28. [Matheo] Awal dari Semua
“Waktu usiamu sebelas tahun, kamu diculik bersama Rei yang saat itu juga sedang ikut bermain di taman tidak jauh dari rumah. Meski Papa sudah membayar banyak orang serta polisi, tapi sangat sulit untuk bisa menemukan kalian. Alhasil, kalian baru bisa diselamatkan ketika memasuki hari ketujuh, ketika keadaan sudah berada di bagian terburuk.”
Sebuah kisah mulai terlontar dari bibir Samuel dan sukses membuat Theo mengernyit. Bagaimana tidak? Ketika usianya sebelas tahun, Theo sudah duduk di bangku kelas lima Sekolah Dasar. Daya ingatnya begitu tajam sehingga masih banyak kenangan masa kecil yang masih tersimpan di memorinya hingga kini. Namun, di antara semua itu, tak ada satupun ingatan tentang penculikan. Secuil pun Theo tak menemukannya.
“Is it for real?” Tak ingin gegabah, Theo menahan diri untuk menyangkal cerita yang ayahnya tuturkan.
Namun, Samuel tak begitu menanggapi ucapan sang putra dan melanjutkan kalimatnya.
“Tidak ada yang tahu pasti apa yang sudah kalian alami selama satu minggu di tangan penculik itu. Yang masih jelas di ingatan Papa adalah, kalian yang terluka setelah berhasil diselamatkan. Terutama Rei, dia mendapat luka sobek memanjang di punggungnya serta beberapa luka lain di tubuh kecilnya yang bahkan belum setinggi siku Papa.”
Helaan napas keluar dari mulut Samuel, dan ada kerutan halus di keningnya ketika berusaha untuk tampak tenang saat kembali menceritakan kenangan pahit itu.
“Luka yang kamu dapat ternyata tidak begitu parah. Kamu diperbolehkan pulang setelah tiga hari di rawat. Sedangkan Rei … dia dalam kondisi kritis selama kurang lebih dua minggu.”
“What the hell!” Theo memekik tertahan ketika Samuel mengucapkan kalimat itu.
Dia ingat jelas bagaimana postur tubuh Rei dulu. Bocah yang hanya terpaut satu tahun dengannya itu memiliki tubuh yang pendek dan kurus. Ketika berdiri bersebelahan, bocah itu hanya setinggi bahu Theo. Jika bukan karena wajahnya yang menggemaskan, mungkin orang-orang akan mengira bahwa anak itu kurang gizi. Menerima luka sedemikian rupa, sungguh hebat bila ia mampu bertahan.
“Awalnya Papa berpikir semua sudah membaik ketika kalian sudah ditemukan dan Rei juga berhasil melewati masa kritisnya. Tapi ternyata salah, karena kamu yang selalu menangis dan menjerit sesaat setelah memejamkan mata untuk tidur. Siklus itu terus terulang beberapa hari hingga kamu harus kembali ke rumah sakit untuk mendapat perawatan. You’ve got trauma from that incident and constantly having nightmares.” Pria itu menatap lekat wajah Theo dan tanpa sadar mengeluarkan helaan napas seolah kisah itu benar-benar ingatan kelam yang sebenarnya tak ingin ia sampaikan.
“Terus?” desak Theo tak sabaran melihat sang ayah yang tampak seperti enggan untuk menjabarkan cerita secara keseluruhan.
Lagi-lagi pria itu menghela napas berat. “Anehnya, setelah satu hari dirawat di rumah sakit dan esoknya ketika kamu bangun, kamu melupakan semuanya.”
Theo sedikit meragukan dengan apa yang ayahnya tuturkan. “Aku … hilang ingatan, begitu?” tanyanya.
Samuel mengangguk samar. “Ya, tapi tidak sepenuhnya. Dokter bilang itu adalah amnesia akibat trauma psikologis, di mana kamu melupakan peristiwa penculikan itu dan sama sekali tidak mempunyai sedikitpun ingatan bahwa kamu pernah diculik. Dan di sinilah semua dimulai, kebodohan Papa.” Ia mengusap wajahnya dengan gusar.
