9. Not Okay

Jika ditanya apakah dia baik-baik saja? Maka dengan lantang Theo menjawab, tidak. Dia tidak pernah baik-baik saja. Hari ini, kemarin, dan bahkan tujuh tahun ke belakang. Semestanya hancur, porak-poranda sampai ia bingung bagaimana cara memperbaikinya.

Delapan tahun, itu usia di mana ia mendapatkan luka pertama. Kepergian ibunda yang tak diduga menorehkan luka yang tak akan pernah sirna. Sejak itu, kata mati menjadi momok paling menakutkan sekaligus dibenci Theo.

Awalnya, mati hanyalah sebuah kata tanpa makna yang belum bisa dicerna anak seusianya meski digadang-gadang memiliki kecerdasan luar biasa. Ibunya bilang, orang mati akan menjadi diam dengan mata terpejam. Mereka seperti tidur, begitu katanya.

Namun, jika itu tidur, lantas kenapa ketika sang ibunda tak lagi bangun? Theo ingat betul, dia sudah mengguncang tubuh itu dengan sekuat tenaga. Berteriak hingga serak, dan menangis hingga air mata habis. Wanita jelita itu tetap seperti semula. Bergeming, dingin dan kaku. Kemudian, bisik-bisik di sekitar mengatakan jika wanita itu telah mati.

Butuh waktu lama baginya untuk terbiasa dengan ketidakadaan sosok yang pergi membawa separuh jiwanya. Namun, pada akhirnya terbiasa itu tidak pernah ada. Luka yang terpatri masih menganga ketika ada luka baru tercipta. 

Dua tahun setelah kepergian sang ibu, sosok asing tiba-tiba hadir di antara mereka. Mengikis jarak antara Theo dengan Samuel yang nyatanya memang sudah renggang sejak kematian satu-satunya wanita di sana.

Hanya butuh waktu dua bulan untuk anak bernama Rei itu mengambil Samuel darinya. Pun dengan wanita bernama Celine yang sering menyebut dirinya sebagai ‘Mama’. Kehadiran itu membawa kehidupan baru sekaligus mematikan kehidupan yang lalu.

Pesona serta kecerdasan Rei sukses menarik afeksi semua orang. Dia bersinar, sangat terang hingga menyingkirkan sang kegelapan. Theo bukan lagi menjadi yang pertama, karena Samuel kembali mendapatkan kembali sang cahaya bukan darinya.

Selayaknya perpindahan detik ke menit yang tak banyak orang sadari, waktu pun mengalir tanpa bisa dihenti. Banyak pula hal terjadi. Tak terhitung sebab Theo memang enggan memikirkan. Hingga kini akhirnya Theo menjadi bukan siapa-siapa.

Ia bukan lagi ‘Si Malaikat Kecil Papa’ yang dulu pernah menjadi tempat singgah saat pria itu lelah. Ah … bahkan status itu sudah sirna sejak ibunya tiada. Sekarang, yang selalu Samuel lihat pada dirinya hanya kesalahan. Yang dia dapat hanya ujaran ketidakpuasan.

Rei.

Ya, dia penyebabnya. Dengan segala kepalsuan, dia berhasil membelokkan arah pandang Samuel. Bahkan alasan pria itu menikahi Celine adalah menjari sosok ayah pengganti untuk anak itu. Sungguh, dialah sumber dari segala kesialan dalam hidup Theo. Dan dialah satu-satunya orang yang mampu dibenci Theo sampai mendengar namanya pun ia tak sudi.

Namun, semesta sepertinya suka melakukan hal yang berlawanan dengan keinginan. Di saat perjumpaan dengan Rei adalah hal yang paling ia hindari, dia justru dihadapkan dengan sosok itu tepat ketika langkah jenjangnya sampai di depan pintu mobil.

Bocah itu berdiri gelisah sembari mengawasi keadaan sekitar yang nyatanya begitu lengang. Sedikit Theo mengerti, dia juga tak ingin hubungan persaudaraan ini diketahui banyak orang.

“Minggir.”

“Tunggu dulu, Bang. Gue mau ngomong bentar.” Mengabaikan pengusiran yang jelas-jelas Theo berikan, bocah itu justru mencegah yang lebih tua untuk membuka pintu mobilnya.

