34. Maaf ....

Hari ini ayahnya berjanji akan kembali lebih awal dan mengajaknya makan malam di luar. Meski telah terbiasa dengan kekecewaan, kali ini Theo ingin berusaha untuk percaya. Dua puluh hari berlalu sejak dia memutuskan untuk mencoba mendapatkan kembali ingatannya, dan selama itu pula hubungannya dengan sang ayah mulai membaik. Atau lebih tepatnya, Theo butuh orang dewasa sebagai pendamping, dan mau tak mau Samuel adalah satu-satunya yang ia percaya. Ah, lebih tepatnya, coba mempercayai.

Jam besar yang terletak di ruang tengah menunjukkan angka delapan lebih lima menit. Namun, masih belum ada tanda-tanda kemunculan sosok yang dinanti. Padahal Theo sudah setengah jam duduk dan berpakaian rapi demi agar tak memakan waktu lama untuk bersiap.

“Is he stuck in traffic?” gumamnya masih tak lepas dari layar gawai. Berharap pesan yang beberapa lalu dikirim telah mendapat balasan, tetapi hasilnya nihil. Bahkan warna biru sebagai tanda bahwa pesan itu telah dibaca pun belum berubah.

Sepuluh menit berlalu dan Theo telah mencapai puncak kesabaran. Lupakan soal sang ayah yang mungkin tengah duduk di bangku kemudi, ia memutuskan untuk menekan tombol panggilan lebih dulu. Menunggu beberapa saat hingga akhirnya panggilannya terhubung.

“Papa jadi pulang apa nggak?” tanyanya tanpa berbasa-basi bahkan sebelum Samuel buka suara.

“Jadi, ini masih di jalan. Sepuluh menit lagi sampai. Just wait a bit longer, okay?sahut sosok di seberang.

Decakan pelan terlontar dari bibir Theo, tetapi bocah itu tetap merasa lega karena sang ayah tidak ingkar soal ucapannya.

Okay.”

“Oh, apa Rei sudah pulang?”

Pertanyaan mendadak itu terlontar ketika Theo akan menutup teleponnya. Membuat remaja itu menaikkan sebelah alisnya.

“Udah,” sahutnya.

“Kalau begitu, suruh dia siap-siap juga. Kita makan bertiga, ya,” tukas Samuel dan sukses megubah kerutan di dahi Theo menjadi dengkusan.

Why? You said it was our dinner. Why did you bring him?

Terdengar helaan napas pelan dari lawan bicara. “Mau sampai kapan kamu bersikap seperti ini? Mendiamkan Rei terus-menerus tidak akan memperbaiki keadaan. Kalau kamu memang berniat untuk memperbaiki, maka jangan memperlebar jarak antara kalian yang nyatanya sudah sangat jauh.”

“Kamu sudah ingat semuanya, Papa dan Mama sudah tahu kebenarannya. Kamu bilang tidak ingin memikirkan masa lalu, dan fokus pada masa depan. Tapi mana tindakanmu? Jika terus berdiam seperti ini, kasihan juga Rei. Dia pasti diliputi rasa bersalah, Yo,” pungkas pria itu dan tak lama setelahnya panggilan diakhiri sepihak. Tersisa Theo yang kini terdiam menatap layar gawai yang telah berubah hitam.

Benar, berkat terapi yang dijalani akhir-akhir ini, dia sudah mengingat semuanya. Dari bagaimana mereka bisa tertangkap oleh penculik, dikurung, kekerasan, pelecehan hingga Rei yang sekarat tepat di depan matanya. Semua terekam jelas di ingatan Theo, tanpa kurang barang secuil pun.

Jika ditanya soal bagaimana perasaan yang dialami ketika berhasil menyatukan kepingan memori itu, maka hal pertama yang Theo rasakan adalah bingung dan takut. Ingatan yang sejatinya hanya kenangan ternyata mampu membuat seluruh tubuhnya menggigil hebat.

Dia tidak menyangka pernah mengalami hal semengerikan itu ketika usianya sebelas tahun. Dan tak pernah sekalipun terlintas di benak Theo, bahwa dirinya pernah sangat menyayangi Rei. Hingga rela mengorbankan diri sebagai tameng demi melindungi sang adik. Bukankah dulu dia adalah seorang kakak yang baik?

