20. Semakin Jauh

Kelas sudah mulai sepi saat bel tanda istirahat berdering beberapa menit lalu. Hanya menyisakan beberapa siswa yang menghabiskan waktu makan siangnya di kelas karena membawa bekal, dan beberapa lagi bermain game di sudut kelas. Sementara Rei sendiri memilih untuk menyandarkan kepalanya ke atas meja sembari memainkan ponsel dan menggulir layar tanpa ada aplikasi yang akan ia buka, hingga Calvin menepuk pundaknya.

“Apaan?” tanya Rei tanpa mengalihkan pandangan dari layar gawainya.

“Nggak ke kantin?”

Rei menggeleng lesu. “Nggak, mager.”

“Tapi dari pagi lo belum makan apa-apa, Rei. Apa ke kantin sebelah aja kalo lo bosen sama kantin sini?”

Lagi, Calvin bertanya, karena ia tahu jika sahabatnya ini sering kali melewatkan makan siang hanya karena malas dan tidak bernafsu untuk menyantap makanan. Calvin khawatir kebiasaan buruk itu akan membuat Rei diserang penyakit seperti maag atau mungkin lebih parah daripada itu.

“Ke kantin anak kelas sepuluh?” tanya Rei yang langsung dibalas dengan anggukan oleh Calvin.

Sound good. Siapa tahu adek crush ada di situ.” Rautnya berubah cerah ketika wajah Keisha muncul di bayangannya. 

Jawaban itu sontak membuat Calvin merotasi bola matanya. “Stop main-main sama perasaan cewek, awas karma.”

“Siapa bilang main-main? Gue serius, kok,” sahut si lawan bicara sembari bangkit dan mulai melangkah keluar kelas.

Rei mengatakan itu bukan tanpa alasan, karena kali ini ia benar-benar menyukai sosok Keisha. Gadis kelas sepuluh yang entah mengapa selalu membuatnya merasakan debar aneh setiap kali berhadapan. Namun, hingga saat ini ia sama sekali tidak memiliki niat dan keberanian untuk menyatakan perasaannya. Sebab Rei merasa belum pantas untuk gadis sebaik itu, dan mungkin tidak akan pernah pantas.

Sh*t! Kenapa rame banget?” dengkus bocah itu ketika mendapati nyaris seluruh meja sudah terisi oleh segerombolan siswa yang mulai menyantap jajanannya.

“Kita yang dateng telat,” timpal Calvin enteng.

Keduanya baru saja akan berjalan ke salah satu meja untuk duduk ketika sebuah keributan yang berasal dari sudut keramaian menyita perhatian seluruh penghuni kantin. Dan di detik itu juga, Rei membeku di tempatnya ketika tahu siapa sosok yang memicu keributan itu.

“Hei, hei. Jangan ke situ, Rei!” sergah Calvin kemudian mencengkeram erat lengan Rei ketika remaja itu hendak mendekat ke pusat keributan.

“T–tapi itu Bang Theo lagi gangguin Aaron, Vin. Bisa-bisa itu bocah kenapa-kenapa kalo gue diem aja,” balasnya dengan suara rendah.

Dari tempatnya berdiri, Rei melihat jika sepertinya Theo telah menumpahkan minuman ke tubuh Aaron. Terbukti dengan seragam bocah itu yang basah dan terdapat noda kemerahan dari warna minuman. Jika dia diam saja, bagaimana jika sampai Rei kembali melukai bocah itu seperti tempo hari? Ingatan tentang Aaron yang pingsan di toilet usai dirundung oleh Theo dan gerombolannya masih jelas terpatri di otak Rei.

“Kalo lo ke sana, Bang Theo bisa makin ngamuk. Lo nggak lihat ada banyak orang di sini?” Calvin mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kantin tanpa melepas pegangannya pada lengan Rei.

“Tapi ….” Rei menggantungkan kalimatnya, ragu antara ikut campur atau diam saja melihat juniornya di klub voli menjadi korban perundungan sang kakak.

“Udahlah, duduk aja. Tuh, dia juga nggak lanjut ganggu Aaron lagi.” Calvin menunjuk ke gerombolan Theo yang mulai berjalan menjauh usai puas dengan aksinya.

Mengikuti arah telunjuk Calvin, Rei pun mulai sedikit lega karena Theo tak melakukan hal lainnya usai menumpahkan air ke seragam Aaron. Dilihatnya sang kakak serta kedua temannya telah duduk di sudut bangku yang kosong tanpa menunjukkan tanda-tanda akan melanjutkan tindakannya.

Akan tetapi, itu tak berlangsung lama ketika ia melihat sosok Hansa berdiri dari tempat duduknya dengan menenteng gelas berisi air es teh berjalan ke arah Theo, dan tanpa aba-aba menumpahkan seluruh isi gelas itu ke kepala Theo. Hal itu sontak mengundang perhatian seluruh pengunjung kantin, beberapa siswi bahkan ada yang memekik karena tak menyangka dengan tindakan Hansa.

“Cari mati itu bocah, bisa-bisanya lakuin hal itu ke Theo,” celetuk seorang siswa yang duduk di bangku tak jauh dari Rei.

Di detik berikutnya, Theo menarik kerah seragam Hansa kemudian melayangkan pukulan sekuat tenaga hingga bocah itu limbung. Sebelum pukulan selanjutnya mendarat, sosok Aaron tiba-tiba datang menginterupsi. Dan saat itu juga Rei tak bisa lagi menahan diri untuk tetap diam saja. Ia menepis genggaman Calvin dan berlari  ke pusat keributan.

