24. [Matheo] Deep Talk

"Tujuannya ke mana, Dek? Kita udah satu jam muter-muter, loh, ini," tegur pria paruh baya yang duduk di bangku kemudi.

"Bentar, Pak. Lanjut jalan aja dulu."

Tepat ketika meninggalkan rumah dan sampai di tepi jalan raya, Theo lantas menghentikan taksi yang lewat secara acak. Tak ada tujuan pasti yang akan ia singgahi, karena Theo juga tidak tahu harus pergi ke mana usai pengusiran itu.

Tidak ada pakaian atau barang lain yang dibawa selain baju yang ia kenakan ketika bermain, dan sebuah waist bag berisi ponsel serta dompet. Untuk uang, Theo hanya memiliki beberapa lembar uang tunai yang tentu saja masih akan berkurang karena biaya taksi.

"Lagi ada masalah, Dek? Maaf bukannya ikut campur urusan orang, tapi wajah Adek bengkak begitu, saya jadi berspekulasi."

Lagi, sang sopir melontarkan pertanyaan yang membuat Theo refleks menyentuh pipinya. Rasa perih akibat tamparan Samuel kembali menjalar, dan fakta bahwa pipi kanannya bengkak memang benar.

"Papa tampar saya," sahutnya tanpa sadar.

"Tapi sepertinya memang saya salah. Saya anak yang bermasalah, dan nggak bisa membuat dia bangga. That's why he hate me. Padahal saya juga bisa seperti dia, tapi Papa nggak mau peduli karena di matanya saya sudah buruk."

Suaranya tercekat di akhir kalimat. Benar ... jika dipikirkan ulang, mungkin kesalahan ada pada dirinya. Di mana sang ayah hanya ingin seorang anak menjadi sosok yang dibanggakan, tetapi justru dikecewakan dengan fakta bahwa anaknya adalah berandalan. Namun, apakah adil jika dia diusir dari rumahnya sendiri, sementara orang-orang asing itu justru menguasainya? Theo rasa tidak.

"Adek udah bicara baik-baik belum sama papanya?" Pria itu berdeham, mencari kalimat yang pas untuk menanggapi ucapan sang penumpang.

Theo hanya membalas dengan gelengan kepala dan menatap ke luar kaca mobil. Perdebatan tadi tentu tidak bisa disebut dengan bicara baik-baik, 'kan? Samuel selalu menguasai percakapan ketika keduanya berhadapan. Hal itu membuat Theo malas untuk mengeluarkan isi hatinya, sebab pada akhirnya yang didapat hanyalah sebuah penghakiman.

"Terkadang, tidak melulu orang tua yang selalu benar, Dek. Ada kalanya kami juga salah. Karena mau sedewasa apa pun kami, menjadi orang tua dari kalian juga merupakan pengalaman pertama kita. Kalau semisal ada keputusan atau hal yang menurut anak itu nggak cocok atau salah, maka si anak berhak untuk berbicara. Ungkapkan pendapat, dan syukur-syukur bisa saling bertukar pikiran."

"Percayalah, Dek. Orang tua itu sebenarnya hanya ingin yang terbaik untuk anak-anaknya. Tapi mungkin karena itu juga, terkadang mereka justru melukai si anak. Dan di sinilah komunikasi dua arah antar anak dan orang tua itu harus dilakukan. Untuk bisa saling menyayangi, kita harus saling memahami dulu, 'kan?" lanjutnya panjang lebar.

Pria itu berdeham kemudian mencuri pandang pada Theo di bangku penumpang, hanya untuk memastikan jika bocah itu baik-baik saja dan nasehat yang ia sampaikan tak menyinggungnya. Namun, hingga beberapa menit kemudian, Theo tak memberi reaksi. Netranya masih tertuju pada arah yang sama, meski kini angan telah jauh melayang.

"Saya udah ada tujuan. Tolong antar ke sana, ya, Pak," pungkasnya usai puas menatap jalanan kota dari balik kaca.


