Empat: Kiri Kanan Mas Ijon
Cincin Iko ketemu. Iya, mereka kan mencarinya sampai tengah malam. Bahkan satpam kompleks juga membantu mereka. Iko nggak tahu harus mengucapkan apa pada Ijon dan satpam itu. Yang jelas, saat Iko sudah sampai di rumahnya... abang sedang duduk di ruang tamu sambil menatapnya. Menatap keduanya. Iko dan Ijon.
"Jadi, kalian darimana? Kenapa lama?" Fikar menaikkan alisnya. Iko marah. Bete. Bisa-bisanya abang duduk manis di sini, sementara Iko dan Ijon sedang kelimpungan mencari cincin.
"Abang sendiri kenapa santai-santai di sini? Bukannya jemput!" Iko marah. Abang melongo. Harusnya kan Iko cengar-cengir seperti biasanya, tapi kenapa Iko marah? Ah, iya.. tadi kan Fikar sudah melihatnya bersama Ijon, jadi dia pulang. Dia percaya Ijon bisa mengatasi semua masalah Iko.
"Tap... Tapi kan udah dijemput Ijon...." Abang gelagapan.
"Itu bukan alasan!! Iko marah sama abang!" Iko mendengus kesal padanya. "Mas Ijon, makasih banyak ya...! Iko berhutang banyak banget sama mas Ijon. Pokoknya mas Ijon yang terbaik. Seandainya aja aku punya kakak kayak mas Ijon..." Iko menyindir. Fikar melotot nggak terima.
Iko melambai lalu pergi ke kamar dan menutup pintunya. Dia tersenyum. Ah, kenapa dia malah senyum-senyum? Dia kan hanya mengingat kejadian saat Mas Ijon memeluknya tadi? Juga, sekarang mas Ijon sudah mengizinkan Iko menangis di depannya. Jadi Iko bisa menangis sewaktu-waktu di depan mas Ijon.
"Aku pulang dulu..." Ijon melambai di depan wajah Fikar, tapi Fikar lebih gesit untuk menangkap maksud dan tujuan Ijon. Dia berlari dan menarik baju Ijon.
"Aku mau tahu sesuatu!"
"Apa?" Kali ini Ijon kembali pada mode cueknya.
"Tadi aku lihat kamu dan Iko pelukan di taman..."
Ijon melongo.
"Kamu lihat??"
"Iya, lah! Si Iko juga nangis jerit-jerit gitu!"
Ijon mendengus. Kesal.
"Kamu tahu adikmu nangis, tapi kamu cuma diem aja dan biarin dia dipeluk cowok??"
"Kan aku tahu dia dipeluk orang yang aku percaya, sahabatku sendiri!" Fikar mengangkat tangannya. Ijon menatapnya kesal.
"Kalo aku jadi Iko, mungkin aku beneran mecat kamu jadi kakakku!" Ijon mendengus lagi dan pulang.
Sekarang di ruang tamu hanya tinggal si abang yang meratapi nasib dan mencoba instrospeksi. Benarkah kalau perbuatannya ini salah? Kan sudah ada Ijon tadi yang memeluk Iko. Fikar menatap kepergian Ijon. Fikar masih belum bisa yakin atau percaya. Mana mungkin Ijon suka Iko? Nggak mungkin!
Fikar tersadar setelah itu, lalu mengetuk pintu kamar Iko. Iko diam nggak menyahut di dalam. Fikar gusar, lalu mencoba membuka pintu kamar Iko. Pintu itu terbuka, menampakkan adiknya yang sedang tertidur masih dengan jeans, jaket tudung berkuping dan juga sepatunya. Fikar mendekat ke arahnya, lalu duduk di sebelah Iko. Tangannya mengelus sayang kepala Iko.
"Maafin Abang, ya Iko! Abang jadi kakak yang jahat buat kamu..." Fikar mengusap sayang kening Iko. "Cuma Iko dan Ayah yang abang punya..."
