⋆.ೃ࿔*:・. 8
*˚✧₊ hari keenam;
memeluk bintang ⁺˳✧༚.
Entah ide siapa yang mengusulkan agenda ini, tapi di sinilah kami sekarang. Tepat di depan loket tiket sebuah wahana rumah hantu yang cukup terkenal oleh penjuru negeri. Banyak cerita dari mereka yang terlebih dahulu memasukinya, katanya sih sangat menyeramkan. Karena penasaran, maka mau tidak mau wahana ini perlu dijabani.
Dari kelima temanku saat itu, hanya Bintang-lah yang menutup rapat mulutnya. Sepanjang perjalanannya ia hanya berbicara jika ditanya saja. Bahkan ia tak mau memberikan saran apa pun, tapi enggan juga menolak. Sepenuhnya berserah diri pada senarai tujuan yang diusulkan para teman yang lain. Sungguh, aku tidak tahan melihatnya seperti patung hingga akhirnya kumulai percakapan lebih dahulu. "Kenapa begitu? Takut?" ledekku sambil menyengir.
"Enggak, biasa aja ... Kelihatannya kamu yang takut."
Aku mengangkat bahu seakan tidak yakin, "Dulu sih yang penakut, yaaa kamu," cibirku
Untuk pertama kalinya dalam hari ini, Bintang menunjukkan senyumnya. "Kan, itu dulu ... Sekarang mah udah mental baja," kekehnya.
Belum sempat kujawab, kami berenam dipersilakan masuk ke antrian tepat di depan gerbang. Tiket sudah aman berada pada temanku yang paling semangat alias pengusul agenda. Seorang petugas bertudung hitam dan riasan luka di wajahnya pun menghampiri kami. Ia menjelaskan berbagai aturan dan alur cerita demi membangkitkan rasa takut. Kami akan memasuki rumah hantu itu bersama-sama, berenam. Namun, sang penjaga menyuruh untuk berpasangan saja. Terpaksa aku bersama Bintang, karena memang daritadi ia berdiri di sebelahku.
Aku dan Bintang menjadi pasangan terakhir dari kami yang akan memasuki rumah hantu itu. Kuamati Bintang yang memang terlihat tidak takut, bahkan sangat santai. Sedangkan, aku sendiri mulai sedikit resah karena pekikan teman-temanku tadi mulai terdengar.
Tak perlu jeda lama, penjaga tadi mempersilakanku masuk. Dengan impulsif, aku melihat Bintang penuh arti. Dan seakan mengerti, ia mengangguk, lalu mengulurkan tangannya untuk kugenggam. Awalnya aku ragu-ragu, tapi Bintang—entah bagaimana caranya—berubah menjadi seseorang yang begitu peka. Ia mendekatiku dan berbisik, "Enggak bakalan ada yang lihat."
Apa yang Bintang bilang, ada benarnya juga. Teman-teman kami telah lebih dahulu masuk ke sana dan masih ada alasan jika aku dan Bintang terlihat terlalu dekat. Bisa dengan gampang menyalahkan hantu yang ada di dalam sana. Maka dari itu, aku memberanikan diri untuk menerima tawarannya. Kugenggam tangannya dengan erat seraya melangkah masuk ke dalam bangunan rumah tua yang gelap itu. Bau asap dari kemenyan langsung menyeruak masuk ke indra penciuman. Baru saja tiga langkah memasuki rumah, aku dan Bintang telah disambut dengan sesosok hantu yang memecahkan kaca tepat di depan kami. Sungguh, aku terkejut mendengar itu dan langsung terhuyung hampir jatuh. Bintang yang sama kagetnya, seketika memelukku dari samping dan bertanya, "Kamu nggak pa-pa?"
Aku mengangguk walau sepertinya percuma, karena keadaan yang lumayan gelap hingga sulit melihat satu sama lain. "Iya! Enggak apa-apa," jawabku dengan lantang agar didengar Bintang. Sebab untuk sekarang, hiruk-pikuk terjadi di rumah ini akibat beragam teriakan para hantu yang mengelilingi.
"Ayo," ujar Bintang yang langsung menuntunku untuk terus berjalan agar menyelesaikan wahana ini.
