Lima: Ayah dan Kegantengannya
Efek dari kebodohan Ijon kemarin di kolam renang adalah... Ijon sakit. Demam. Ijon demam dan nggak masuk sekolah. Iko tahu alasan Ijon sakit adalah karena ke kolam kemarin. Tapi Iko nggak tahu kalau semua itu terjadi karena dirinya. Iko masih belum tahu alasan kenapa Ijon marah dan langsung mendorong Kanan waktu itu.
“Mas Ijon cepet sembuh, ya!” Iko duduk manis di sebelah Ijon.
Ijon terbujur lemas di atas kasurnya. Tubuhnya tersembunyi di balik selimut. Iko yang melakukannya tadi. Dia mengeluarkan semua selimut Ijon dari lemari.
“Mas Ijon lagi nggak mood buat ngeladenin kamu, Nyil! Pulang sana!”
Iko menatap Ijon sambil mengunyah snack kentangnya. Iko nggak akan pernah pergi dari sana sebelum melihat Ijon sehat. Itu katanya. Tapi mana mungkin Ijon bisa sembuh kalau dia nggak istirahat dengan benar? Iya, kalau Iko di sini, mana mungkin Ijon bisa tidur dengan tenang?
“Mas mau tidur. Pulang sana!”
“Aku temenin, mas! Aku nyanyiin lagu, deh!”
Ijon membuka matanya. Ijon memang demam, tapi dia cukup waras untuk membedakan mana suara nyanyian dan jeritan sumbang ala Iko.
“Mas mau tidur, butuh ketenangan!” Ijon membalikkan badannya, memunggungi Iko. Lalu sunyi. Suara Iko nggak terdengar lagi.
Ijon ragu, lalu membalikkan badannya. Saat itulah tubuhnya membeku. Dia terdiam dan menatap wajah Iko sudah berada di depan wajahnya sendiri. Dagu Iko bertumpu di pinggir kasur Ijon. Iko nyengir ke arahnya.
“Ngapain masih di sini??!!” Ijon mundur. Wajah Iko mengagetkannya.
“Nunggu mas Ijon...”
“Kenapa?”
“Hem... kalau Mas Ijon sakit, biasanya suka mimpi buruk...” Iko menunduk, memilin-milin selimut Ijon.
“Lalu?” Ijon menatap Iko lagi. Kali ini dia jadi tertarik dengan jawaban Iko.
“Mood Mas juga jadi jelek. Jadi, aku mau nungguin mas aja...”
“Bilang aja mau ngerusuhin mood Mas lagi, Nyil!”
Iko nyengir, lalu cengengesan. Dia menatap Ijon dan menepuk kepala Ijon. Ijon kaku di tempatnya. Gugup. Salah tingkah. Deg-degan.
“Iko nggak suka kalo ada yang sakit karena Iko. Mas Ijon kan kemaren nyemplung ke kolam karena anggap aku dan Kanan lagi berantem...”
Ijon mingkem. Bukan berantem, Iko.. tapi... Ah, sudahlah! Iko memang nggak pernah peka. Sudahlah! Sudahlah! Ijon nggak pernah peduli ya Iko mau apa, tapi akhir-akhir ini Ijon jadi banyak peduli. Dia jadi suka kepo ke Fikar kemana Iko. Dulu sih Ijon juga kepo soal Iko, tapi nggak gini-gini banget.
“Terserahlah!” Ijon berbalik dan memunggungi Iko.
Iko menjatuhkan kepalanya dan ikut menutup mata. Iko tertidur di samping Ijon. Ijon tidur di samping Iko. Begitu... Sampai mama Ijon datang dan mengambil foto mereka.
***
Akhir-akhir ini Ayah jadi aneh. Ayah sering keluar. Meskipun keluarnya untuk mengantarkan pesanan, tapi Ayah lama sekali pulangnya. Iko dan abang kan jadi curiga. Nggak biasanya Ayah jadi lama begitu. Apalagi sekarang waktu melamun Ayah jauh lebih banyak dan intens dibanding sebelumnya.
