⋆.ೃ࿔*:・. 3
*˚✧₊ hari pertama;
kedatangan bintang ⁺˳✧༚.
Hari-hari terlewati dengan cemas. Walau hanya ada adiknya saja, aku sudah sangat takut. Aku tak ingin bertemu, hingga berusaha sebisa mungkin untuk bersembunyi. Dan akhirnya, aku berhasil. Kudengar kabar katanya adik Bintang akan segera pulang. Jujur saja, itu cukup menghilangkan bebanku.
Untuk pertama kalinya, hari ini aku kembali lega. Tidak perlu lagi bersembunyi, karena peluang Bintang datang telah mendekati mustahil. Hari ini aku bisa beristirahat tenang, melupakan semua kemungkinan yang kemarin menakuti. Sudah berani keluar rumah, karena tak ada kemungkinan akan bertemu adiknya bintang.
Hariku berjalan seperti biasa, hingga terasa sedikit hampa. Itu sampai di siang harinya, seketika saja ada undangan untuk makan malam bersama teman lamaku. Sudah lama tak bertemu, karena ada beberapa dari mereka yang berkuliah di luar kota. Tanpa banyak pikir, aku pun mengiyakan ajakan mereka karena sudah sedikit mumet akibat berhari-hari memekap di rumah.
Ketika malam tiba, aku menjadi yang pertama hadir. Terpaksa menunggu mereka yang terkenal suka terlambat. Duduk sendiri di pojokan, mengamati keceriaan natal yang menghiasi seisi ruangan. Satu per satu dari mereka pun akhirnya datang dengan penuh canda tawa yang berluapan. Tak peduli seberapa ributnya ruangan itu, telingaku menangkap satu pertanyaan yang menghentikan detak jantung. "Bintang udah sampai mana?"
Apa? Bintang?
Seakan lepas kendali, mulutku seketika saja bertanya Bintang mana yang mereka maksudkan. Sebenarnya sungguh percuma, sebab di lingkaran pertemanan ini, hanya ada satu Bintang yang kita kenal. Dialah Bintangku dulu. Sebelumnya perlu kuingatkan, kalau mereka semua tak mengetahui hubunganku dengan Bintang. Mungkin hanya mengira sebatas teman saja. Namun, bukan itu masalahnya sekarang.
Masalahnya adalah Bintang akan datang! Berhari-hari bersembunyi dengan percuma. Bintang benar-benar datang ... Aku tak sanggup lagi menutupi kegugupanku. Kaki dan tanganku gemetaran tak tentu, sangat takut jika tidak bisa menutupi perasaanku. Takut akan menangis ketika melihatnya. Takut akan berharap ketika berbicara dengannya. Intinya aku sungguh takut.
Seakan mendengar panggilanku, Bintang datang memasuki ruangan. Tubuhnya yang tinggi besar menjadi pusat perhatian. Dan dari apa yang kuingat, sepertinya ia bertambah tinggi dan kekar! Potongan rambutnya juga telah berubah, senyum, dan gaya berpakaiannya apa lagi. Semuanya berubah. Sangat berbeda dengan Bintang yang dulu. Tanpa menoleh ke arah lain, ia berjalan menuju kami. Kulihat ia menyapa beberapa orang, tanpa menghiraukan kehadiranku, bahkan sampai ia duduk tepat di hadapanku.
Sepanjang malam ia berbicara dengan yang lain, tanpa sedikitpun menyapaku. Jangankan bicara, menatapku saja tidak mau. Pandangannya sengaja beralih ke mana pun kecuali padaku. Tak perlu mencuri pandang, aku bisa dengan bebas memandanginya karena ia benar-benar tak mempedulikanku.
Rasanya aku ingin pulang. Benar-benar tidak ingin berada di sini. Ini situasi terburuk yang pernah kurasakan. Aku sudah tak lagi menghiraukan apa yang menjadi topik pembicaraan mereka, hingga seketika temanku memanggil namaku.
"Bagaimana? Ikut, kan?" tanyanya.
Aku mengernyitkan alisku tanpa bersuara, sama sekali tak mengerti maksudnya. Alhasil semuanya menatapku, termasuk Bintang. Untuk pertama kali sejak kedatangannya, Bintang menatapku. Aku semakin gugup untuk bertanya perihal pembicaraan tadi. Namun, syukurlah temanku mengerti dan menjelaskan sedari awal. Ternyata mereka ingin mengajak sekaligus memaksaku untuk ikut pergi liburan. Dengan tatapan Bintang yang tajam itu, aku tak sanggup melawan dan akhirnya memutuskan untuk mengiyakan ajakan mereka. Dan setelah sekian lama terlupakan, aku mendapatkan sedikit senyuman dari Bintang. Sungguh canggung hingga aku hanya bisa tersipu malu.
