3. Perbandingan
Satu loyang pizza yang tak lagi utuh tersaji di atas meja berlapis kaca itu. Di sampingnya, masih banyak bermacam camilan serta minuman kaleng yang beberapa di antaranya sudah tergeletak di lantai karena isinya telah tandas.
"Mau nambah makanan nggak? Katanya lo mau nyanyi sampai pagi. Jadi harus makan banyak, buat stok tenaga," celetuk si tuan rumah.
Hanya pizza berukuran sedang dan beberapa makanan ringan jelas masih kurang untuk lima orang. Sedangkan malam masih cukup panjang untuk dinikmati. Bahkan anak pemilik gitar baru mulai memetik dawainya.
Hari seperti ini adalah salah satu momen yang paling Theo nikmati. Di mana dia akan mengundang beberapa temannya ke rumah, dan bercengkrama ditemani bermacam camilan. Entah itu menyanyi atau membahas soal bermacam kejadian sekolah, Theo tidak peduli. Karena dengan adanya mereka pun, sudah cukup baginya.
"Udah mau jam sepuluh, nih. Emang nggak masalah kalau kita masih di sini?" celetuk gadis berambut pirang yang duduk di lantai.
Namanya Jessie, teman Theo sewaktu SMP dulu. Meski kini berbeda sekolah, mereka masih sering bertemu untuk sekadar nongkrong. Pun dengan tiga orang lainnya, yang juga berada di sekolah berbeda dengan Theo.
Dibilang dekat, tidak juga. Karena mereka berkumpul bukan karena alasan persahabatan yang saling menguatkan. Melainkan hanya ingin menghabiskan waktu akibat sama-sama ditimpa oleh masalah masing-masing.
Theo mengangkat bahu. "No problem, I'm alone," dustanya.
Sebenarnya ada Rei, tetapi Theo melarang bocah itu untuk keluar selama ia dan teman-temannya masih berkumpul. Karena kehadiran anak itu hanya akan menjadi perusak suasana.
Gadis itu terkekeh mendengar jawaban yang Theo lontarkan. "Gue lupa, orang tua kita hobinya 'kan kerja," ucapnya yang mengundang tawa seisi ruangan.
"Dude, I even forgot, when was the last time i saw my parents. Tapi uang saku full terus, haha," timpal cowok berkaus merah yang duduk di samping Theo.
"Oke, gue ambilin dulu. Kalau mau delivery order terserah, nanti biar satpam yang jaga bawa pesanan kalian ke sini," ucap Theo.
Cowok itu bangkit dan berjalan menuju dapur. Membuka lemari di mana ia menyimpan semua persediaan makanan. Benar-benar satu lemari, dan ia juga menguncinya. Karena setiap kali papanya kembali dari perjalanan bisnis, pria itu selalu membawa bermacam makanan yang bahkan Theo tidak bisa menghabiskannya sendiri. Ditambah dengan makanan ringan yang ia beli, membuat Theo tak pernah kehabisan stok.
Ia mengambil beberapa bungkus makanan manis dan asin, serta beberapa kaleng soda dari lemari pendingin. Tak mau repot-repot menggunakan nampan, cowok itu memilih untuk mengangkut semuanya dengan kedua lengan.
Berharap malam ini bisa menjadi malam yang tenang dan menyenangkan untuknya. Namun, apa yang kini tersaji di depan mata membuat cowok itu ternganga.
"Wait, wait! Kalian mau ke mana? Look, I just bring the food," serunya ketika melihat keempat kawannya tampak sudah menenteng tas masing-masing.
Mereka sudah bersiap pergi saat ia kembali ke ruangan itu. Seolah takut akan sesuatu, Theo pun mengedarkan pandangan. Hingga netranya menangkap sesosok berjas hitam yang berdiri tak jauh dari ruangan tempat mereka berkumpul. Mereka sempat beradu pandang, sebelum akhirnya Theo atensi teralihkan dengan sang kawan yang menyenggol lengannya pelan.
"The hell ... lo bilang orang tua lagi business trip. Tapi itu apa? Bokap lo tiba-tiba udah berdiri di situ."