Ketika mengingat betapa buruknya perlakuan yang ia lakukan pada Rei tujuh tahun belakangan, Theo kini diliputi rasa bersalah. Andai dirinya tak pernah kehilangan keping memori itu, mungkin hingga kini hubungan mereka sangat baik. Kehidupan remajanya tak akan seburuk ini, dan hubungan dengan Samuel maupun Celine tak akan serenggang ini. Dia adalah sumber dari segala kehancuran.

Tersadar dari lamunan, cowok itu sudah berdiri di depan pintu kamar milik bocah yang akhir-akhir ini ia hindari. Tangannya terangkat dan mulai melayangkan ketukan pada pintu di depannya. Percayalah, ini adalah kali pertama ia mengetuk pintu kamar Rei. Sebelumnya, Theo tak pernah sudi bahkan untuk sekadar melihat rupa sing pemilik.

Tiga kali ketukan, tak ada jawaban dari sosok di dalamnya. Theo berpikir mungkin ia kurang keras dalam mengetuk, sehingga si pemilik kamar tak mendengar. Tanpa pikir panjang, cowok itu kembali mengetuk pintu. Lagi dan lagi hingga dia lupa sudah berapa kali dirinya mengetuk.

The hell he’s doing inside?” gumam Theo, mulai kehilangan kesabaran karena tak kunjung mendapat jawaban. Dia bahkan sudah berusaha bersikap sopan dan tidak sembarangan menerobos masuk. Namun, itikad baiknya malah diabaikan. Ia mulai kesal.

Meski begitu, pemuda itu mencoba untuk kembali mengetuk. Untuk terakhir kalinya dan sedikit lebih keras. Berharap kali ini Rei akan muncul dari balik pintu dan terkejut dengan kehadirannya. Akan tetapi, hasilnya nihil. Dan akhirnya Theo kehilangan kesabaran. Ia menggenggam ganggang pintu dan mendorongnya hingga terbuka.

Gelap.

Begitu pintu terbuka, Theo disuguhi dengan kondisi ruangan yang gelap dan sunyi. Entah mengapa, perasaannya tak nyaman begitu memasuki tempat itu. Dirinya juga tidak begitu menyukai tempat gelap.

“Rei,” panggilnya pada si pemilik kamar.

Instingnya mengatakan bahwa dia tidak akan mendapat jawaban, sama seperti ketika mengetuk pintu tadi. Jadi Theo memutuskan untuk melangkah lebih dalam sembari meraba dinding untuk mencari letak saklar lampu yang entah mengapa sulit sekali diditemukan

Begitu lampu berhasil menyala, pemandangan pertama yang ia lihat adalah sosok Rei yang tertidur dengan posisi tengkurap. Tampak brgitu lelap hingga mungkin tak menyadari jika seseorang telah menerobos masuk ke dalam kamarnya.

Theo mendengkus pelan. “Kebo banget, pintu diketuk sampai mau jebol tapi nggak kebangun.”

Hey, wake up. Papa mau ngajak kita makan malem bareng,” ucapnya lirih.

Demi apa pun, Theo sangat canggung dan gengsi untuk berbicara dengan bocah ini. Dia masih belum siap untuk berhadapan dengannya. Namun, ucapan sang ayah ada benarnya. Dia tidak bisa terus-terusan menghidar, dan bertingkah seolah tak ada masalah.

Merasa tak kunjung mendapat respons, Theo menarik lengan Rei hingga bocah itu berubah posisi menjadi telentang. Dan apa yang ia lihat selanjutnya sukses membuat jantung Theo berdegup dua kali lebih cepat.

“R–rei?” Theo menelan ludah dengan susah payah. Satu tangannya bergerak menyentuh pipi bocah yang kini memejam begitu rapat.

Dingin.

Dengan suhu air conditioner yang cukup hangat ini, Theo bisa merasakan betapa dinginnya kulit Rei. Wajahnya nyaris kehilangan rona dan begitu meletakkan ujung jari di hidungnya. Theo tak bisa menemukan deru napas di situ. Namun, dia masih tak percaya, dan beralih memegang pergelangan tangan bocah itu. Berusaha mencari detak lewat nadi, tetapi hasilnya sama. Dia tidak bisa merasakan detak yang seharusnya ada.

“Rei!” Suaranya tercekat saat mencoba mengguncang tubuh di depannya. Dan keringat dingin mulai membasahi kening Theo.