Fikar jadi melankolis. Ingatan-ingatan itu kembali berputar di kepalanya. Fikar ingat semuanya. Saat Iko menangisi jenazah ibunya. Saat Iko menggenggam jemari Ayah dan Fikar.
"Iko sekarang cuma punya Ayah dan abang, jadi Iko nggak akan pernah lepasin kalian..." Iko menggenggam erat jemari mereka waktu itu. Fikar bahkan sudah berjanji di makam ibunya kalau dia akan menjaga Iko.
"Kita saling bergandengan ya, Iko! Pegang tangan abang terus, kita harus kuat meskipun bunda nggak ada lagi!" Malam itu abang menggenggam tangannya saat Iko tidur. Iko mengangguk yakin.
"Iko juga nggak mau nangis lagi. Mas Ijon bilang, itu tingkah anak manja! Iko kan kuat!" Iko mencoba menghibur dirinya sendiri.
Fikar mengangguk, lalu mereka berpelukan. Saling menguatkan. Mereka berdua tumbuh bersama dengan saling menjaga. Bahkan abanglah yang mengajari Iko melewati masa pubernya. Fikar dan Ijon yang kelimpungan waktu itu. Mereka berdua berdiri canggung di depan rak tempat pembalut yang berjejer pada sebuah mini market. Keduanya saling sikut. Saling dorong. Malu. Lalu akhirnya mereka memutuskan untuk membeli barang itu. Untunglah saat itu ada mama Ijon yang mengajari Iko. Fikar dan Ijon kan nggak mungkin mendemonstrasikan cara menggunakan pembalut yang baik dan benar.
"Maafin abang, Iko! Abang sayang Iko. Iko tahu, kan?" Fikar tersenyum lembut, menatap wajah mungil dan tembem Iko lagi. "Kalau aja abang bisa nebus rasa bersalah ini ke Iko...."
Iko spontan membuka matanya. Abang mundur kaget. Ternyata Iko masih belum tidur?! O-Oh.. siap-siap saja, Fikar!
"Abang beneran mau nebus rasa bersalah itu?" Iko menggebu. Matanya sudah terbuka lebar, bahkan Iko sudah duduk santai di atas kasurnya. Abang melongo. Sepertinya dia salah ngomong.
"Emang Iko mau apa?" Dia bertanya. Cemas.
"Iko pikir-pikir dulu!" Iko menaikkan alisnya.
"Jadi, Iko udah maafin abang?"
Iko memeluk abang dengan sayang sambil mengangguk santai. Abang menatapnya lagi. Ini mulai nggak beres. Pasti tingkah jahil Iko akan membuatnya repot. Ah, Iko! Bisa nggak sih kamu jadi adik yang normal sebentar saja? Fikar mengusap kasar wajahnya, mencium kening Iko lalu kabur dari sana sebelum Iko menemukan ide untuk menjahilinya.
***
Kanan dan Kiri sampai di rumah Iko. Ada Syita juga. Mereka bertiga sedang merencanakan sesuatu. Kenapa rumah Iko? Soalnya Iko sedang bolos sekolah. Dia masuk angin dan nggak masuk sekolah.
"Kamu sakit bukannya mikir biar cepet sembuh dulu, tapi malah mikir mau maen!" Kiri mencibir sambil mengunyah sebuah bakpao. Kanan mengangguk membenarkan. Syita di luar, pedekate dengan abang Iko.
"Kan hiburan itu perlu biar badan kita juga sehat, guys!"
"Emang mau kemana?"
Iko berpikir panjang. Lama sekali. Dia sama sekali nggak ada referensi yang bagus soal itu. Lagipula, mobil Ayah kan nggak dipakai kalau hari minggu. Di sini yang bisa menyetir mobil ada dua orang. Mas Ijon. Jelas, mas Ijon harus ikut. Wajib! Mas Ijon itu adalah pelengkap penderita bagi Iko. Jadi harus ikut! Lalu abang. Tapi abangnya malas kalau diajak main. Ah, kan ada Syita. Jadi Syita harus ikut juga.
