Enam: Iko Marah!


Iko bete. Mas Ijon benar-benar membuatnya kesal. Mas Ijon yang biasanya cuek dan dingin itu akhirnya ingin dinotice dengan tingkah barunya. Ijon sekarang sudah mulai suka nyolot dan jahil. Padahal dulu kan cuek. Mas Ijon yang dulu Iko kenal dengan pribadi yang mirip duren "keras luar lembut dalam" itu kini telah berubah. Mas Ijon jadi tukang rusuh juga. Sama seperti Iko. Bahkan mas Ijon juga mulai senang menjahilinya.

"Aku nggak mau ketemu sama mas Ijon lagi! Pulang sana!" Iko menunjuk Ijon yang sedang nongkrong di rumahnya.

Acara marah Iko mirip anak kecil yang sedang ngambek pada teman sebayanya. Abang menatap mereka berdua.

"Ada apaan, nih?"

"Mas Ijon berubah, bang! Mungkin arwah mas Ijon belum kembali! Atau jin sedang merasuk dalam tubuh mas Ijon. Gara-gara demam kemarin mas Ijon sekarang jadi nakal. Tadi di kantin sekolah, mas Ijon numpahin jusku. Nggak diganti, lagi!" Iko mengadu. Ijon menatap Iko, lalu menaikkan sudut bibirnya. Ijon tersenyum sinis. Iya, Ijon berubah!

"Lihat itu, baaaang...! Mas Ijon senyumnya jadi jahaaaatttt...!!" Iko menunjuk histeris. Fikar yang nggak tahu ada masalah apa dengan mereka akhirnya hanya berminat untuk menarik Ijon menjauh dari pandangan Iko.

"Ada masalah apa?" Fikar bertanya pelan. Ijon balas menatapnya.

"Masalah apa?" Ijon pura-pura nggak paham.

"Aku tahu siapa kamu, Jon!"

"Aku juga nggak tahu, Kar! Rasanya aku jadi pengen nyolot aja ke Iko!" Ijon mengacak rambutnya gemas. Fikar menyikutnya. Ijon aneh sekali. Mungkin benar kalau Ijon dirasuki jin jahat seperti yang Iko bilang tadi.

"Kamu lagi bete sama Iko?"

Ijon mengangkat bahunya. Dia benar-benar nggak tahu bagaimana perasaannya. Suka Iko? Iya, suka! Sayang Iko? Sayang... Sayang Iko? Oke, banget! Nah, lalu? Ya nggak lalu-lalu. Kan hanya sayang saja. Lalu apa yang harus Ijon lakukan kalau memang sayang Iko?

Ijon bete. Kesal. Bagaimana mungkin Iko menyadari perasaannya sendiri. Iko kan bebal, cuek, dan juga nggak mau mikir. Iko senang-senang sendiri, rusuh seenaknya, dan juga nggak menganggap Ijon sebagai yang lebih-lebih atau minimal yang iya-iya. Bahkan Ijon nggak tahu posisinya di hati Iko. Apa sama dengan posisi Fikar?

Karena itulah, Ijon geregetan. Sejak tadi dia ingin sekali membuat gara-gara pada Iko. Iko yang kaget karena Ijon menampakkan gairah kehidupannya hanya kaget dan shock. Iko masih belum terbiasa dengan perubahan Ijon. Ijon bahkan sudah menjahilinya tadi. Saat Iko sedang mengetik di depan komputernya untuk mengerjakan tugas, Ijon muncul dan mengacaukan ketikannya. Kalau saja Iko pikun soal icon Undo, mungkin Iko akan meneliti lagi pekerjaannya.

"Aku juga nggak paham, sih! Cuma... aku lagi pengen iseng aja, Kar..." Ijon menggaruk tengkuknya.

Dia nggak mungkin menceritakan semuanya. Fikar sudah menertawakannya. Fikar sudah meragukan perasaan Ijon terhadap Iko. Ijon nggak mungkin mengatakannya sekarang. Nanti Fikar malah semakin tertawa.

"Iko ngamuk, tuh! Dia kalau ngamuk bahaya, lho Jon! Pake acara balas dendam segala..."

"Sorry, bro..."

"Mendingan kamu balik aja, takutnya..."

