Sembilan: Mas Ijon dan Mbak Cantik
Ijon nggak tahu harus mulai darimana kegalauannya. Ijon menyadari satu hal. Saat ini hubungannya dengan Iko bukan sebagai mas-mas tetangga yang pendiam melawan cewek tukang rusuh. Tapi ini lebih urgent. Gawat. Darurat. Iko mungkin mengklaimnya sebagai rival. Musuh.
Ijon bosan harus diam. Ijon muak harus menahan perasaan. Ijon senang saat cewek itu datang kepadanya, lalu merepet seperti biasa. Meskipun Ijon menanggapi dengan sok cuek dan sok dingin, tapi hatinya menghangat saat itu. Ijon hanya nggak bisa merespon dan melukiskan perasaannya. And thanks to God... saat ini Ijon tahu bagaimana cara merespon.
Ijon hanya ingin... Iko menyadarinya. Kalau dia ada. Kalau dia juga berharga. Kalau dia merespon kerusuhan Iko. Ijon ingin menjawabnya. Tapi.. Ijon juga salah kali ini! Tadi mereka bertengkar heboh. Bahkan sampai abang menarik Iko masuk ke dalam rumahnya.
Ujung permasalahannya adalah pada ledekan Ijon. Ijon iseng meledek Iko karena style kekanakannya tadi.
“Lihat, ada bocah mau ke TK!” Ijon tertawa garing. Iko yang awalnya nggak peduli akhirnya menoleh galak ke arah Ijon.
“Mind your own business, Dude!” Iko menyahut pedas.
“Pantesan aja ya nggak pernah punya pacar. Tampilannya kayak gitu, sih!” Ijon masih semangat meledeknya.
Sungguh, Ijon hanya iseng. Dia sama sekali nggak peduli dengan penampilan Iko. Iko sudah sempurna di matanya, meskipun banyak orang yang meragukan usia Iko yang sebenarnya.
“Ngaca dulu kalau mau ngomong!” Iko melotot ke arah mas Ijon.
Ucapan pedas Iko rupanya membuat Ijon makin gemas. Dia masih semangat menimpali. Wajah dingin Ijon masih tampak. Matanya masih menatap Iko dengan tajam. Tapi lebih dari itu, Ijon ingin sekali Iko menyadari perasaannya. Iko kan memang nggak pernah peka.
“Biarpun aku nggak pernah punya pacar, tapi banyak cewek yang naksir...!” Ijon bangga sekali sepertinya.
Iko terusik. Memang benar sih kalau mas Ijon ditaksir banyak cewek, makanya Iko nggak terima. Nggak terima karena ucapan Ijon benar.
“Tapi percuma aja, kan kalau nggak dijadiin pacar! Jangan-jangan suka sama terong, lagi!” Iko kembali pada mode pedasnya. Ijon gemas. Marah. Bete. Kesal.
“Mikir dulu kalau mau ngomong, ya Nyil!” Ijon sudah melangkah ke arahnya. Iko nggak gentar, dia menunggu Ijon sampai di depannya.
“Udah aku pikir, kok! Makanya kalau mau denger itu dicerna dulu!” Iko mulai lagi.
“Cerna? Bukan makanan!”
“Bodo amat, emangnya aku pikirin?!” Iko mendekat ke arah Ijon.
Mereka saling tatap dalam jarak yang lumayan dekat. Mereka nggak pernah saling bertatapan kesal seperti itu. Meskipun Iko dan Ijon pernah bertatapan. Sering. Tapi saat dalam mode emosi saling bertatapan begini, kok Ijon jadi... lihat bibir Iko yang manyun-manyun itu! Mata besarnya yang mengerjap, hidungnya yang kembang kempis nggak karuan. Ijon jadi punya pikiran kotor. Bagaimana ya rasanya kalau menggigit bibir itu? Ups! Ijon, sadar Jon!! Sadar!!
Ijon mencoba menahan pikiran kotornya dengan menjitak kepala Iko. Iko melotot. Ijon makin geregetan. Tapi setelah itu Iko mulai menampakkan taringnya. Iya, taring! Karena setelahnya Iko menggigit tangan Ijon. Ijon menjerit. Dia menatap Iko dengan raut nggak terima. Pertengkaran itu pun terus terjadi. Sampai keduanya sama-sama menjulurkan lidah lalu masuk ke rumah masing-masing sambil menutup pintunya kencang.
Please... kalian umur berapa, coba?!