“But, I don’t have anything to talk with you. So, f*ck off!” dengkus Theo, kesal karena bocah itu tampak begitu keras kepala menghalangi jalannya.

Mendapat tatapan tajam Theo jelas membuat nyali Rei menguap begitu saja. Namun, ia sudah mengumpulkan niat sejak tadi pagi untuk ini. Jadi mundur bukanlah pilihan.

“Hari ini lo harus pulang cepet, Bang. Ada makan malem sama Opa dan Oma. Kalo lo ngelewatin makan malem, Papa bisa marah besar. Bahkan Opa sama Oma juga ikut turun tangan,” ucapnya sarat akan kekhawatiran.

Beberapa hari terakhir, kakaknya ini sering pulang terlambat. Bahkan tiga hari lalu Theo tidak kembali tanpa memberi penjelasan apa-apa. Hal itu sebenarnya cukup masuk akal, karena dua minggu ke belakang Celine ada di rumah. Wanita itu bahkan membantu pekerjaan Bi Salma dalam melakukan pekerjaan rumah.

Bagi Rei, melihat sang ibu bertingkah layaknya ibu pada umumnya adalah  pemandangan yang sangat indah. Selain jarang ada di rumah, melihat Celine berkutat di dapur dengan apron seolah membawa Rei kembali ke masa itu.

Saat di mana sang ibu masih penuh senyum dan tawa sembari menawarkan menu apa untuk dimasak selanjutnya. Namun, untuk Theo, keberadaan wanita itu hanya membuat ia tampak seperti makhluk paling rendah di muka bumi. Bertindak sok bijak, tetapi pada kenyataannya dia hanya memperburuk keadaan.

“Bagus, dong. Lo bisa makin kelihatan jadi anak emas mereka. Isn’t it good opportunity for you?” sinis Theo.

Meski tak ayal, mendengar kakek dan neneknya disebut cukup untuk menggetarkan nyalinya. Sebab selain Samuel, ada lagi orang yang Theo takuti, yaitu orang tua ayahnya. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, begitulah pepatah yang cocok untuk menggambarkan kemiripan sifat mereka. Dan demi apa pun, Theo sama sekali tidak memiliki kuasa jika berhadapan dengan mereka sekaligus.

Terdiam cukup lama, Rei akhirnya kembali bersuara. “Gue nggak ngerti kenapa lo selalu punya pikiran kayak gitu. Dan entah udah berapa kali gue bilang, kalo gue sama sekali nggak ada pikiran jahat kayak gitu. Gue cuma pengen bisa jadi keluarga yang bukan cuma di atas kertas, tapi bener-bener keluarga yang bisa diandalkan satu sama lain. Padahal dulu lo—” Ucapannya terhenti tiba-tiba.

Cowok itu menggeleng singkat kemudian mengusap wajahnya. Tidak … ia hampir saja mengatakan hal yang tak seharusnya terucap.

“Gue apa?” Theo yang ternyata menyimak ucapan Rei kini mengernyit saat remaja itu tiba-tiba menghentikan kalimatnya.

Rei menggeleng. “Bukan apa-apa, gue salah ngomong aja. Pokoknya hari ini gue mohon banget supaya lo pulang, Bang. Di samping sifat kerasnya Opa sama Oma, lo itu satu-satunya cucu yang mereka sayang.”

Usai mengatakan hal itu, Rei membalik badan lantas melangkah dengan terburu. Ia tak ingin mendapatkan pertanyaan lebih lanjut dari Theo soal ucapannya barusan.

Sungguh … itu adalah hal yang semestinya tidak boleh ia ungkapkan.


🍬🍬🍬


Meski benar-benar enggan untuk pulang, tetapi di sinilah Theo. Duduk bersama dengan empat orang lainnya mengitari meja yang dipenuhi dengan bermacam jenis makanan. Dari semua hidangan lezat itu, tak satupun yang menggugah seleranya. Sebab satu-satunya hal yang ingin Theo lakukan saat ini adalah segera memisahkan diri dari mereka.

Lima belas menit berlalu, hal yang menjadi topik pembicaraan di sana masih sama. Yaitu tentang bisnis keluarga yang sudah turun-temurun berjalan dengan Samuel yang kini menjabat sebagai pewaris utama. Sungguh, Theo muak dengan pembahasan soal harta di meja makan.

