36. Sejumput Sesal
Dua hari berlalu, tetapi sosok berbalut baju khas rumah sakit yang terbaring di atas ranjang itu tak kunjung membuka mata. Selama itu pula, tiga orang selalu berada di sisinya dan menanti sepasang netra itu terbuka. Terutama Theo, sebab dirinya memiliki banyak waktu luang usai didepak dari sekolah.
Setelah banyak bertukar pikiran dengan Samuel dan Celine, perasaan Theo sedikit membaik, atau bisa dikatakan hanya berusaha terlihat baik-baik saja. Theo rasa sudah cukup baginya untuk merepotkan mereka, dan mulai sadar jika tak seharusnya dia bersikap seperti anak kecil. Padahal ia bisa sekejam itu ketika melukai seseorang, tetapi bersikap tegar justru kesulitan.
“Nih, minum. Jangan kebanyakan ngelamun, nanti bego,” sergah pemuda berkemeja cokelat yang meletakkan segelas jus jeruk di depan Theo.
Mendapat ujaran cukup sarkas itu, Theo hanya bisa membalas dengan senyum tipis dan menatap minuman dari sang sepupu tanpa ada minat untuk menyentuhnya.
“Dia kenapa belum bangun juga, ya? Padahal dokter bilang secepatnya.”
Rasanya masih saja tak tenang sebab Rei tak kunjung terbangun dari tidurnya. Ada banyak hal yang ingin Theo utarakan, dan juga ribuan maaf yang harus ia ucapkan. Walaupun disebut berlebihan, Theo tidak peduli. Dia hanya ingin penyesalannya tersampaikan pada sosok yang telah menderita karenanya.
“Sabar, mungkin dia masih butuh istirahat lebih banyak.” Zion menyeruput kopi yang tadi dipesannya. “Asal lo tahu aja, insomnia itu kelihatan sepele, tapi aslinya bikin orang menderita banget. Bayangin aja, badan sama pikiran lo capek, pengen istirahat tapi pas mau tidur malah nggak bisa.”
“Waktu SMA kelas tiga dulu, gue juga sering banget insom. Gue pernah nggak tidur nyaris dua hari, dan besoknya ketiduran di kelas sampai dikira pingsan karena nggak bangun-bangun. Tapi beruntung, sih, bisa segera ditangani setelah curhat ke nyokap,” lanjutnya diiringi kekehan pelan ketika teringat betapa paniknya teman sekelasnya saat Zion tertidur dan sulit dibangunkan.
Theo meremas jemarinya, gelisah. “But, I hate seeing him like that.” Matanya tertuju pada sosok yang masih saja bergeming di atas ranjang.
“Ya terus lo mau apa? Goncangin badan dia dan teriak-teriak biar bangun? Udah gila kali lo.”
Selalu saja seperti ini, berbicara dengan Zion sangat menguras kesabaran Theo. Namun, hanya orang ini yang benar-benar dia percaya dan menjadi tempatnya berkeluh-kesah. Harusnya dia berterima kasih pada Zion yang masih mau berada di sisinya meski tahu jika sampah seperti Theo tak pantas mendapat seorang teman.
“Udah mau masuk waktu makan siang, nih. Keluar cari makan, yuk,” ajak Zion usai melihat arloji di pergelangan tangannya.
Si lawan bicara menggeleng pelan. “Gue nggak laper. Lo aja keluar sendiri, and bring me some snacks,” sahutnya yang dihadiahi dengan decak sebal dari Zion.
“I’m not your servant, dude.” Zion berbalik dan melangkah pergi dengan hati yang mulai dongkol, meninggalkan sang sepupu yang kini hanya terkekeh pelan karena berhasil membuatnya kesal.
Namun, wajahnya berubah suram ketika ruangan itu kembali sunyi. Hanya suara dari televisi yang dinyalakan dengan volume pelan meski tidak ada yang menonton. Theo tengah menyandarkan punggungnya di bahu sofa sembari memandang langit-langit berwarna putih ketika telinganya mendengar gumaman dari sosok yang sedari kemarin terpejam. Ia sontak berdiri dan menghampiri ranjang tempat Rei berada.
“Rei?!” panggilnya dengan suara tercekat.
“Rei, denger gue, ‘kan?” Theo mengulang panggilannya. Kemudian ia melihat bagaimana kedua mata bocah itu perlahan terbuka. Sangat pelan dan lemah, sampai-sampai Theo tak berani menyentuhnya.
Dengan sisa kewarasan yang ada, lengan Theo terulur untuk menekan tombol di samping ranjang. Menatap wajah pucat Rei tanpa berkedip hingga beberapa saat setelahnya muncul dokter serta seorang perawat yang datang dan menggeser posisinya. Menuntun Theo hingga keluar dari ruangan itu, dan mematung di depan pintu untuk beberapa saat.
Begitu tersadar dari keterkejutan, remaja itu buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Mencari satu-satunya nomor yang menjadi tujuan dan menekan tombol hijau pada layar benda pipih itu.
“Pa … dia udah bangun. A–akhirnya dia bangun.”
🍬🍬🍬
Hal pertama yang ia sadari begitu membuka mata adalah dirinya yang berbaring di rumah sakit dengan jarum infus tertanam di punggung tangan kirinya. Dan entah mengapa, dia sama sekali tidak terkejut. Karena menelan obat tidur sebanyak itu jelas membawa efek yang cukup membahayakan keselamatan. Justru ada satu hal yang membuatnya menyesal. Yaitu, mengapa dirinya masih selamat?
“Kamu mau apel? Biar Mama kupasin, ya?”