🍬🍬🍬

Usai mengatasi sedikit perdebatan dengan sang sopir taksi yang melarang Theo untuk turun di lokasi yang dikehendaki, akhirnya dia tiba di tempat yang entah kapan terakhir kali ia ke sini. Remaja itu menghela napas berat kemudian duduk di atas tanah yang sedikit basah akibat hujan pagi tadi.

"Hi, Mom. Long time no see," lirihnya pada gundukan tanah yang diselimuti oleh hijauan rumput yang tampak baru dipangkas dan tampak rapi.

Tangannya terulur mengusap marmer berukir sebuah nama yang selalu dirindu pemuda itu. Berdeham pelan, kemudian memaksakan senyuman. Sungguh, tak peduli seberapa lama waktu berlalu, Theo masih tetap tak terbiasa dengan ketidakhadirannya.

"Aku kangen Mama." Bibirnya bergetar. Bukan karena dinginnya udara malam yang kian membekukan, tetapi kata rindu yang diungkapkan justru terasa kian menyakitkan.

Margaretha Laurent, wanita yang lembut dalam tutur kata serta perilaku itu adalah ibunya. Sosok yang dulunya selalu membacakan dongeng sebelum ia beranjak tidur, kini justru terlelap dalam dekapan sang alam. Tak akan lagi terjaga meski ribuan kali Theo memanggilnya.

"Maaf, Ma, aku gagal. Aku anak nggak berguna, dan Papa sekarang benci aku." Lagi-lagi ia menghela napas, dan menatap nisan di depannya sendu.

"Now, I don't know what to do next after he kicked me out." Ia terkekeh parau.

"What a pity, right?"

Terpaan angin malam membuat remaja itu menggigil. Namun, tak ada niatan untuk beranjak dari tanah pemakaman. Ia terus berada di posisi itu hingga detik merangkak menuju menit, dan satu jam berlalu tanpa terasa. Jika terus berada di sini, mungkin Theo akan mati kedinginan sebelum matahari terbit. Sungguh kematian konyol yang tak pernah ia inginkan.

Dengan gontai, remaja itu bangkit dan berjalan menjauh usai menatap makam ibunya beberapa saat. Rindu yang tak pernah tersampaikan justru menimbulkan luka baru. Raganya melangkah tanpa arah, sedangkan pikirannya ditarik paksa untuk kembali pada kejadian beberapa jam lalu. Namun, tepukan pelan di bahu membuatnya terlonjak dan merinding seketika.

"Sh*t!" umpatnya kemudian mengambil langkah seribu, berusaha secepat mungkin meninggalkan area pemakaman. Sungguh, selain Rei, Theo juga sangat benci dengan hal-hal berbau mistis!

"Matheo, stop! It's me, Zion!" pekik seseorang yang juga berlari di belakang Theo.

Begitu mendengar nama yang sangat familiar itu disebut, Theo sontak menghentikan langkahnya dan berbalik.

"Bang Zion?" gumamnya setelah sosok itu berhasil menyusul dan berdiri di hadapannya.

"Iya, ini gue." Zion mencengkeram lengan Theo, takut jika bocah itu kembali berlari.

"Gila, lo lari cepet banget kayak dikejar setan! Capek banget gue, sialan," gerutu pemuda itu dengan napas putus-putus.

Theo tersenyum kikuk. "Nggak salah, sih. Gue kira lo hantu."

"Badan bongsor, otot ada, gelut bisa. Sama hantu aja ngacir. Shame on you!" cerca Zion.

Setelah berhasil mengatur napas, dan Theo tampak tak akan melarikan diri, Zion melepas pegangannya dan mengedarkan pandangan sekeliling. Mereka sudah dekat dengan pintu keluar area pemakaman, ternyata meski dalam keadaan takut, naluri Theo menuntun bocah itu menuju pintu keluar.

"Ikut gue." Zion lebih dulu melangkah.

"Ke mana?" tanya remaja berkaus hitam itu. Meski sebenarnya dia juga tak keberatan jika Zion mengajaknya.

"Tinggal ikut aja, kenapa banyak tanya, sih? Emang mau diem di sini barengan sama 'mereka'?" tukas pemuda yang sudah jauh melangkah di depan Theo.