"Mas Ijoooonnn...!! Aku benci banget sama mas Ijooonnn...!!" Iko berteriak kencang. Ijon menelan ludah. Fikar menatapnya bingung.

"Aku campur minumnya sama garam..." Ijon menjawab pelan. Dia menggaruk tengkuknya.

"Kamu udah nggak bisa mundur, Jon! Hati-hati aja, itu pesan terakhirku..." Fikar menepuk bahu Ijon.

Ijon merinding. Sepertinya ada maksud tertentu yang tersembunyi dari ucapan Fikar tadi. Ijon pamit pulang. Ijon hanya bingung dengan perasaannya sendiri.

Iko?

Iko sedang duduk bertapa di kasurnya. Dia marah. Kesal. Berani sekali Ijon membuatnya kesal. Iko memang jahil, rusuh juga... tapi sampai sekarang belum pernah ada orang yang bisa membuatnya sekesal ini. Ijon satu-satunya. Iko membuka jendela kamarnya, lalu melompat ke luar. Dia harus balas dendam.

"Mas Ijoon..!!" Iko memanggil Ijon, mengetuk jendela kamar Ijon. Ijon cuek, pura-pura tidur. Iko nggak kehabisan akal. Dia melompat ke jendela kamar Ijon. Ijon gelagapan saat melihat Iko sudah berada di dalam kamarnya. "Iko ke sini mau menyatakan perang dengan mas Ijon! Iko nggak akan baik-baikin mas Ijon lagi sampai mas Ijon menyerah dan minta maaf..."

Ijon melongo. Tingkah si Unyil memang aneh. Nggak masuk akal. Tapi juga lucu. Ijon ingin tertawa, tapi dia nggak bisa mundur sekarang.

"Nggak takut!" Ijon menjawab santai. Iko marah.

"Oke! Iko akan membalas semua yang telah mas Ijon lakukan ke Iko tadi!"

"Kemaren-kemaren kamu juga jahilin mas, tapi mas diem aja, Nyil!"

"Tapi Iko nggak pernah jahil dengan cara merugikan mas Ijon!"

"Sama aja, jahil ya jahil!"

"Aku benci mas Ijon!" Iko jingkrak-jingkrak di depannya.

"Emangnya mas suka sama kamu?" Ijon menaikkan alisnya.

Nah! Rasakan! Rasakan itu! Sekarang kamu benar-benar nggak bisa mundur, Jon! Lupakan saja acara menunjukkan perasaanmu itu ke Iko. Iko nggak akan pernah meresponnya dan akan salah paham. Juga, kenapa baru sekarang kamu sadarnya? Dulu kamu kemana aja, Jon? Benar kali, ya kalau Iko sudah membalikkan duniamu dalam satu kedipan mata saja?

"Awas ya kalau mas Ijon cari Iko lagi!"

"Nggak bakalan, Ko! Kamu kali yang cari mas..."

"Nggak akan! Aku marah sama mas Ijon!"

"Nggak perlu deklarasi, mas nggak mau tahu!"

"Aku benci mas Ijon!"

"Udah tahu! Nggak usah diulangi lagi, Nyil!"

Iko memang sudah benar-benar mendapatkan lawan yang pas kali ini. Iko benar-benar kalah. Iko yang pecicilan dan juga suka rusuh itu akhirnya jadi agak mingkem dan kapok. Tapi bukan Iko namanya kalau menyerah begitu saja. Iko masih dendam. Iko masih kesal dengan perlakuan Ijon yang mendadak jahat ini.

Iko ngambek lalu pulang ke rumahnya. Pokoknya hari ini adalah awal baru bagi Iko. Iko harus membuat mas Ijon minta maaf padanya. Iko nggak rela kalau mas Ijon menjadi musuh barunya dalam berdebat. Iko suka mas Ijon yang seperti dulu. Mas Ijon yang sekarang nggak seperti itu. Lihat itu! Bahkan mas Ijon menatapnya dengan raut nggak suka, lalu menjulurkan lidahnya. Mas Ijon melet-melet! Lihat itu! Mas Ijon melet ke arahnya! Iko begidik geli, lalu balas menjulurkan lidahnya. Iko nggak mau kalah, dong! Kan Iko yang lebih ahli dalam ilmu permeletan ini.