“Dokter mengatakan bahwa amnesia itu bisa disembuhkan dengan beberapa tahap perawatan. Tapi Papa memilih untuk menolak perawatan itu. Kenapa?” Samuel melayangkan tatapan pada sang putra yang hanya mampu menaikkan bahu. “Karena setelah dinyatakan amnesia, kamu tidak lagi menangis atau ketakutan lagi. You just being yourself before that accident happened.”
“Tapi, akibat keegoisan itulah, situasi menjadi seperti sekarang ini. Karena kamu kembali membenci Rei, seperti saat pertama kali mereka hadir di antara kita,” pungkasnya yang kini membuat Theo terbungkam tanpa tahu harus bereaksi apa.
Omong kosong.
Bahkan ketika Samuel sudah menjelaskan semuanya, Theo masih enggan mempercayainya. Sang ayah pasti hanya berusaha membuatnya untuk menerima keberadaan Rei dan ibunya. Dengan kisah sedih yang belum tentu benar itu, mereka berharap untuk bisa membuatnya luluh. Pasti seperti itu, pikirnya.
“Papa tidak mengarang atau melebih-lebihkan cerita. Ini semua benar adanya, dan mungkin juga lebih buruk dari itu. Karena …,” Tampak ragu, Samuel menggantungkan kalimatnya.
Menangkap gelagat aneh sang ayah, remaja berkaus merah itu mendengkus pelan. “Because of what? Just tell me all the secrets that you’ve hide from me all the time. Jangan bikin aku jadi semakin terlihat seperti orang jahat di sini, Pa,” desaknya mulai gusar.
“Karena Rei bisa sampai terluka parah karena melindungi kamu,” sahut pria itu dengan suara lirih, tetapi masih terdengar jelas di telinga Theo.
“What? M–melindungi aku?” Bocah itu ternganga.
Kemudian Samuel menceritakan tentang apa yang terjadi ketika insiden itu terjadi tanpa ada yang disembunyikan. Begitu jelas dan terperinci sampai-sampai Theo mual ketika mendengarnya. Remaja itu langsung bertolak menuju kamar tepat ketika sang ayah selesai bercerita. Mengabaikan panggilan Samuel untuk duduk dan berbicara lebih jauh.
Bantingan pintu yang cukup keras menjadi bentuk dari luapan emosi sang pemilik kamar. Kedua kakinya lemas dan tubuh jangkung itu luruh ke lantai begitu saja sebelum ia mencapai sofa panjang yang terletak tak jauh dari ranjang.
“Bangs*t!” umpatnya dengan kedua tangan meremas erat rambut yang membuat tatanan rambutnya semakin acak-acakan.
Sial! Apakah selama ini dirinyalah yang jahat? Padahal apa yang ia lakukan selama ini hanya untuk bisa mendapatkan apa yang seharusnya menjadi miliknya. Perhatian dan kasih sayang sang ayah, hanya itu. Namun, kini semua berubah menjadi rumit seperti gumpalan benang yang saling menjerat.
🍬🍬🍬
“Sh*t! Lo ngapain?!”
Theo mundur dua langkah ketika ia baru saja membuka pintu kamar dan mendapati Rei sudah berdiri di depannya. Terlalu dekat hingga membuat Theo sedikit terkejut akan kehadiran sosok lebih pendek darinya itu. Namun, mendapat pertanyaan ketus dari si pemilik kamar, Rei justru tersenyum tipis dan membuat bocah itu tampak seperti orang bodoh.
“Mau cari makan siang bareng nggak?” ajaknya diiringi cengiran dan terlihat jelas bahwa bocah ini tengah berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.
“Sejak kapan berdiri di situ?” Tak langsung menerima ajakan Rei, Theo justru melontarkan pertanyaan lain.
“Baru aja, kok. Gue baru juga mau ketuk pintu, tapi lo udah duluan keluar,” sahutnya masih dengan senyum tipis.
“Gue laper, Bang. Berhubung udah mau jam makan siang, kita cari makan di luar, yuk. Sekali-kali kita lunch bareng gitu.” Lagi, bocah itu tak gentar meski Theo sudah melayangkan tatapan yang menunjukkan bahwa ia tak ingin diganggu, apalagi oleh orang yang semalaman membuatnya kesulitan tidur.