“Abang, Abang.. tanyain coba!” Iko menunjuk Ayah dengan dagunya.
Fikar menatapnya. Bingung untuk menyusun kata. Padahal kan biasanya Iko yang tukang ngomel. Celetukannya tanpa sensor. Tapi kali ini Iko nggak mau mengusik lamunan Ayahnya.
“Gimana cara tanyanya?” Fikar menaikkan alisnya.
“Ayah sekarang sering ngelamun, Ayah sakit?”
“Kalo dijawab , ‘Ayah nggak apa-apa, Kar!’ Trus gimana?”
“Tanya lagi, ‘Lalu kenapa Ayah suka ngelamun?’”
“Ayah pasti bilang nggak, Iko!”
“Jadi, Iko aja yang nanya, ya ke Ayah!”
“Jangan!! Yang ada malah Ayah bete, bukannya jawab kamu!”
“Jangan-jangan Ayah punya hutang!”
“Nggak mungkin! Ayah udah lunasin hutang itu dari beberapa tahun yang lalu...”
“Apa mungkin Ayah kena guna-guna gitu?”
“Siapa emangnya yang mau guna-guna? Ayah kan nggak macem-macem orangnya...”
“Siapa tahu aja ada yang iri, mas...”
“Jangan ngaco, ah! Buktinya Ayah masih sadar, kok!” Fikar melambai di depan wajah Iko.
Jelas, lah! Nggak mungkin Ayah kena guna-guna. Saat sedang asyik-asyiknya berdebat, Ayah datang. Iko menyenggol lengan Fikar, Fikar balas menyenggolnya.
“Biar Iko yang nanya aja!” Iko memutuskan. Fikar mencoba menahannya, tapi Iko sudah terlanjur menghampiri Ayah. Iko tersenyum jahil seperti biasa dan menarik lengan Ayah. Ayah nggak tahu kenapa Iko jadi begini.
“Ada apa, Ko? Iko mau minta izin liburan lagi?” Ayah duduk di sofa. Iko duduk di sebelahnya.
“Bukan.. bukan!” Iko menggeleng. “Ayah, Iko dan abang sayang banget sama Ayah.. makanya kalo lihat Ayah sedih nggak bertenaga gitu kan kami jadi cemas. Kalau Ayah ada masalah, bisa kali Ayah cerita.. Iko sama abang nggak mungkin bocorin ke orang lain, kok!” Iko mengeluarkan kelingkingnya, tanda kalau dia dan Ayah punya perjanjian sekarang.
“Ayah nggak apa, Iko...”
“Ayah bohong...!”
“Tau darimana kalau Ayah bohong?”
“Kalau Ayah bohong, kening Ayah ada kerutannya!” Iko menunjuk kening Ayah dengan raut serius. Satu jitakan mendarat di kepala Iko. Dari Ayah.
“Ayah emang udah tua, Iko!!”
“Boleh Iko tebak?”
Ayah menatap Iko sambil menelan ludahnya. Anak bungsunya ini sangat berbahaya. Selain tingkah rusuhnya, Ayah juga menyadari kalau Iko menakutkan. Iko punya pemikiran unik yang nggak pernah diketahui dan dipahami orang lain.
“Ayah pasti lagi naksir cewek!!” Iko berteriak puas. Abang nongol dari ruang makan dan ikut bengong.
“Beneran tuh, yah?” Fikar muncul lalu duduk di depan Ayah. Fikar bengong.
“Ah, kata siapa, sih?! Iko ngawur, nih!” Ayah mencubit pipi Iko kencang. Iko berteriak nggak terima. “Nggak, kok!”
“Ayah bohoooong...! Abang, abang... abang percaya aja ke Iko! Beneran, Ayah pasti lagi naksir cewek!” Iko menarik lengan abangnya, meminta pertolongan.
“Kamu lebih percaya Iko atau Ayah, Kar? Silakan pilih!” Ayah menaikkan alisnya.
