5. Mama
Tepat setelah bel tanda jam istirahat dimulai, Rei sudah diseret ke salah satu sudut sepi sekolah oleh gadis yang dua bulan ini menyandang status sebagai kekasihnya. Bahkan kesadaran cowok itu belum terkumpul sepenuhnya karena dipaksa bangun begitu saja.
"Kenapa, sih, Chel? Pake tarik-tarik gitu," tukas lelaki itu sedikit jengkel karena tak diberi kesempatan untuk mengerti dengan situasi yang terjadi.
"Yang kenapa itu lo. Bisa-bisanya nggak dateng padahal gue nungguin lo semaleman! Lo ke mana aja, sih, Rei?"
Gadis itu mengepalkan tangannya dan suaranya terdengar bergetar. Antara marah dan kecewa menyatu. Bagaimana tidak? Semalam Rei sudah setuju akan kencan dengannya, tetapi ketika Chelsea tiba di lokasi, gadis itu hanya menunggu layaknya orang dungu. Rei sama sekali tidak datang hingga tiga jam menjelang.
"Hah?" Rei ternganga, ingatannya ditarik paksa untuk mengulik apa yang terjadi semalam.
Setelah beberapa saat mengingat, cowok itu menepuk dahinya cukup keras dan menggerutu pelan. Mengutuk dirinya sendiri yang benar-benar lupa jika semalam harusnya ia berkencan dengan Chelsea. Namun, alih-alih datang, dia justru belajar hingga larut. Dan kebiasaannya saat belajar adalah mematikan gadget. Bahkan suara musik pun bisa mengusik ketenangannya.
Itulah mengapa Rei lebih suka mengurung diri di kamar dengan pintu terkunci ketika fokus belajar. Akan tetapi, kebiasaan itu tak jarang membawa masalah untuk orang lain maupun diri sendiri. Seperti saat ini, dia melewatkan kencan dengan Chelsea dan mengabaikan semua panggilan dari gadis itu.
"Maaf, gue lupa," lirih cowok itu pada akhirnya.
Chelsea berdecak. "Basi, Rei. Udah nggak terhitung berapa kali lo kasih alasan lupa kayak gini selama kita pacaran. Padahal di awal kita udah saling janji, jalani masa pacaran semanis mungkin. Bahkan gue juga nggak keberatan pacaran sama playboy kayak lo, yang jelas konsekuensinya adalah sakit hati. Tapi apa buktinya?" Ia menatap sinis cowok di depannya.
"Lo sering ingkar janji. Masa dua bulan kita yang harusnya indah kayak mantan-mantan lo sebelumnya ternyata jadi buruk. Gue udah kenyang ngerasain sakit hati. Bukan karena lo putusin, tapi karena sikap lo yang ini," beber Chelsea kali ini dengan suara tercekat akibat menahan tangis.
"Chel, aku bener-bener minta maaf. Sebentar lagi kita kenaikan kelas, aku harus belajar. Nilaiku harus—"
"Iya, harus sempurna. Makanya lo nggak ada waktu buat pacaran, 'kan?" sela gadis itu dengan mata berembun.
Rei akhirnya bungkam dan memilih untuk mendengarkan segala protes dan kekecewaan dari gadisnya. Kali ini, dia mengakui kesalahannya, pun dengan tuduhan-tuduhan yang Chelsea layangkan. Toh, dari awal tujuan Rei menjalin hubungan hanya untuk bersenang-senang. Ia tidak pernah menaruh perasaan serius pada gadis-gadis yang pernah dipacari.
"Oke, aku nggak akan elak kalau aku salah. Jadi mau kamu gimana, Chel? Aku harus apa supaya kamu maafin aku?" pungkas Rei.
Jujur, dia sudah tidak tahu lagi harus seperti apa. Tubuhnya lelah, dan perutnya terus meronta untuk diisi. Sedangkan dia malah terjebak di sini dengan gadis yang berstatus sebagai kekasihnya ini.
