23. Rumah yang Tak Lagi 'Rumah'
Tamparan keras mendarat mulus di pipi remaja yang bahkan belum sempat memproses mengapa ia diperintahkan untuk pulang malam itu. Sensasi panas dan perih merambat di pipi putihnya yang kini memerah. Theo mendesis kesakitan karena di samping rasa perih, telinganya juga berdenging keras. Ia sempat berpikir sesaat bahwa dia jadi tuli akibat tamparan.
“What the hell, Dad?” umpatnya kemudian menatap tak percaya pada Samuel, si pelaku yang baru saja melayang tamparan.
Suasana di ruang tengah cukup aneh menurut Theo, di mana semua orang berkumpul di satu tempat. Padahal meski mereka adalah keluarga, momen berkumpul dengan anggota lengkap seperti ini bisa dibilang sangat jarang. Selain itu, Theo sendiri juga lebih sering menghindar daripada harus bernapas di ruangan yang sama dengan Rei.
“Justru kamu yang apa-apaan! Papa sekolahin kamu untuk belajar, bukan jadi preman, Theo,” geram Samuel. Napas pria itu memburu, seiring dengan emosinya yang kian menggebu.
“Maksudnya?”
Theo mengernyit, sesaat tak paham arah pembicaraan sang ayah. Namun, kemudian netranya bertatapan dengan Rei. Dan detik itu juga Theo tahu, jika Rei telah mengatakan sesuatu pada Samuel yang memancing amarah sang ayah.
“Terus kenapa kalau aku jadi preman? Bukannya itu cocok buat aku yang sampah ini? I became a trash like what you always said,” tukasnya tersenyum miring.
Mendengar jawaban itu, Samuel terbungkam sejenak. Pun dengan Rei dan Celine yang sedari tadi hanya menjadi penonton di antara mereka. Dalam lubuk hatinya, Rei mulai menyesali keputusan yang telah ia pilih. Yaitu melaporkan pada Samuel tentang perbuatan Theo pada Aaron hingga bocah itu harus dilarikan ke rumah sakit.
“Dengan membuat seseorang hampir kehilangan nyawanya. Begitu?” balas Samuel setelah beberapa saat bungkam. Hal itu sukses membuat Theo mendongak, dan menatap sang ayah dengan sedikit terkejut.
“Huh? What do you mean?”
Decak pelan keluar dari mulut Samuel. “Jangan pura-pura bodoh, Theo. Rei sudah ceritakan semua ke Papa, begitu juga dengan bagaimana sampai anak bernama Aaron itu terkunci di gudang dengan banyak luka di tubuhnya. Dan semua itu kamu lakukan hanya karena semua orang tahu hubungan antara kamu dan Rei. Apa kamu sudah kehilangan akal sehat? Gila kamu, hah?” Pria itu menjeda kalimatnya dan mengusap wajah dengan gusar.
“Selama ini Papa selalu berusaha untuk menuruti kemauan kamu. Tapi kamu malah bertindak di luar batas,” lanjutnya.
“Menuruti semua kemauan?” Theo terkekeh. “What’s that?”
“Segala fasilitas Papa kasih tanpa pernah peduli dengan berapa banyak nominal yang kamu keluarkan. Dengan harapan kamu bisa merubah sedikit sikap burukmu itu, tapi kenyataannya sampai sekarang justru semakin buruk. Cobalah berpikir lebih dewasa, serta pertimbangkan apa sebab dan akibat dari perbuatanmu itu, Theo. Reputasi Papa bisa hancur kalau para kolega bisnis sampai tahu tentang perundungan yang dilakukan oleh pewaris Papa.”
Pria itu menatap tajam sang putra dan lanjut berujar, “I’m so disappointed.”
“Pewaris?” Theo mengernyit. “I never said that I wanted to be your heir.”
“You have him. He suits your criteria, right?” imbuhnya kini menunjuk pada Rei.
Mendengar namanya disebut, Rei refleks menyahut, “Gue nggak pantes jadi pewaris Papa, Bang. Dan gue juga nggak punya keinginan sejauh itu.”