"Kamu ngapain?" Fikar muncul. "Jangan melet-melet depan rumah, ntar dikirain gila, Ko!" Lagi-lagi Fikar menatapnya geli. Iko menghentakkan kakinya lalu masuk ke dalam rumah.

"Mas Ijon itu kenapa, sih bang? Kok jadi kayak kerasukan jin jahat gitu?"

"Emang ada apaan?" Abang pura-pura nggak tahu.

"Masa dia jadi nyolot gitu, lalu jadi jahil!"

Fikar menaikkan alisnya sambil mengangkat bahu.

"Gimana rasanya, Ko?"

"Apanya?"

"Saat ada orang jahilin kamu, yang ngerusuhin hidup kamu.... Kamu tahu kan gimana rasanya sekarang saat ada yang bikin kamu bete?"

"Apa Iko pernah bikin kalian bete?"

Fikar menepuk dahinya.

"Abang masih hidup aja udah untung, Nyil..."

Iko menggaruk tengkuknya. Mungkin Iko memang harus disadarkan atas segala kelakuannya dengan membalas tingkah-tingkah itu. Fikar menepuk-nepuk kepala Iko.

"Ko, dengerin abang! Abang sayang sama Iko, abang nggak mau Iko terluka atau disakiti. Tapi Iko harus belajar peka sama sekitar, Iko! Inget, Ko! Iko udah gede, bukan anak kecil lagi. Iko harus dewasa..."

"Iko harus apa?" Iko menatap Fikar dengan raut melas. Fikar luluh seketika. Tatapan mata Iko itu memang bahaya. Makanya banyak sekali korban keisengan Iko yang akhirnya memaafkannya setelah menatap mata itu.

"Iko harus berhenti rusuh..." Abang mengangguk yakin. Iko menunduk.

Mana mungkin Iko berhenti? Rusuh itu bukan keinginan Iko. Rusuh dalam jiwa Iko itu muncul tiap ada kesempatan. Saat Iko bosan. Jadi, rusuh itu bukan hobi Iko. Mana mungkin Iko bisa berhenti? Nggak mungkin... Rusuh itu naluri.

"Iko coba, bang..." Iko nyerah. Dia bukan menyerah untuk nggak rusuh lagi, tapi menyerah untuk berdebat dengan abang kali ini.

Dia harus diam. Dia harus mencoba cuek pada mas Ijon. Siapa tahu saja dengan cueknya Iko, nanti mas Ijon jadi mati kutu. Lalu kembali menjadi pribadi yang pendiam lagi.

Iko keluar dari rumahnya, mengeluarkan sepeda dari garasi dan mengepak kotak-kotak bakpao di keranjangnya. Lagi-lagi Iko harus bertemu dengan mas Ijon. Mas Ijon lagi!

"Iketnya yang kuat, ntar jatoh tuh Nyil...!" Mas Ijon tiba-tiba bicara kepadanya. Iko menaikkan alisnya. Dia hanya ingin membuat gara-gara, Iko!

Abaikan dia, Iko!

"Salah, tuh iketnya Nyil! Ntar miring dan jatuh lagi kotaknya..."

Iko, biarkan saja dia!

"Nyil, kalo kamu iket di situ ntar beloknya susah. Kotaknya juga jadi penyot.."

Lanjutkan saja pekerjaanmu, Iko! Jangan dengarkan dia!

"Nyil, ntar kalau..."

"Ini salah, itu salah! Kalau emang mas Ijon merasa pinter, jangan ngomong doang! Tapi lakukan!" Iko sudah nggak tahan untuk membalas ucapan Ijon.

Entahlah, Iko lebih suka Ijon yang pendiam dan membantunya diam-diam daripada mas Ijon yang ini. Ijon menaikkan bahunya.

"Males, ah!" Lalu Ijon masuk ke dalam rumahnya lagi.

Iko menggerutu kesal. Kakinya menghentak marah dan dia kembali ke dalam untuk mengambil tasnya. Saat Iko keluar, kotak-kotak itu sudah terikat sempurna. Iko menarik kedua sudut bibirnya. Mas Ijon itu ya tetap mas Ijon. Mau jadi alay, kek.. mau jadi ketus, kek.. atau jadi manusia serigala dan vampire sekalipun, mas Ijon tetap mas Ijon!