"Tenang aja, lo nggak perlu ngapa-ngapain, kok." Chelsea tersenyum tipis. "Gue cuma mau keluarin unek-unek gue sampai puas. Dan setelah ini udah nggak ada lagi hubungan antara kita. Alias, kita putus aja Rei."
"What? Putus?"
Kali ini, Rei benar-benar terkejut. Bukan karena tiba-tiba Chelsea mengajaknya mengakhiri hubungan, tetapi karena ini adalah kali pertama dia diputuskan dari pihak gadis. Padahal biasanya Rei-lah yang lebih dulu mengakhiri.
"Lagian, ini juga yang terbaik, 'kan? Gue nggak akan ganggu lo lagi soal kencan-kencan picisan ini. Dan lo bisa fokus sama belajar lo itu," tutur Chelsea sembari menghapus air di sudut matanya.
"Kamu serius minta putus? Kita 'kan masih kurang sebulan lagi, Chel." Rei menyeletuk keheranan.
"Seriuslah, ngapain juga gue bercanda di saat kayak gini? Toh, lo nggak pernah suka sama gue, 'kan?"
Rei kembali bungkam.
"Jadi, sekian dari gue. Dan semangat belajarnya. Semoga lo jadi orang sukses, dan bisa ketemu sama cewek yang bisa bikin lo sadar. Kalau permainin perasaan cewek itu nggak selamanya menyenangkan. Inget, karma is real, Rei" pungkas Chelsea.
Tepat setelah kalimat itu terucap, gadis itu berbalik dan melangkah pergi. Meninggalkan Rei yang masih setia mematung di tempatnya. Hingga kedatangan Calvin menyadarkan Rei.
"Astaga, gue cariin lo ke mana-mana. Tapi sendirinya malah bengong di sini. Ayo, ke kantin, jam istirahat udah mau habis, Rei," tukas Calvin.
Tak membiarkan Rei tersadar dari lamunan, bocah itu segera menyeret sang kawan untuk menuju kantin. Di mana sebagian besar dari siswa dan siswi berkumpul di saat jam istirahat.
🍬🍬🍬
Satu hal yang bisa membuat senyum Rei begitu merekah saat kakinya menapak halaman rumah. Yaitu ketika melihat ada mobil Celine yang terparkir apik di garasi. Sebuah pertanda jika wanita jelita itu ada di sini.
Seolah mendapat hadiah, usai memarkirkan motornya, Rei lantas berlari penuh semangat menerobos masuk ke dalam bangunan besar itu. Tempat pertama yang dituju adalah dapur. Ya, di mana Celine akan berkutat bersama Bi Salma menyiapkan makan malam. Meski sibuk dengan pekerjaan, nyatanya wanita itu tak bisa terlepas dari hobinya.
"Mama!" serunya sedikit berteriak, bahkan sebelum tubuh bocah itu sampai di dapur.
Memeluk tubuh yang jauh lebih kecil itu dari belakang dan nyaris membuat si empunya terjungkal.
"Astaga, Rei! Kamu apa-apaan? Nggak lihat Mama lagi pegang panci? Ini panas, loh," gerutu sosok dengan apron merah muda itu sembari mengangkat panci di genggamannya.
Sebenarnya, ini sudah menjadi hal biasa. Di mana ketika pulang, ia akan disambut dengan pelukan dan untaian kata rindu dari si bungsu. Namun, Celine sama sekali tidak bisa terbiasa dengan Rei yang suka memeluknya tanpa aba-aba.
"Hehehe, maaf. Aku terlalu kangen sama Mama. Dan tiba-tiba aku lihat ada mobil Mama parkir di garasi. Rasa capekku habis latihan langsung menguap," sahut cowok itu tak bisa menyembunyikan binar bahagianya.
"Latihan? Jadi kamu pulang sesore ini karena latihan?" tanya Celine saat kedua tangannya meletakkan panci di atas kompor.
Wanita itu berbalik, dan berhadap-hadapan dengan Rei. Netranya menatap tajam pada sosok yang kini tertunduk.
