11. Cemburu?

Kalau belum sempurna kasih kebahagiaan, setidaknya jangan menyulut airmata dan kekecewaan
.
.
.

Senyum Mahika mengembang sempurna saat menyambut Nata yang baru saja tiba di rumah. Perempuan itu mengenakan blus cokelat motif floral  dipadu rok plisket premium berwarna hitam, pasmina senada blus-nya. Wajahnya yang manis disapu make up tipis-tipis. Lengkungan sempurna di pipi memantik rasa kagum siapapun yang beradu pandang. Tak terkecuali Nata. Lelaki itu memangkas jarak, usai menaruh sepatu di rak khusus alas kaki, dia rangkul bahu Mahika dengan salah satu tangan, sementara tangan satunya menggendong backpack.

"Mas Nata mau dibuat teh hangat, atau kopi?" Tawaran Mahika mendapat gelengan. Nata menghelanya duduk di sofa ruang tamu. Lelaki itu meletakkan tas punggung  sekenanya pada ruang kosong sofa tree seater. Tangannya masih merangkul Mahika.

"Kok cantik banget, mau ke mana?" Pertanyaan yang membikin dahi Mahika berkerut dalam.

"Jadi, saya cantiknya baru kelihatan sekarang Mas? Kemarin-kemarin enggak cantik dong?" Tanya berbalas tanya. Mahika duduk menyerong menatap lekat sepasang manik legam milik Nata.

Lelaki itu menggeleng dibarengi derai tawa. "Bukan gitu, kemarin cantik, sekarang lebih lagi cantiknya. Makanya saya kaget, Sayang." Kalimat Nata mengundang senyum lebar Mahika.

Trik dari Nira lumayan ampuh membuat Mahika bersemangat. Mahika benar-benar merealisasikan semua tips dan saran dari temannya itu. Dandan lebih cantik dari biasanya, jangan lupa suguhkan senyum saat suami datang, dan poin utamanya, jangan bahas apapun tentang si mantan, kalau sedang berduaan dengan Nata. Jangan kasih cela sedikitpun untuk lelaki itu mengingat terus nama sang mantan.

"Mas jangan gombal, ah!"

"Enggak gombal, itu serius, Sayang."

Mahika menyipit, menelisik mata Nata. Suaminya itu memang pandai berkata manis, tapi juga kadang suka membuatnya dilanda kesal saat tak bisa menahan diri untuk peduli pada perempuan selain dirinya.

"Oh iya, tadi pagi kamu ke kantor? Kenapa enggak mau ketemu dulu?" Pertanyaan Nata diangguki Mahika.

Mana mungkin Mahika lupa adegan di ruang kerja Nata pagi menjelang siang tadi. Saat Airis dengan serak mengadukan keadaanya yang tengah hamil pada suaminya itu. Rasa sakit hati yang menyembul membuat Mahika memilih melipir dari sana, enggan menemui Nata, daripada amarahnya erupsi tanpa bisa ditahan, nanti malah membuat kericuhan di kantor.

"Oh, tadi buru-buru, Mas, makanya saya langsung pulang." Sedikit membual, Mahika tak mungkin mengatakan dia pergi gara-gara Airis.

"Makasih ya, udah repot-repot dianterin bekalnya." Usapan lembut di tangan Mahika sebagai implikasi rasa terima kasih Nata. "Tadi bekalnya enggak saya makan sendiri, enggak papa kan, Sayang?" Mahika mengangguk. Tentu, dia senang kalau teman suaminya ikut menikmati bekal buatannya.

"Saya berikan satu kotak buat Airis." Ucapan Nata membuat Mahika terdiam.

Senyum di wajahnya surut, berganti dengan mata berkaca-kaca. Mahika menelan ludah. Menolak untuk menunjukkan rasa kecewa, dia suguhkan senyum manis di balik rasa kesal. "Oh, apa tadi ada Airis di kantor Mas?"

Nata mengangguk. "Dia sedang hamil, belum sarapan dari pagi, makanya saya tawari bekal dari kamu, kebetulan ada dua kotak."

Mahika hanya manggut-manggut. Pipinya dipaksa mengembung meski sebenarnya ada tangis yang terus memberontak ingin keluar. Lihat saja, dia enggan membahas tentang Airis di rumah, tapi justru Nata yang mulai duluan menyebut nama perempuan lain tepat saat bersamanya.