Iko nyengir, lalu mengeluarkan sepedanya. Hari ini Iko harus mengantarkan bakpao ke luar kompleks. Semangat, Iko!

***

Kanan dan Kiri sedang galau. Mereka hanya diam saja saat Iko mengajak mereka mengobrol. Nggak, Iko memaksa mereka mendengarkan curhatan Iko. Iko mampir ke rumah mereka setelah pulang dari mengantar bakpao tadi. Iko bercerita soal kelakuan Ijon akhir-akhir ini. Ijon dan segala macam keanehannya. Ijon dan segala macam omongannya. Kelakuannya. Sebenarnya kegalauan Kanan dan Kiri bukan karena mendengar curhatan Iko, tapi ini lebih kompleks. Iko ada hubunganya juga, sih! Namun curhatan Iko malah makin memperparah kegalauan mereka.

"Kalian peduli banget sama nasibku sampai berkerut gitu ya mukanya? Sampe ikutan sedih gitu?" Iko menunjuk wajah si kembar. Kanan diam nggak bereaksi seperti biasa. Kiri menatap Iko dengan raut nggak bisa ditebak.

"Ko, kalau kamu mau curhat soal kak Ijon dan segala macam jin jahat yang sedang merasukinya itu... tolong jangan curhat sama kami, Ko! Kami lagi bingung..."

"Kalian bingung karena nggak percaya mas Ijon berubah jadi kayak gitu?" Iko menatap mereka lagi.

Grrrrrr.... Kiri mendadak emosi. Kanan menyerah. Dia hanya menatap Kiri, mencoba menyemangati adik kembarnya itu untuk bersabar.

"Kami punya masalah sendiri, Ko!"

Kali ini Iko menyesal. Dia merasa bersalah. Harusnya dia lebih peka kalau si kembar juga sedang sedih dan galau. Iko menunduk.

"Maafin aku..." Iko tulus meminta maaf. Kiri dan Kanan bertatapan.

"Iya, nggak apa! Mungkin kami aja yang lagi sensitif..."

"Kalian ada masalah apa?" Iko benar-benar ingin tahu saat ini. Sebagai sahabat. Bukan sebagai Iko kepo seperti biasanya. Kanan dan Kiri diam.

"Om... apa kabar?" Kanan bertanya pelan. Iko mengerutkan keningnya.

Tumben sekali mereka bertanya soal Ayah Iko? Mereka memang dekat dengan Ayah Iko, tapi tumben gitu si kembar kepo soal apa yang Ayahnya lakukan.

"Ayah? Masih ganteng seperti biasa..."

"Ayah kamu..." Kiri bertanya pelan.

"Iya, kok tahu?" Iko menyahut sambil terkekeh geli. Kiri menjitak kepala Iko gemas. Iko nggak pernah bisa diajak serius.

"Ko... kalau seandainya aku dan kak Kanan jadi saudara kamu gimana?" Kiri bertanya pelan. Iko nggak peka, tapi biarkan saja dia memakai bahasa kode begini. Iko menatap mereka, lalu menghela nafas.

"Emang kalian mau saudaraan sama aku?"

"Nggak mau, sih..." Kiri menggaruk tengkuknya.

"Tapi kalian udah jadi saudaraku...! Kan aku udah pernah lihat 'adek kecil' kalian pas masih kecil dulu!"

"IKO!!" Kanan dan Kiri menjitak kencang kepalanya.

"Nih, nih.. aku tahu kenapa aku nggak bisa tinggi! Pasti karena kalian doyan banget jitak kepalaku!!" Iko merengut. Kanan dan Kiri menatap Iko dengan raut kesal, namun setelahnya mereka menepuk kepala Iko.

"Kami lagi galau aja, Ko..."

"Iya, aku ngerti. Aku nggak akan nanya-nanya lagi..."

"Tapi nanti kamu pasti akan tahu, Ko!" Kiri berbisik pelan. "Cepat atau lambat..."