Tanpa berpikir dua kali, Theo akhirnya mengikuti langkah Zion hingga sampai di depan mobil hitam milik pemuda itu. Meski takut dengan hantu, Zion dalam mode serius jauh lebih menyeramkan dibanding hantu mana pun. Dengan raut wajah yang datar, Theo tak bisa membedakan emosi macam apa yang tengah dirasakan oleh sepupunya ini. Usia yang hanya terpaut satu tahun nyatanya tak bisa membuat Theo bertingkah seenaknya dengan Zion.

"Masuk," titah sosok berjaket abu-abu itu. Akan tetapi, kali ini Theo tak langsung menurut.

"No," tolak bocah itu. "Lo mau ajak gue ke mana? If you want to take me back to that house, then just let me stay here."

"Lagian, gimana lo bisa tahu kalau gue ada di sini? Dan siapa juga yang kasih tahu lo kalo gue pergi dari rumah?" lanjutnya.

Akibat terlalu takut dengan hantu, Theo tak begitu curiga dengan kemunculan Zion. Hingga setelah berhasil mengendalikan diri, barulah dia merasakan kejanggalan itu.

"Perlukah gue jawab itu?" Zion balas bertanya dan menatap tajam pada si lawan bicara.

Di detik itu juga, Theo kehilangan seluruh keberaniannya. Ia pun menurut untuk naik ke mobil dan pasrah dengan ke mana pun pemuda itu akan membawanya. Namun, satu hal yang ia tahu pasti, Zion tak akan mengantarnya kembali ke tempat itu.

🍬🍬🍬

Kepul asap hasil pembakaran benda bernikotin itu membumbung tinggi kemudian menghilang bersamaan dengan desau angin malam yang menggoyang dedaunan. Tebakannya benar, bahwa Zion tak membuat ia kembali ke tempat yang mungkin sudah bukan lagi tempatnya pulang.

"Gue bawa lo ke rumah ini bukan buat mencemari udara, ya." Pemilik suara bariton itu berdiri di samping Theo dengan tatapan tak suka, tetapi juga tak berniat untuk merebut rokok yang masih senantiasa dihisap lawan bicaranya.

"Just this one, 'kay?" sahut Theo tanpa menoleh.

"By the way, Om Samuel beneran usir lo? Did he really kicked out his one and only son?" tanya Zion seolah masih tak percaya bahwa pria berwajah sangar itu benar-benar mengusir anaknya.

"I'm not the only one, he has other sons that always make him proud though."

Kepulan asap kembali membumbung ke udara ketika Theo mengembuskan napas melalui mulut. Setelahnya, ia terbatuk dan berakhir dengan menyudahi kegiatan merokoknya yang bahkan belum habis setengah. Ayolah, dia hanya ingin melampiaskan sedikit emosinya dengan merokok, tetapi mengapa tubuh ini tak pernah bisa terbiasa dengan benda bernikotin ini?!

"Did you really hate him? I mean Rei," celetuk Zion yang sukses membuat Theo menoleh dan menatapnya dengan sorot mata yang bahkan sudah menggambarkan jawaban.

"Is there something that makes me not hate him? I hate everything 'bout him. Just by seeing his face makes me want to vomit," sahut remaja itu tanpa ragu.

"Gimana kalo ..." Zion menatap lekat Theo, tampak sedikit ragu untuk melanjutkan ucapannya.

Theo mengernyit. "Kalo apa?"

Menghela napas, Zion akhirnya berujar, "Gimana kalo sebenernya lo nggak sebenci itu sama Rei? Dan gimana kalo sebenernya dulu hubungan kalian nggak seburuk ini?"

-STRUGGLE-

Fyi, khusus part ini dan beberapa part depan aku bakal pakai sudut pandang Theo, ya. Biar kita juga tahu, gimana posisinya jadi seorang Theo, yang selama ini dianggap jahat. Ehehe

Jangan lupa dong, vote, komen dan juga follow aku tentunya (⁠ ⁠ꈍ⁠ᴗ⁠ꈍ⁠)

Seperti biasa, ini udah tamat di KaryaKarsa yakk. Cek aja di bio paling bawah.

Salam

Vha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top