⋆.ೃ࿔*:・. 10

✧₊ hari kedelapan;
menyembunyikan bintang ⁺˳✧༚.



Seharian ini Bintang tidak mencoba apa pun, ia hanya memandangiku dengan berbagai macam tatapan menyelidik. Kukira ia mulai menyerah, tapi malam hari membawa cerita lain. Aku yang tengah bersantai hendak tidur, diganggu oleh sebuah ketukan.


Begitu pintuku terbuka, Bintang langsung menyelonong masuk. "Kamu ngapain?" tanyaku.

"Apa menurutmu? Yaaa, bersembunyi."

"Kamarmu sendiri kan ada!" gerundelku, enggan mengikuti permainannya.

Ia menatapku dengan matanya yang berbinar itu."Aku maunya bersamamu," katanya memelas.

"Bintang...."

Bukannya bergerak keluar, ia justru membenamkan dirinya di selimutku. "Aku akan sediam tikus, enggak akan mengganggumu."

"Kalau gitu, apa gunanya kamu ke sini?" tanyaku, mulai jengkel.

Bintang mengangkat satu alisnya seakan menantang. "Perlu kuulangi lagi?" tanyanya menyengir.

Kalah, aku memilih untuk kalah dan menutup pintu. Terpaksa aku duduk malas pada sofa kecil di depan kasur. Ia masih tak berkutik dan memilih untuk bermain dengan ponselnya. Sekian waktu berlalu, aku masih duduk termenung karena tempat tidurku yang hangat sedang dibajak.

"Bintang, sudahlah. Kembali ke kamarmu ... Sudah malam, aku mau tidur," ujarku.

"Yakin mau tidur?"

"Bintang...."

Akhirnya ia meletakan ponsel terkutuknya itu. Apa gunanya juga ia bersembunyi di sini jika hanya berniatan untuk menghabiskan waktu dengan benda itu. "Kamu kenapa?" tanyanya.

"Kamu yang kenapa?!" sahutku dengan sewot.

Bintang hanya mengangkat kedua bahunya dengan enteng."Setidaknya aku bukan seseorang yang mengurung dirinya kemarin," sindirnya.

Aku memicingkan mata sebentar karena sudah geram dengan permainannya ini. "Jadi, itu masalahnya? Kan aku udah bilang, hanya ketiduran," kilahku serasa paling benar.

"Bohong."

"Sudahlah, Bintang. Percuma aja berbicara denganmu," decakku seraya selonjoran di sofa dan mencoba untuk mengabaikannya.

Bintang justru mengehela napas begitu pasrah. Kulirik ia sudah merengut seraya menarik rambutnya sendiri. "Kenapa kamu selalu begitu?" tanyanya penuh frustasi.

"Begitu, gimana maksudmu?"

"Tiba-tiba menjauhiku!" berangnya.

Tidak terima dengan kekesalannya, aku duduk dan menatap tajam manik hitamnya dengan begitu menantang. "Lalu maumu apa?" kelitku. "Kamu aja enggak tahu apa maumu."

"Aku mau ada kita."

Kali ini aku yang meremas rambutku sendiri, "Bintang ... Sudah berapa kali kubilang, jawabanku masih sama," tegasku dengan sangat frustasi.

"Kalau gitu, berikan aku waktu untuk meyakinkanmu."

Kuberikan sebuah tatapan penuh tanya padanya, "Dulu kita udah melakukan itu, kan?"

"Apa salahnya untuk mencoba kembali?" tanya Bintang begitu pelan.

Aku mendengus kesal mendengar ucapannya, "Terakhir yang aku ingat, kamu enggak bisa menerima jawabanku ini. Jadi, untuk apa? Untuk apa kembali seperti dulu?! Aku enggak mungkin melawan semesta, Bintang. Aku bukan kamu," jelasku sepelan mungkin supaya ia meresapi tiap kalimat dan sadar diri.

"Seenggaknya, bisakah kamu jangan menjauhiku?" lirihnya.

Dengan tegas aku menjawab, "Enggak."

"Kenapa?"

Kali ini, giliranku berlirih pelan padanya, "Itu sama saja artinya aku membiarkanmu menyakitiku."

Bintang seketika terkekeh dengan ironis, "Hanya kamu? Apa kamu lupa? Dulu kamu yang menghilang dan aku mau enggak mau, harus nerima itu," keluhnya dengan suara yang tertahan.

Aku sedikit tertegun mendengarnya. Apa yang dikatakannya memang benar, tapi aku memiliki alasanku sendiri. Andai saja kita selalu sejalan, ini tak mungkin akan terjadi. "Kalau gitu jangan. Jangan ulangi cerita lalu," ungkapku dengan tertunduk.

"Buatku enggak apa, asalkan sekarang kamu jangan menjauh begini. Aku lebih rindu padamu daripada takut patah hati," ujar Bintang mengakhiri perseteruan ini.

***Throwback***
tiga tahun yang lalu;
latihan menutupi hubungan

Seperti malam-malam sebelumnya, Bintang dan temannya menyelinap masuk ke kamarku dan si adiknya. Di kamar sementara ini, aku dan adiknya banyak menghabiskan waktu untuk sekadar bercerita tentang hari-hari yang terlewati. Namun, beda cerita jika kedatangan dua lelaki itu. Ruangan ini akan ribut dengan berbagai suara. Entah itu dari kami, lagu, ataupun gelegar suara film horror. Seperti saat ini, semua orang telah menempati sarangnya masing-masing.

