37. Everything's Gonna be Okay [FIN]
Sudah berapa hari berlalu sejak ia meninggalkan tempat yang pekat akan aroma obat itu? Dua? Tiga? Ah ... tidak, tidak. Ini sudah lebih dari dua minggu berlalu, dan Rei masih tak terbiasa dengan perubahan yang ada.
Ibunya mengambil cuti panjang dari pekerjaan dan selalu berada di sekitarnya. Setiap hari. Bahkan tak jarang wanita itu masih menerobos masuk ke kamar Rei secara diam-diam di saat bocah itu terlelap, hanya untuk memastikan jika putranya tidur dengan nyenyak dan tak melakukan hal nekat lainnya.
Dia belum kembali ke sekolah, dengan alasan pemulihan dan membuat Rei tak memiliki kegiatan selain bergelung di kamar. Beruntung ada Calvin yang masih setia datang setiap hari untuk membawakan catatan pelajaran dan menunggui Rei sampai ia selesai menyalin.
Samuel juga tak jauh berbeda. Walau masih terlilit oleh kesibukan kerja, tetapi pria itu selalu menyempatkan diri untuk pulang dan menghabiskan waktu untuk mereka. Momen yang dulunya sering Rei impikan, ini terpampang di depan mata. Namun, masih ada hal yang mengusik pikirnya.
Theo.
Rei tahu, cowok itu selalu berada di rumah karena setiap kali jam makan, mereka berada dalam satu meja yang sama. Menyantap masakan Bi Salma serta Celine yang selalu terasa nikmat. Akan tetapi, tak sekalipun mereka bertegur sapa. Atau lebih tepatnya, Theo yang menghindar.
Pernah suatu ketika, saat mereka berpapasan di dapur, Rei hanya ingin mengambil air minum dan mendapati Theo tengah bersantai sembari menyantap camilan tiba-tiba pergi begitu menyadari kehadiran Rei. Gelagatnya terlihat begitu jelas, tetapi Rei juga belum punya cukup keberanian untuk menghadangnya.
Akan tetapi, kali ini Rei tak tahan lagi. Dengan keberanian yang muncul entah dari mana, bocah itu menerobos masuk ke kamar Theo. Mendobrak pintu di depannya hingga si pemilik kamar terjungkal dari kursi tempatnya duduk.
"W-what the f*ck?!" Bukan marah, kali ini Theo mengumpat karena terkejut dengan aksi bocah yang kini berdiri di tengah-tengah pintu sembari menatapnya tajam.
"Bang, lo ngehindar dari gue?" celetuk Rei tanpa berbasa-basi.
"Apa lo kecewa banget sama gue, sampai-sampai lihat gue aja nggak mau?" Mata bocah itu bergetar seiring dengan suaranya yang berubah serak.
"Oke, gue emang salah. Tapi boleh nggak, kasih gue kesempatan sekali aja buat perbaiki semua? Gue nggak akan lari dari masalah lagi, kok. Gue tanggung jawab. Tapi tolong jangan kayak gini, gue nggak bisa-"
"Rei, stop it!" sela Theo tak membiarkan Rei melanjutkan ucapannya. Ia buru-buru bangkit dan menghampiri yang lebih muda kemudian menyeretnya untuk duduk di sofa.
"Kenapa, Bang? Lo udah bener-bener nggak bisa maafin gue? Lo benci banget sama gue, ya?" Air mata sudah membasahi kedua pipi, tetapi dengan cepat Rei mengusapnya dan menatap penuh harap pada sosok yang berdiri di depannya.
Melihat kondisi Rei yang mulai tampak kacau, Theo lantas menarik kursi belajarnya hingga kini mereka duduk saling berhadapan.
"No, no. It's not like that." Ia menggeleng tegas. "Gue akui kalau gue emang menghidar dari lo. Tapi bukan karena benci atau apa pun itu yang lo pikirkan."
Terdiam sejenak, Theo tampak ragu akan keputusannya untuk berbicara dengan Rei. Meski cepat atau lambat mereka harus berbicara dari hati ke hati, tetapi ia merasa ini belum saat yang tepat. Celine mengatakan bahwa kondisi psikis Rei belum stabil, dan mereka tidak boleh sembarangan bicara demi menjaga agar suasana hati anak itu selalu baik.
Namun, siapa sangka aksi bungkam Theo justru menambah beban bagi bocah ini? Padahal Theo hanya tidak ingin sifat gegabahnya akan memperkeruh keadaan.
"I just don't want to hurt you again," lirihnya usai beberapa saat saling bungkam.
Theo memijit pelipisnya dan mendesah frustrasi. "And stop blaming yourself for everything that happened. Because this is no one's fault. It's fate, okay?"
"Gue emang udah ingat semuanya, dan gue minta maaf buat segala hal yang terjadi karena kebodohan gue. Feel free to not forgive me, it's your own decision. Gue juga siap kalau lo mau bales benci ke gue, karena apa yang udah gue lakuin selama ini memang bukan hal yang bisa dimaafin dengan mudah. Tapi ... satu hal yang perlu lo tahu, Rei." Theo menatap wajah bocah di depannya dengan mata bergetar, mati-matian untuk tidak menunjukkan sisi rapuhnya pada sosok yang sudah retak itu.
"Gue nggak benci lo. If only I never lost that damn memories of our childhood, I wanna be your best big brother. Having you as my brother is a blessing to me," pungkasnya lantas tertunduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Lagi-lagi dia merasa kesal pada kebodohan sendiri.
Ia kembali mendongak dan menatap lurus ke manik kelam Rei. "Dan orang yang seharusnya memohon buat kesempatan kedua itu gue. Karena mau bagaimana pun situasinya, gue tetep orang yang paling banyak berperan dalam kehancuran keluarga ini. Jadi, bisa nggak kita mulai dari awal lagi?"