Fikar menatap keduanya bergantian. Satu. Iko itu tukang rusuh. Ceplas-ceplos. Seenaknya. Tapi Iko kan jujur. Dua. Ayah itu tipe penyembunyi rahasia. Tapi Ayah kan sudah dewasa. Lebih stabil daripada Iko.
“Kayaknya nggak mungkin deh kalau Ayah naksir cewek...” Fikar angkat bahu dan pergi dari sana untuk melanjutkan kegiatannya. Iko melirik Ayahnya, lalu tertawa geli.
“Iko semakin yakin kalau Ayah emang lagi naksir cewek!”
Ayah bungkam.
“Iko bener, kan?”
Ayah masih diam.
“Kalau Ayah nggak ngaku, ntar biar Iko yang cari tahu. Apa perlu Iko telpon nomor cewek di HP Ayah?”
Ayah melotot. Shock.
“Oke! Tapi rahasikan ini, Iko! Janji?!” Ayah nyerah, lalu mengeluarkan jari kelingkingnya.
Iko bersorak senang, menari gembira karena tebakannya benar. Iko mengulurkan tangannya, menautkan kelingkingnya sendiri di kelingking Ayah. Iko senang sekali! Cihuy!! Iko suka dengan rahasia, jadi dia akan menjaganya. Dia nggak peduli Abang tahu atau nggak soal ini, tapi yang jelas Iko senang karena Ayah percaya padanya. Jadi Ayah memang nggak kena guna-guna, tapi sedang jatuh cinta.
“Jadi, wanita mana yang jadi korban Ayah sekarang?” Iko menaik-turunkan alisnya, menunggu jawaban Ayah. Ayah menatap Iko ragu. Ragu untuk memberi tahu.
“Maafin Ayah, Iko! Belum saatnya Ayah kasih tahu...”
“Tapi wanita itu tahu kalau Ayah naksir?”
“Tahu...”
“Lalu kenapa Ayah suka sama dia?”
Ayah ragu menjawabnya. Beliau hanya mendesah, lalu mengusap wajahnya sendiri.
“Mungkin Ayah yang jahat..”
“Ayah beneran kasih ilmu pelet ke dia?” Iko melongo. Ayah melotot nggak terima.
“Bukan, Iko! Eng... Ayah hanya... melihat ada Ibu kamu di dalam dirinya...”
Iko melongo lagi. Lalu menarik kedua bibirnya. Tersenyum lebar sekali. Ayah benar-benar sedang jatuh cinta dengan wanita itu. Iko nggak tahu apa ini artinya. Apa Ayah akan benar-benar serius lalu menikahinya. Iko nggak masalah kok dengan sebutan ibu tiri. Nggak semua ibu tiri itu jahat, kan? Lagipula, Iko yakin dengan pilihan Ayah. Selama ini banyak sekali janda-janda yang mendekati Ayahnya, tapi Ayah menolak mereka semua. Sekarang ada wanita yang membuat Ayah jatuh cinta lagi setelah sekian tahun. Maka... Iko hanya berharap Ayahnya bahagia. Hanya itu. Cukup itu saja, Iko nggak minta lebih kok!
“Iko beneran jaga rahasia ini, ya! Ayah belum bisa kasih tahu kalian, juga belum bisa memastikan hubungan kami...”
“Iya, Ayah! Iko akan jaga rahasia Ayah! Nggak bakalan ada yang tahu...”
“Terutama abangmu!”
“Iya, abang nggak bakalan tahu!”
“Emangnya, Ayah masih ganteng ya...?” Ayah menyentuh dagunya, berpose narsis dan pura-pura ganteng.
Ayah bukan pura-pura sih.. Ayah memang masih ganteng. Ayah menikah di usia muda. Bahkan usia Ayah dan ibu dulu lebih tua mendiang ibunya. Ayah jadi favorit ibu-ibu di kompleks. Saat jalan saja Ayah dan Abang sering dikira kakak adik.
“Ayah masih ganteng, kok!”
“Bener, kan? Ayah aja sering digodain ibu-ibu tetangga..”
“Tapi Ayah juga narsis...” Iko menunjuk dagu Ayahnya.