"Sebentar lagi ujian kenaikan kelas dan kamu masih sempat buat latihan voli?"
"I–iya, Ma. Minggu ini terakhir, kok. Minggu depan udah nggak ada latihan lagi," kilah bocah itu terbata.
Dalam hati ia merutuki kebodohannya karena latah mengatakan hal yang paling mudah mengubah suasana hati sang ibu.
"Kalau sampai nilai kamu jelek cuma karena olahraga itu, lebih baik kelas sebelas nanti kamu nggak usah ikut. Lagian nggak jadi atlet pun kamu masih bisa sukses, kok. Mama kerja keras gini juga demi mempersiapkan masa depan kamu," tukas Celine yang sukses membungkam Rei.
Remaja itu menarik kedua sudut bibirnya dengan terpaksa. "Iya, Mamaku sayang. Aku nggak akan kecewain Mama. Janji, deh. Voli ini cuma sekadar hobi aja. Aku bakal jadi orang sukses sesuai harapan Mama," ucapnya kemudian.
Jawaban yang sukses membuat Celine menyunggingkan senyum. Dan sebagai balasan atas kepuasan hati, wanita itu mengusap pelan kepala bocah yang sudah jauh lebih tinggi darinya itu dengan penuh kelembutan.
"Kalo gitu aku mandi dulu, ya. Nggak sabar makan masakan Mama," timpal bocah itu dengan senyum gak kalah lebar.
Wanita di depannya mengangguk. "Iya, mungkin sebentar lagi Papa juga pulang. Kita makan sama-sama, ajak abang kamu juga. Semoga dia mau," lanjut Celine yang kembali fokus pada kegiatan awalnya.
Dengan langkah berat, Rei beranjak menuju kamarnya. Mendapat elusan dan pengakuan dari Celine tentu saja ia bahagia. Akan tetapi, ada hal yang harus dikorbankan demi mendapat kasih sayang itu. Yaitu kebebasan atas jalan hidupnya.
🍬🍬🍬
Pada akhirnya, makan malam hanya dihadiri oleh Rei dan Celine. Sebab Samuel datang terlambat akibat terjebak kemacetan. Sedangkan Theo? Bocah itu bahkan belum tiba di rumah sampai acara makan malam selesai.
Namun, meski begitu, Rei merasa cukup nyaman. Karena dia bisa berdua saja dengan Celine. Menceritakan segala hal tentang sekolah dan harinya dengan riang. Walaupun wanita itu hanya menanggapi dengan anggukkan tanpa minat, tetapi Rei sudah merasa puas.
"Seminggu ini Mama nggak ada kerjaan di luar kota. Jadi kalau kamu mau jalan-jalan atau sekadar minta dibikinin kue, Mama bisa. Kamu pilih mana?" celetuk Celine di penghujung makan malam.
"S–serius, Ma?" Rei ternganga, tak percaya dengan apa yang baru saja ibunya lontarkan.
"Emang Mama pernah bercanda sama ucapan sendiri?"
Rei terkekeh canggung. "Enggak, sih," sahutnya sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Kalau gitu, aku mau hari Minggu habis ke gereja kita ke makam Papa, ya. Udah lama banget nggak ke sana," lanjutnya semakin canggung.
Sebenarnya, hubungan Celine dengan ayah Rei sangat baik. Akan tetapi, semenjak Celine menikah dengan Samuel, wanita itu sudah mulai jarang membahas soal suami lamanya. Pernah suatu ketika Rei menyinggung soal kerinduan pada sang ayah, dan respons Celine cukup datar. Hanya menyuruh Rei untuk mengunjugi makam, serta melarangnya untuk kembali berduka.
Sejak saat itu, Rei tak lagi banyak bicara soal ayahnya. Sebab ia tahu, sang ibu sudah mendapat tambatan hati baru.
"Boleh, habis itu mampir ke rumah lama juga bisa," sahut Celine.
Jawaban yang sukses membuat Rei memekik senang.
