26. [Matheo] Hallucination
Dua minggu berlalu sejak Rei datang menemuinya di kediaman Zion, dan sejak itu juga Rei tak lagi menampakkan diri di hadapan Theo. Hal itu tentu membuat dia lega, tetapi di sisi lain Theo justru perlahan gelisah. Bukan karena tak lagi terganggu dengan kehadiran Rei, melainkan ucapan Zion kala mengusir Rei.
“Kalo mau punya keluarga yang lo impikan kayak gitu, coba mulai dengan jujur dan terbuka soal yang kalian sembunyikan dari dia. Berani, nggak?”
Saat itu, Theo melihat wajah Rei seketika berubah pucat dan panik. Bocah itu menggeleng kemudian meminta Zion untuk tak lagi membahasnya. Theo tak memiliki kesempatan untuk mengulik karena Rei sudah lebih dulu hengkang. Zion juga bergegas pergi dengan alasan terlambat datang ke kelas ketika Theo menghujaninya dengan pertanyaan.
‘Sebenarnya ada apa?’ Theo mengacak rambutnya, kesal karena hanya bisa terus bertanya-tanya tanpa menemukan titik terang.
“Minum.”
Sekaleng minuman bersoda disodorkan tepat di depan wajah Theo oleh Zion yang mengenakan hoodie warna biru muda. Pemuda itu lantas duduk di samping Theo setelah si lawan bicara menerima pemberiannya.
“Gimana kerjanya? Ada kesulitan?”
Theo menggeleng tak acuh. “No,” sahutnya sebari meneguk isi kaleng soda pemberian Zion.
Sosok itu menatap Theo lekat, mencari tahu barangkali anak ini hanya mengatakan omong kosong belaka ketika minggu lalu tiba-tiba mengatakan bahwa dia ingin bekerja. Padahal Zion merasa tak keberatan dengan keberadaan Theo yang tinggal di rumahnya. Dia juga menyembunyikan tentang keberadaan bocah itu dari kedua orang tuanya, karena Zion pikir kepergian Theo dari rumah tak akan bertahan lama.
Namun, siapa sangka bocah ini mengatakan ingin tinggal sendiri dan keluar dari rumah Zion. Tentu saja keputusan itu tak serta-merta Zion setujui. Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh seorang anak yang selalu bergantung pada harta orang tuanya? Bahkan memasak mi instan saja ia masih kebingungan.
Akan tetapi, karena Theo terus mendesak, akhirnya Zion membantu bocah itu mencarikan pekerjaan. Yaitu menjadi seorang pelayan di sebuah kafe yang dikelola oleh senior kampusnya. Sebuah pekerjaan yang terlihat sepele, tapi membutuhkan banyak kesabaran. Dengan kepribadian Theo yang mudah tersulut emosi, Zion pikir anak itu hanya akan bertahan satu atau dua hari. Di luar dugaan, Theo mampu bekerja hingga memasuki hari ke lima tanpa ada masalah berarti.
Theo mengusap setitik keringat di dahinya kemudian bangkit. Ia harus kembali bekerja mengantarkan pesanan ke meja-meja pelanggan. Namun, pusing yang tiba-tiba menyerang membuat bocah itu limbung dan nyaris terjatuh jika saja tak ada Zion yang sigap memegangi lengannya.
“Are you okay?” tanya Zion dengan tatapan khawatir.
Theo melepas genggaman Zion dan berujar serak, “I’m totally fine.”
Tanpa aba-aba, Zion meletakkan punggung tangannya ke dahi Theo. Tentu saja tindakan itu membuat lawan bicaranya menggeram marah dan menepis tangan itu dengan cepat.
“Gue bilang, gue baik-baik aja!” geramnya kesal. Remaja itu mundur beberapa langkah untuk menjaga jarak antara mereka.
“But you’ve got fever, don’t be stubborn.” Zion memaksa untuk mendekat dan kembali memastikan suhu tubuh bocah di depannya, dan benar saja jika temperatur tubuh Theo cukup tinggi.
Menghadapi Zion yang juga tak kalah keras kepala membuat Theo semakin pening. Remaja itu akhirnya menepis tangan Zion dan dan melanjutkan langkahnya menuju meja di mana nampan berisi pesana yang siap diantar. Mengabaikan segala ujaran kekhawatiran yang Zion layangkan, Theo kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.
Tinggal di apartemen kecil, kemudian bekerja di sebuah kafe bisa ia dapat tanpa banyak kesulitan berkat bantuan Zion, dan Theo cukup tahu diri untuk tidak terlalu banyak merepotkan kakak sepupunya itu. Padahal kepergiannya dari rumah bertujuan untuk membuktikan pada Samuel bahwa ia bisa hidup mandiri tanpa bantuan dari pria itu.
Namun, kehidupan di luar rumah nyatanya sekeras itu, dan Theo baru menyadari akhir-akhir ini. Beberapa senior di kafe seringkali mengeluh tentang biaya hidup yang selalu tak bisa cukup padahal mereka telah membanting tulang hingga nyaris mati kelelahan. Gaji yang mereka terima bahkan tak sebanding dengan uang yang dulu sering Theo hamburkan untuk mendatangi klub malam.