Pemuda itu bergidik ngeri. "Bangsat, gue balik aja kalo gini. Masa depan gue yang terancam," lanjutnya kemudian berjalan menjauh.
"Gue nggak berani stay lama-lama kalau ada Om Sam. Bisa-bisa nanti dilaporin ke bokap. Sorry, gue balik dulu, Yo," tukas Jessie, gadis itu pun menyusul tiga laki-laki yang sudah lebih dulu melesat keluar dari rumah megah tersebut.
Ruangan bercat putih itu berubah lengang selepas kepergian mereka. Menyisakan ayah dan anak yang kini saling bertatapan. Samuel menjadi yang lebih dulu memecah keheningan dengan menghampiri sang anak.
"Bisa jelaskan semua kekacauan ini?" tanyanya mendelik tajam.
"Papa usir mereka?"
Bukannya menjawab pertanyaan yang Samuel lontarkan, Theo justru membalas pertanyaan itu dengan pertanyaan lain. Tatapannya tak gentar meski kini jarak antara mereka hanya terpisah satu meter. Samuel bisa dengan mudah memukulnya, dan Theo tak akan pernah bisa melawan setiap kali pria itu melayangkan tangannya.
"Of course. Untuk apa anak sekolah berkumpul di waktu malam, tapi tidak melakukan hal bermanfaat? Hanya buang-buang waktu."
Pria itu menunjuk pada meja yang dipenuhi dengan bungkus makanan dan beberapa sampah lain yang berserakan di lantai.
"See? Selain kumpul-kumpul tidak berguna, kalian juga mengotori rumah. It's disgusting," lanjutnya dengan rahang mengeras.
"Apa masalahnya? Sekotor apa pun itu, aku bertanggung jawab buat bersihin semua, kok," timpal Theo membela diri.
Apa yang ia katakan benar. Setiap teman-temannya datang berkunjung dan membuat kotor ruang tamu, maka Theo akan membersihkan semuanya. Bukan karena takut akan kemarahan sang ayah,
tetapi semata-mata karena tak ingin Bi Salma yang sudah bekerja dari pagi hingga sore kelelahan. Dia melakukannya demi wanita paruh baya itu.
"Jangan bohong kamu. Kalau saja kamu bisa membersihkan hal ini sendiri, mungkin dua bulan Bi Salma tidak perlu sampai masuk rumah sakit karena kelelahan. Orang kayak kamu mana bisa disuruh melakukan hal sepele seperti ini." Samuel menyanggah tegas pernyataan sang putra.
Bertanggung jawab katanya? Samuel masih ingat jelas, bagaimana dua bulan lalu putranya ini mengamuk dan menghancurkan banyak perabotan di rumah. Hanya karena suasana hati yang sedang tidak baik, dia membuat kekacauan yang merugikan banyak orang.
Selain Bi Salma yang kelelahan usai membersihkan rumah besar itu, Rei juga terluka karena terkena lemparan vas di kepala. Beruntung, Samuel cepat datang dan menghentikan bocah itu. Dan semenjak itu juga, wanita paruh baya itu tinggal terpisah dari rumah utama.
Bi Salma menempati sebuah paviliun kecil di belakang rumah utama. Wanita itu hanya datang saat pagi hingga selesai makan malam. Setelahnya ia akan menghuni paviliun itu sebagai tempat istirahatnya.
Theo berdecak, "Papa bilang kayak gitu, emang Papa tahu apa soal aku? Bi Sal—"
"Semuanya," Samuel memotong ucapan Theo, "Papa tahu semuanya soal kamu. Termasuk bagaimana kelakuan kamu di sekolah. Nggak ada yang benar. Selalu membolos, melawan guru, dan menindas siswa lain. Benar-benar seperti sampah," pungkasnya dengan nada mulai meninggi.
"Sampah?" Remaja itu mengulang ucapan sang ayah, kemudian terkekeh getir.
"Yes, I'm a trash. Jadi wajar 'kan kalau seorang sampah berperilaku selayaknya sampah? Terus kenapa Papa marah?" Theo mengangkat kepalanya dan menatap sosok di depannya tanpa rasa takut.
