27. [Matheo] Yang Harusnya Disalahkan

Bias jingga dari balik jendela menjadi hal pertama yang dilihat kala remaja itu membuka mata. Mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan pemandangan yang tersaji bukanlah tempat asing. Ini kamarnya, dan dia tengah berbaring di ranjang dengan selimut berwarna hitam yang menyelimuti hingga sebatas dada.

Dengan sisa tenaga yang hilang entah ke mana, bocah itu mengubah posisi menjadi duduk dan bersandar pada headboard. Telapak tangannya terangkat, berniat untuk memijit pelipis yang masih menyisakan pening. Namun, gerakannya terhenti kala melihat jarum infus tertanam di punggung tangan.

Jam besar yang tertempel di dinding menunjukkan pukul lima lebih sepuluh menit. Padahal seingat Theo, dirinya bekerja di kafe saat malam mulai menjelang. Lantas berapa lama ia tertidur? Ah, atau lebih tepatnya pingsan, karena hal terakhir yang dia ingat adalah teriakan panik dari Samuel dan Zion saat terjatuh akibat pusing yang menyerang.

‘Jadi balik ke sini?’ batinnya menerka.

Saat dirinya jatuh pingsan, Samuel pasti memanfaatkan kesempatan itu untuk membawa Theo kembali ke rumah. Alih-alih rumah sakit, pria itu pasti berpikir rumah menjadi tempat yang lebih aman sekaligus cocok untuk mencegahnya kabur. Di titik ini, Theo merasa jika perjuangannya untuk bisa lepas dari genggaman Samuel telah sia-sia. Sang ayah pasti tak akan membiarkannya melangkah keluar dari rumah setelah sekian banyak kekacauan yang terjadi.

“Sudah bangun rupanya.”

Sebuah suara yang sebenarnya tak begitu keras mengejutkan bocah itu. Suara berisik yang semula memenuhi kepala lantas sirna begitu matanya beradu pandang dengan sosok yang berdiri anggun di depan pintu. Sebuah dress batik setinggi lutut menghiasi tubuh rampingnya, meski benci, tetapi Theo akui wanita ini tampak cantik di usianya yang nyaris menyentuh kepala empat.

Celine berjalan mendekat, kemudian dengan punggung tangan, wanita itu memeriksa suhu tubuh bocah di depannya. Meski tak akurat, tetapi ia menghela napas lega ketika temperatur tubuh Theo sudah menurun, jauh lebih baik dari semalam.

“Haus nggak? Ini minum dulu, tidurmu nyenyak banget sampai sore baru bangun,” ucap Celine, menyodorkan gelas berisi air putih yang terletak di atas nakas.

Biasanya, Theo akan langsung mengusir siapapun yang lancang masuk ke dalam kamarnya. Terutama orang yang sangat dibenci seperti Rei. Namun, entah sihir macam apa yang mengenainya, kali ini dia sama sekali tak bisa menolak setiap perlakuan Celine. Meski pikirannya terus memberi perintah untuk mengusir wanita itu, tetapi tubuhnya justru melakukan sebaliknya.

Celine berjalan mendekati jendela dan menutup tirai hingga bias jingga yang semula menerobos masuk ke dalam kamar kini tak lagi tampak.

“Papamu masih belum pulang, jadi kamu lanjut istirahat aja dulu. Nanti malam kita duduk bareng, dan bicara pelan-pelan. Tapi sebelum itu, Mama mohon satu hal. Jangan terlalu benci sama Rei, ya. Dia juga terluka,” ungkapnya yang membuat Theo mendongak menatapnya.

Why?” Theo bersuara, sangat lirih nyaris tak terdengar jika saja Celine tidak memperhatikan setiap gerak-geriknya.

Segaris senyum tipis terukir di bibir wanita itu. Theo pikir Celine akan langsung memberinya jawaban. Namun, sosok itu hanya mengusap puncak kepalanya pelan kemudian berjalan meninggalkan kamar tanpa mengeluarkan sepatah kata. Menyisakan Theo yang kini semakin dipenuhi tanda tanya.

🍬🍬🍬


Berkumpul dalam satu ruangan seperti ini merupakan momen yang sangat langka. Adalah suatu hal yang ajaib ketika Theo melihat sang ayah kini duduk santai di sofa dengan mengenakan pakaian kasual, hanya kaus polo berwarna putih serta celana training hitam yang bahkan baru pertama kali Theo lihat.

Come closer,” titah Samuel ketika melihat Theo duduk di ujung sofa, lebih jauh daripada yang lain.

Bocah itu memilih untuk tidak terlalu dekat karena malas dengan keberadaan Rei di sana. Duduk satu sofa dengannya saja sudah membuatnya kesal, tetapi Samuel malah menyuruhnya mendekat. Dia tak sudi. Alhasil Theo hanya bergeser sedikit demi membuat Samuel lega.