"Aku nggak...." Kanan mencoba memotong pemikrian Iko, tapi Iko menggeleng kencang. Nggak terima.
"Kalian harus ikut semua!!" Iko menunjuk wajah Kanan dengan nada memaksa.
Kanan mingkem. Kalau Kanan nolak, nanti Iko pasti akan merepet seperti biasanya. Kanan nggak mau dengar suara ngoceh Iko yang berisik dan merepotkan itu. Kanan kapok dikerjai Iko. Lagipula, Kanan kan memang ingin keluar bareng Iko. Meskipun yang Kanan maksud adalah keluar semacam... eng, apa ya orang menyebutnya... ah, iya! Iya! Nge-date. Kanan kan ingin keluar berdua saja bareng Iko. Kanan tahu kalau dia selalu menghindar dari Iko, tapi kalau berdua... kira-kira Iko bisa apa, ya?
"Nggak ada penolakan!" Iko masih keras kepala. Kiri menghela nafasnya dan menyenggol Kanan. Kanan pasrah.
"Emangnya mau pergi ke mana, sih Ko?"
Iko diam. Mikir. Lalu sebuah tempat terlintas di otaknya. Dia terlonjak senang lalu mengangguk yakin.
"Renang!!"
"Nggak boleh! Kamu kan baru aja sembuh, kenapa ngotot mau renang? Ntar makin sakit!" Abang nongol, sambil membawa cemilan dan dua gelas es jeruk.
"Abang...! Inget kan kalau abang mau melakukan apapun buat Iko? Yang semalem itu?" Iko menggerakkan alisnya, lengkap dengan senyum jahilnya.
Fikar mengusap wajahnya gemas. Oke, dia kalah! Lagi. Dan akan terus seperti itu. Iko akan selalu berhasil membuatnya kalah.
"Iya, iya...!"
"Ajak mas Ijon juga!"
"Pasti!"
Iko berguling di kasurnya, lalu melompat ke pelukan abang. Iko mengusap-usap pipi abang dengan hidungnya, meninggalkan jejak di sana. Jejak. Ingus.
"Iko!!!" Abang mendadak emosi, lalu menjitak kepala Iko bertubi-tubi.
Si kembar saling pandang dan hanya menghela nafas. Sepertinya nggak akan ada yang betah kalau berada di samping Iko. Iya, nggak ada yang betah! Bagaimana ya kalau salah satu dari mereka harus menikah dengan Iko? Ups...!
***
Nah, sekarang mereka benar-benar di sini!
Rencana Iko untuk berenang itu akhirnya terlaksana juga. Iko melirik abang, melirik mas Ijon di sebelahnya. Dia nyengir. Pagi-pagi Iko sudah membangunkan Ijon. Bahkan saat dini hari Iko sudah mengiriminya SMS, BBM, juga menelpon Ijon. Iko memang mengirimi SMS pada Kanan, Kiri, Syita dan Fiko juga, tapi hanya sekali. Entahlah, Iko lebih semangat rusuh di hidup mas Ijon. Ijon menguap. Ijon, lho yang menyetir. Jadi taraf mengantuk Ijon itu harus dikendalikan.
"Kalian renang aja, aku mau tidur!" Ijon menunjuk sebuah gazebo di sudut kolam. Fikar menatap Ijon tanpa bicara sepatah katapun. Ijon tahu apa yang ingin Fikar katakan dari tatapannya. Maaf. Untuk adiknya.
"Ayo, ganti dulu!" Syita menarik lengan Iko. Iko menggeleng.
"Di sini aja, ah!"
"Hah??!!" Seluruh mata melotot ke arah Iko. Iko balas menatap mereka bingung.
"Jangan gila, deh Ko!!" Abang sukses mendadak emosi. Nggak mungkin Fikar membiarkan Iko ganti baju di sini. Fikar akan melindungi Iko dari mata-mata cowok di sekitar kolam.
