32. The Egoist
“Pas gue bangun, posisi udah di rumah sakit. Kata Mama gue kritis dua minggu. Dan pas balik ke rumah, semua rasanya jadi aneh. Terutama Bang Theo, dia jadi kayak benci banget sama gue. Situasinya kayak beberapa bulan lalu sewaktu gue sama Mama baru aja pindah ke rumah itu. Padahal setelah beberapa pendekatan, bisa dibilang kita udah mulai akrab. Bahkan Bang Theo jadi lebih ceria dari sebelumnya. We’re looked like a real siblings at that time,” pungkas Rei, mengakhiri kisah panjangnya.
Melihat reaksi Calvin yang tampak begitu terkejut membuatnya terkekeh pelan. Dia sudah menduga raut seperti itulah yang akan muncul ketika bocah ini mendengar kenyataan yang selama ini Rei sembunyikan. Dia juga tidak tahu apa yang akan terjadi setelah membeberkan rahasia ini, tetapi entah kenapa Rei merasa sedikit lega usai bercerita.
“Kenapa lo nggak cerita fakta sepenting ini ke Om Sam atau Tante Celine?” tanya Calvin usai berhasil mengendalikan rasa terkejutnya.
“Itu karena gue yang egois.” Rei menyahut tanpa ragu.
“Awalnya gue nggak cerita karena belum paham sama apa yang kita alami waktu itu. Padahal kalau pelecehan terhadap anak-anak mungkin bisa nambah masa hukuman mereka. Tapi gue nggak tahu gimana cara jelasinnya.”
Cowok itu terdiam sejenak, tampak berusaha menyusun kalimat yang tepat untuk dijelaskan pada sang kawan. Sedangkan Calvin dengan setia menunggu tanpa menginterupsi.
“Seiring berjalannya waktu, gue udah paham jenis kejahatan apa itu. Tapi gue nggak mau cerita, karena gue pikir itu udah nggak ada gunanya juga. Tujuan gue cuma pengen bikin Mama bangga sama pencapaian gue. Karena terus-terusan bilang kalo gue harus bisa menyaingi Bang Theo. Meski akhirnya gue nggak bisa, karena perbedaan kita terlalu jauh.”
Semilir angin yang menerpa dedaunan di atas mereka membawa hawa sejuk di tengah teriknya matahari. Kondisi halaman belakang gedung olahraga yang sepi membuat suasana menjadi sangat lengang, dan hanya dua remaja itu yang mengisi kekosongan. Sembari mencoba menemukan kalimat yang pas, Rei menengadah dan netra kelamnya tertuju pada sang angkasa yang kini tampak bersih tak berawan. Seulas senyum tipis terukir di wajahnya.
“Sampai akhirnya keadaan jadi seburuk ini dan gue nggak bisa berbuat apa-apa,” pungkasnya kini tertunduk lesu.
Sempat terlintas di benak Calvin untuk menyalahkan Rei atas masalah yang terjadi. Namun, begitu teringat derita yang selama ini bocah itu alami, Calvin pun tersadar. Jika Rei juga anak-anak sepertinya yang terkadang tak tahu bagaimana menyikapi hal serumit itu. Kali ini, yang bisa Calvin lakukan hanyalah sebatas menjadi pendengar dan tidak menghakimi.
“Butuh bantuan?” Calvin menatap lekat sosok di sampingnya.
“Nggak perlu.” Rei menggeleng cepat. “Sebenernya dengan lo dengerin ocehan gue dari tadi aja udah bikin gue sedikit lega. Selama ini nggak ada orang bisa diem dan dengerin cerita gue sampai akhir tanpa banyak komen kayak lo. Thanks, ya.”
Tak ada jawaban yang Calvin lontarkan selain anggukan kecil. Namun, hal itu cukup membuat Rei lega, sebab ini adalah kali pertama ia berani bercerita tentang sebuah fakta yang selama ini menjadi sumber mimpi buruk dan terus menghantuinya.