“Jadi Papa mau bicara apa?” tanya Theo langsung pada intinya.

Meski hatinya dongkol, tetapi rasa ingin tahu dan bermacam pertanyaan yang selalu mengganggu membuat bocah itu bertahan dari rasa muak. Lagi pula, mungkin benar kata Zion, mereka perlu bicara agar masalah ini cepat selesai.

Namun, hingga detik merangkak menuju menit, hening justru menjadi raja di antara mereka. Samuel tak menanggapi pertanyaan Theo. Sementara itu Rei dan Celine pun ikut bungkam karena sang kepala keluarga. Situasi yang berhasil memantik api kemarahan yang sudah lama Theo pendam.

Bocah itu berdecak. “Am I invisible here? Why’s nobody answering? ”

You told me to explain everything, Dad. Kenapa sekarang malah diem?” desaknya menatap lekat pada sang ayah.

Melihat si sulung tampak mulai kehilangan kesabaran, Samuel menghela napas pelan kemudian menatap Theo cukup lama sebelum beralih pada sosok Celine yang duduk di sampingnya. Ketika wanita itu mengangguk, barulah Samuel kembali buka suara.

First of all, Papa minta maaf karena mengusir kamu malam itu. Semua kejadian itu murni disebabkan oleh emosi sesaat, sampai-sampai Papa bicara seperti itu ke kamu. Papa tidak benar-benar bermaksud mengusir kamu,” ucap pria itu kemudian menjeda kalimatnya dan melihat bagaimana reaksi Theo setelah mendengar apa yang ia katakan.

Akan tetapi, Theo hanya memasang wajah datar tanpa bereaksi apa pun dengan apa yang Samuel ucapkan. Entah mengapa, ia sama sekali tidak tersentuh dengan permintaan maaf yang ayahnya lontarkan. Hatinya juga terlampau sakit untuk bisa memaafkan dengan semudah itu.

“Jadi, Papa mohon sama kamu, jangan pergi lagi seperti kemarin. Papa tidak bisa kehilangan kamu, Matheo,” lanjut Samuel, kali ini menatap sendu ke wajah putra sulungnya.

Mendengar penuturan itu, tanpa sadar Theo tertawa kecil. “Why not? Emang apa yang berharga dari aku sampai Papa nggak mau kehilangan aku? You call me a trash, so it's mean I’m worthless.”

“Kamu bukan sampah, Nak.”

Bukan Samuel, melainkan sosok Celine yang tiba-tiba bersuara menanggapi ucapan Theo. Sungguh suatu hal yang nyaris tak pernah terjadi di mana wanita itu ikut campur dalam percakapan ayah dan anak itu. Biasanya Theo akan langsung membalas segala ucapan yang keluar dari mulut Celine dengan ketus, karena menurutnya wanita itu sama sekali tidak tahu tentang dirinya dan tidak berhak untuk menyatakan pendapat. Namun, entah mengapa kali ini ia justru dibuat bungkam hanya dengan sepatah kalimat yang wanita itu lontarkan.

“Kalian berharga,” Celine menatap Theo dan Rei secara bergantian, “kehadiran kalian di dunia adalah salah satu bentuk anugerah terindah yang Tuhan berikan kepada kami, para orang tua.”

“Kalau ada yang pantas disalahkan, maka itu kami. Karena kami nggak becus jadi orang tua. Kami gagal, dan berakhir dengan menyakiti anugerah terindah Tuhan itu,” lanjutnya dengan suara bergetar seolah tangisnya bisa pecah kapan saja.

“Kamu berhak marah ke Papa, dan Papa juga tidak akan mencari pembelaan. Hanya saja, sekali lagi Papa mohon sama kamu, jangan lagi pergi.” Samuel kembali berbicara, lengan pria itu terangkat dan mengusap pelan bahu Celine.

Ini aneh, sampai-sampai Theo tak tahu harus bereaksi apa pada dua orang dewasa di depannya. Perubahan sikap yang sangat drastis membuat remaja itu bertanya-tanya, sebenarnya apa yang telah terjadi dalam waktu dua minggu ini? Sudut matanya melirik Rei, sekilas terpikir mungkin bocah ini terlibat dalam perubahan sikap Samuel.

What tricks have you done to make my dad like this?” tuduhnya pada sosok yang sedari tadi duduk diam di sampingnya.

“Hah?” Rei sontak mendongak dan menggeleng ribut. “G–gue nggak ada trik apa-apa, Bang. Kita c–cuma ngobrol aja. Gue sama sekali nggak ada niatan buat pengaruhi Papa,” sahut bocah itu sedikit terbata.

