12. Konfrontasi
Perempuan itu perasa, karena pada dasarnya kaum hawa diciptakan memiliki reseptor rasa sakit dua kali lipat daripada laki-laki
.
.
.
"Siapa dia?!"
Sepasang manik cokelat milik Mahika terpancang lekat pada Nata. Sedikit membola mendengar nada bicara lelaki itu tak santai sama sekali, ah, bukan, malah lebih seperti sebuah bentakan kecil. Dia rekam jakun Nata naik-turun selayaknya laki-laki saat menahan gejolak amarah yang mau meledak.
"Kak Hisyam?" Tanya berbalas tanya. Nata memberengut tak suka dengan reaksi Mahika. "Teman, Mas, Kating satu prodi dulu waktu di kampus." Jawaban lugas apa adanya, tanpa ditambahi atau dikurangi.
Kerongkongan Nata terasa kerontang. Istrinya itu, Mahika, berani sekali menyebut nama laki-laki lain tepat di hadapannya. "Sepertinya kalian sangat dekat?" Kenyataan Mahika akrab dengan laki-laki selain dirinya, membuat harga diri Nata serasa tercurangi.
"Enggak juga, kami malah enggak saling kontak udah lama banget. Dulu, sih iya, dekat, tapi dalam urusan proker, karena kita satu prodi. Enggak ada yang lebih," tegas Mahika.
Nata membanting diri di sisi kosong Mahika. Lelaki itu duduk menyerong, jari telunjuk dan jempolnya bersamaan menjepit dagu Mahika, membuat keduanya beradu mata dalam jarak super dekat.
"Saya enggak suka kamu akrab sama laki-laki lain!" Nada bicara Nata terdengar gelisah saat berujar, atau mungkin implikasi dari rasa kesal.
Mahika tertawa kecil. "Mas Nata cemburu?" Tebak Mahika seraya memperhatikan airmuka lelaki itu. Lucu memang. Kenapa Nata harus merasa cemburu, sementara Mahika telah mati-matian menjaga cintanya. Kasih sayangnya nan tirta yang hanya dipersembahkan untuk suaminya seorang, Nata.
Lantas, jika baru mengangkat telepon dari laki-laki lain sudah membikin Nata kebakaran jenggot, apa kabar dengan hati Mahika? Terbakar habis, atau hangus sekaligus? Saat menyaksikan dengan kedua matanya sendiri, Nata terang-terangan duduk bersisihan dengan mantan kekasihnya, Airis, mereka ngobrol, Nata berikan banyak perhatian dibungkus wejangan, bahkan masakan Mahika diberikan dengan suka rela pada mantan kekasih laki-laki itu.
"Mas Nata lebay, lagian Kak Hisyam bukan siapa-siapa, enggak pernah menjalin hubungan apapun sama saya. Bukan mantan kekasih pula." Kalimat satir sengaja dia tebar. Berharap Nata tersentil meski Mahika rasa itu akan mustahil.
Nata menarik jemarinya dari dagu Mahika. Lelaki itu mengalihkan tatapan ke arah lain - pada keramik tempat mereka berpijak. "Maksudnya apa?" Tanyanya tanpa berani bersemuka dengan Mahika.
"Mas Nata pikirkan saja sendiri, kalau udah ketemu jawabannya baru kasih tahu saya." Mahika diserang kesal, ingin beranjak, baru ancang-ancang berdiri, Nata menarik salah satu lengannya.
"Kamu nyindir saya?" Tatapan hangat yang biasanya berkobar di mata Mata pagi ini berganti dengan sorot tajam.
Kerongkongan Mahika memanas. Kedua bola mata cokelatnya berkilatan bening. "Enggak ada yang nyindir Mas, kalau Mas Nata merasa tersindir, ya berarti Mas Nata harus introspeksi diri. Maaf, bukan bermaksud kurang ajar sama Mas, saya cuma bicara fakta, saya sama Kak Hisyam enggak pernah ada apa-apa, bukan mantan kekasih, bukan dua orang yang pernah menjalin hubungan cinta. Lalu, salahnya di mana, Mas?" Mata Mahika menyusuri wajah Nata. Lelaki itu membisu tanpa menjawab sepatah katapun ungkapan sang istri.
"Saya tidak suka dituduh, Mahika!"
"Saya enggak pernah nuduh, Mas." Udara di sekitar Mahika terasa menyusut. Sesak sekali. Beberapa kali dia terekam menelan ludah guna menghalau tangis yang ingin keluar. Tidak. Mahika tak mau terlihat lemah di mata Nata. "Harusnya kalau belum sepenuhnya bisa melupakan masa lalu, jangan menawarkan masa depan bagi yang lain."