Sepanjang jalan memasuki tiap ruangan selalu ada kejutan baru yang diberikan sang hantu. Dan perlu diakui, lengan Bintang tak beranjak dari pinggangku. Ia seakan menjagaku dalam kegelapan ini, bersama-sama menyelusuri setiap kejutan yang menakutkan. Hingga tiba di lorong panjang yang menjadi ruangan paling gelap dalam rumah ini.
"Gelap banget!" keluhku.
Bintang berbisik tepat di telingaku, "Nggak pa-pa, jalan aja."
"Tapi, ini beneran enggak keliatan! Takut jatoh."
"Enggak kok, aman. Kamu jalan lurus aja," ujar Bintang. Lalu, ia memindahkan tangannya ke bahuku untuk dirangkul.
Beberapa langkah pertama memang aman, tapi setelah itu kembali mendapatkan kejutan dari para hantu. Serta merta aku memeluknya dengan erat. Kudengar samar-samar suara kekehan dari Bintang yang sedang mengusap punggungku.
"Ayo, jalan lagi," katanya.
Dan hingga akhir wahana tersebut, begitulah yang terjadi. Aku memeluknya atau Bintang yang memelukku. Sangat banyak pelukan sampai tak bisa lagi terhitung. Walaupun bisa dengan seluasa memeluk Bintang, tapi sekarang bukan waktu yang tepat. Semua ketakutan dan keterkejutan dari para hantu membuatku tidak begitu menghiraukan sentuhan Bintang. Kalau kejadian ini telah dilalui waktu, mungkin aku akan melupakan ini sebagai kenangan. Karena memang benar apa kata orang-orang, rumah hantu ini sangat menyeramkan hingga membuatku sedikit banyak teralihkan.
***throwback***
tiga tahun yang lalu;
festival senja
Para peneman lain ikut memasuki wahana bianglala nan tinggi itu. Adik Bintang memaksa semua orang untuk menemaninya termasuk aku. Namun, perlu kuberitahu dulu. Aku tidak begitu bersahabat dengan ketinggian, terutama jika tempat tinggi itu memiliki 'pembatas' yang seakan menjebak. Oleh karena itu, aku menolak untuk ikut dan memilih untuk menunggu. Bintang juga enggan ikut, katanya ingin menemaniku. Alhasil, aku dan Bintang memutuskan untuk sekadar berkeliling mengitari festival ini. Berjalan bersama tanpa perlu bersembunyi, hanya saling menikmati.
"Padahal tadi dikit lagi kena itu!" keluh Bintang ketika melewati arena panahan yang tadi dicobanya.
Aku terkekeh padanya, "Hush, udah ah, ikhlasin aja. Nanti belajar manah dulu ya, baru main itu lagi."
"Kelamaan kalau gitu, keburu festivalnya kelar."
"Ya udah, kalau gitu main yang lain aja."
Bintang menggeleng sambil tersenyum amat manis. "Nggak mau main dulu, deh."
"Lalu?"
Ia melepaskan rangkulannya dan langsung memelukku penuh kehangatan. "Mau gini aja ... Kapan lagi kan bisa bebas begini? Ntu, ada kesukaan kamu lagi," ujarnya.
"Hah? Apaan?"
Bintang pun menunjuk ke arah matahari terbenam, "Itu ... Sunset, kamu kan anak senja banget."
Aku memukul pelan bagian bahu Bintang, lalu mengalungkan lengan di lehernya. "Kamu ih berasa bukan anak senja aja!" ledekku.
"Lah, emang enggak?"
"Baru juga kemarin berkali-kali fotoin sunset...."
Bintang terkekeh begitu tampan membagikan senyumannya. "Itu mah bukan gegara sunset-nya," jelasnya.
"Ngeles mulu."
"Hidih, beneran tau. Aku fotoin kamu ... Mau lihat nggak hasilnya? Cantik banget, serius," ungkap Bintang sambil mengeluarkan ponsel genggamnya.
Dan begitulah senja hari ini berlalu, berbagi pelukan hangat bersama Bintang sambil membongkar hasil foto yang diambilnya secara diam-diam. Sambil bercanda tawa dengannya, aku diam-diam berharap agar hari ini menjadi kenangan abadi yang tak akan kulupakan seiring waktu. Andai saja senja memiliki waktu yang lama, ingin aku hanya berduaan saja untuk seterusnya. Namun sayang, bianglala memiliki batasan waktu. Begitu pula dengan senja yang tenang ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top