Untuk beberapa saat, Theo terpaku dan sama sekali tak tahu harus berbuat apa. Pikirannya seolah buntu dan pandangannya tak lepas pada sosok yang terbaring di kasur. Hingga saat sesuatu terlintas di pikiran, akhirnya bocah itu berbalik dan berlari meninggalkan tempat itu.

Menuruni tangga dengan tergesa-gesa membuatnya melewatkan satu anak tangga dan berakhir tergelincir. Sensasi nyeri di pergelangan kaki membuat Theo menggeram kesakitan. Bersamaan dengan itu, sosok bertubuh tegap muncul dan menghampirinya.

“Astaga, kamu kenapa?”

Pria itu langsung membantu Theo berdiri dan bermaksud menuntun bocah itu untuk duduk di kursi terdekat. Namun, cengkeraman erat di lengannya membuat kening Samuel mengernyit. Ketika memperhatikan wajah sang putra lebih seksama, Samuel juga melihat sedikit kejanggalan. Mata Theo menatapnya tak fokus, keringat juga membasahi kening bocah itu.

“I–itu … dia …. dia napasnya … Rei—”

“Matheo, calm down!” sentak Samuel, memegangi kedua sisi bahu Theo dan berusaha untuk mempertemukan pandangan mereka. “Take a deep breath and tell me what happens?

Meski terkejut dengan suara keras sang ayah, Theo tetap menurut. Bocah itu terdiam sesaat sembari mengatur napas yang mulai tak beraturan. Ketika merasa sudah lebih baik, Theo pun kembali bersuara.

“Rei, Pa.” Telunjuknya mengarah ke atas, lebih tepatnya letak kamar Rei yang berada di lantai dua.

“Iya, ada apa dengan Rei? Bukannya tadi Papa suruh kamu untuk ajak dia?” Mendengar nama Rei disebut, entah kenapa perasaan Samuel mendadak tak nyaman.

Yes, you do. So I came to his room and tell him ‘bout the dinner. But the lights are off and I thought he’s already slept. So I try to woke him up, but … but he’s not breathing. Even I can’t felt his pulse!” papar Theo sembari mempraktekkan bagaimana dirinya tadi meraba pergelangan tangan Rei dan mencoba mencari detak pada nadi bocah itu.

“Ya Tuhan.” Begitu selesai mendengar penjelasan Theo, pria itu bangkit dan berlari tergesa menuju kamar si bungsu.

Theo ingin menyusul, tetapi rasa nyeri yang begitu menyakitkan menahan gerakannya. Alhasil dirinya hanya bisa menunggu di bawah hingga tak lama kemudian sosok Samuel kembali muncul dengan Rei yang kini berada di gendongannya.

“Kamu masih bisa jalan sendiri, ‘kan?” tanyanya dengan raut panik yang tak lagi bisa disembunyikan. “Kamu pangku adikmu di belakang, ya. Kita ke rumah sakit sekarang.”

Tak ingin membuat sang ayah semakin kerepotan, Theo mengangguk tanpa berucap. Dia pun berjalan terpincang-pincang di belakang Samuel. Memasuki mobil dan duduk di bangku belakang, dengan kepala Rei yang kini berada di pangkuannya. Melihat betapa pucat wajah bocah itu membuat rasa sakit yang sedari tadi menjalar di pergelangan kakinya kini sepenuhnya sirna.

Tanpa sadar Theo meletakkan telapak tangannya ke pipi Rei, dan sensasi yang didapat masih sama. Dingin. Melihat kondisi Rei yang jauh dari kata baik-baik membuat sekujur tubuh Theo tak bisa berhenti bergetar, napasnya memburu dan jantungnya berdetak tak karuan. Tanpa sadar, setiitik air jatuh dari sudut mata remaja itu yang perlahan berubah menjadi isakan.

“Maaf … maaf ….”

Hanya itu yang mampu Theo ucapkan. Satu kata yang sudah sekian lama bersarang di tenggorokan, tetapi dirinya belum punya keberanian untuk mengungkapkan. Namun, dia tak menyangka bisa dengan mudah mengucapkannya ketika situasi telah seburuk ini. Sebuah maaf yang mungkin tak tersampaikan.

–STRUGGLE–


U

pdate yaaa..

Jangan lupa tinggalkan jejak dan sekalian follow aku~


Salam

Vha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top