"Makasih, Ma!" serunya tak bisa menyembunyikan rasa bahagia.
Melihat sang putra begitu bahagia, Celine pun tak bisa menahan senyum. "Sama-sama. Kalau udah selesai, ke kamar aja sana. Lanjut belajar, kalau ngantuk langsung tidur. Mama kasih kelonggaran karena hari ini kamu udah capek sama latihan," pungkasnya yang langsung dibalas anggukan oleh Rei.
Bocah itu langsung melesat meninggalkan ruang makan usai menandaskan isi gelasnya. Seperti yang dititahkan Celine, dia pergi ke kamar. Namun, bukan untuk belajar, melainkan mematung di balkon sembari menikmati embusan angin malam yang cukup untuk membuat tubuh menggigil.
Segala senyum yang tadi tersaji kini sirna, digantikan dengan tatapan kosong yang mendongak ke angkasa yang gulita. Saat ini, Rei tidak bisa mengerti seperti apa perasaannya sendiri. Apakah dia senang? Atau justru sedih?
Jika senang, itu karena hari ini obrolannya dengan Celine berjalan lancar. Biasanya, pertemuan singkat mereka akan berakhir dengan adu argumen. Di mana wanita itu akan mendorongnya untuk terus belajar, sedangkan Rei butuh sesuatu seperti istirahat. Akan tetapi, hari ini sang ibu bahkan menawarinya soal agenda hari libur. Suatu momen berharga yang tak datang setiap saat.
Lantas jika sedih?
Rei tidak mau mengakui, tetapi dia lelah dengan keadaan ini. Di mana dia harus hidup di bawah kendali sang ibu. Sedangkan jalan yang ingin ia tempuh sebenarnya sangat bertolak belakang dengan jalan yang ditentukan Celine.
Namun, pada akhirnya Rei bisa apa? Dia hidup hanya untuk kebahagiaan ibunya. Jika sampai ia membuat Celine kecewa, lantas untuk apa ia hidup?
Remaja itu menunduk, dari kejauhan ia melihat mobil Samuel memasuki halaman rumah. Bersamaan dengan itu, mobil Theo muncul di belakang sang ayah. Hal itu jelas mendatangkan firasat buruk bagi Rei. Karena Samuel jelas akan murka saat mengetahui Theo baru tiba di rumah sedangkan seragam sekolah masih melekat di tubuhnya.
Ah, jika sudah seperti ini, Rei tak ingin ikut campur. Apalagi Celine ada di rumah, wanita itu pasti ada di bawah bersama Samuel. Meski cenderung diam, keberadaan Celine di samping Samuel sudah cukup untuk menyulut kebencian Theo. Jika Rei ikut turun, itu sama saja mengaduk air yang sudah keruh.
Cukup dengan kegiatan melamunnya, bocah itu masuk kembali ke kamar dan mematikan lampu. Berharap jika tidur bisa membuatnya terhindar dari kekacauan di bawah. Namun, dua puluh menit berlalu saat ia nyaris terlelap, Rei mendengar engsel pintu kamar terbuka.
Dengan mata setengah terpejam, ia mencoba menerka siapa gerangan sosok yang memasuki kamarnya. Jika Celine, maka dengan senang hati ia akan menyambut. Namun, apa yang dipikirkan tak sesuai dengan kenyataan. Bukan sosok Celine yang berdiri di depan kasurnya, melainkan ....
Remaja itu menelan ludah dan berujar terbata, "A–ada apa, Bang?"
–STRUGGLE–
Ada yang kangen? 🙃
Nikmati, ya. Karena chapter ini jauh lebih panjang daripada chap² sebelumnya. Dan tentu saja, digantung ngehehe <( ̄︶ ̄)>
Tenang, cuma digantung chap. Nggak digantung karena stop kan ya 🌝
Enjoy, dan jangan lupa vote, komen, follow IM_Vha dan kalau update cepet bisa mampir ke KaryaKarsa yang link-nya ada di bio.
Salam
Vha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top