***
Benar, ya yang orang bilang kalau ucapan adalah doa. Buktinya doa Iko terkabul. Doa yang mana? Dulu Ijon pernah mendapatkan doa dari Iko saat Ijon ulang tahun. Doa Iko waktu itu : "Semoga mas Ijon bisa jatuh cinta. Lalu ada cewek lain yang naksir mas Ijon.”
Fikar menepuk kepala Iko saat itu. Mana mungkin doa di ulang tahun Ijon jadi doa horror begitu? Fikar nggak habis pikir dengan kelakuan Iko waktu itu. Tapi Iko hanya menjawab, “Yah, biar hidup Mas Ijon lebih berwarna gitu, Mas! Kayak cinta yang bertepuk sebelah tangan. Tapi ada godaan cewek lain di sebelah mas Ijon...”
“Itu sinetron banget, Nyil!” Ijon protes.
“Nggak apa, nggak apa... Biar Mas Ijon ada semangat hidup!” Iko nyengir.
“Masalah cinta-cintaan ribet amat!” Ijon menanggapi ucapan Iko dengan cuek waktu itu.
Nah, sekarang kejadian itu terjadi! Muncul seorang cewek yang naksir berat pada Ijon. Saat Ijon mulai jatuh cinta pada Iko begini. Cewek itu juga datang. Ijon nggak pernah punya rasa apapun pada cewek itu. Dia murid sekolah sebelah. Dia pernah ikut pelatihan kepemimpinan bareng Ijon.
“Hai, Kak...” Cewek itu nongol lagi di depan sekolahnya.
Ijon menatapnya kaget. Ijon lumayan ingat cewek itu. Cewek itu yang selama pelatihan selalu digencet senior-senior. Ijon yang menyelamatkannya waktu itu hingga mereka menjadi satu kelompok. Cewek itu jatuh cinta pada kebaikan Ijon.
“Kamu... Kinan, kan?” Ijon mengingat-ingat lagi.
“Syukurlah kalau Kakak masih ingat...”
“Ada apa?” Ijon nggak mau basa-basi.
Dia ingin segera pulang. Iko sudah pulang lebih dulu bersama saudara-saudaranya tadi. Fikar dan Iko naik motor, si kembar juga pakai motor sendiri.
“Aku pengen bilang makasih secara langsung ke Kakak... kemaren belum sempat ngucapin...”
“Santai aja...!” Ijon sudah gerah. Dia ingin pulang. Ingin segera pulang untuk nongkrong bareng Fikar di rumahnya. Ketemu Iko, sih tujuan utamanya.
“Eng.. tapi tetep aja, Kak aku merasa nggak enak...”
“Nggak apa, kan di sana kita emang lagi ada pelatihan kepemimpinan. Juga, aku nggak suka aja ada bullying. Apalagi antar cewek gitu...”
“Kinan mau bilang makasih banyak lagi, ya Kak..!”
“Iya, sama-sama! Udah, ya Kin.. aku pulang dulu...” Ijon sudah siap pergi dari hadapan Kinan kalau saja Kinan nggak memanggilnya lagi.
Kinan mengeluarkan sebuah bungkusan ke arahnya. Sebuah kotak dengan bungkus bergambar hati.
“Ini apa?” Ijon kepo. Kinan menunduk.
“Sedikit hadiah aja, Kak... sebagai ucapan terimakasih...”
“Nggak usah kayak gini, kali Kin! Aku jadi nggak enak.” Ijon menatap Kinan dengan tatapan datar.
“Nggak apa, kok kak! Aku yang harusnya makasih banget. Oh, iya... boleh minta kontak kak Rion, nggak?”
Sumpah, Ijon ingin sekali segera menghilang dari tempat itu. Tapi dia nggak mau membuat cewek pemalu di depannya ini jadi sedih. Ijon nggak mau repot dan nggak mau pusing, akhirnya dia memberitahu nomor HPnya. Ijon kan jarang sekali SMSan. Setelah memberitahu Kinan, Ijon sudah buru-buru pulang. Kinan menatap punggung Ijon, lalu tersenyum senang.
Ijon sampai di rumah Fikar dan langsung melangkah ke halaman belakang. Di sana basecamp mereka. Itupun kalau nggak ada Iko yang rusuh dan membuat keduanya pindah basecamp. Tapi sekarang kan Ijon memang sengaja mengganggu Iko, jadi dia menunggu Iko rusuh seperti biasanya. Di salah satu sudut halaman, Iko sudah menggelar tikar gambar buah-buahannya. Ada Kanan dan Kiri juga di sana. Mereka bertiga sedang mengerjakan tugas. Kiri fokus dengan laptopnya, Kanan dan Iko sibuk berdebat.