Iko makin bingung. Lagipula, sekarang Iko juga sedang bingung karena tingkah mas Ijon yang mendadak jahat itu. Iko sangat peduli dengan perubahan itu. Sekarang pilihan Iko bukan jadi es teh, bakpao atau mas Ijon lagi, tapi sudah jadi mas Ijon yang cuek atau mas Ijon yang jahat. Hanya itu. Iko nggak perlu memilih. Dia jelas memilih mas Ijon yang cuek. Tapi, untuk mengembalikan mas Ijon ke mode semula itu yang agak sulit. Nggak ada antivirus untuk itu.

"Iko pulang aja, deh! Kalian galau-galauan aja berdua..." Iko berdiri, lalu berpamitan pulang. Kanan dan Kiri hanya diam. Iko melambai dan meninggalkan rumah mereka.

Saat Iko sudah sampai di depan rumahnya, ada Ijon di sana. Iko sudah pasang wajah bete. Mas Ijon tersenyum ke arahnya. Dengan senyuman sinis. Tuh, kan! Mas Ijon dalam mode jahat itu memang berbahaya.

"Baru pulang?" Ijon bertanya ke arahnya. Dengar itu! Bahkan sekarang mas Ijon yang Iko kenal jadi suka basa-basi.

"Mas udah lihat sendiri, kan?" Iko menunjuk sepedanya.

"Nganterin bakpao aja lama amat. Kayak yang nganterin di planet pluto aja...!"

Iko berdecih. Dia sudah bernafsu untuk menjawab ucapan nyinyir mas Ijon.

"Mas Ijon nggak perlu ngurusin urusanku! Mau aku nganterin ke planet, kek... ke bulan, kek... Mas Ijon nggak tahu ya kalau pluto udah nggak dikategorikan sebagai planet lagi karena orbitnya berbeda?" Nah, begitu Iko! Walau harus menjawab ucapan mas Ijon, tapi kamu harus tunjukkan kalau ucapan kamu ada benarnya. Hoho...

"Nggak nyasar buat ngilangin cincin lagi, kan?" Ijon masih meledeknya. Iko menatapnya sambil mencebik kesal.

"Cuma sekali bantuin cari cincin aja udah ngungkit-ngungkit. Nggak ikhlas amat, sih mas??"

"Ah, iya.. waktu itu juga ada yang mewek karena diomelin..."

"Iya, yang ngomelin jahat banget! Tiba-tiba aja marah, nggak nanya dulu alasannya apa. Jahat!"

"Cengeng!"

"Jahat!"

"Unyil!"

"Raksasa!"

"Tembem!"

"Tepos!"

"Pendek!"

"Tinggi!"

Ijon menepuk dadanya bangga. Iko sudah emosi. Dia melangkah ke arah Ijon. Menarik baju Ijon, lalu mementurkan kepalanya sendiri ke dahi Ijon. Ijon menjerit kesakitan.

"Keras kepala!!"

"Iya, emang! Lembek!!" Iko mengacungkan jempolnya, lalu mengarahkan ke bawah. Dia menjulurkan lidahnya, lalu melarikan diri ke dalam rumahnya. Ijon nggak sadar kalau sejak tadi Fikar sedang mengawasi mereka. Lalu ketika Ijon mengusap dahinya sambil tersenyum lembut, Fikar memergokinya.

"Baru kali ini ada orang kesakitan tapi tetep senyum. Kamu bukan masokist, kan Jon?"

Ijon mingkem. Salting lagi.

"Cewek yang kamu suka... Iko, kan?" Pertanyaan Fikar membuat Ijon melongo. Makin salting. Ijon berjongkok begitu saja sambil mengusap kasar wajahnya. "Awalnya aku nggak percaya, tapi lama kelamaan kelihatan banget..."

"Segitu jelasnya, ya?" Ijon menatap Fikar, meminta jawaban. Fikar mengangguk.

"Tapi percuma, Jon! Sebisa apapun kamu nunjukin, tuh anak kagak mungkin bisa peka! Dunianya penuh dengan rusuh, iseng, dan maen doang..."

"Aku bingung kenapa aku harus suka sama cewek model begitu..."

"Cewek model begitu yang kamu maksud itu adek kesayanganku, Jon!"

"Aku tahu.. Maaf, aku nggak bermaksud jelekin dia, kok! Aku hanya... bingung..."

"Sebenernya kamu udah sayang sama dia sejak dulu, deh kalau diingat-ingat lagi..."