Usai terdiam cukup lama, Rei bangkit dari duduknya dan merenggangkan otot-otot tubuhnya yang mulai kesemutan.
“Pulang sekolah gue mau ke apartemen, mau mampir nggak?” tawarnya pada Calvin yang juga ikut berdiri.
Si lawan bicara mengernyitkan dahinya. “Lo mau tidur di apartemen? Kenapa nggak pulang? Tante Celine ‘kan di rumah,” cerocosnya sedikit tak setuju dengan kebiasaan Rei yang sering tidur di apartemen setiap kali dihadapkan pada masalah.
“Enggak, paling makan malem nanti balik. Gue cuma mau ngisi stok kulkas sama ambil buku yang ketinggalan,” sanggah Rei sedikit tak terima. Bocah itu lebih dulu melangkah meninggalkan Calvin yang masih mematung.
Mendengar penuturan itu, bibir Calvin membulat dan mengangguk pelan. “Ya udah, gue ikut. Nanti juga tolong ajarin materi dari Pak Teguh tadi, gue belum terlalu paham,” ucapnya lantas mengekor di belakang Rei yang mulai melangkah meninggalkan area gedung itu.
Meminta bantuan agar diajari tentang mata pelajaran tentu hanyalah alasan. Calvin ingin memastikan jika sahabatnya baik-baik saja, sebab kekhawatiran masih mendominasi meski Rei tak lagi murung.
🍬🍬🍬
Pergi ke supermarket untuk mengisi stok kulkas dan berlanjut mengajari Calvin ternyata memakan waktu lebih lama dari perkiraan. Rei baru tiba di rumah lewat jam makan malam. Melihat kondisi rumah yang lengang membuat Rei berpikir mungkin sang ibu dan ayahnya sibuk di ruang kerja. Alhasil dirinya memutuskan untuk langsung bertolak ke kamar tanpa menimbulkan keributan.
Namun, begitu memasuki kamar, bocah itu dikejutkan dengan keberadaan sosok Theo yang tengah duduk di kursi belajarnya. Membuka sebuah album usang yang tersimpan di jajaran rak buku. Cowok itu menyadari kedatangan si pemilik, tetapi sama sekali tak mengalihkan pandangan dari lembar halaman album di depannya.
“Bang,” tegur Rei sedikit ragu jika Theo tak menyadari kehadirannya.
“How can you smile so happily when someone’s struggling here.” Theo menunjuk salah satu foto di album ketika Rei duduk di bangku SMP dan memenangkan lomba karya tulis ilmiah. Dia tampak begitu bahagia dalam foto, karena itu adalah kali pertama Rei mendapatkan piala atas prestasinya.
Tuduhan itu membuat Rei terdiam. Meski ucapan Theo tak sepenuhnya benar, tetapi Rei juga tak menyangkal jika dia memang sebahagia itu ketika dinyatakan sebagai pemenang. Kala itu, Celine bahkan memberikan pujian dan bangga padanya, sesuatu yang selalu menjadi impian Rei. Namun, di samping satu hal itu, yang Rei rasakan hanya penderitaan tiada henti. Batinnya tertekan, dan fisiknya dipaksa untuk terus bertahan sembari memenuhi ekspektasi sosok yang disayang.
“Oh, sorry. I didn’t intend to make you feel bad for what happened to me. I just a bit disappointed ‘cause you can get all of my Dad’s attention when his real son only make him mad.” Tangan Theo baru saja tergerak untuk membalik halaman selanjutnya, tetapi Rei lebih dulu maju untuk menahannya.
“N–nggak usah lanjut buka.”
“Kenapa? Gue cuma mau lihat perkembangan my beloved brother that I hate the most.” Theo menepis tangan Rei sebelum bocah itu berhasil merebut album foto darinya.
Rei menarik napas dalam, kemudian membuangnya perlahan. Melihat sang kakak yang tampak tak ingin menyerahkan album di genggamannya, Rei tak lagi berusaha untuk merebutnya. Bocah itu berbalik dan melakukan aktivitas yang seharusnya ia lakukan begitu tiba di rumah.