Sejak terbangun siang tadi, Celine selalu ada di sampingnya. Menawarkan bermacam makanan atau minuman yang sama sekali tidak menarik bagi Rei. Dia juga masih setia dalam diam ketika bermacam ujaran kekhawatiran didapatkan dari wanita yang biasanya menyuruh Rei untuk tidak banyak menuntut.
“Ini sup ayam juga enak. Mau Mama suapin?”
Tak menyerah, Celine mengambil mangkuk berisi sup ayam dari menu makan malam yang disediakan oleh rumah sakit beberapa saat lalu dan mulai menyendok kuahnya. Namun, tangan yang semula mengambang di udara itu kembali diturunkan karena tak kunjung mendapat respons.
“Kamu udah tidur dua hari, masa nggak laper? Atau mau delivery? Pilih aja mau apa, Mama belikan,” tukasnya yang mulai kehabisan akal untuk membuat si bungsu membuka mulutnya.
Matanya menatap sang ibu sekilas, sebelum akhirnya beralih ke luar jendela. Gulita langit malam dan beberapa bintang yang tertutup awan menjadi satu-satunya pemandangan yang berhasil mengunci tatapan remaja itu. Mengabaikan sosok Celine yang juga diam mengamatinya.
“Ini lantai berapa?” Pertanyaan sekaligus kalimat pertama yang terlontar dari mulut Rei sejak ia membuka mata sukses membuat Celine mengernyit.
Meski sedikit bingung, wanita itu tetap menjawab, “Lantai sepuluh. Papa ambil ruang VVIP supaya istirahatmu bisa lebih nyaman.”
“Oh.” Remaja itu mengangguk singkat, dan kembali bungkam dengan netra yang masih lekat menatap ke luar jendela.
Jika saja meminum obat tidur sia-sia, mungkin dia bisa mencoba cara lain seperti melompat dari gedung setinggi ini. Namun, mengingat rasa sakit yang didapat mungkin akan sangat menyiksa, Rei jadi ragu. Meski hanya sesaat, kematian pasti terasa sangat menyakitkan.
Adakah cara mudah untuk mati tanpa harus merasakan sakit? Jika ada, beritahu Rei. Dia ingin mencoba dan harus berhasil.
“Rei,” Celine menggenggam pelan tangan Rei yang yang terbebas dari jarum infus, “Mama mohon jangan berpikir buat melakukan hal seperti kemarin lagi. Mama nggak bisa kehilangan kamu, Nak.”
Mendapat perlakuan tak terduga dari sang ibu, Rei tak bisa menyembunyikan ekspresinya. Bocah itu juga terkejut karena ibunya seakan tahu apa yang tengah berkecamuk di pikirannya.
“Mama minta maaf karena terlalu mengekang kamu sampai nggak tahu apa yang sebenarnya kamu inginkan. Mama juga minta maaf karena selalu membandingkan kamu, padahal kamu sudah berjuang sekeras itu. Mama terlalu serakah sama kesuksesan, sampai lupa kalau tujuan pertama Mama itu adalah kebahagiaan kamu. Mama minta maaf, Rei,” tuturnya dengan air yang menggenang di pelupuk mata.
Kemudian, Celine menceritakan segala hal yang terjadi selama dirinya tak sadarkan diri. Semua fakta yang selalu menghantui telah terungkap, ingatan Theo yang sepenuhnya kembali, hingga bagaimana mereka dibuat hancur dengan keputusan mengakhiri hidup yang Rei lakukan. Terlalu tidak masuk akal sampai-sampai Rei berpikir mungkin saat ini dia masih belum bangun.
“Bohong,” sanggah bocah itu tak percaya.
“Kenapa kalian harus nangis cuma gara-gara aku? Aku bukan siapa-siapa, Ma. Aku nggak layak dapet perhatian sebesar itu. Mama nggak tahu ’kan, kalau sebenernya selama ini aku udah nutupin apa yang terjadi waktu penculikan itu demi kepentingan aku sendiri? Sampai Mama dan bahkan Papa jadi nggak suka Bang Theo. Aku ini jahat, jadi nggak layak ditangisi.” Rei beralih menatap sang ibu. Dengan mata yang juga telah dibanjiri air, ia mati-matian agar suaranya tak bergetar.
“Harusnya aku mati aja, kenapa harus selamat, sih?” decak bocah itu sembari menepis tangan sang ibu dan meremas rambutnya cukup erat.
Mulutnya terus menggumamkan kata ‘mati’ hingga tak menyadari jika Celine kini tengah menatapnya dengan air berderai di kedua pelupuk matanya. Wanita itu menutup mulutnya dengan telapak tangan guna meredam isakan. Sementara kini hatinya tercabik melihat buah hatinya terjatuh pada lubang nestapa akibat kelalaian dirinya.
“Maaf … maaf ….” Wanita itu bangkit dan menarik bahu Rei ke dalam pelukannya. “Mama nggak becus jadi ibu. Maafin Mama, Rei. Maaf ...,” rintihnya di sela isakan.
Bertahan untuk tetap baik-baik saja selama tujuh tahun itu bukan hal mudah. Bagi Rei, itu sama saja menapaki neraka dengan napas yang masih menempel di raga. Terlalu banyak berusaha untuk memperbaiki keadaan, padahal dia tahu bahwa sumber masalah adalah dirinya. Melenyapkan diri, berarti lenyap pula masalah yang ada.
Namun, benarkah semua akan membaik setelah Rei menempuh jalan itu? Sedangkan kini sang ibu tengah menangis pilu sembari mendekapnya erat. Begitu erat seolah jika pelukan itu lepas, Rei juga sirna.
–STRUGGLE–
Haii~
Sebelumnya maaf banget, ya. Aku lupa kalo cerita ini belum selesai hehe :v
Tinggal satu bab lagi selesai, jadi enjoy yaaa!!
Salam
Vha
(02-12-2023)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top