"Hah?" Ijon menatap Fikar. Fikar mengedikkan bahunya. "Maksudnya?"

"Pertama, kamu paham banget soal Iko!"

"Itu karena dia suka merepet ke aku, Kar!"

"Kedua, kamu peka soal mood dan perasaan Iko!"

"Dia selalu curhat ke aku..."

"Ketiga, kamu peduli banget ke Iko..."

"Dia udah aku anggap adekku sendiri..."

"Keempat, kalau Iko kenapa-napa kamu selalu lebih panik dibanding aku..."

Ijon diam. Harus jawab apa, nih?

"Kelima, kamu nggak pernah menjauhi Iko meskipun tuh anak selalu ngerusuh aja!"

Ijon nggak tahu harus menanggapi seperti apa ucapan Fikar. Ijon hanya diam.

"Keenam.... pernah, nggak kamu cemburu kalau Iko maen sama orang laen?"

Kali ini Ijon tersindir dan tertohok begitu saja. Ijon menatap Fikar yang sedang menggerakkan alisnya. Ijon diam. Bungkam. Ijon bingung harus menjawab apa. Lagipula, ucapan Fikar tadi benar sekali. Sangat. Tapi ada satu hal yang luput dari pembahasan Fikar. Pengakuan. Entah sejak kapan rasa itu muncul. Ijon jadi sedikit menuntut perhatian Iko terhadapnya, makanya Ijon jadi seperti ini.

"Kamu pikirin aja, bro! Tapi inget, siapapun kamu... aku nggak akan biarkan adikku disakiti! Termasuk sama sahabatku sendiri!" Fikar menepuk bahu Ijon. Ijon menunduk pasrah. Ini pertama kalinya Ijon jatuh cinta, tapi kenapa rasanya jadi seperti ini? Ijon jadi.. Ah, entahlah... Ijon jadi nggak bisa berpikir rasional.

"Iko!! Jangan kenceng-kenceng!!" Fikar berteriak kencang saat mendengar suara musik di kamar Iko.

Iko mulai menggila di kamarnya. Menari. Bernyanyi. Dengan suara sumbang dan juga musik dari sound system-nya.

"Kamu yakin naksir cewek model begitu??" Fikar menunjuk arah kamar Iko sambil tersenyum miris pada Ijon.

"Cewek model begitu yang kamu maksud adalah cewek yang udah berhasil membalikkan duniaku, Kar!" Ijon balas memijat pelipisnya. Mereka menghela nafas. Bersama.

***

Kanan dan Kiri berubah aneh begitu karena ada alasannya. Mereka punya alasan. Tentunya Iko juga ikut andil di dalamnya. Karena Iko anaknya. Nah? Jadi si kembar galau karena Ayah Iko. Kenapa? Alasannya adalah... mama mereka dekat dengan Ayah Iko. Betul, wanita yang dekat dengan Ayah Iko adalah mama mereka. Kanan dan Kiri awalnya nggak tahu, tapi akhirnya mereka memergoki mamanya sedang mengobrol di telpon dengan seseorang sambil tersenyum. Senyum mama itu mirip sekali dengan cewek yang sedang kasmaran. Kanan juga pernah nggak sengaja membaca pesan di HP mamanya. Ada nama Ayah Iko di sana. Belum lagi mereka berdua pernah melihat mamanya bertemu Ayah Iko di depan kantornya. Ayah Iko memang punya usaha di dunia perbakpao-an, tapi Ayah Iko juga bekerja di kantor yang sama dengan mamanya.

Kanan dan Kiri sama sekali nggak masalah mamanya dekat dengan siapa. Asalkan pria itu baik dan juga tulus pada mamanya. Tapi... ini beda kalau menyangkut soal Iko. Mereka punya janji yang harus mereka tepati pada Iko. Meskipun hanya sekedar janji monyet, tapi keduanya tahu kalau mereka punya sedikit rasa posesif terhadap Iko. Mereka nggak rela kalau Iko harus bersama dengan cowok lain.

"Iko kayaknya belum tahu ya soal ini?" Kanan mendesah. Kiri mengangguk dalam diam.

"Kita harus apa, kak?"

"Kalau kita beritahu dia, mungkin dia bakalan kaget... Kemungkinannya hanya satu. Iko akan menerima kita dengan mata berbinar..."

