10. Serupa Karang


Kalau bukan untuk orang lain, setidaknya kuatlah untuk dirimu sendiri, karena hidup tak menjamin akan selalu mudah
.
.
.

"Aku hamil, Nat!"

Kalimat itu terus berputar dalam benak Mahika. Sepasang retina cokelatnya seketika terasa memanas karena ingin tumpahkan tangis. Apalagi saat menyaksikan dengan mata kepala sendiri respons Nata pada Airis. Mahika merasa seperti mendapat pukulan tak kasatmata di dada. Sakit.

Janji tinggalan janji, Mahika masih rekam semua kalimat manis Nata tadi pagi. Suaminya mengatakan akan bersikap tegas jika Airis datang kembali ke kantor. Kenyataan memang kadang tak berbanding lurus dengan harapan. Mahika dibuat kecewa lagi. Hatinya patah. Memang benar, menyandarkan harap pada manusia adalah patah hati yang paling disengaja.

Tadinya Mahika datang ke kantor suaminya untuk mengantarkan sarapan sekaligus makan siang bagi Nata. Setelah olahan tangannya gagal karena hangus, Mahika tak patah semangat. Di rumah Pak Hamid menilik isi kulkas, semua bahan masakan lengkap, sayur pokcoy-sejenis sawi, atau biasanya orang menyebut sawi daging segar sehabis dipetik kemarin sore masih teronggok manis dalam tak kulkas. Buru-buru Mahika memasak dan berencana mengantarnya ke tempat Nata setelahnya.

Dua kotak makan telah terisi penuh. Nasi hangat, sayur tumis pokcoy wortel dan sosis, ditambah proteinnya ayam goreng tepung saus asam manis.

Satu kotak untuk sarapan, dan satu lagi untuk Nata makan siang nanti. Setelah semuanya siap, Mahika pamit pada ayah, berangkat menggunakan motor ke kantor Nata yang jaraknya kisaran dua kilometer dari rumah Pak Hamid.

Sampai di pelataran kantor kontraktor tersebut Mahika bergegas mengayun langkah memasuki lobi, dia bertemu dengan Mbak Citra, front office yang langsung menyambutnya dengan senyum ramah.

"Pasti mau nganterin bekal buat Mas Nata ya, Mbak?" Tanyanya dengan raut menggoda. Mahika mengangguk dibarengi senyum manis. "Mas Nata lagi ada tamu Mbak," imbuh Mbak Citra lagi.

Dahi Mahika berkernyit dalam. "Siapa Mbak? Pak Dewa ya?" Tebaknya menyebut nama boss-nya Nata. Mbak Citra menggeleng.

"Bukan, tamunya cewe kok." Informasi Mbak Citra seketika membuat pikiran Mahika terpusat pada satu orang, Airis.

Dia hanya ber-oh-pendek. Usai merapal terima kasih, Mahika izin pamit ke ruangan Nata. Belum sempat kakinya menjangkau pintu, tapi telinganya sudah lebih dulu mendengar sesuatu yang mengejutkan. Airis mengatakan jika dia tengah mengandung. Perempuan itu hamil, tapi yang membuat Mahika lebih tercenung lagi adalah reaksi Nata. Suaminya itu seakan terhenyak oleh kabar yang didengar. Nata bahkan menghentikan langkah dan berbalik pada Airis. Alih-alih tegas, Nata ucapkan pada Airis kalau perempuan itu harus menunda kepergiannya ke Bromo, sangat beresiko bagi perempuan hamil muda melakukan perjalanan yang butuh effort lebih.

Mahika berbalik, tak jadi masuk ke ruangan. Dia titipkan bekal pada Mbak Citra agar disampaikan pada Nata nanti.

Mahika langsung pulang ke rumah Ayahnya lagi. Sampai di sana, duduk di sofa ruang tamu, matanya menatap pot bunga yang berjejer di teras depan. Saking melayangnya pikiran Mahika sampai tak menyadari kalau Pak Hamid baru tiba di rumah.

"Ayah perhatikan dari tadi kamu melamun terus, Nduk?" Hamid penasaran. Sejak datang tadi pagi anak gadisnya terlihat pendiam dan suka melamun. "Sampai salam.ayah dua kali enggak dijawab." Pengimbuhan yang membuat Mahika menggeleng.

"Enggak kok, Yah. Mahika lagi kurang enak badan aja," sahut Mahika berusaha membunyikan rasa sedihnya.