Sampai malam berakhir, Aku dan Bintang hanya bertukar tatapan penuh makna tanpa sepatah kata terucapkan. Semua berlalu begitu cepat hingga tak terasa agenda ini telah usai. Kita semua bersiap pulang menuju arah yang berbeda, hingga seketika saja Bintang menarik lenganku. Hampir saja aku terduduk lemas ketika merasakan sentuhan lembutnya.
"Pulang denganku aja," katanya tanpa memberikanku waktu untuk menjawab.
Masih bergandengan, Aku dan Bintang memasuki mobil. Berjuta pertanyaan mulai muncul di benakku. Aku langsung menarik tanganku darinya, tak ingin kembali jatuh. Kenapa malam ini dia bersikap sungguh sangat membingungkan?! Mengabaikanku, tapi kini mengantarku pulang. Belum lagi dengan kedatangannya yang sangat amat tiba-tiba. Aku tidak mengetahuinya! Bintang tidak sekali pun mengabariku; tidak sekali pun memberitahukanku kalau ia akan datang. Itu sungguh membuatku frustasi hingga bergejolak dengan keberanian.
"Gimana ceritanya aku bisa nggak tau kalau kamu bakalan datang?Bahkan jadi orang terakhir yang mengetahuinya. Apa separah itu perpisahan kita?"
Bintang seketika menyeringai malas, "Bagaimana bisa berpisah, kalau belum pernah bersama?"
Sempat aku terdiam mendengarnya, tak kusangka Bintang akan berbicara begitu. "Kamu jangan bilang begitu, Bintang."
"Jadi, seharusnya bagaimana? Aku nunggu lama untuk kamu memberanikan diri ... Apa kamu masih takut?"
Mengerti. Aku sangat mengerti maksudnya. "Enggak semudah itu..."
"Enggak ada yang bilang mudah ... Aku mau ngelawan satu semesta, asalkan kamu mau. Kalau kamu berani nerima semuanya, aku bakalan memulai," tegas Bintang yang sungguh menohok hati.
"Aku masih takut, Bintang."
"Dan, aku masih belum bisa menerima jawaban itu."
Begitulah semuanya berakhir, ketika belum sempat dimulai. Pembicaraan malam ini tak menghasilkan apa pun selain keadaan yang semakin memanas. Aku dan Bintang masih memiliki jalan yang berbeda. Aku penasaran, apakah perasaannya masih sama denganku? Apakah dia melupakan semua kisah manis dulu? Entahlah, aku tak tahu pasti. Yang bisa kuingat sekarang, hanyalah kejadian dulu. Kejadian yang terjadi hampir tiga tahun lalu, tapi begitu mirip dengan situasi saat ini.
***throwback***
dua tahun,
satu bulan yang lalu
"Aku takut ... Tadi malam, lagi-lagi hampir aja ketahuan," ujarku pada Bintang secara virtual. Jauh sebelum pandemi berlangsung, aku dan bintang terpaksa bertemu tanpa bertemu. Jarak yang benar-benar terlihat di antara kita, membuat semua harus serba virtual.
Kulihat di layar laptop, Bintang mengusap mukanya dengan lemah. Sudah pasti juga muak dengan jarak yang ditambah dengan permainan petak umpet ini. "Sampai kapan kita akan begini? Harus bersembunyi dari semuanya, apa kamu enggak capek?"
"Mau gimana lagi? Enggak ada jalan lain, Bintang."
Bintang menggeleng tidak setuju. "Ada, kalau kamu berani memperjuangkan. Kita enggak akan bisa ada, kalau caranya begini terus."
"Mudah untuk berbicara begitu. Apakah kamu tidak memikirkan akibatnya?" tanyaku mulai kesal dengan cara Bintang sangat jarang memikirkan segala akibat.
"Kamu terlalu pesimis. Memangnya akibat hanya berupa kegagalan? Bagaimana jika kita berhasil? Tidakkah kamu mau mencobanya?"
"Jika itu gagal, aku akan kehilanganmu selamanya, Bintang! Tidakkah kamu memikirkan itu?!" kesalku pada Bintang. Lebih tepatnya aku takut. Aku terlalu takut untuk kehilangannya hingga tak ingin menyia-nyiakan apa yang ada saat ini.
Namun, Bintang lagi-lagi beranggapan lain. "Setidaknya kita mencoba. Apa kamu sudah merasa cukup dengan semua ini?"
Sungguh aku tak terima dengan perkataannya. "Kalau iya, memangnya kenapa? Apakah semua ini kurang untukmu? Aku tak tahu kamu bisa jadi begitu serakah."
"Salahkah aku ingin memiliki kepastian? Kita terlalu lama menyingkirkan hal ini ... Lihat hasilnya ... Hubungan kita jadi tak pasti. Tolong beri tahu aku apa nama hubungan ini, karena aku sungguh tak mengetahuinya."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top