"Tapi kita punya janji ke Iko, kan? Apa kita batalin aja? Anggap aja itu hanya janji masa kecil kita..."

"Oke, kalau itu saja kita bisa. Tapi kamu...."

"Aku nggak masalah, asal kita bisa bareng terus sama Iko..."

"Pernah nggak kamu nanya perasaan kakak ke Iko?" Kanan menatap adiknya. Kiri bungkam seketika. "Kakak sayang Iko. Kamu juga sayang Iko. Tapi rasa kita beda, Kiri..."

Kiri diam.

"Kakak sejak kapan mulai sadar perasaan itu?"

"Sejak dulu..."

"Tapi kakak selalu menghindar dari Iko."

"Iya, bahkan di kelas aja kakak nggak berani menatap Iko. Baper mulu bawaannya. Sempet mikir kalau kakak nggak mau Iko sama cowok manapun, kecuali kamu..."

Kali ini Kiri melotot.

"Bukan karena kembar kita bisa berbagi banyak hal, kak! Kakak sayang Iko. Aku sayang Iko sebagai adikku, sahabatku! Kakak yang harus bersama Iko..."

Kanan diam.

"Jadi kita diam aja, nih?" Kiri bersuara lagi. Kanan menunduk, mengangkat bahunya. Kanan harus memutuskan apa yang harus mereka lakukan. Membiarkan mamanya bahagia bersama lelaki yang beliau pilih sekaligus menerima Iko sebagai adiknya atau... menjadikan Iko miliknya.

Tapi itu berarti mengorbankan kebahagiaan mamanya. Lalu mereka bisa apa?

***

Ayah menatap Iko. Iko balas menatap Ayahnya.

"Ayah mau curhat??" Iko antusias, lalu duduk mendekat ke arah Ayahnya. Ayah menatap Iko lembut.

"Ko, kalau Ayah mengajak wanita itu menikah... gimana?" Ayahnya menatap Iko.

"Serius?!!" Iko balas menatap Ayahnya. Iko sama sekali nggak keberatan. Asalkan wanita itu sayang pada Ayahnya dan tulus. Ayah mengangguk.

"Iko.. setuju?"

"Apapun yang bikin Ayah bahagia, Iko akan dukung!!" Iko menatap mantap wajah Ayahnya. Ayah menghela nafas dan menunduk.

"Ayah belum bilang sama abangmu...."

"Iko panggilkan!!" Iko sudah nggak sabaran, lalu berlari ke dalam. Menyeret abang yang sedang membuat adonan. Iko menarik abang dan memaksanya duduk di depan mereka.

"Yakin, Ko?" Ayah menatap wajah Iko.

"Abang pasti ngerti, Yah!"

"Kalau abangmu nggak mau, gimana?"

"Iko paksa!!"

"Kalian nyuruh aku ke sini, tapi pas aku di sini kalian malah ngobrol sendiri!" Abang protes. Ayah berdehem. Iko nyengir.

"Ayah mau ngomong sesuatu, Kar..."

Fikar diam. Mendengarkan.

"Kok kamu diem aja? Respon dikit, lah!" Ayah protes. Nggak biasanya kan Fikar diam kalau Ayah sedang bicara begini?

"Fikar kan dengerin, Yah!" Abang protes. Abang menatap Iko lagi. Iko menggebu. Menunggu lanjutan ucapan Ayah.

"Gimana kalau.... Ayah menikah lagi?"

Fikar melongo.

"Ayah mau nikah lagi??? Heee....?? Ayah kan udah tua!!" Fikar dengan kurang ajarnya mulai berteriak. Fikar dan Ayah itu memang nggak pernah akur. Selalu begitu. Hubungan antara anak cowok dan Ayah yang penuh dengan perdebatan, tapi saling mencintai.

"Kenapa? Ayah kan masih muda... dan ganteng..." Ayah protes, lalu melirik Iko.

Keduanya toss setelah itu. Abang mengusap wajahnya. Ayah dan Iko itu sama-sama kekanakan. Sekarang Fikar mendengar Ayah akan menikah lagi? Semoga saja Ibu tirinya nanti sabar dalam menghadapi Iko dan suaminya.