Hening yang cukup lama menjadi pemisah antara dua remaja yang tengah berhadapan itu. Dari sorot matanya, Rei bisa melihat kesungguhan ucapan Theo. Untuk pertama kalinya, sang kakak yang selalu memandang tembok tinggi sebagai benteng pertahanan kini meruntuhkan sang tembok dengan tangannya sendiri. Sebuah alur Tuhan yang tak pernah Rei sangka kini terpampang jelas di depan mata.
"Lo boho-"
"Gue nggak bohong and one hundred percent aware about what I've said before," sergah Theo yang tak membiarkan keraguan bersarang di benak yang lebih muda.
Mata Rei memanas dan likuid beningnya tak lagi mampu dibendung. Bocah itu menangis sesenggukan layaknya anak kecil di depan Theo. Dan tanpa berkata apa pun, Theo tahu betapa campur aduk perasaan sang adik saat ini. Dia hanya bisa terdiam sembari menunggu tangis itu reda.
Sementara itu, sosok perempuan yang sedari tadi terpaku di luar pintu dan menyaksikan dua anaknya saling membuka hati kini membalik badan dan mengambil langkah menjauh. Awalnya Celine khawatir karena tak mendapati Rei di kamarnya, padahal sejak keluar dari rumah sakit bocah itu lebih sering menghabiskan waktu di kamar. Namun, begitu melihat apa yang terjadi, wanita itu tak bisa bereaksi apa-apa selain menyunggingkan senyum tipis. Mungkin, ini adalah saat di mana awal yang baru akan dimulai.
🍬🍬🍬
Bias jingga dari belahan langit barat menjadi pemandangan luar biasa bagi si penggemar cakrawala. Namun, keindahan itu tidak bisa dia kagumi karena beberapa tetes keringat terjatuh begitu saja ketika remaja itu menunduk sembari mengatur napas. Dia baru berlari sekitar dua kilometer ketika kakinya tak lagi bisa melanjutkan langkah.
"Already tired, huh?" seru sosok yang berdiri beberapa meter di depannya.
Berbeda dengan dirinya, Theo masih tampak bugar dan bersemangat seperti saat mereka memulai joging sore tadi. Padahal mereka berlari dengan kecepatan yang sama, tetapi Rei yang lebih dulu kelelahan.
"Ini efek nggak pernah olahraga," ejek cowok berambut cokelat itu ketika tiba di hadapan sang adik.
"Sembarangan. Gue olahraga terus, ya. Gini-gini juga gue kapten voli. Cuma karena emang dua minggu nggak latihan, makanya badan agak kaku. Lihat aja besok kalo gue udah balik latihan lagi." Rei berkelit tak terima dengan ejekan yang Theo layangkan.
Semua berawal dari rasa bosan yang menghampiri Rei saat suasana hatinya berangsur membaik. Begitu melihat Theo yang terlihat tengah bersantai tanpa melakukan apa-apa, sebuah ide muncul di kepalanya. Meski harus melakukan sedikit paksaan, akhirnya Theo setuju untuk menemaninya berlari sore. Namun, siapa sangka ketika di jalan, bocah itu malah jadi yang paling bersemangat. Seolah ingin menunjukkan pada Rei bahwa dia memiliki stamina yang lebih baik daripada adiknya.
"Whatever." Theo mengangkat bahu, tak berniat untuk menerima pembelaan Rei.
"Wanna go to the café near the park? I'd like to try some of their dessert," ujarnya mengalihkan topik dan menunjuk ke arah sebuah gang beberapa meter dari tempat mereka berada.
Rei mendengkus. "Habis olahraga makannya manis-manis. Jadi nggak berguna kita capek-capek lari. Tapi ayo gas."
Usai mengucapkan kalimat itu, Rei lebih dulu memacu langkah di depan Theo. Hal itu membuat Theo mengumpat pelan dan melayangkan pukulan yang sia-sia, karena Rei jauh berada di depannya. Sepanjang jalan, Rei masih terus melakukan hal konyol dan Theo hanya bisa tertawa atau geleng kepala dengan tingkah bocah itu.
Sore yang cerah, dengan hal sederhana yang dulu hanya sebatas angan kini telah menjadi kenyataan. Mungkin beberapa orang akan menyebut Rei berlebihan ketika ia bercerita tentang betapa bahagianya dia saat ini. Namun, percayalah, Rei tidak peduli.
Dirinya serta mereka yang terkasih telah terbelenggu oleh rantai berduri selama bertahun-tahun hingga nyaris lupa arti bahagia kini berhasil lepas dari lilitan. Dan rasa sakit yang selama ini saling bergesekan kini perlahan pulih dengan saling memaafkan. Mereka sudah disakiti oleh waktu, dan akan disembuhkan oleh waktu.
Rei tahu, selama roda kehidupan masih berputar, artinya masih akan ada skenario-skenario lain yang Tuhan siapkan. Namun, kali ini ia lebih percaya diri dan yakin bisa melalui, sebab dia tak lagi sendiri.
-TAMAT-
Garing banget nggak sih? 🥹
Tapi ya ini juga udah yang terbaik untuk mereka. So enjoy untuk yang terakhir kalinya yakk.
Sementara aku belum ada niat buat bikin special part, jadi semua bab bakal tetep ada WP. Kalian bisa reread sepuasnya 🥰🥰
Terakhir, aku juga mau berterima kasih buat yang setia baca cerita ini sampai akhir. Kalau berkenan, silakan mampir ke ceritaku yang ini 👇🏻👇🏻👇🏻
Salam
Vha
(09-12-2023)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top