“Nggak gitu, Kanan!” Iko protes.
“Dimana-mana ya diperkecil dulu, Nyil! Biar ini bisa dibagi sama bilangan yang satunya!”
“Kalau kayak gitu ntar hasilnya beda sama yang hasil awal!”
“Nggak, Nyil! Dimana-mana matematika itu hasilnya pas!”
“Nggak, nggak! Nih, nih...!” Iko sibuk berdebat dengan Kanan. Kanan juga nggak mau kalah. Dia balas mencoret-coret kertas di depan Iko.
“Jangan coret-coret bukuku!!” Iko protes. Kanan menahan tawanya. “Balas!!” Iko balas dendam. Dia juga ikut mencoret buku Kanan. Perdebatan matematika itu pun berubah jadi serangan coretan. Kiri terusik.
“Kalian berdua, diam!!” Kiri marah. Kanan dan Iko saling sikut. Saling tunjuk. Kiri menatap mereka dengan raut datar. Kanan menjitak kepala Iko. Iko balas mencubit lengan Kanan. Mereka masih sibuk bertengkar, berdebat. Kiri nggak tahan lagi. Dia berdiri lalu pergi dari sana. Dia ingin konsentrasi.
“Tuh, Kiri akhirnya pergi, kan? Kamu sih!” Iko menunjuk Kanan. Kanan nggak terima disalahkan.
“Kok bisa aku, sih Nyil?”
“Kamu sih...”
Mereka berdua terus berdebat, nggak sadar kalau sejak tadi ada satu orang cowok yang panas melihat pemandangan itu. Cowok itu sudah emosi, apalagi saat tangan Kanan menjitak kepala Iko. Hei, Bung! Kepala itu miliknya! Kepala itu yang sering dia jadikan sasaran kalau gemas! Yap, cowok itu adalah Ijon. Bahkan Ijon emosi saat melihat tangan Kanan juga mencubit pipi Iko.
“Jadi... kamu datang ke sini cuma buat lihatin Kanan dan Iko yang berantem?” Fikar menatap Ijon.
Sejak tadi Fikar menatap Ijon, lalu menoleh ke arah pandang Ijon. Fikar tersenyum geli saat tahu kalau Ijon sedang menatap Iko.
“Eh... nggak...” Ijon salah tingkah. Malu karena ketahuan abang Iko.
“Aku jadi paham kenapa tingkah kamu berubah ke Iko! Kamu pengen kayak Kanan, kan? Dinotice sama Iko. Hehehe... tapi perlakuan Iko beda. Kalau ke Kanan dia biasa gitu, berantem lalu balik lagi. Tapi kalau ke kamu malah beda. Berantem sekali, tapi marahnya lama...” Fikar tergelak geli.
“Nah, kamu sadar kan?! Aneh, kan?” Ijon mendukung pernyataan Fikar kali ini.
“Aneh, sih! Soalnya Iko nggak pernah kayak gitu ke orang lain. Dia biasa marah-marah, berantem, tapi kalau udah ya udah...! Kalau sama kamu... beda.”
“Tuh, tuh! Apa dia segitu bencinya ke aku?”
“Kamu harusnya bangga, lho Jon! Dia membedakan perlakuan ke kamu. Itu artinya kamu istimewa. Spesial buat Iko. Nggak ada yang lain.” Fikar tersenyum sok bijak. Mood Ijon mendadak bagus. Spesial. Istimewa. Satu-satunya.
“Kalian berdua ngapain lihat-lihat kami?!! Nggak pernah lihat orang diskusi, ya?” Fikar dan Ijon tersentak saat melihat Iko sudah berdiri di depan mereka. Iko risih saat ada orang yang melihat pertengkarannya dengan Kanan.
“Kalian, sih berantemnya kenceng banget!” Fikar beralasan.
“Juga kayak bocah banget!” Ijon menimpali. “Mana ada diskusi tapi main fisik gitu?”
Iko mengernyit nggak suka.
“Emang masalah ya buat mas Ijon? Aku nggak pernah ikut campur urusan mas Ijon!” Iko terganggu dengan ucapan Ijon. Ijon menelan ludahnya gugup, tapi Ijon sudah nggak bisa mundur saat ini. Dia harus menyelesaikan apa yang sudah dia mulai.
“Awas kalau kamu sampe kepoin urusan Mas lagi!!” Ijon berdiri, menepuk kepala Iko. Iko nggak terima saat kepalanya ditepuk Ijon. Mereka kan sedang berantem.