Aku dan adik bintang duduk di kasur dengan separuh badan tertutup selimut. Bintang di kursi sebelah kananku, tepat bersebelahan dengan jendela besar. Dan, satu teman lainnya selonjoran di sofa yang berada pada pojok kiri ruangan. Kami berempat baru saja menyelesaikan satu babak dalam permainan video. Lebih tepatnya, aku dan Bintang tertembak lebih dulu. Jadi, si adik dan teman masih terjebak dalam permainan itu.

Kupandangi Bintang yang menatapku lekat. 'Apa?' tanyaku tanpa suara. Ia menggelengkan kepalanya seraya meraih ponselnya. Dan seketika itu juga, ada pesan masuk yang tentunya dari Bintang.

—————
⚪️ Bintang
—————
Dingin nggak?

Banget.

Sama....
Berani nggak?

Apaan?

Jangan kaget, ya.

Belum sempat aku menoleh, aku langsung dikagetkan dengan tubuh besar Bintang yang sudah berada di sampingku. "Sumpah dah, ini suhunya berapa, sih? Dingin amat," keluhnya seraya memeluk tubuh sendiri. Kemudian, ia menarik ujung selimut di sebelahku. "Geseran dikit dong, nggak tahan nih, menggigil," imbuhnya.

Seketika saja ia menyusup ke bawah selimut tepat bersebelahan denganku. Kurasakan pipiku memanas karena merasakan kakinya bertautan denganku. Melihatku begitu, ia justru mengedipkan sebelah mata dan terkekeh pelan. Tak lama kemudian, si teman di sofa berlari kecil menuju kasur. Mengikuti arahan Bintang dan melakukan hal yang sama. Maka di sinilah kami berempat, berdempetan pada kasur yang sebenarnya hanya diperuntukan untuk dua orang.

Agenda berubah, dari bermain menjadi menonton. Semuanya tampak fokus pada layar di depan kami, tapi aku terlalu mabuk memikirkan tangan Bintang yang daritadi menggenggamku tanpa lepas. Sayangnya, kenyamanan itu tak berujung lama. Hanya bertahan sampai film selesai.

"Bang, balik gih sana. Udah malem," usir adik bintang. "Kakak ngantuk, nggak?" tanyanya padaku.

Jawaban sebenarnya adalah tidak. Namun, aku terlalu gugup untuk memikirkan sebuah alasan. Akhirnya malah mengangguk setuju. Lain cerita dengan Bintang yang langsung beralasan masih mau lanjut nonton. Lagi-lagi mereka sempat adu mulut. Itu sampai si teman mendapatkan jalan tengah, yaitu para cowok harus kembali ke sarangnya masing-masing. Bukan kamar mereka, hanya kembali ke kursi tadi saja. Maka itulah yang dilakukannya, kembali ke tempat semula. Namun, berbeda dengan Bintang. Ia sengaja duduk di lantai dan bersandar pada meja nakas.

"Baring aja," bisiknya padaku.

Aku pun melakukan sarannya. Meratapi ia yang berdebat tentang film bersama sang teman. Si adik tidak perlu ditanya lagi, ia sudah jauh ke alam mimpi. Entah bagaimana ia bisa terlelap dalam keributan kedua lelaki ini.

Begitu film dimulai, semuanya langsung senyap. Bintang sesekali melirik padaku dan si teman. Sembunyi-sembunyi, aku mengeluarkan tanganku dari selimut dan mengelus rambutnya dengan manja. Kulihat sebuah seringai muncul di wajahnya. Ia langsung menangkap tanganku dan menyiumnya dengan lembut. Beberapa kecupan tanpa suara diberikannya dan kemudian menggenggam tanganku serta mengelusnya pelan. Itulah yang terakhir kuingat. Sentuhan halus yang Bintang berikan secara diam-diam, berhasil mengantarkanku ke tidur yang amat nyenyak.

Apa yang terjadi di sisa malam itu, aku tidak begitu tau. Hanya mendengar cerita dari Bintang saja. Katanya, ia dan si teman kembali ke kamarnya ketika subuh menyapa. Sebagai gantinya, ia meninggalkan jaket miliknya untuk kupeluk saat tidur. Ya, itu cukup menjelaskan kenapa aku terbangun dengan menggenggam jaketnya itu.

Sungguh, aku sangat bersyukur dengan kesempatan sederhana seperti ini. Masih diberikan peluang untuk bisa dengan mudah mencuri waktu demi merasakan kehangatan sosok Bintang. Entah apa yang akan terjadi, jika nanti ia pulang. Jarak yang memisahkan pasti akan menyulitkan segalanya. Tidak ada lagi curi-curi kesempatan seperti ini. Karena, memang keberadaan masing-masing tidak bisa mendukung misi bersembunyi ini. Jika merindukan sentuhan hangatnya, tak mungkin lagi bisa bersembunyi terang-terangan seperti tadi malam. Apalagi jika nanti waktu kita sudah memiliki jadwalnya tersendiri, pasti sulit untuk bertemu tanpa ketemu. Entah bagaimana jadinya nanti, jika hubungan jarak jauh telah dimulai. Sungguh, aku takut untuk sekadar membayangkannya....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top