"Bukan itu yang Papa maksud, Theo," dengkus Samuel, tak menyangka bahwa Theo akan salah paham dengan maksud ucapannya.
Seakan tak mendengar ucapan sang ayah, Theo lanjut berkata, "Oh, atau Papa malu, karena satu-satunya anak yang berhubungan darah sama Papa ternyata nggak lebih dari sekadar sampah? You feel disappointed, right?" Ia memaksa kedua sudut bibirnya untuk mengulas senyum.
Sampah, tidak berguna, memalukan.
Masih banyak lagi kata-kata pedas dari Samuel yang ditujukan pada Theo ketika pria itu kehilangan kesabaran. Namun, meski demikian, nyatanya Theo tidak pernah terbiasa. Hati yang dipaksa mati pun masih bisa merasakan betapa sakitnya perkataan sang ayah yang seperti ujung belati. Menyayatnya, tidak berdarah tapi meninggalkan bekas yang bertambah kian harinya.
"And then you had Rei. Much better than me. He's perfect candidate to be your heir," sambung remaja itu ketika Samuel tak kunjung menanggapi ucapannya.
"What a nonsense are you talkin' about? Kenapa jadi bawa-bawa Rei? Kalau dirimu yang salah, maka perbaiki diri kamu. Jangan malah menyalahkan Rei. Dia bisa sehebat itu karena memenuhi tugasnya sebagai seorang pelajar. Tidak seperti kamu yang selalu membuat onar." Pria itu mengusap wajahnya dengan sedikit kasar, semakin kesal dengan jawaban yang Theo lontarkan.
Terdengar decakan pelan dari remaja itu. "Selalu aku yang disalahkan. Wanita ular itu udah berhasil meracuni pikiran Papa. That ugly b*tch," ujarnya kesal.
Tepat setelah kalimat itu selesai terlontar, Theo merasakan sensasi panas menjalar ke pipi kanannya. Sebuah tamparan keras mendarat dengan begitu mulus, dan membuat bocah itu bungkam seketika.
Semua makanan dan minuman kaleng yang semula masih tertampung di kedua lengan Theo, kini seluruhnya berserakan di lantai. Menimbulkan bunyi yang tak kalah nyaring dari pertemuan telapak tangan dan kulit pipi.
"Matheo, jaga ucapan kamu! Dia itu mama kamu, bisa-bisanya kamu berbicara buruk seperti itu. Sekarang bersihkan saja semua kekacauan ini, Papa nggak mau berbuat lebih jauh karena ucapan tidak sopanmu," final Samuel yang kemudian melangkah menjauhi sang putra dengan tangan yang terkepal erat.
Menyisakan Theo memegangi pipinya yang kini tampak memerah dan menatap punggung Samuel yang akhirnya menghilang di balik pintu. Rasanya sakit. Bukan ruam merah bekas tamparan, tetapi sudut hatinya yang kini mendapat satu goresan baru.
"Bangsat!" umpatnya dengan suara rendah.
Rasanya, Theo ingin menghancurkan semua barang yang tertangkap oleh indera penglihatannya. Namun, hal itu hanya akan memancing kemarahan Samuel lebih jauh lagi. Alhasil dengan bibir yang tak henti-hentinya melontarkan umpatan, remaja itu mulai membersihkan ruang tamu dan membuang semua makanan yang sebagian belum tersentuh itu. Dan demi apa pun, sekali lagi dia sangat benci Rei!
Tanpa pemuda itu sadari, sosok yang menjadi awal perdebatan sengitnya dengan sang ayah kini tengah menatapnya dari kejauhan. Bersembunyi di balik tembok, tanpa memiliki keberanian untuk mendekat.
–STRUGGLE–
Jangan lupa follow WattpadIM_Vha dan kalo mau baca bab yang udah lengkap bisa cus ke KaryaKarsa @ImVha yang link-nya udah aku taruh di bio. Di sana udah full, kalo di WP akan aku update setiap seminggu sekali. Jadi harus sabar 😆
Salam
Vha
(23-08-2022)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top