Hamid duduk di sisi sang putri. Tangannya merambat ke puncak kepala Mahika. Kebiasannya sejak dulu suka memberi usapan sayang di sana. "Kalau ada apa-apa cerita sama ayah, ya. Jangan dipendam sendiri."

Mahika menengadah, menangkap raut ayah lewat tatapan mata, dia perhatikan wajah ayah yang mulai dihiasi keriput dimakan usia. Mana mungkin Mahika tega mengadukan segala keresahan hati pada ayahnya. Alih-alih menjawab tanya ayah, Mahika suguhkan senyum manis.

"Mahika enggak papa, Yah. Beneran, lagi kurang enak badan aja."

Hamid manggut-manggut. Sebagai ayah yang hidup dan merawat putrinya selama 23 tahun dia bisa menangkap raut sedih memancar di kedua mata sang putri. Namun, Hamid sadar dia tak punya hak mencampuri urusan Mahika lagi, dia tak akan memaksa kalau bukan Mahika sendiri yang ingin bercerita.

"Ayah dari mana?" Mahika alihkan topik.

"Kirim apel ke Pasar Batu," sahut Hamid. "Oh iya, ayah mau minta tolong boleh?" Imbuhnya menatap sang putri.

"Apa Yah?"

Hamid Hela napas sebelum bicara. "Kebun ayah yang baru ditanami sawi, daunnya habis dimakan ulat, padahal sebentar lagi mau panen. Ayah sengaja enggak semprot pakai pestisida karena ini sawinya organik. Kira-kira bisa dikasih apa buat mengendalikan ulatnya itu, Nduk?"

Mahika manggut-manggut mendengar cerita ayah. "Bikin nabati Mima saja, Yah, pestisida alami, cocok buat tanaman organik. Nanti biar Mahika bikinkan, gampang kok, tapi ya gitu waktu, paling enggak dua mingguan gitu."

Hamid mengangguk paham. "Nanti ayah siapin bahannya apa saja, kamu catat ya."

Giliran Mahika yang beri anggukan. Sudah biasa membantu ayah kalau soal pertanian semacam ini. Hamid ingi beranjak, pamit pada Mahika akan siap-siap sebentar lagi ada undangan walimatul arusy. Pak Hamid yang terkenal sebagai ustaz di kampungnya memang seringkali dimintai tolong oleh tetangga maupun orang-orang untuk mengisi ceramah singkat atau khutbah nikah bagi calon pengantin yang tengah melaksanakan pernikahan.

"Undangannya jam berapa, Yah?"

"Bakda dhuhur, Nduk, ayah mau mandi dulu, siap-siap dhuhur, habis itu langsung berangkat ke tempat acara."

"Ayah hati-hati ya. Aku mau ke rumah produksi kalau gitu."

Pak Hamid mengangguk. Mahika pamit, salim tangan dan melangkah ke rumah produksi pengolahan apel yang berjarak dua rumah dari rumah utama ayahnya.

__

"Kenapa, Ka?" Pertanyaan itu melontar dari bibir Nira. Mahika pergi ke rumah produksi pengolahan apel usai dari rumah sang ayah. Orang pertama yang dihampiri pasti Nira.

Temannya itu sedang sibuk menyortir apel jenis Anna yang akan dibuat dodol apel dan keripik apel. Nita menengadah, menatap Mahika yang masih berdiri di sisinya.

"Duduk sini, Ka!" seruannya dituruti Mahika. Dia duduk persis di sebelah Nira, pada sebuah bangku kayu kecil.

"Mukamu kok cemberut gitu, ada apa, Ka? Pengantin baru kok mukanya ditekuk."

Walau sudah berjalan satu bulan pernikahannya dengan Nata, tapi orang-orang di sekelilingnya masih saja menyebutnya pengantin baru. Istilah bagi pasangan yang baru menikah, belum berumur lebih dari tiga bulan.

Hela napas panjang terlepas dari mulut Mahika. Gamis semi outer abu-abunya diringkas ke depan saat ingin membantu pekerjaan Nira. "Mbuh, Ra. Bingung aku," ucap Mahika. "Pusing kepalaku mikirin sesuatu." Kalimatnya menggantung, membuat Nira menoleh penasaran.

"Bingung kenapa, Ka? Cerita sini sama aku."

Gelengan Mahika. "Enggak ah," sahutnya.

"Heleh, biasanya juga aku dijadikan tong sampah curhatan-mu, Ka."