Telak! Nata dibuat tak berkutik oleh kalimat Mahika. Lelaki itu tersentil sampai ke saraf terdalamnya. Tak mau mengakui jika dia masih memikirkan tentang Airis. Pura-pura tak peduli, tapi tatapan mata tak bisa bohong.
"Enggak seharusnya kamu bicara seperti itu."
"Lalu apa, Mas?" Mata Mahika memejam. "Kalau kenyataannya saya sangat cemburu waktu Mas dekat dengan Airis, apa Mas Nata peka sama perasaan saya?" Rasa kecewanya menyembur deras dari dasar hati. "Apa Mas Nata pernah berpikir kalau saya akan kecewa saat masakan saya Mas berikan gitu aja sama Airis? Mas Nata yang sibuk cariin dokter kandungan buat dia, Mas berikan banyak wejangan, padahal itu bentuk lain dari perhatian. Apa Mas pikir saya enggak sakit hati?!" Kali pertama Mahika sedikit meninggikan intonasi suaranya. Sungguh, dia tak bermaksud kurang ajar pada suaminya. Mahika merasa lelah harus menahan semuanya sendirian. Mungkin saat ini sedang berada di ambang batas rasa kecewanya pada Nata.
"Semua enggak seperti yang kamu pikirkan."
Tawa lirih Mahika mencuat. "Iya," sahutnya seraya mengabsen langit-langit kamar karena lagi-lagi ada yang mendesak ingin jatuh melalui celah kelopak matanya. "Semua salah saya, terlalu berburuk sangka sama Mas." Mahika tak mampu lagi bertahan dalam debat ini.
"Permisi Mas, saya mau siap-siap Subuh," ujar Mahika akhirnya memilih melenggang ke kamar mandi. Subuh hampir pamit berganti pagi cerah, Mahika buru-buru melesat untuk dua rakaat sebelum matahari menampakkan sinarnya.
Kran air diputar sampai full. Tangis yang sejak tadi ditahan akhirnya pecah ruah. Mahika terisak-isak. Tak ada dalam bayangannya kalau pagi ini akan disambut dengan adegan konfrontasi berujung debat tak berujung. Patah hati pertama yang dirasa sejak menyandang status sebagai istri. Nata yang biasanya memberikan senyum hangat, kali ini berubah dengan tatapan tajam, sementara kata-kata manis yang biasa ditebar, berganti dengan kalimat tuduhan penuh tendensi.
Mahika akan terima apabila benar dia melakukan kesalahan. Kenyataannya justru Nata yang sering tanpa sadar menciptakan luka baginya. Alih-alih merasa bersalah, lekaki itu malah menuduhkan balik.
_
Mahika berkutat di dapur kecil yang dilengkapi dengan kitchen set mini. Perempuan itu sedang memasak untuk sarapan serta bekal makan siang Nata.
Meja makan portabel dengan empat kursi kecil telah tertata rapi hasil olahan tangan Mahika. Secangkir kopi yang baru diseduh dia letakkan sekaligus di sana. Biasanya sehabis makan, Nata kan lanjut menikmati kopi sebelum berangkat ngantor.
Rasa tak nyaman membalut hati. Sebenarnya agak rikuh harus memulai obrolan dengan Nata, tapi mengingat tugasnya sebagai istri melayani suami dalam segala hal, Mahika melangkah hampiri lelaki itu di kamar mereka untuk menginfokan jika sarapan telah siap.
"Mas--" Tercenung adalah reaksi Mahika. "Kamu ...." Nata telah rapi dengan setelan kerjanya, sekaligus menggendong backpacker-nya.
"Saya ada meeting penting," ucap lelaki itu singkat.
"Sarapan ---"
"Saya sarapan di luar saja nanti!" putus Nata.
Hati Mahika mencelus. "Bekal kamu--"
"Enggak perlu." Nata melenggang tanpa hiraukan ucapan Mahika. "Lebih baik enggak usah bawa bekal, daripada nanti kamu tuduh lagi yang macam-macam." Pernyataan yang menohok, menimbulkan rasa terguncang di hati Mahika.
🌼🌼🌼
😌😌 Mbuh wes, karepmu Mas Nat!
Survei dong, kalian suka buka wattpad dan baca cerita pas apa? Pagi, siang, sore, atau malam kek gini?
15-08-2022
1050
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top