Baginya yang tak pernah ada di posisi itu jelas merasa kesulitan, tetapi Theo telah bertekad untuk tidak lagi bergantung. Sehingga apa pun yang terjadi, ia akan beradaptasi dan terbiasa dengan situasi sekarang. Theo rasa, ia sudah cukup dewasa untuk hidup mandiri dan lepas dari kekangan sang ayah.
Sungguh, angan indah yang masih bertahan hingga beberapa detik lalu, dan kini hancur di detik berikutnya. Sebab kedua netranya kini tertuju pada satu titik di mana sosok angkuh itu duduk di salah satu kursi dan tengah berbincang dengan si pemilik kafe. Ia adalah Samuel, dan kini kedua mata mereka telah beradu pandang.
“F*ck!” Theo memutar tubuhnya dan melangkah kembali ke arah dapur.
Meletakkan kembali nampan berisi pesanan yang belum sempat ia antar, bocah itu melepas apronnya dan memacu langkah menuju pintu keluar. Mengabaikan panggilan beberapa rekan kerja yang terheran-heran dengan tingkah aneh Theo.
Di luar, tak jauh dari lokasi kendaraan terparkir ia bertemu dengan Zion yang ternyata masih ada di area kafe dan asyik dengan gawainya. Pemuda itu menangkap kedatangan Theo dan berujar dengan raut cemas.
“Lah, lo ngapain keluar? Nggak kuat lanjut kerja? Beneran demam ‘kan lo? Makanya—”
Zion tak sempat menyelesaikan ucapannya ketika Theo tiba-tiba mendorong bahu pemuda itu hingga mundur beberapa langkah.
“What the hell, dude?” tukas Zion dengan sebelah alis terangkat, tak mengerti dengan sikap kasar Theo yang tiba-tiba.
“Lo yang apa-apaan!” sentak Theo dengan tangan terkepal erat.
“Dari awal gue udah bilang, kalo gue nggak mau lagi berhubungan sama dia. I want to live my own life without his interference. But why he’s here, now? Did you called him? Or are you guys has planning this to fool me? Am I joke for you, Bro?” lanjutnya yang tak bisa menyembunyikan rasa kecewa.
Padahal Theo menurut dengan apa yang Zion rencanakan untuknya karena dia percaya dengan pemuda itu. Mereka sudah sangat dekat sejak kecil dan baginya, Zion sudah seperti sosok kakak yang bisa diandalkan. Namun, kali ini kepercayaan itu justru membuatnya kecewa.
Di depannya, Zion tampak tak mengerti dengan kemarahan Theo.
“Wait … wait! Gue bener-bener nggak ngerti maksud lo.” Pemuda itu menahan lengan sang sepupu yang hendak melayangkan pukulan padanya. “Siapa? Emang gue panggil siapa? Gue masih di sini karena khawatir sama lo yang demam itu, Yo. Nggak ada, tuh, gue panggil orang lain,” ucapnya lagi.
Theo menampik lengan Zion dan menunjuk ke dalam kafe. “So, who told him I was here?”
“Him?”
Bersamaan dengan kerutan kecil yang muncul di dahi Zion, sosok yang tak lagi asing muncul dari balik pintu keluar area kafe. Mengenakan stelan kemeja rapi lengkap dengan jas hitam yang membuatnya tampak begitu gagah bahkan meski hanya berjalan biasa.
“Om Samuel?” gumam Zion yang kali ini tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
Pantas jika Theo sangat murka. Bocah ini pasti telah mengira bahwa dirinyalah yang mengundang Samuel untuk datang. Padahal saat ini Zion sama terkejutnya melihat kemunculan Samuel di kafe milik sahabatnya.
“Don’t blame him, I came here by myself,” celetuk pria berbadan tegap itu setibanya di hadapan sang anak.
Theo membuang muka, enggan bertatapan dengan Samuel meski sedari tadi tatapan sang ayah terus terkunci padanya. Sungguh, ia sangat enggan berada di posisi ini. Berhadapan dengan sosok yang selalu menjadi idola, meski telah lama dia tak lagi menjadi yang pertama.
“Papa datang ke mari karena sudah saatnya kita hentikan permainan kekanakan ini, Matheo. Let’s go home, and let me explain everything,” lanjutnya, masih dengan raut tenang dan tak terpengaruh dengan respons yang Theo berikan.
“No.” Bocah itu menggeleng dan balas menatap Samuel dengan tatapan yang sulit diartikan. “There is nothing to explain, you already kicked me out from the place you call home. Everything was over from the moment I stepped my foot out from that place.”
“Jadi, sekarang silakan pergi,” imbuhnya.
Meski sudah berusaha tegar, nyatanya Theo tak bisa menyembunyikan getaran dalam setiap kalimatnya. Dibanding amarah yang selalu mendominasi diri, kali ini sesak di dada lebih menyiksa. Nyatanya berhadapan dengan sang ayah dan harus tampak sama kerasnya itu sulit. Karena Theo tidak pernah sekalipun membayangkan akan ada di posisi ini.