"Kenapa?" Iko membuka jaketnya, lalu menunjuk bajunya.
Iko sudah memakai kaos biasa untuk berenang. Dia juga sudah memakai celana pendek di balik jeans-nya. Dalam beberapa detik Iko sudah siap untuk mencelupkan dirinya ke kolam. Syita menepuk dahinya. Fikar meliriknya. Ijon sudah nyaman di gazebo. Ketiga cowok yang lain juga nggak mau kalah. Mereka bertiga juga senang bermain di sini. Iko, Kanan, Kiri dan Fiko dulu pernah ikut les renang. Mereka sudah biasa renang sejak kecil.
"Lucu, ya! Dia ikut renang dari kecil tapi kagak tinggi-tinggi juga..." Fikar meledek Iko. Iko menjulurkan lidahnya.
"Iko, ayo pemanasan!!" Fiko melambai ke arahnya. Iko menyusul ketiga cowok itu dan membiarkan abang dan Syita berduaan. Iko mulai melakukan pemanasan.
"Udah lama banget ya kita nggak renang...." Iko menggumam di pinggir kolam.
"Ko, Ko.. jangan nyemplung dulu! Inget ritual kita sebelum masuk kolam!" Kiri menarik kaos belakangnya.
Iko berdiri, bergandengan tangan dengan ketiga cowok itu. Mengambil nafasnya, lalu mundur tiga langkah. Iko di tengah. Di sebelah Fiko. Kanan di sebelah kanan, Kiri di sebelah kiri sesuai namanya. Dalam hitungan ketiga, mereka berlari sambil terus bergandengan tangan dan menceburkan diri ke kolam. Mereka menahan nafas, saling berpandangan di dalam air. Siapa yang keluar air lebih dulu maka dia kalah. Fiko keluar lebih dulu. Kiri setelahnya. Tinggal Kanan dan Iko di dalam air. Iko menaikkan alisnya, menunjuk atas. Dia menyuruh Kanan keluar lebih dulu. Kanan menggeleng. Dia juga menunjuk permukaan. Kanan menyuruh Iko keluar lebih dulu.
"Mereka lama amat, sih!" Fiko menggerutu. "Kita maen sendiri aja, deh Ri!"
Kiri menurut. Kalau meladeni Kanan dan Iko yang sedang berlomba bertahan di dalam air begitu maka akan lama. Lihat saja, bahkan sekarang Iko dan Kanan sudah saling serang di dalam air. Iko menarik tangan Kanan, mendorongnya agar keluar lebih dulu. Kanan bertahan, dia mencengkeram lengan Iko dan nggak akan melepaskannya. Kalau Kanan nyerah, Iko juga harus ikut bersamanya.
Oke, keras kepala Iko memang merepotkan! Tapi Iko gengsi untuk keluar lebih dulu. Kanan dan Iko adalah lawan yang sebanding saat dalam air. Iko menunjuk permukaan lagi, tapi Kanan menggeleng. Kanan menunjuk Iko lalu menunjuk dirinya sendiri. Itu artinya Kanan akan tetap dalam air kalau Iko juga masih di sana.
"Lama amat, sih tuh anak dua!" Kali ini Fikar juga terusik.
Dia bukannya bangga kalau adiknya bisa menyelam dan tahan lama dalam air, tapi dia justru cemas. Iko itu keras kepala. Dia nggak akan pernah mengorbankan harga diri hanya untuk kesehatannya sendiri. Iko itu bodoh!
Iko sudah mulai sesak. Kanan menggoncang lengan Iko dan memerintahkan Iko untuk naik lebih dulu. Iko tetap menggeleng. Iko sudah mulai kehabisn nafas. Bahkan air sudah tertelan beberapa kali olehnya. Kanan mendorong tubuh Iko naik ke permukaan, tapi Iko balas mencengkeram lengannya. Mereka kembali bertarung dalam air, saling dorong...