Tidak bisakah mereka bersikap selayaknya perkumpulan keluarga pada umumnya? Membahas perkembangan anak, atau mungkin nostalgia masa lalu. Semacam percakapan yang membangkitkan kehangatan keluarga jelas lebih masuk akal daripada kenaikan saham.

“Mau ke mana?” Teguran itu terlontar dari Samuel bersamaan dengan Theo yang bangkit dari duduknya.

“My room,” sahutnya singkat. Lagi pula, ia sudah selesai dengan makanannya. Lebih baik berbaring di kamar atau memainkan gitar daripada terus duduk sembari mendengar obrolan membosankan itu.

“Duduk,” titah Samuel sembari melirik kedua orang tuanya, “Opa sama Oma masih di sini, tunjukkan sedikit sopan santun kamu,” lanjutnya tegas.

Huh? Di mana letak nggak sopanku? Dari tadi aku bahkan cuma diam sambil dengerin obrolan kalian yang sama sekali nggak bisa aku mengerti. It’s all about business, right? So, kids doesn’t need to know about adult matters. And it’s better for us to stay away.” Ia melirik Rei, kemudian mendengkus.

Bocah sialan itu hanya membisu sembari menatapnya. Jelas dia sedang bertingkah seperti ‘anak penurut’ agar mendapat perhatian dari orang-orang dewasa ini. Berada satu meja dengannya hanya menambah rasa muak yang sedari tadi membuncah.

“Kamu … meninggalkan tempat makan di saat semua orang masih di tempat itu tidak sopan. Kembali duduk,” tegas Samuel, berusaha menekan emosinya agar tidak meledak di depan orang tuanya.

“Kalau gitu, bahas hal yang masuk akal. This is family dinners, but why you only talked about business?” Theo menatap dua orang paruh baya di depannya.

“Sorry, I’m off,” lanjutnya sedikit memberi hormat pada keduanya yang sedari tadi hanya diam melihat perdebatan kecil antara ayah dan anak itu.

Malas melanjutkan perselisihan dengan sang ayah, Theo mengambil langkah menjauh dari ruang makan. Mengabaikan panggilan Samuel yang memaksanya untuk menetap.

Selepas kepergian bocah itu, Mr. Caleb buka suara. “Bukannya dia mirip Samuel sewaktu muda?” ujarnya sembari menatap sang istri.

Tanpa ragu wanita dengan sebagian besar rambut memutih itu menjawab, “Benar-benar mirip. Jadi jangan heran kalau dia sangat keras kepala. Kamu harus sadar kalau dulu kamu pun seperti itu, Sam.”

“Aku? Nggak mungkin, dulu aku nggak senakal itu, Ma,” sanggah Samuel yang tidak terima standar kenakalan masa mudanya disamakan dengan sang putra. Jelas-jelas Theo sangat sulit diatur, sedangkan dia tetap menjadi kebanggaan meski terkadang berontak.

Setelahnya, perbincangan mengalir layaknya air. Bukan lagi saham dan perusahaan yang mereka bahas, melainkan hal-hal normal yang sedari tadi ingin Theo dengar. Namun, sayangnya kali ini hanya tersisa Rei di sana. Menjadi pendengar dan sesekali menanggapi. Sebab yang mengisi pikirannya tak lagi apa yang tersaji di depan mata, melainkan sosok yang beberapa saat lalu melayangkan tatapan penghakiman padanya.

🍬🍬🍬

Ia terbatuk beberapa kali ketika asap dari pembakaran nikotin yang dihirup memasuki paru-parunya. Meski tak terlalu cocok dengan rokok, tetapi benda ini satu-satunya yang mampu ia gunakan sebagai pelarian ketika terjebak di neraka ini.

Kedua netra almond itu tertuju pada sebuah bingkai kecil di atas meja lantas mengembuskan debas pelan. Menarik kursi lantas duduk menghadap pigura kecil itu.

“They totally forgot you, Mom,” lirihnya pada pemilik senyum termanis itu.

Begitu meninggalkan ruang makan, Theo tak langsung bertolak ke kamarnya. Cowok itu bertandang ke dapur untuk mengambil segelas air putih karena tak sempat meneguk minumnya. Namun, saat akan menaiki tangga, ia mendengar suara tawa dari arah di mana orang-orang berkumpul. Terdengar sangat hidup dan normal.

“Dan mungkin juga aku.”