“Mungkin Ayah harus ganti gaya rambut...”
“Ntar abang kalah saing!”
“Apaan?” Kepala abang nongol di balik pintu ruang makan. Jangan-jangan tadi Abang mendengar pembicaraan mereka.
“Abang denger pembicaraan kami?”
“Iya, bagian yang kalah saing itu... sebelumnya sih kagak denger.. Abang pake headset. Emang kalian lagi ngobrolin apa?”
Iko diam. Dia menoleh ke arah Ayah. Ayah terkekeh geli sambil menepuk dan mencubiti pipi tembem Iko.
“Pokoknya rahasia antara Ayah dan anak ceweknya. Abang nggak boleh tahu!” Ayah menyenggol lengan Iko. Iko mengangguk mantap, tapi saat matanya melirik Abang... Abang menatapnya dengan raut menuntut.
Iko kan sudah biasa berbagi apapun dengan Fikar. Sekarang Iko sudah berjanji pada Ayah untuk menjaga rahasianya. Mana mungkin Iko sanggup melanggar janji itu.
“Yang jelas, Iko lagi bahas Ayah dan kegantengannya...! Abang nggak boleh iri...”
“Biar ganteng kalau udah tua ya percuma, Ko!” Nah, mulut pedes abang mulai lagi.
Itu ciri-ciri Abang kalau sedang marah. Ayah ngakak dan nggak marah. Iya, Ayah kan tahu kalau Fikar sedang bete karena Iko membahas kegantengan Ayahnya. Fikar iri.
“Nggak apa tua, yang penting nggak jomblo!” Ayah ngakak. Oke, sekarang jadi 1-1! Tapi Ayah salah ngomong sepertinya. Karena Iko juga ikut bereaksi.
“Ayah, Iko juga jomblo,” keluhnya pelan. Ayah menoleh ke arah Iko yang sedang mencebik dengan raut nggak terima.
“Eh? Serius?? Ayah kira Iko udah punya pacar...”
“Emangnya ada yang mau sama Iko?” Abang ganti mencibirnya. Iko menatap Fikar dengan tatapan kesal.
“Iko nggak bakalan ngebolehin Syita maen ke sini lagi!!”
“Iko...! Ah, Ikooooo....” Abang mendekat ke arah Iko. Tapi Iko sudah sok ngambek dan sok jual mahal.
“Emang Iko nggak pernah gitu jatuh cinta?” Ayah menatap wajah anak bungsunya itu.
Memang sih Iko nggak cantik, tapi dia manis sekali. Dia nggak sama dengan cewek-cewek yang suka dandan pada umumnya. Style-nya kekanakan, tapi Ayah ragu kalau Iko pernah naksir cowok.
“Cowok yang bikin Iko jatuh cinta itu.. eng...” Iko pura-pura berpikir. “Ayah! Ayah kan ganteng...! Sampe-sampe Ayah dan Abang dikira kakak adik...”
“Makasih, sayang...” Ayah mencubit pipi Iko dengan sayang.
Iko nyengir. Abang begidik geli sambil menatap mereka. Mungkin tingkah alay Iko menular dari Ayah. Tingkah ceroboh Iko menurun dari Ibu. Iko kan memang anak Ayah dan Ibunya. Abang nular fisiknya saja. Tingginya, wajahnya, semuanya mirip Ayah dan Ibu.
“Kalian menggelikan...!” Abang mencibir kesal.
“Makasih, adek Fikar...” Ayah tertawa kencang. Iko ikutan ngakak.
Fikar menjerit frustasi. Kalau Iko dan Ayah dijadikan satu, maka dunia ini akan berada dalam genggaman mereka. Fikar kabur. Dia pergi ke rumah Ijon hanya untuk menghindari tingkah alay kedua anggota keluarganya.
Lalu, Ayah dan Iko lanjut membahas soal kegantengan Ayahnya....
Ayah nggak sadar, ya kalau Iko punya niatan lain dibalik pujiannya. Iko sedang mengorek informasi tentang siapa wanita yang ditaksir Ayahnya itu!
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top