⋆.ೃ࿔*:・. 7
*˚✧₊ hari kelima;
menemani bintang ⁺˳✧༚.
"Kamu udah nonton ini?" tanya Bintang seraya menunjukanku sebuah poster film terbaru.
Aku menggeleng cepat, karena memang belum menontonnya. Sudah ada firasat apa yang selanjutnya akan dikatakan Bintang, siap siaga aku menenangkan hati.
"Mau nonton, nggak?"
Tebakanku tepat sasaran. Sudah pasti Bintang akan mengajakku untuk menyaksikan film tersebut. Apalagi karena film itu salah satu dari seri kesukaan kita. Langsung saja aku teringat dengan kenangan dulu, rupanya bisa semanis itu. Namun kali ini, aku memilih jalur yang berbeda; berlawanan dengan yang lalu. Aku menolaknya.
"Enggak ah, males."
Singkat, padat, tetapi tidak begitu jelas. Tanpa alasan pasti, tanpa basa-basi, aku menolaknya. Aku takut mengulang kenangan yang lalu itu. Menghabiskan waktu dengannya untuk kebersamaan yang hadir karena adanya alasan itu. Aku takut jika terjatuh sendirian dan Bintang tak menyadari.
Intinya, aku takut semua akan terasa seperti dulu. Sungguh, aku tidak membutuhkan itu. Percuma saja jika kehangatannya seakan terasa seperti dulu. Karena sejujurnya, Bintang sudah bukan yang dulu. Apa maunya saat ini tidak lagi kuketahui.
Aku sebenarnya sangat takut. Pembicaraan Bintang kemarin membuatku takut. Aku takut salah mengartikan semua ini. Karena semakin lama aku memikirkan tiap perkataannya kemarin, semakin banyak aku mempertanyakan tiap langkahnya. Bagaimana jika aku salah mengartikan semua itu? Awalnya aku hanya berpusat pada kupu-kupu yang bermain di perut, tetapi lama-lama menghasilkan terkaan yang sungguh menyakitkan.
Apa maksudnya ia mengenang? Kenapa ia harus mengenang? Bintang, kenapa kamu harus mengenang jika saat ini aku berada di sini menemanimu?
***throwback***
tiga tahun yang lalu;
semalaman bersama bintang
"Bintang mana?" tanyaku pada adiknya.
Sang adik mengedus malas, "Biasa," katanya. "Palingan di ruang tengah. Siap-siap buat nonton semalaman."
Belum sempat aku menjawab sang adik, sebuah pesan masuk menarik perhatianku. Bisa-bisanya Bintang datang pada waktu yang tepat, sepertinya ia akan panjang umur.
—————
⚪️ Bintang
—————
Kamu di mana?
Nonton, yuk.
Tanpa membalas pesannya, aku yakin Bintang sudah tahu jawabannya. Kuajak adiknya untuk keluar dari kamar, agar ikutserta dalam movie night kami. Namun, untuk sekian kalinya, ia menolak. Katanya 'mendingan main game'. Ya, apa boleh buat. Adiknya bintang memang memiliki hobi yang sedikit berbeda dengan Aku dan Bintang. Jadi, tidak perlu dipaksa lagi, karena ia memang akan sibuk dengan permainan video. Dengan itu, aku langsung keluar kamar dan menemui Bintang di tempat biasa. Berduduk manis di atas sofa empuk seraya mencari film untuk disaksikan.
"Hai," sapa Bintang dengan senyuman manis. "Mau nonton apa malam ini?" tanyanya.
Aku mengernyitkan alis seakan berpikir, "Hm, apa ya? Bingung juga."
"Horror? Action? Apa gimana?"
"Terserah aja, deh."
Oke, katanya. Setelah itu entah film apa yang sebenarnya diputar Bintang, aku juga tidak tahu. Karena tidak satu orang pun dari kami yang benar-benar menyaksikannya. Mataku lebih tertuju pada ponsel di genggaman Bintang, sedangkan matanya mengarah padaku. Sebuah permainan ludo yang sederhana menjadi ajang untuk berdekatan. Entah sudah berapa kali diulang, rasanya bosan tidak dikenal. Wajahku dan Bintang juga sudah terpenuhi bedak sebagai cap saat menjadi pemain yang kalah.
Aku tertawa kecil ketika menelaah parasnya, "Gemes banget!" ujarku seraya menyubit pelan pipinya yang penuh bedak bayi.
"Kamu juga nih," gemas Bintang seraya menangkup kedua pipiku.
Lima atau enam swafoto diabadikan untuk mengingat momen ini. Bersama membanggakan hasil karya coretan masing-masing. Sesaat selesai, aku berniatan untuk menghapusnya. Namun, secepat kilat Bintang menangkap tanganku. "Jangan dihapus," pintanya.
Aku menatapnya bingung, "Lah? Emangnya kenapa? Kan, tadi udah difoto."
"Enggak pa-pa, gitu aja. Lucu soalnya, gemes banget," geram Bintang dengan masih tak melepaskan tanganku. Bahkan parahnya, ia langsung menarikku seakan tubuh ini seringan kapas.
Lagi-lagi aku terjebak dalam dekapannya. Masuk ke dalam pelukan dan bersandar sepenuhnya pada Bintang. Bisa kurasakan hembusan napasnya mengenai rambutku begitu tenang seakan aku ditakdirkan untuk selamanya di sini. Tak ada satu pun yang bersuara, kecuali film yang tadi diputar, kini telah kembali mendapatkan perhatian.
"Kalau dipikir-pikir, sebenarnya kita bukan menonton," jelas Bintang.
Aku mengangguk setuju, karena memang betul apa yang dikatakannya. Agenda movie night ini seakan hanya alasan. Sekadar alasan untuk kita agar bebas berduaan. Mengingat yang lainnya tak begitu hobi menonton. Ini dilakukan semenjak kedatangannya, malam hari tidak lagi digunakan tidur, tetapi 'menonton'. Sudah menjadi alasan klasik yang ampuh dan dipercayai semua orang yang bertanya. Membuat Aku dan Bintang berleluasa membicarakan apa pun.
Semalaman aku akan menemaninya, saling bertukaran cerita yang terlewati tanpa hadirnya kita. Dari A sampai Z, cerita itu tak habis-habis. Sebab waktu kita terpisah cukup lama. Kantuk terkadang juga menyerang secara tiba-tiba, hingga sering kali aku terlelap dalam pelukan Bintang. Perlu kuakui kalau itu termasuk tidur yang paling nyenyak yang pernah kurasakan. Andai saja aku bisa merasakannya setiap hari.
Hal yang sama juga dilakukan Bintang. Ia juga akan tertidur ketika melihatku terlelap dipelukannya. Jika sudah begini, setiap subuh menyapa, aku terpaksa pelan-pelan melepaskan dekapannya dan menyelinap masuk ke kamar. Sebab tidak mau kalau paginya, semua orang menemukanku bersama Bintang semalaman.
Karena perlu diingat, kalau Aku dan Bintang senang bersembunyi. Lebih tepatnya, terpaksa bersembunyi. Walaupun tidak pernah melakukan hal yang aneh-aneh. Tetap saja, kita harus dijadikan rahasia. Karena, takut saja semesta akan murka....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top