"Apa kalian makan bersama tadi, Mas?" Mahika tahu, saat menanyakan ini, dia harus siap untuk sakit hati. Jawabannya sudah ada di dalam otaknya. Nata mengangguk kecil.

"Setelah makan dia langsung pergi, lusa dia balik ke Jakarta, dia juga udah janji kalau enggak akan menemui saya lagi setelah ini." Penjelasan yang tak mengurangi rasa kesal di hati Mahika.

Perempuan itu menarik napas panjang untuk mengurai rasa sesak di dada. Rasanya usahanya seharian ini untuk berdamai dengan keadaan terasa sia-sia. Saat Mahika berusaha tegak, tegar berdiri menghadapi gelombang cobaan yang menerpa, di lain sisi justru Nata seakan mengundang gelombang itu untuk datang.

"Aku buatkan teh, Mas." Mahika ancang-ancang ingin beranjak. Nata tak menahannya.

Kakinya berderap tak semangat menjangkau dapur. Mahika raih cangkir dengan tatakan untuk menyeduh teh. Beberapa saat kembali ke ruang tamu. Matanya melirik Nata yang fokus pada benda persegi di tangannya.

"Teh-nya, Mas."

"Makasih, Sayang."

Mahika kembali menempati ruang kosong di sisi Nata. Kali ini lebih banyak diam. Dia biarkan Nata seleseikan fokusnya pada ponsel.

"Dokter kandungan yang dekat dari sini di mana, Sayang?" Tanya Nata tiba-tiba. Mahika menoleh lelaki itu. Dalam benaknya ada banyak berputar pertanyaan yang hanya tertahan di kerongkongan.

"Siapa yang mau ke dokter, Mas?"

"Airis, lusa di balik ke Jakarta, tapi sebelum itu mau cek kandungannya dulu, memastikan semuanya baik-baik saja."

Mahika tertawa lirih. "Oh," sahutnya ber-oh-pendek.

Jelaga kecewa yang sempat dikubur dalam-dalam, kembali menyeruak. "Kenapa nanya ke Mas Nata?"

"Dianya enggak tahu daerah sini, enggak papa kan, saya balas pesannya dia?"

Haruskah Mahika jawab pertanyaan yang sebenarnya Nata tahu jawabannya apa! Mahika mengangguk samar.

"Saya mau ke kamar Mas, sebentar lagi magrib, siap-siap salat." Mahika beranjak. Berharap sekali Nata menahan langkahnya, muskil, karena lelaki itu memilih berbalas pesan dengan Airis, hanya anggukan pelan dia berikan pada Mahika.

Dalam derap kaki, Mahika mencoba menahan segala deru-deru di dalam dada yang ingin meledak. Matanya mengedari langit-langit kamar, menghalau tangis yang ingin merangsek keluar.

Dia tak akan membantah jika saat ini merasa sangat lemah menghadapi sikap labilnya Nata. Namun, Mahika sudah berjanji tak akan memperlihatkan kalau dia rapuh di depan lelaki itu.

Dulu, Mahika sering mendengar kalimat ; Jangan mengharapkan cinta dari seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya.

Sekarang, Mahika baru memahami makna kalimat tersebut. Menjalani hubungan dengan seseorang yang belum sepenuhnya tuntas dengan masa lalunya jauh lebih berat dari dugaannya. Bayang-bayang sang mantan masih terus menghantuinya derap langkahnya. Membuatnya selalu dicekam was-was.

Mahika tak pernah berencana untuk jatuh cinta pada Nata. Pun dengan urusan jodoh, Mahika hanya berusaha menjalani takdir yang digariskan untuknya sebaik mungkin.
Saat bersama Nita atau Ayah, Mahika bisa terlihat tegar, tapi saat sedang sendirian begini, rasa rapuh kembali menghantam, membuatnya ingin menyerah.

Malam menua, kali pertama Mahika tidur bersingkuran dengan Nata. Sebelumnya dia minta izin pada suaminya untuk berbaring dengan posisi miring membelakangi Nata. Lelaki itu mengizinkan, meski sempat ada  pertanyaan, kenapa Mahika aneh malam ini. Perempuan itu menjawab jika perutnya terasa kram, tanda-tanda akan datang masa periode-nya.

Mahika benamkan wajah pada cerukan bantal, saat tangan Nata terparkir erat di pinggangnya, tanpa sadar air mata Mahika ikut jatuh. Dia tahan sekuat tenaga agar jangan sampai terdengar isakannya. Adalah menggigit bibir kuat-kuat guna meredam tangisnya. Mahika yak pernah merasa sesedih ini sebelumnya. Mau dibawa ke mana arah bahterahnya, kalau sampai detik ini Nata tak pernah bisa tegas pada Airis.