Berusaha mengabaikan keberadaan Theo, ia memilih untuk masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Menghabiskan waktu lima belas menit untuk mandi mungkin cukup untuk membuat Theo pergi dari kamarnya. Setidaknya itulah yang Rei pikirkan. Namun, sayangnya Theo masih belum beranjak dari tempatnya ketika Rei selesai mandi.
Dengan handuk yang melilit tubuh bagian bawahnya, cowok berkulit putih itu berjalan canggung ke arah lemari untuk mengambil kaus serta celana pendek sebagai ganti.
“Abang kenapa tiba-tiba masuk kamar gue?” Merasa risi karena ditatap saat mengenakan pakaian, Rei akhirnya buka suara. Dia bahkan sampai malu karena tatapan Theo seperti akan melubangi punggungnya.
“Why? Nggak boleh?” Theo mengernyit tak terima.
“Ini rumah gue, jadi terserah gue mau masuk ke mana aja,” ucapnya ketus seperti biasa.
Baiklah, Rei memilih mengalah dan tak lagi membahas alasan mengapa Theo tiba-tiba menerobos kamarnya. Mengabaikan sang kakak yang masih asyik membolak-balik halaman album, Rei meraih ponsel di atas nakas dan mulai menggulir layarnya acak. Tak ada tujuan pasti bocah itu bermain gawai. Ia hanya merasa canggung dan tak tahu harus melakukan apa ketika Theo tampak masih belum memiliki niat untuk meninggalkan kamarnya.
“Soal penculikan waktu itu.” Theo berujar tanpa menoleh.
Mendengar kata penculikan disebut, gerakan tangan Rei terhenti seketika. Bocah itu sontak mendongak dan menatap sosok yang masih duduk memunggunginya dengan mata bergetar tak fokus. Gelombang panik dan takut tiba-tiba menyerang, bahkan sebelum ia tahu kalimat apa yang akan diucapkan Theo selanjutnya.
“I still don’t remember about what happened that time. Tapi gue bakal berusaha untuk dapatin ingatan itu kembali, apa pun yang terjadi. Dan buktiin omongan Zion tentang ‘kedekatan’ kita itu benar.” Theo menutup album lantas memutar kursi hingga saling berhadapan dengan si lawan bicara.
“Maybe, if I get back my memories, something good will happen to our relationship,” ucapnya menatap tepat ke manik hitam milik Rei.
Ah, tidak. Ini adalah hal yang paling Rei khawatirkan. Tentang Theo yang ingin mengingat kembali kejadian yang seharusnya terkubur saja. Dan kemungkinan dia akan semakin dibenci membuat Rei dihinggapi ketakutan yang teramat.
Melihat ketakutan tergambar jelas di wajah Rei mengundang kerut halus di dahi Theo. “What wrong with that ekspression? Lo nggak mau gue inget kejadian itu? Or … is there something that you hide from me?”
Bungkam, Rei tak mampu memberikan jawaban. Dan itu cukup untuk membuat Theo semakin yakin dengan apa yang dipikirkannya, jika bocah ini telah menyembunyikan sesuatu.
Merasa pembicaraan tak menemukan tik terang, Theo memilih bangkit dan berjalan ke arah pintu. Menutupnya dengan cukup keras, dan meninggalkan Rei dengan pikiran berkecamuk.
Bocah itu mengusap wajahnya dan membuang napas berat. Fisiknya lelah, tetapi pikirannya lebih letih. Namun, di kondisi seperti ini pun tidur lelap masih menjadi hal tersulit untuk ia dapatkan. Tidak adakah kesempatan baginya untuk beristirahat sejenak dari kebisingan yang memenuhi kepala?
–STRUGGLE–
Haiii... update yaa (・∀・)
Jangan lupa ramaikan dan follow akuu 😌
Salam
Vha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top