“Nggak bakal!!” Iko berteriak kencang, lalu jingkrak-jingkrak gemas. Iko masuk ke dalam setelah menjulurkan lidahnya sambil mengacungkan jempolnya yang sudah dia arahkan ke bawah. Fikar menatap keduanya. Bengong. Lalu dia melangkah, menepuk bahu Ijon.
“Semoga berhasil, ya Jon...” Fikar menggeleng prihatin. Kali ini sebagai sahabat, dia nggak bisa membantu Ijon apa-apa.
***
Iko memang mengatakan kalau dia nggak akan peduli apapun soal Ijon. Dia benar-benar sudah nggak mau tahu. Bahkan meski Ijon ikut naik mobil bersamanya sesekali, Iko tetap cuek. Ijon juga cuek. Mereka diam. Fikar jadi bingung harus bagaimana. Dia serasa berdiri di tengah-tengah. Antara adiknya atau sahabat baiknya.
Iko cuek, kok! Cuek! Walaupun Iko pernah melihat ada mbak-mbak cantik yang menghampiri Ijon. Mereka mengobrol di depan gerbang sekolah dengan akrab. Iko juga pernah memergoki Ijon sedang berada di cafe bersama mbak cantik itu. Mbak cantik yang Iko maksud adalah Kinan. Sejak Kinan meminta nomor HP Ijon waktu itu, Kinan jadi sering mengiriminya SMS. Ijon hanya mengabaikannya, tapi dia nggak tega juga.
Sungguh, Ijon nggak ada rasa apapun terhadap Kinan. Kinan juga sering sekali menemuinya. Banyak alasan. Mulai dari meminjam kaset film hingga diskusi soal OSIS di cafe. Padahal Ijon kan sudah mau pensiun. Dia sudah kelas tiga. Sudah harus fokus dengan UN. Tapi Kinan beralasan kalau dia hanya ingin mendengar pengalaman Ijon selama berada di OSIS.
“Tuh cewek siapa, sih Jon?” Fikar nggak suka.
Bukannya nggak suka kalau Ijon jadi dekat dengan cewek itu. Tapi, Fikar merasa aneh dengan cewek itu. Ijon pernah bercerita soal cewek yang dibully di camp pelatihan kepemimpinan. Fikar kepo, tentu saja. Tapi hanya sekedar ingin tahu karena cewek itu berani sekali menghampiri Ijon.
Saat tahu bagaimana tingkah Kinan, nggak tahu kenapa Fikar malah nggak suka. Bukan apa-apa. Bukan karena Fikar nggak suka kalau Ijon jadi berpaling dari adiknya, tapi entahlah... Fikar merasa cewek itu penuh dengan kepura-puraan. Mulai dari sok lemah, sok imut, sok manis juga....
“Hem... semoga berhasil, Jon!” Fikar lagi-lagi mengucapkan kata pamungkas itu. Itu tandanya Fikar nggak tahu harus ngomong apa.
“Kenapa, sih Kar?” Ijon mendongakkan kepalanya, menatap Fikar yang masih mengernyit bingung.
“Nggak apa, lupain aja!” Fikar diam.
Mungkin Ijon jatuh cinta pada siapa, dekat dengan siapa, itu bukan urusannya. Yang harus Ijon ingat adalah Ijon nggak boleh menyakiti Iko. Hem.. itu jelas nggak mungkin! Iko saja nggak peka kalau Ijon menyukainya, kok! Hahahaha...
Fikar masuk ke dalam rumah, memperhatikan Iko yang sedang sibuk mengepak bakpao. Iko melirik abangnya yang sedang nyengir ke arahnya.
“Apa?” Iko menunjuk hidung abangnya. Fikar nyengir lagi. Makin lebar.
“Ko, si Ijon deket sama cewek, tuh! Nggak kepo?” Fikar memancing. Fikar tahu, Iko nggak pernah mikir masalah seperti ini.
“Nggak bakal!!” Iko berteriak. Cuek. Dia sudah janji akan mengabaikan segala macam urusan mas Ijon. Apapun! Dia nggak akan peduli lagi! Fikar melangkah ke arah Iko, lalu mencubit kedua pipi adiknya.
“Kalau Iko jatuh cinta nanti, abang harus jadi orang pertama yang tahu!”
TBC
Kenapa, ya kalau aku nulis cerita lurus bawaanya kalian kagak komeng gitu? Emangnya separah itu, yak ceritanya? :v
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top