__

Subuh menyapa. Mahika terbangun, masih dengan mata menyipit menyesuaikan dengan cahaya lampu kamar yang sudah menyala. Dia lirik ke sisinya, kosong. Rupanya Nata lebih dulu bangun.

Mahika pijak lantai, terasa dingin menyentak, membuat kesadarannya terkumpul sempurna. Dari arah pintu handel ditekan, sejurus Nata masuk dengan sunggingan senyum. Lelaki itu terlihat segar serta rapi dengan setelan baju koko dan sarung.

Nata mendekat ke sisi Mahika. Belum sampai menjangkau pada sisi ranjang, deringan ponsel Mahika membuat perhatian Nata teralihkan.

"Siapa Sayang?" Bukan ponselnya yang berdering, tapi milik Mahika. Tumben sekali ada panggilan masuk pada ponsel istrinya itu.

Mahika raih ponsel di atas nakas. Segera dia angkat panggilan masuk.

"Hai, assalamualaikum, apa kabar kamu? Lama enggak kontekan, kok jahat nikah enggak ngundang-ngundang?"

Suara itu menggema seantero kamar, sengaja Mahika nyalakan fitur loud speaker agar Nata ikut tahu siapa yang menelpon.

"Siapa, Sayang?" Nata bertanya penasaran. Mahika menggeleng. Tangannya menutup speaker ponsel dengan telapak tangan. 

"Enggak tahu, Mas, enggak nyebut nama."

Hening sesaat. Mahika berinisiatif menanyakan lebih dulu.

"Assalamualaikum, siapa ini?" Tanyanya penasaran. Suara di seberang membalas salam. Mahika tersenyum lebar mendengarnya.

"Raden Hisyam Ekadanta Mahesa."

"Oh, Masyaallah. Kak Hisyam? Apa kabar? Aku baik, iya maaf, nikahnya enggak rame-rame kemarin, sederhana aja, makanya enggak ngundang banyak orang." Senyum Mahika mengembang mendengar seseorang di seberang telpon menyebut nama.

Nata melirik serius saat Mahika menyebut nama si penelpon yang ternyata seorang lelaki. Rahangnya seketika mengetat, tak suka mendengar suara lawan bicara Mahika.

"Kak Hisyam apa kabar? Dapat nomorku dari siapa?"

Nata menganga. Bisa-bisanya Mahika, istrinya itu berbicara dengan sebutan 'aku' pada laki-laki lain, tapi malah menggunakan sebutan formal saat bersamanya. 

"Ada deh, Alhamdulillah kurang baik. Patah hati dengar kamu udah nikah."

Tawa Mahika berderai lagi. "Bisa aja kamu, Kak. Ada apa ini? Pasti ada sesuatu yang penting?" Mahika bertanya, wajahnya masih menyiratkan sisa-sisa senyum.

Raden Hisyam Ekadanta Mahesa. Mahika tak melupakan nama Kating satu jurusan saat kuliah beberapa tahun lalu.

"Adekku, maksudnya adik angkat, ada rencana mau buka florist anggrek di Malang, kayaknya butuh banget bantuan kamu, Ka. Nanti bisa ketemuan kalau aku sama dia ke Malang buat survei tempat."

"Boleh Kak," sahut Mahika. Dia melirik Nata yang mematung sembari menatap tajam ke arahnya. "Tapi Insyaallah ya,  aku harus izin dulu sama suamiku nanti." Pengimbuhan disertai lirikan sekilas pada Nata.

Nata berkacak pinggang- masih mematung di tempat, berjarak dua meter dari sisi ranjang tempat Mahika duduk sambil bertelpon. Sejak tadi tatapannya terpancang pada perempuan itu, jakunnya naik-turun menghadang gelegak yang ingin melewati kerongkongan. Sementara sepasang manik legamnya seakan siap melepaskan lesatan panah ketika telinganya mendengar nama laki-laki lain disebut istrinya. Ekspresinya mengeras, otot-otot di rahangnya mengejang, pembuluh darah tampak tegang di lehernya. Dia, Nata, merasakan gelegak api cemburu menyambar-nyambar di hati.

🌼🌼🌼

Pripun rasanya Mas Nata? 🤭🤭




Ada yang ingat sama Mas Hisyam, ora?

14-08-2022
1526


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top