I don’t believe that. Selama ini emang begini ‘kan cara main lo? Selalu sok baik dan bikin gue jadi si jahat di mata orang-orang. Bahkan Papa aja udah kemakan sama permainan lo. Kurang hancur apa coba gue? Dan semua itu gara-gara lo. Kalo aja lo nggak—”

“Theo, stop!” sergah Samuel sebelum Theo menyelesaikan ucapannya.

Why? Bukannya kemarin Papa minta supaya kita bisa bicara dari hati ke hati? So, now I want to tell you about what I’ve felt after they came.” Theo menatap balik sang ayah yang sedari tadi tak melepas padangan darinya.

“Kacau,” ia tersenyum miring, “terlalu banyak emosi yang aku rasakan sampai bingung mana kata yang tepat untuk menggambarkan. Karena sejak mereka datang, Papa nggak peduli sama aku. You’ve changed, Dad.”

Just because he’s obedient and smart, you asked me to imitate him, because that’s how a good boy should be. But .. have you ever seen me as who I am?

Hening, tak ada jawaban dari Samuel atas pertanyaan yang Theo layangkan. Dan itu membuat Theo semakin yakin jika Samuel memang tidak membantah semua yang telah ia lontarkan.

I also have a talent, Dad. I’m smart too. But have you ever praised me?” Theo menggeleng. “Nope, because you just keep an eye on him, and didn’t see me here.”

Kedua matanya mulai berembun ketika perlahan menguak segala hal yang lama ia pendam. Bersikap masa bodoh ternyata bukan hal mudah. Sebab pada dasarnya, dia juga ingin dibanggakan oleh satu-satunya tempat bergantung.

Just by looking at his face makes me want to throw up,” pungkasnya ketika beradu pandang dengan Rei.

Sekarang mari lihat trik apa lagi yang akan bocah ini lakukan untuk mendapat pembelaan dari sang ayah. Sedangkan Theo sendiri sudah muak untuk berpura-pura patuh pada aturan yang Samuel berikan. Namun, hingga beberapa menit berlalu, bocah itu setia membisu, pun dengan kedua orang dewasa yang masih duduk tenang seolah menunggu dirinya selesai meluapkan emosi.

“Papa tahu memaafkan memang bukan hal yang mudah, dan Papa juga nggak akan memaksa agar bisa dimaafkan. Semua keputusan ada di genggamanmu. Tapi … kalau boleh Papa mohon satu hal, jangan salahkan adikmu. Just erase your hatred, Theo. Karena tidak semua yang kamu ingat itu benar,” ucap Samuel ketika melihat Theo tampak lebih tenang dari sebelumnya.

Ucapan Samuel berhasil membuat kening Theo berkerut.

“Maksudnya?”

Sampai akhir pun tampaknya sang ayah masih berpihak pada Rei. Seolah semua curahan hatinya sama sekali tak membuka pikiran pria itu tentang betapa terlukanya sang anak yang selalu tersingkir. Akan tetapi, kali ini Theo tak lagi mempunyai tenaga untuk marah dan memilih untuk mengikuti alur percakapan.

“Kamu bisa kembali ke kamarmu kalau tidak mau mendengar apa yang Papa bicarakan.” Bukan dirinya, melainkan kalimat itu ditujukan Samuel pada Rei yang entah mengapa kini tampak pucat.

Tanpa mengatakan apa pun, Celine lantas bangkit dan meraih lengan Rei. Tak menunggu persetujuan dari sang anak, wanita itu menarik Rei menjauh dari ruangan itu. Hingga kini hanya menyisakan Samuel dan Theo.

“Papa mau bicara apa, sih? Why should he left? Is there something that he mustn’t hear?” tanyanya ketika Rei dan ibunya tak lagi terlihat.

Samuel tampak menghela napas melihat raut kebingungan si sulung. “Ini juga tentang kamu, Matheo,” ungkapnya yang menambah kerutan di dahi Theo.

About me?

Sang ayah mengangguk samar. “Iya. Tentang penculikan tujuh tahun lalu yang mengubah keluarga kita jadi seperti sekarang ini.”

Setelahnya, Samuel menceritakan kisah yang begitu panjang dan sebagian besar tak bisa Theo pahami. Kata-kata seperti penculikan, penyekapan, penganiayaan serta trauma yang sangat asing baginya. Sepanjang mendengarkan, Theo hanya menyimpulkan satu hal … bahwa sang ayah tengah mengarang sebuah cerita tak masuk akal.


–STRUGGLE–

Duh, janji mau langsung update malah kebablasan ngeghosting. Maapin🥲

Kali ini nggak akan janji up cepet, pokoknya tunggu aja, ya. Kalo udah ada draftnya langsung aku update kok 🥺

Next mungkin bagian terakhir dari POV Theo, dan akan kembali lagi ke Rei.

Sekian, selamat membaca~ 

Salam

Vha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top