⋆.ೃ࿔*:・. 5

✧₊ hari ketiga;
mengenang bintang ⁺˳✧༚.

Ini kali pertama untukku dan teman-teman beserta Bintang pergi berlibur tanpa adanya sang adik. Adiknya Bintang sengaja memilih menetap di sana, sehingga mereka hanya membawaku. Tadi malam adiknya sempat mengabari, katanya ia sedang malas untuk liburan. Memang terdengar aneh, di dunia bagian mana ada orang yang tidak menyukai liburan.

Sebenarnya, tadi malam adalah pesan singkat pertama yang kudapat dari adiknya bintang setelah sekian lama ini ... Ia hanya sedikit bercerita tentang kedatangannya kali ini, katanya bukan tak ingin bertemu, hanya saja ia ke sini bukan untuk liburan. Sang adik bilang kalau di sini ia memiliki sedikit kerjaan yang harus segera diselesaikan. Sebenarnya dua hari lalu ia ingin langsung pulang. Namun, dicegah oleh Bintang dan disuruh untuk menunggu di sini. Bintang memaksanya untuk menetap di sini dengan alasan ia akan menjemputnya. Adiknya bilang Bintang menjadi aneh, untuk apa juga menjemput. Belakangan ini, sang adik sudah terbiasa berpergian sendiri dan Bintang sudah tak begitu rajin untuk ikut bersamanya. Namun, entah apa yang membuat Bintang berubah pikiran. Ia kali ini malah berusaha keras memaksa adiknya untuk menunggu, hanya karena ia ingin ke sini.

Sempat kutanya pada adiknya, apakah ada alasan tertentu yang memaksa Bintang untuk hadir. Tidak, jawabnya. Setahunya Bintang tak memiliki urusan di sini, jadi ia tak begitu paham maksud kedatangan abangnya. Bohong kalau aku tidak menerka. Aku berharap alasannya adalah aku, tapi sepertinya kurang masuk akal. Kenapa juga harus sekarang? Kenapa setelah tiga tahun, Bintang baru mau kembali ke sini? Jawaban pasti hanya bisa diungkapkan oleh sang empunya. Dan, itulah yang kulakukan hari ini. Mencari waktu yang tepat untuk menyelinap keluar agar bisa berduaan dengan Bintang. Sedikit bertukar cerita dan memancing tiap jawaban darinya.

"Kudengar, kamu memaksa ingin ke sini," kataku dengan jantung yang tak karuan. Sudah berjam-jam aku menyiapkan mental untuk berbicara dengannya. Namun sialnya, pesona Bintang mengalahkanku, hingga diri ini gugup setengah mati.

"Iya."

"Kenapa?"

Bintang berdiam sejenak. Hitam matanya menyelusuri wajahku, membaca tiap perasaan. "Bukankah sudah jelas?" tanyanya.

"Tidak begitu jelas."

"Aku ingin bertemu denganmu ... Sudah ... Berapa? Dua tahun? Tiga tahun?"

Perlu kuakui, aku sekuat tenaga menahan keterkejutanku. Sekarang Bintang lumayan sangat blak-blakan, tak lagi memberikanku waktu lama untuk menerka. Aku tidak terdiam, tetapi menjawabnya dengan cepat berdasarkan ingatan yang begitu tertanam lekat. "Tiga tahun. Tiga tahun sejak terakhir kali aku bertemu denganmu ... Dan, dua tahun sejak terakhir kali kudengar suaramu," lirihku.

Seutas senyum manis dengan bangga merekah di pipi Bintang. "Ternyata kamu masih sama, pengenang yang sangat baik," ujarnya.

"Iya, suatu keahlian yang benar-benar menyakitkan."

***throwback***
tiga tahun yang lalu;
pertemuan kala remaja

Aku dan Bintang sedang berbaring di hamparan pasir putih dengan memandangi ribuan bintang lainnya. Sungguh malam yang indah untuk mengenang kisah lampau. Kalau diteliti lebih dalam, tiap kisah pertemuan kita memiliki awalan yang sama. Sepertinya takdir sudah menuliskannya sedemikian rupa.

"Kenapa setiap kali kita bertemu, pasti akan selalu begini? Harus diem-dieman dulu," ungkapku pada semua bintang yang mendengarkan.

"Emangnya iya?"

Aku mengangguk, "Iya, hari pertama ketemu pasti selalu canggung gitu."

"Wajar aja, kan udah lama enggak ketemu ... Emang udah berapa tahun, ya? Aku lupa," kekeh Bintang mencoba mengingat.

"Empat, empat tahun."

"Lah, iya? Enggak kerasa ya."

Kali ini giliranku tertawa. Sungguh jawaban yang sangat klasik. "Itu mungkin saja karena kamu lupa ... Kamu sangat pelupa, Bintang," ledekku.

"Aku tidak selalu pelupa."

Bersemangat, aku pun duduk dan menepuk lengannya. "Oke, kalau gitu ceritain. Empat tahun lalu, pagi pertama di pantai, kita ngapain aja?"

"Sarapan?" ujar Bintang sambil menyeringai.

"Aku tahu kamu lupa, Bintang. Jujur saja."

Ia justru balik bertanya padaku, "Memangnya kamu masih ingat?"

"Tentu saja ... Kita kabur dari kamar hotel, bersama adikmu juga, mencari kerang di tepian pantai dengan ditemani mentari terbit. Masih pada pakai piyama semua."

Spontan Bintang meraih tanganku, menggenggam erat seakan tak percaya. "Eh, iya benar! Aku mengingatnya!" decaknya.

"Tuh kan, benar. Berarti tadi kamu lupa, kan?"

"Aku tidak lupa, hanya tidak memiliki ingatan sepertimu. Ajaib banget bisa ingat begituan."

"Entahlah, aku juga bingung. Sepertinya aku terlalu sering menyimpan berbagai ingatan sebagai kenangan hingga terbiasa."

Bintang tersenyum penuh arti sekaligus mengelus rambutku dengan manja. "Tak apa, aku menyukainya," pujinya. "Aku suka mendengar semua kenangan yang kamu ingat itu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top