Bohong jika dia tidak merasa sakit saat melihat mereka bisa bercanda selepas kepergiannya. Padahal momen berkumpul dengan kakek dan neneknya dulu selalu ditunggu. Namun, sejak sang ibunda tiada dan dua orang asing itu mengusik, semua tak lagi sama.

Bagaimana bisa, semua orang melupakan sosok anggun bernetra cokelat ini hanya dalam sekejap? Di mana tangis yang dulu mengiringi ketika raganya mulai bersemayam? Theo masih ingat betul, bagaimana dulu Samuel juga sesenggukan di sampingnya sembari menggumamkan nama wanita yang dicintainya. Sama seperti Theo yang beranggapan ini hanyalah mimpi.

Semakin memikirkan bagaimana perubahan sifat ayahnya membuat pemuda itu pening. Ia memijit pelan pelipisnya kemudian berdiri. Hendak untuk mematikan rokoknya yang masih tersisa setengah dan tidur. Akan tetapi, ketukan pintu kamar yang berulang membuatnya jengkel. Ia melempar sisa rokok yang telah padam ke tempat sampah dan melangkah lebar mendekati pintu.

“Lo—”

Belum selesai ia berujar, sosok yang muncul dari balik pintu itu buru-buru menyela, “Oke, oke. Gue tahu lo udah kesel lihat muka gue seharian. Tapi please dengerin ini dulu.”

Takut jika Theo menutup pintu secara tiba-tiba, Rei menyeruak masuk ke kamar bercat warna mushroom itu. Tak terlalu ke dalam, tetapi cukup untuk menghalangi gerakan sang kakak menutup pintu.

Theo memejamkan mata sejenak, mati-matian menahan diri untuk tidak menjatuhkan pukulan pada wajah menyebalkan ini. Sebab ia tahu, hal itu hanya akan menciptakan keributan di malam yang mulai larut.

“Just say what you want in one sentence and get out of my face,” sentaknya dengan suara tertahan.

Hanya dengan jawaban itu saja Rei sudah bahagia bukan kepalang. Wajah muramnya berubah antusias saat perlahan Theo melepas genggamannya pada ganggang pintu.

“Oke, hari Jumat kita bakal ke salah satu rumah punya Opa yang ada di Surakarta. Ada Papa, Mama dan keluarga lain yang kumpul di situ. Dan agenda kita fi sana cuma liburan aja, Bang. Nggak ada yang lain. Kita bisa enjoy sama saudara-saudara lain tanpa ada bahasan bisnis, Bang! Sound cool, right?” paparnya dalam satu tarikan napas.

Liburan bersama keluarga, adalah hal yang sangat langka di sini. Apalagi keluarga besar, di mana bukan hanya keluarganya saja yang berkumpul, melainkan keluarga dari pihak Samuel juga hadir. Meski sulit untuk dekat dengan Theo, tetapi Rei memiliki hubungan yang cukup baik dengan para sepupunya. Jadi dia pikir, liburan kali ini akan sangat menyenangkan.

“Cuma itu?” Theo berdecak pelan. “How boring,” lanjutnya tanpa minat.

Seperti dugaan Rei, Theo pasti tak akan memberi respons yang sama dengannya. Cowok itu cenderung masa bodoh dan malas jika itu berhubungan dengan keluarga. Alasannya? Rei tentu tidak perlu menanyakan hal itu pada Theo, sebab di sini dialah yang menjadi akar dari masalah.

“Terserah, lagian pada akhirnya lo tetep bakal diseret sama Papa kalo nolak. Jadi prepare your things aja dulu,” sahut Rei dengan kekehan.

Sebelum membuat si pemilik kamar murka, Rei lebih dulu berlari meninggalkan tempat itu. Menyisakan Theo yang kini mengumpat sembari membanting pintu kamar sekeras mungkin.

Ia benci mengakui, tetapi ucapan Rei ada benarnya. Meski Theo menolak, ia tak bisa berbuat apa-apa ketika Samuel sudah bertindak.

–STRUGGLE–

Hai^^

Update lagi yaa...
Seperti biasa, untuk bab baca duluan ada di Karyakarsa. Link ada di profil Wattpad ku paling bawah 🙃

Sekian, and enjoy (⁠ ⁠ꈍ⁠ᴗ⁠ꈍ⁠)

Salam

Vha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top