“Mending lo nurut apa kata Om Sam, Yo. Lagian mau sampai kapan kalian kayak gini? Padahal kalo mau diomongin dengan kepala dingin, masalah nggak akan serumit ini,” timpal Zion ikut bersuara.
Hal itu justru membuat Theo tersulut. Matanya menatap nyalang pada si sepupu. “Sebenernya lo di pihak siapa, Bang?”
“Bukan masalah berpihak ke siapa, astaga.” Pemuda itu memijit pelipisnya pelan dan menghela napas berat, mulai jengah dengan sikap Theo yang sangat sulit untuk menerima masukan.
“Tapi gue cuma pengen masalah dan salah paham di antara kalian itu cepet terselesaikan. Have a talk with them, and try to understand each others. Nggak ada salahnya, ‘kan?”
Saling memahami katanya? Bagaimana bisa Theo memahami mereka, sedangkan sejak kedatangan Rei dan wanita itu, dia tak lagi memiliki posisi. Suaranya telah lama tak didengar, dan hanya kesalahan yang selalu dibesarkan pada setiap perdebatan.
Hingga entah sejak kapan, Theo mulai merasa jika dirinya tak lagi berharga. Kemudian label sampah yang selalu Samuel sebutkan membuat Theo benar-benar tak lagi peduli dengan apa yang pria itu harapkan darinya.
“Ugh, bullshit!” pekik remaja itu lantas menatap sang ayah dan menunjuknya dengan ujung jari telunjuk, “He never understand me. No matter how many times and how hard I try to make him proud, in the end he just think me as a troublemaker.”
“Bicara baik-baik atau enggak, itu nggak penting. Gue udah muak,” imbuhnya dengan air yang mulai menggenangi pelupuk matanya.
Ah, sial. Sebenarnya apa yang Tuhan inginkan? Mengapa hidupnya tak pernah bisa berjalan mulus seperti yang dikehendaki? Tembok pertahanan yang susah payah ia pertahankan kini mulai goyah akibat serangan bertubi-tubi, Theo takut runtuh dan tak ada lagi penguat yang bisa membuatnya bertahan.
“Papa minta maaf.”
Seutas kalimat yang tiba-tiba terlontar dari bibir Samuel membuat bocah yang semula tertunduk itu kini mendongak. Menatap pria berjas di depannya dengan dahi berkerut, dan sedikit menganga. Jelas-jelas Theo sedang tidak bermimpi, tapi mengapa ia mendengar kata yang mustahil diucapkan oleh sang ayah?
“What?”
Tidak, Theo pasti salah dengar akibat kelelahan bekerja. Kondisi tubuhnya yang sedang tidak fit juga mungkin mengakibatkan dirinya berhalusinasi. Samuel adalah sosok yang selalu memutuskan sepihak, dan tak pernah merasa salah dalam mengambil keputusan. Jadi, sangat tidak mungkin pria itu meminta maaf, apalagi dia jelas-jelas sudah mengusir Theo dari kediaman dua minggu lalu.
“Papa minfa maaf, Matheo.” Samuel mengulang ucapannya.
“Now, let’s go home and I’ll explain everything. Mari bicara dari hati ke hati, dan sudahi semua ini. Jangan ada luka yang lebih dalam lagi,” imbuhnya dengan tangan terulur, berharap si sulung luluh dan membalas ulurannnya.
Melihat raut serius di wajah sang ayah membuat otak Theo seolah berhenti berfungsi. Bocah itu hanya memantung memandangi tangan Samuel yang masih setia terulur. Perlahan, ia mulai yakin jika sebenarnya semua ini hanya halusinasi. Secuil harapan agar masih dipedulikan membuatnya menciptakan delusi di mana Samuel bersikap lembut.
“Yeah, it’s just my hallucination,” gumamnya nyaris tak terdengar.
Mengabaikan uluran tangan Samuel, bocah itu memijit pelipisnya. Pening yang tiba-tiba menyerang membuatnya limbung, dan Zion yang sedari tadi menjadi pengamat kini maju selangkah dan memegangi bahu Theo.
“Are you okay?” tanya pemuda itu, dan tampak terkejut ketika melihat wajah sang sepupu yang kini sepenuhnya pucat. Bahkan bocah itu hanya bisa mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan yang ia lontarkan.
Melihat gelagat aneh dari sang putra, Samuel pun turut mendekat. Pria itu sama terkejutnya ketika melihat wajah Theo yang sudah kehilangan rona. Gejolak panik lantas menghinggapi pria empat puluh tahun itu, dan dengan sigap ia menggantikan posisi Zion memegangi kedua sisi lengan putranya.
“Astaga/Theo!” Keduanya memekik bersamaan ketika sosok yang semula dipegangi tiba-tiba terjatuh dan kehilangan kesadaran.
–STRUGGLE–
Hallowww~
Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan follow aku ( ꈍᴗꈍ)
See you next part~
Salam
Vha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top