"Kira-kira siapa wanita itu, Ayah? Apa dia baik? Dia sayang Ayah? Dia tulus?" Abang mulai menginterogasi.

"Ayah yakin, makanya Ayah mengatakannya ke kalian..."

"Kapan Ayah bawa dia ke sini?" Fikar masih bertanya. Tajam.

"Nanti, dia akan datang ke sini...."

Iko senang mendengarnya. Fikar diam. Fikar bukannya nggak setuju, tapi Fikar harus melihat calon ibu tirinya. Fikar harus tahu dia baik atau nggak.

Akhirnya perbincangan kecil dan menegangkan itupun berakhir. Iko senang karena sebentar lagi akan memiliki saudara baru. Itu artinya, dia nggak akan kesepian lagi. Ayah mengatakan kalau wanita itu juga punya anak dari suami sebelumnya. Iko harus mengabari si kembar. Syita pasti sudah dikabari abang. Kalau Fiko? Ah, Fiko kan nanti bisa nanya Syita.

Iko mengeluarkan sepedanya dan mengayuhnya cepat ke rumah si kembar. Ketika sampai di depan rumah Ijon, Iko sempat melihat Ijon menjulurkan lidah ke arahnya. Iko lagi nggak mood membalas perbuatan mas Ijon, jadi dia hanya berlalu. Iko harus mengabarkan berita baik ini ke si kembar.

"Kanan, Kiri... aku mau punya ibu baru...!" Iko berteriak senang. Kanan dan Kiri menatap Iko yang baru saja sampai di depan rumahnya. Iko menari-nari senang lalu memeluk Kanan dan Kiri bergantian.

"O..Oh, selamat deh Ko..." Kiri berkata gugup. Kanan hanya diam.

"Iya, iya.. makasih! Makasih! Nanti dia mau ke rumah..."

"Eng... Iko, itu...." Kanan dan Kiri saling bertatapan. Iko menunggu ucapan mereka. "Lupakan, Ko!" Kiri menghembuskan nafas. Iko masih terlalu antusias, dia masih sibuk bercerita tentang bagaimana betapa bahagia Iko saat ini. Begitu si kembar ingin mengatakan sesuatu, HP Iko bergetar. Ada telepon dari abang. Iko melotot kaget, lalu berlari mengambil sepedanya. Iko segera pulang tanpa sempat mendengar ucapan terakhir si kembar.

Calon ibu barunya sudah menunggu di rumah!

Iko sampai di depan rumahnya. Ada Ijon yang sedang mencuci sepeda di samping rumahnya. Ijon cuek. Iko juga cuek. Iko sudah terlalu bahagia sekarang. Jangan sampai mood-nya berantakan sekarang. Iko masuk ke dalam rumahnya, namun di dalam ada Tante Irta. Mama si kembar.

"Kok Tante ada di...."

Ayah dan abang muncul dari dalam, lalu mengenalkan tante Irta.

"Ini calon ibu kamu, Ko! Kamu udah kenal, kan?"

Iko melongo. Iko senang, tapi juga kaget. Iko masih shock. Nggak percaya. Dia benar-benar nggak tahu harus ngomong apa. Ini terlalu mengejutkan. Kalau ditanya, Iko sayang sekali pada tante Irta, mama si kembar. Tapi Iko hanya terlalu kaget.

"Ja.. Jadi..." Iko tergagap.

"Iya, Ko! Iko nggak suka sama tante Irta? Iko nggak mau tante Irta jadi ibu Iko?" Ayah menatap Iko.

Iko menggeleng cepat, lalu air mata mulai menetes membasahi pipinya. Iko melangkah ke arah tante Irta, lalu memeluknya. Iko senang. Iko bahagia. Tapi... Iko kecewa! Iya, kecewa!

Kenapa si kembar nggak memberitahu hal ini sebelumnya?

Iko tersenyum sambil menghapus air matanya. Punya ibu seperti tante Irta? Itu adalah mimpi indah Iko yang akhirnya jadi nyata.

Iko mengirim sesuatu dari HPnya. SMS untuk si kembar.

"Aku senang saat tahu kalau calon Ibu baruku ternyata mama kalian. Tapi... aku masih kecewa. Marah. Kalian nggak memberitahuku sebelumnya soal ini, kalian nggak percaya ke aku!"

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top