Menanggapi sikap Rei yang mendadak keras kepala itu, Theo pun berdecak, “Nggak. Keluar sendiri aja sana, gue mending makan masakan Bi Salma yang udah jelas enak, sehat, dan nggak keluar uang.”
Walaupun itu bukan alasan yang sebenarnya, Theo tak berbohong soal kualitas masakan Bi Salma. Daripada harus duduk canggung dengan Rei, lebih baik dirinya berdiam di rumah.
“Tapi Bi Salma lagi nggak di rumah, dia pulang kampung lusa kemarin karena keponakannya nikah,” celetuk Rei tiba-tiba dan membuat si lawan bicara sontak membulatkan matanya.
“Pulang kampung? Bukannya semalem masih masak buat makan malam?” Kali ini Theo tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya dan melontarkan pertanyaan secara spontan.
Di depannya, Rei menggeleng. “Semalem itu yang masak Mama. Tapi pagi sampai siang ini Mama nggak masak, keburu ada acara. Papa juga udah pergi pagi-pagi tadi,” sahutnya sembari menaikan bahu.
Mendengar penuturan itu, Theo kehilangan kata-kata. Dirinya benar-benar tidak menyangka jika masakan yang ia makan semalam bukanlah buatan Bi Salma, melainkan Celine, sosok yang selama ini terlihat tak jauh berbeda dengan sang ayah, si penggila kerja. Tak sedikitpun terlintas di pikiran Theo jika wanita itu bisa memasak dan mengerjakan pekerjaan ibu rumah tangga pada umumnya. Namun, kenyataannya Theo memang tak begitu mengenal sosok Celine selain sebagai wanita yang telah menggeser posisi sang ibu di hati ayahnya.
“Seriously? Kita makan di sini?” Theo ternganga ketika keduanya tiba di depan sebuah rumah makan yang letaknya tepat di tepi jalan raya.
Ya, setelah beberapa kali dibujuk, Theo akhirnya terpaksa menerima ajakan Rei untuk makan siang di luar. Namun, ia sama sekali tidak menyangka bahwa bocah itu akan membawanya ke sebuah tempat makan pinggir jalan. Tempat yang sama sekali belum pernah Theo sambangi.
Berbeda dengan Theo yang tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Rei justru mengangguk penuh antusias.
“Iya. Warung nasi Padang ini udah jadi langganan gue sejak SMP. Rasanya enak, porsinya banyak, dan yang lebih penting lagi, harganya murah. Kurang apa lagi coba?” sahutnya dengan mata berbinar.
“No, I don’t think this will suit my taste,” tolak Theo dan membuat Rei tanpa sadar terkekeh pelan.
“Coba dulu, Bang. Kalo sampai lo nggak suka, nanti gue traktir lo di restoran yang lo mau, deh.”
Tanpa menunggu protes lain dari sang kakak, Rei bergegas turun dari mobil yang ia kemudikan. Membuat Theo yang hanya seorang penumpang lagi-lagi dibuat tak berkutik selain pasrah dan mengekor di belakang Rei yang lebih dulu memasuki rumah makan dan memesan menu yang sama sekali tak pernah Theo dengar. Sebab soal selera, Theo lebih sering menyantap hidangan Eropa daripada Nusantara. Namun, semua itu adalah pengecualian untuk Bi Salma, hanya masakannya yang bisa Theo lahap tanpa protes.
Jika biasanya Theo akan langsung murka setiap kali melihat wajah bocah bermata sipit itu, kali ini dia berusaha untuk sedikit menahan diri. Walaupun tak bisa sepenuhnya mempercayai ucapan Samuel semalam, tetapi melihat bagaimana Rei sangat berjuang untuk bisa mendekatinya, Theo sedikit merasa iba. Aneh, jika dipikir-pikir, mungkin ini adalah kali pertamanya merasa kasihan pada sosok yang selama ini menjadi pusat kebencian.
“Gimana? Enak, ‘kan? Nggak kecewa, ‘kan? Harusnya iya, buktinya habis,” cerocos Rei saat Theo baru saja menandaskan isi piring di hadapannya.