Theo tersenyum sinis. “Oh, ya? Bukannya tujuan lo sama jal*ng itu hadir buat rebut semua dari gue? Kalian ‘kan sama-sama penjilat yang—”
“WATCH YOUR MOUTH, MATHEO!”
Teriakan itu dibarengi dengan bunyi keras dari telapak tangan Samuel yang mendarat di pipi Theo. Tamparan yang jauh lebih keras dari sebelumnya dan sukses membuat bocah itu limbung. Pandangannya buram sesaat dan tercium aroma darah yang merembes dari susut bibir remaja itu.
“You’ve cross the line! Let me taught you some lessons.”
Samuel sudah mengangkat tangannya dan bersiap melayangkan pukulan pada bocah di depannya ketika sosok Celine berdiri di sampingnya dan menahan gerakan pria itu.
“Cukup, Pa. Jangan pakai kekerasan,” tukas wanita bergaun merah muda itu sembari memegangi lengan Samuel yang terayun.
Melihat sang suami yang mulai kehilangan kendali membuat Celine tak bisa hanya diam dan berpangku tangan. Begitu juga dengan Rei, bocah itu sudah berdiri dan berjalan mendekat meski tak bisa seberani Celine untuk menginterupsi di tengah kemarahan Samuel.
“Jangan halangi aku, Ma. Ucapanku saja tidak mempan, jadi anak ini perlu diberi pelajaran supaya mengerti,” geram Samuel.
Pria itu berusaha melepaskan legannya dari genggaman dua tangan Celine. Namun, Celine juga bersikeras untuk tidak melepaskan genggamannya. Wanita itu semakin erat memegangi lengan sang suami hingga akhirnya Samuel berhenti memberontak karena takut melukai istrinya.
Sementara itu, Theo kini meringis kesakitan sembari memegangi pipinya yang mulai tampak membengkak. Sudut matanya berair, dan ia tidak yakin apakah ia menangis akibat tamparan Samuel yang dua kali hinggap di pipinya, atau karena hatinya yang hancur karena sang ayah.
“Oke, Papa sudah lelah dengan semua tingkah kamu. Dan daripada kita terus bersitegang, lebih baik besok kita datang ke sekolah. Selesaikan urusan dengan sekolah, lalu kita kunjungi keluarga Nak Aaron. Kamu minta maaf ke mereka,” putus Samuel yang sudah terlalu lelah untuk menghadapi Theo.
Namun, gelengan kepala dari si lawan bicara kembali memicu amarah pria itu.
“I won’t,” balas Theo.
Dengan mata tajam, bocah itu menatap sang ayah. “Daripada minta maaf, lebih baik aku pergi,” ancamnya yang serta-merta dibalas dengan anggukan Samuel.
“Oh, mau minggat? Silakan kalau begitu. Memangnya apa yang bisa kamu lakukan di luar sana tanpa saya? Silakan angkat kaki kamu dari rumah ini. Kita lihat seberapa lama kamu bertahan,” balas Samuel.
“Pa/Papa!” pekik Celine dan Rei bersamaan.
Wanita itu tak percaya dengan apa yang barus aja terlontar dari mulut suaminya. Bahkan meski ia tak menyukai watak Theo, Celine tak pernah berpikiran untuk melihat anak itu terlantar. Wanita itu tergopoh mendekati Theo dan mengusap pelan lengan remaja itu.
“Jangan dengerin omongan papamu, ya. Kamu masuk ke kamar aja dulu, istirahat. Masalah ini bisa kita bicarakan besok lagi, oke?” tukasnya sembari menatap sang suami agar mau bekerja sama dan menurunkan sedikit egonya.
Akan tetapi, Samuel yang terlanjur murka tak menghiraukan isyarat Celine. Pria itu kembali melontarkan kalimatnya.
“Kenapa masih di sini? Pergi sana. Saya sudah muak melihat muka kamu,” ucap Samuel sembari menunjuk ke arah pintu keluar.
