lelaki itu menerima tantangan sepenuh jiwa, membawa keseriusan, menjadikannya permaisuri hati.
"Saya juga mencintai Mas Nata." Mahika membalas malu-malu.
"Lantas?" Nata sedikit menunduk, memandang Mahika mesra.
Kedua alis lebar Mahika saling menaut. "Lantas apa, Mas?"
Bibir Nata tertarik samar, membentuk kuluman senyum. "Mulai memikirkan sesuatu, mungkin." Jawaban yang tak memuaskan rasa penasaran Mahika.
"Sesuatu apa, Mas?"
"Saya ingin membahagiakan kamu."
"Mas Nata sudah bikin saya bahagia. Dengan memberi saya gelar kemuliaan sebagai seorang istri, itu sudah lebih dari cukup."
Gelengan Nata. Memangkas jarak, Nata rengkuh Mahika ke dalam dekapan. Tangannya terpakir di puncak kepala sang istri. Mengusap lembut surai panjang Mahika yang tergerai bebas. "Setelah menikah, lalu apa?" Tanyanya sekali lagi. Mahika memberi gelengan tanda tak paham.
"Anak-anak," bisik Nata.
Mahika menegang di tempat. Dadanya berdebar-debar saat Nata membahas perihal anak. Walau baginya ini masih terlalu dini membahas tentang anak, tapi Mahika tak akan menampik jika dia juga memimpikan secepatnya kehadiran buah cintanya bersama Nata.
___
"Ayah baik-baik ya di rumah, kalau ada apa-apa jangan sungkan kasih tahu Mahika." Wajah memancar sendu dengan suara bergetar menahan tangis ketika Mahika pamit pada ayah untuk ikut pindah tinggal bersama Nata.
Lelaki paruh baya itu menyambut ucapan sang putri dengan tawa lebar. "Tenang saja Nak, ayah ini bukan anak kecil, Insyaallah bisa mengurus diri sendiri."
Tergambar jelas jelaga khawatir memancar di mata Mahika. Selama ini selalu bersama. Habiskan pagi ke pagi bersama Ayah, sekarang harus terpisah karena Mahika telah memiliki kehidupan sendiri.
"Nak Nata, saya nitip Mahika ya, jangan dimarahi kalau belum pandai ngurus rumah tangga, tolong nasihati dengan penuh kelembutan saat dia berbuat salah." Kalimat ayah memantik mendung di hati Mahika. "Kalau suatu saat Nak Nata bosan sama Mahika, tolong, jangan sakiti dia, tapi kembalikan lagi ke sisi Ayah." Mendung di hati berubah jadi hujan tangis. Mahika menangis mendengar semua wejangan Ayah.
Nata mengangguk. "Insyaallah, saya akan jaga amanah Ayah. Buat saya, membahagiakan Mahika adalah tujuan hidup saat ini, saya akan berusaha semaksimal mungkin membuat putri kesayangan ayah bahagia."
Barter pelukan menjadi pemandangan sebelum kaki Mahika melangkah keluar dari rumah Ayah.
Pak Hamid sengaja tak mau ikut mengantar. Baginya Mahika tetap putri kecilnya. Dia tak mau melepas kepergiannya, karena suatu hari saat Mahika ingin kembali, pintu rumah serta kedua tangannya selalu terbuka lebar untuk sang putri.
Meninggalkan rasa haru mendalam di rumah Ayah, Mahika memijak suasana baru saat kakinya dihela Nata memasuki sebuah rumah tipe 46.
"Sementara tinggal di sini dulu, tidak apa-apa kan, Sayang?" Nata menakar ekspresi sang istri. Mahika tersenyum lembut. Kedua pipinya mengembung saat mengangguk, terpancar rona merah di sana akibat panggilan sayang yang Nata lontarkan.
"Enggak papa, Mas."
Bangunan berlantai satu, dengan dua kamar, satu kamar mandi, dapur bersih menyatu dengan ruang tamu - hanya bersekat partisi dari anyaman rotan. Rumah tinggal sementara yang dikontrak Nata selama tinggal di kawasan Bumiaji. Tadinya tinggal di kontrakan yang sama dengan beberapa sejawat, setelah menikah Pak Hamid memberi saran agar Nata mengontrak rumah sendiri.
"Nanti setelah proyek saya di sini selesei, secepatnya saya bawa kamu ke Jakarta, di sana, alhamdulilah saya sudah ada hunian sendiri yang siap kita tempati, Mahika."
"Iya Mas," sahut Mahika pendek.
"Istirahat saja dulu, Sayang, kita bereskan nanti."
"Enggak papa, Mas, biar saya bereskan sekarang, kalau ditunda-tunda nanti malah malas." Mahika tak mau membuang waktu. Baju-baju dalam koper dia bawa ke kamar. Menatanya ke dalam lemari setinggi orang dewasa dengan dua daun pintu.
Kamar tidur telah rapi. Bed ukuran 160×200 sudah diganti dengan sprei yang baru. Meja rias portabel tertata runut perintilan miliknya dan Nata, seperti bedak, lotion, parfum dan lain-lain.
Di seberang tempat tidur ada sofa two seater berwana hijau pupus, di sebelahnya ada meja kaca, Mahika perhatikan di sana teronggok laptop, serta gulungan kertas desain milik Nata. Pandangannya terpancang kagum menilik satu set alat kerja sang suami.
Bibir Mahika terangkat samar saat otaknya memutar kembali kalimat tanya sang suami. "Setelah menikah, lalu apa?" Kalimat tanya dengan beribu makna di baliknya membikin Mahika disergap deg-degan dan salah tingkah.
🌺🌺🌺🌺
04-08-2022
1150
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top