“Berisik.”
Theo membuang muka, enggan mengakui jika hidangan yang baru saja disantapnya memang lezat. Di depannya, Rei justru tergelak melihat tingkah sang kakak yang mencoba denial padahal ia tampak lahap seperti orang tidak makan berhari-hari persis seperti reaksinya ketika pertama kali merasakan nasi Padang dulu.
“Now, tell me your motive for being this kind to me. Are you doing this to get something from me?” tuding Theo ketika Rei masih bersantai dan menikmati es teh di depannya yang masih tersisa setengah.
Seperti dugaannya, bocah itu tampak kelabakan ketika Theo melontarkan pertanyaan itu. Lagi pula, melihat Rei tersenyum begitu cerah setelah pembicaraan semalam saja sudah janggal. Padahal semalam bocah ini lebih banyak diam dan bersembunyi di balik ketiak ibunya.
“N–nggak ada, kok. Gue cuma pengen ngajak makan siang aja,” sahut bocah itu sembari tertunduk, tak berani menatap ke lawan bicara. Itu membuat Theo semakin yakin bahwa ada yang bocah ini inginkan darinya hingga bisa seberani ini untuk mengajak Theo keluar.
Theo tersenyum miring. “Kalo mau bohong, setidaknya perbaiki kemampuan aktingnya,” sarkasnya kemudian.
Melihat Rei yang tampak benar-benar tak ingin membuka mulut, Theo pun enggan mengungkit lebih jauh. Pemuda itu bangkit dan melangkah lebih dulu keluar dari rumah makan. Membiarkan yang lebih muda mengurus pembayaran, sedangkan dirinya memilih menunggu di dekat mobil dan fokus pada layar gawainya.
To: Bang Zi
Gue mau ketemu, dan lo harus kasih tahu semua hal di masa lalu yang gue lupain. I know you know something about the past.
Tepat setelah pesan singkat itu terkirim, sosok Rei muncul dan hendak membuka pintu mobil. Namun, Theo mencegahnya, dan dengan cepat remaja itu merebut kunci dari genggaman sang adik.
“Let me drive,” tukasnya kemudian lebih dulu memasuki kendaraan roda empat itu.
“Emang mau ke mana, Bang?”
Rei tampak sedikit panik ketika Theo tiba-tiba mengambil alih posisi kemudi. Akan tetapi, ia juga tak memiliki keberanian untuk melarang yang lebih tua mengemudikan mobilnya.
“Ke tempat Zion, tapi lo nggak usah ikut, jadi gue anter pulang. Pinjem mobil lo,” sahutnya tak acuh dan berhasil membungkam Rei hingga bocah itu tak lagi melontarkan pertanyaan lain yang mungkin saja bisa menyulut emosi Theo.
Usai mendengar cerita yang Samuel beberkan semalam, Theo semakin merasa tidak nyaman. Ia bahkan hanya tidur selama empat jam karena terus-menerus terngiang dengan ucapan sang ayah. Sudut terdalam hatinya masih berusaha untuk menolak fakta itu. Belum percaya, dan Theo tidak akan pernah percaya jika belum memastikan semua itu sendiri.
“Kalo lo ketemu Bang Zion buat mengulik soal masa lalu, saran gue nggak usah, Bang,” celetuk Rei yang menyadarkan Theo dari kekalutan pikiran.
“Itu bukan suatu kenangan indah buat diinget,” lanjut bocah itu dengan kedua tangan bertaut, cemas.
Membisu, Theo memilih untuk menutup telinga dan berpura-pura tak mendengar apa yang bocah itu katakan. Bahkan meski itu akan berakhir menyakitkan, fakta tetap harus terungkap. Maka dengan itu, Theo dapat memadamkan kegundahan yang perlahan menelan.
–STRUGGLE–
(Nggak tahu udah pernah upload foto ini atau belum, wkwk)
Ngetik sambil ngantuk-ngantuk, jadi maaf kalo ada typo 😌
Nah, ini bagian terakhir dari sudut pandang Theo, ya. Jadi udah kasihan belum sama si Abang bule ini? Atau masih kesel? Wkwk
Sekian, dan see you next part ~
Salam
Vha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top