Tangan Theo terkepal hingga buku-buku jarinya memutih. Mulutnya terbuka untuk melontarkan balasan, tetapi urung. Ia menatap orang di ruangan itu satu persatu dan berakhir pada sosok Rei yang masih mematung di belakang Samuel. Dan Rei tahu jika kebencian Theo padanya telah mencapai puncaknya.
“Well, good bye then.” Pada akhirnya hanya kalimat itu yang Theo ucapakan sebelum berbalik dan melangkah pergi.
Tak ada di antara dua orang dewasa itu yang mencegah langkahnya, karena Celine yang kini mulai berdebat dengan Samuel. Hanya tersisa Rei dengan segudang risau yang menguasai pikiran. Hingga beberapa saat kemudian, bocah itu berlari mengikuti jejak Theo. Cowok itu baru sampai di luar gerbang ketika Rei berhasil menyusul.
“Bang, tunggu, Bang! Please, jangan pergi,” cegahnya ketika berhasil menahan lengan sang kakak.
“Ah, f*ck! Let me go!” Theo menepis tangan Rei dengan kuat. “What do you want, dude? Belum puas lihat gue diusir?” geramnya gusar.
Si lawan bicara menggeleng cepat. “Tolong jangan pergi, Bang. Kita bicarain ini baik-baik, oke? Beliau pasti nggak bermaksud usir lo, itu cuma emosi sesaat aja. Jadi kita tunggu emosi Papa reda dulu, ya?” bujuknya yang justru semakin membuat Theo kesal.
Mendengar permintaan dari orang yang telah mengubah hidupnya membuat Theo tanpa sadar terbahak. Sebuah tawa yang terdengar hambar di telinga Rei. Bocah itu terdiam hingga Theo menghentikan tawanya.
“Are you just pretending or you just f*cking stupid? Gue jadi kayak gini gara-gara lo, Rei.” Ia mendorong dada Rei dengan jari telunjuknya.
“Seandainya lo dan nyokap lo nggak hadir di antara kita. My life will never be like this. ‘Cause your presence changes everything. Maybe, gue nggak akan serusak ini, dan Papa nggak akan sebenci itu sama gue. I’m his one and only son,” lanjutnya dengan napas menderu.
“Kalo gue mati, lu bakalan bahagia dan setidaknya terima Mama?” celetuk Rei dan sukses membuat si lawan bicara terbelalak.
“What?”
“Lo bilang kehadiran gue udah ngerubah segalanya, ‘kan? Kalo gitu, dengan gue mati, sebagian besar keadaan bakal balik ke semula. Cuma gue harap lo bisa terima Mama sebagai nyokap lo juga.” Suara remaja itu tercekat, tetapi tetap berusaha untuk tetap berucap.
“Mati, ya?” Theo tersenyum kecut.
Pertanyaan itu dibalas anggukkan oleh Rei. Namun, berbanding terbalik dengan Theo yang kini tampak semakin marah.
“Have you lost your mind? Emang dengan lo mati, masalah selesai di situ aja? Everything has changed, dan nggak bisa kembali kayak dulu lagi meski lo mati. Dan sampai kapan pun, nyokap gue cuma satu. And she’s Margaretha Laurent,” pungkas pemuda bermata almond itu lantas berbalik dan melanjutkan langkahnya.
Rei tak lagi menghentikan kepergian Theo. Bocah itu masih membeku di tempatnya, menatap punggung sang kakak yang semakin mengecil dengan tatapan kosong. Bahkan kematian yang menjadi satu-satunya pilihan tetap tidak menyelesaikan permasalahan. Lantas, apa lagi yang harus Rei lakukan?
–STRUGGLE–
Kan, makanya jangan nakal-nakal. Diusir dehh :)
Enjoy yaa. Dan maaf kalo Bahasa Inggris-nya belepotan, aku hanyalah manusia biasa wkwk
Kira-kira, udah siap sama ending-nya belum?
Salam
Vha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top