Awalnya Ijon hanya diam saja sambil memejamkan matanya di bangku gazebo. Tapi dia membuka matanya dan memperhatikan Fikar dan Syita yang sedang menatap kolam dengan raut geli. Pasti taruhan bodoh itu lagi! Ijon tahu bagaimana kelakuan Iko dan Kanan kalau berada di dalam kolam. Ijon benar-benar nggak peduli. Ingat, kan kalau perasaannya jadi campur aduk gara-gara Iko? Jadi dia nggak mau mencampurkan perasaannya lagi kali ini. Ijon terdiam lalu memaksa matanya untuk terpejam. Tapi ini sudah lama sekali. Ijon menggeleng, terusik.
Saat melihat tangan Iko dan Kanan yang berpegangan di dalam air, Ijon mulai benar-benar muak. Ijon menceburkan dirinya sendiri ke air, lalu berenang ke arah mereka. Ijon ingin menghentikan tingkah gila mereka berdua sekarang. Tapi... mata Ijon tercekat. Ketika nafas Iko sudah benar-benar hampir habis, Kanan menariknya lalu... memberinya nafas buatan. Ini gila!! Ini benar-benar gila!!
Ijon pikir, kejadian seperti itu hanya ada di film! Ijon pikir, kejadian itu hanya tingkah bodoh melankolis di film! Ijon pikir, dia akan cuek dan menyeret mereka berdua ke permukaan! Tapi nyatanya, pikirannya sama sekali buntu saat ini. Dia hanya menatap mereka berdua. Dadanya terasa sesak. Bukan sesak karena berada dalam air, tapi karena melihat Iko dan Kanan yang....
Ijon benar-benar kalap. Dia kehilangan kesabarannya kali ini. Dia menarik tubuh Kanan menjauh dari tubuh Iko dan mendorongnya. Kanan muncul di permukaan lebih dulu. Iko muncul bersama Ijon setelahnya. Ijon marah. Kanan menatap Ijon dengan wajah bingung, Iko juga. Apa yang Kanan perbuat? Ijon marah dan mencengkeram leher Kanan. Fikar panik dan menarik lengan Ijon.
"Jon.. Jon! Udah, Jon!" Fikar menarik lengan Ijon. Bahkan Ijon masih memakai jeans dan nggak ganti baju. Ijon langsung melompat dalam air tadi. Ijon bodoh, ya? Memang!
"Mas Ijon kenapa marah?" Iko menatapnya. "Kanan bikin salah apa?" Iko menunjuk Kanan yang juga sama bingungnya.
"Kalian ngapain cipokan dalam kolam? Jangan bilang soal kasih nafas buatan! Itu goblok!!" Ijon berteriak kencang. Kalap. Marah. Iko melongo. Kanan menunjuk Iko lalu menunjuk dirinya sendiri.
"Hah??!!" Iko dan Kanan kompak menjawab sambil menunjuk satu sama lain. "Cipokan?! Sama dia?!" Iko dan Kanan kembali menunjuk.
Fikar menepuk dahinya sendiri. Dari tatapan Iko dan Kanan saja dia sudah tahu kalau tuduhan Ijon salah dan nggak beralasan. Mana mungkin mereka berdua.. ah, Fikar saja nggak nggak bisa membayangkan Kanan dan Iko yang berciuman di dalam kolam.
"Mas udah lihat, Iko!" Ijon berteriak kesal, nggak percaya.
"Maksudnya yang kayak gini, kali!" Kanan menarik hidung Iko, merengkuh lehernya dan meletakkan kepala Iko dalam dekapannya. "Kak Ijon lihatnya dari belakang, kirain kita lagi cipokan deh!"
Fikar tersenyum geli sambil melirik Ijon. Ijon melongo dan tergagap. Salah tingkah setelahnya.