Mahika tersenyum tipis. Merasa perkataan Nira memang benar adanya. Namun, kali ini ada rasa ragu untuk bercerita pada temannya ini.  "Masalahnya ini menyangkut urusan rumah tangga, takutnya nanti malah kebablasan, ngumbar aib."

"Kayak sama siapa aja, udah  enggak percaya sama aku?" Nira melirik penuh selidik.

Tadinya Mahika pikir masalah rumah tangga, pasti urusan klasik seperti; debat-debat kecil, ngambek lucu atau urusan baju-baju berserakan, dan handuk yang dilempar ke atas kasur, atau soal kompromi tentang siapa yang duluan mandi. Kenyataannya problem rumah tangga benar-benar di luar dugaan Mahika. Heboh masalah perebut suami orang yang marak dibicarakan di ranah media sosial bukan sekadar isapan jempol semata. Dia mengalami - meski belum, tapi terindikasi kalau suaminya sedang didekati mantan kekasihnya, lalu si mantan ingin merebut Nata darinya.

"Ka! Yaelah, cerita, enggak?!" Suara Nira mengagetkan Mahika. Tergagap kecil, dia akhirnya menceritakan semuanya pada Nira.

"Kurang ajar! Kok jancok tenan, Ka." Nira refleks mengumpat. Mahika sontak menaruh telunjuknya di bibir. Takut kalau yang lain mendengar umpatan Nira yang lumayan keras.

"Mulutmu, Nir."

"Wah, kurang ajar, minta dibikin dodol si mantannya itu. Kok ya tega, sesama perempuan tapi nyakitin."

"Sudah Nir, jangan keras-keras, nanti yang lain dengar." Peringat Mahika.

"Pi'i de poeng." Nira menyahut dalam dialek bahasa Malang-an, yang artinya bodo amat.

Mahika memamerkan wajah sendu. Tergambar jelas tak ada semangat seperti biasanya saat dia berada di rumah pengolahan apel.

"Jangan mau kalah, Ka!"

"Maksudnya, Nir?" Mahika bertanya bingung maksud Nira. Tangannya sejak tadi mengaduk-aduk apel dalam rinjing - keranjang yang terbuat dari anyaman bambu.

"Secantik apa si dia, Ka? Kamu enggak boleh kalah, kalau bisa dandan yang lebih cantik, biar Pak Nata makin klepek-klepek sama kamu." Saran Nira tak mengandung candaan, tapi Mahika menahan tawa. Ngobrol dengan Nira menjadi obat bagi hatinya yang dilanda gundah. Sedikit merasa lega setelah mengeluarkan semua unek-unek.

"Hei, aku serius, jangan mesem gitu. Ayo tak make over sini kalau perlu." Nira jemawa. Mahika tertawa pelan.

"Biasa make over apel, mau make over mukamu, jangan-jangan ntar malah kamu jadiin dodol, Nir." Komentar Mahika memicu ledakan tawa Nira. Dia tertulari tawa sahabatnya itu, Mahika ikut terbahak pelan.

"Tapi saranku serius. Kamu jangan nyerah dong. Enak aja, mau nyerah gitu aja. Wong kamu yang pemilik resminya kok. Pokoknya tahan dulu, yang sabar, jangan bahas apapun tentang si mantan kalau kamu lagi sama Pak Nata. Perlihatkan kalau Mahika Saynala itu hatinya serupa karang, tegar, enggak cengeng, tetap happy kiyowo, meski suaminya terancam digondol pelakor."

"Nir udah, Nir. Sakit perutku nahan ketawa dari tadi."

Nira menepuk pelan lengan Mahika. "Nah, gitu dong, yang ceria. Masa Mahika cengeng. Ntar tak daftarin lomba loh, mumpung masih suasana tuju belasan nih."

"Lomba apa sih, Nir."

"Lomba meratapi nasib." Nira terbahak lagi. Mahika hanya geleng-geleng pelan. Beban di hati sedikit terurai gara-gara Nira. Temannya itu emang selalu bisa diandalkan. Setelah Mahika pikir lagi, semua kalimat Nira ada benarnya juga. Kenapa dia harus bersedih, toh Nata telah memilihnya. Mahika telah memenangkan hati Nata. Perjuangan memang belum selesai, tapi jangan sampai dia angkat bendera putih sebelum sampai titik darah penghabisan.

🌼🌼🌼

Nata enggak keluar hari ini. Ngumpet dia, takut dibully sama wettijen. 😂😂😂

Bantu tandai kalau ada typo ya.

13-08-2022
1565

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top