"Nah!!" Iko menunjuk wajah Ijon menggebu. "Mas Ijon merusakkan momen pertarunganku dan Kanan! Kanan, ulangi lagi!!" Iko menunjuk Kanan dengan raut protes.
"Aku kan yang kalah, kak Ijon yang dorong aku!" Kanan merajuk.
"Iya, itu nggak fair! Tapi Kanan juga yang salah, kan nggak boleh kontak fisik! Kalau emang mau maen serang-serangan aku juga boleh...." Lalu kaki Iko melangkah pergi bersama Kanan beserta celotehan dari mulut jahilnya. Mereka saling meledek dan menjauh dari tempat Ijon seolah nggak terjadi apa-apa.
"Jon, kayaknya kamu yang jauh lebih pas jadi abangnya, deh!" Fikar menepuk bahu Ijon sekilas sambil menggeleng pelan. "Aku mau pinjem handuk dulu, tunggu di sini!" Fikar meninggalkan Ijon dan Syita di sana. Ijon menghela nafas sambil mengusap kasar wajahnya.
"Kak Ijon suka sama Iko, ya?" Celetukan Syita membuat Ijon menoleh ke arah suara. Syita sedang menatapnya sambil tersenyum geli. Ijon mendengus. "Nggak usah bohong, deh kak! Kelihatan, tuh!" Syita menunjuk lagi. Ijon memalingkan wajahnya.
"Emang... keliatan banget, ya?" Ijon memutuskan untuk bertanya. Syita terkikik geli dan menunjuk wajah Ijon.
"Mungkin kak Fikar anggap kalau kak Ijon anggap Iko sebagai adik. Tapi... cara kak Ijon menatap Iko sama sekali nggak dikategorikan sebagai tatapan kakak ke adiknya..."
"Ma.. Masa, sih?" Ijon salting.
"Iko juga nggak mungkin sadar! Lagian, ada Kanan dan Kiri yang kayaknya juga..."
"Juga??" Ijon melotot kaget. Nggak percaya. Ingin marah, nggak terima. Tapi dia bisa apa? Dia bukan apa-apanya Iko. Ternyata benar kalau si kembar itu suka pada Iko, pantas saja Ijon merasa ada yang aneh dengan keduanya.
"Tapi beda, kok tatapannya. Kalau tatapan Kanan Kiri itu kayak eng... tatapan sahabat yang terlalu deket. Kalo tatapan kak Ijon kayak ada posesif-posesifnya gitu..."
"Ha?!" Ijon menatap Syita lagi.
"Aku tahu karena tatapan kak Ijon sama kayak tatapan kak Fikar ke aku..." Kali ini Syita sudah malu-malu. Ijon menatap Syita geli.
"Tolong jangan bilang apapun sama Iko, ya!" Ijon menatap Syita serius kali ini. Syita mengangguk sambil tersenyum.
Fikar muncul setelah itu sambil membawa handuk dan minuman. Ijon diam dan mengambil handuk itu. Dia kembali ke gazebo dan mengeringkan tubuhnya. Sesaat Ijon melihat Iko dan ketiga cowok itu sedang tertawa sambil bermain seluncuran. Apa benar yang Syita katakan? Tatapan Ijon penuh dengan rasa posesif? Tapi Fikar kan kakaknya, juga pasti lebih punya rasa itu. Nah, Ijon apanya?
"Ko, sini! Sini!" Kiri melambai ke arahnya. Iko nurut dan duduk manis di samping Kiri. Ah, hati Ijon panas lagi! Fikar nggak mungkin punya rasa panas ini! Ijon, sadar!
Lalu...
Ijon sadar kalau rasa yang dia rasakan adalah posesif dan cemburu saat Iko melangkah ke arah Kanan lalu melompat ke punggungnya. Ini sudah nggak bisa dibiarkan! Ijon marah. Pada dirinya sendiri. Karena hingga saat ini dia belum tahu rasa apa yang ada di hatinya. Rasa untuk Iko.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top