Rei berhasil menarik lengan Theo yang sudah terayun untuk melayangkan tinju keduanya. Semua orang terkejut dengan aksi selayaknya adegan dalam film itu, pun dengan Theo yang tak menyangka akan kemunculan Rei yang tiba-tiba. Cowok itu masih tak memberi reaksi hingga seutas kalimat terlontar dari mulut Rei dan membuat semua orang ternganga.

“Lo mau stop di sini, atau gue lapor ke Papa?”

Hiruk-pikuk yang semula berkuasa kini sirna. Kantin mendadak hening, dan semua mata tertuju pada satu titik. Tepat di mana keributan awal terjadi, muncul sosok Rei yang entah datang dari mana dan mengucapkan kalimat yang membuat semua orang tercengang.

“Lo denger ‘kan tadi? Rei bilang bakal aduin ke Papa. Itu berarti mereka saudara, dong?! Plot twist macam apa ini?” bisik salah satu siswi kelas sebelas yang duduk tak jauh dari pusat keributan.

“Udah bukan plot twist lagi ini, mah. Berita heboh seantero SMA Nusa Pelita, njir,” balas kawannya ikut berbisik. Takut jika sampai ucapannya terdengar oleh Theo dan dirinya terjangkit masalah.

Namun, yang berbisik dan membicarakan tentang ucapan Rei bukan hanya mereka. Bisik-bisik yang semula pelan kini semakin terdengar jelas, bahkan ada yang secara diam-diam mengeluarkan ponsel dan merekam kejadian itu dari kejauhan.

Di tempatnya berdiri, Theo menepis tangan Rei yang semula menahan gerakannya untuk memukul bocah pendek kurang ajar di depannya. Matanya menatap ke sekeliling, dan barulah ia menyadari jika ucapan Rei terdengar oleh telinga anak-anak yang juga berada di kantin. Semua mata tertuju ke arahnya, seolah ini adalah tontonan yang sayang untuk dilewatkan.

“Lo ….” Theo terlampau marah hingga tidak bisa melanjutkan kalimatnya.

Sedangkan Rei yang baru menyadari jika ucapannya terdengar oleh banyak orang hanya bisa menutup mulut dengan telapak tangannya. Apa yang ia lontarkan tadi hanyalah bentuk spontanitas karena melihat Hansa yang terluka, tetapi Theo masih ingin memukul Aaron yang membela sahabatnya.

“Gue nggak bermaksud—Bang, tunggu!” serunya ketika melihat Theo berbalik dan berjalan menjauh sebelum ia menyelesaikan kalimatnya.

Mengabaikan dengan bisik-bisik yang masih terus berlanjut, Rei memacu langkah menyusul sang kakak. Sial, hari ini benar-benar sial. Di mana hubungan keduanya sama sekali tak memiliki perkembangan, Rei malah semakin menyulitkan kebencian sang kakak padanya  yang sudah sangat membara.

“Lo bego banget, Rei! Bego, bego, bego!” kecamnya pada diri sendiri.

Kali ini dia harus segera menemui Theo dan mengajaknya bicara. Berharap sang kakak akan memahami alasan hingga ia kelepasan saat berbicara. Meski Rei tahu, berbicara baik-baik dengan Theo tak semudah membalikkan telapak tangan.

🍬🍬🍬

Tubuh itu terbanting menabrak tumpukan kursi yang tertata tak beraturan di sudut ruangan. Si pelaku yang masih belum puas dengan aksinya kembali menarik kerah seragam sosok di depannya, dan dengan sekuat tenaga ia kembali mendorong yang lebih muda hingga merintih tertahan.

Today, you’ve made a big mistake. To let everyone know that I’m your brother,” desis pemuda itu dengan rahang mengeras.

Ia menendang bahu Rei dan membuat bocah itu kembali tersungkur. Tak sampai di situ, Theo juga menginjak telapak tangan sang adik hingga remaja di bawahnya tak kuasa menahan rasa sakit yang menjalar.

“Sakit, Bang!” pekiknya berusaha menyingkirkan kaki Theo yang menginjak tangannya. Namun, semakin ia berusaha, si pelaku justru semakin memperkuat pijakannya.

Theo terus melancarkan aksinya, dari memukul, menginjak, hingga menendang adik tirinya itu tanpa ampun. Menjadikan Rei sebagai samsak pelampiasan emosi yang meluap-luap, tanpa peduli jika dia adalah manusia yang bisa merasakan sakit.

Hingga gemuruh di dada mulai mereda, Theo pun mengakhiri aksinya. Mengistirahatkan tubuhnya dengan duduk dan bersandar pada dinding di belakang punggung. Kemudian mengeluarkan sebungkus rokok dari saku seragamnya. Ia berdecak sebal ketika tahu benda bernikotin itu sedikit basah akibat siraman air dari Hansa tadi. Namun, beruntungnya isi dan juga pemantik masih aman.

“Bangun, gue tahu lo nggak pingsan,” tukasnya sembari menghisap ujung rokok secara perlahan.

Kepulan asap dengan cepat memenuhi ruangan sempit itu. Akan tetapi, Theo tak peduli dan terus melanjutkan aktivitas mengisap benda perusak paru-paru itu. Rasa sesak yang menyeruak membuat bocah itu membuang napas gusar.

Butuh beberapa waktu untuk Rei mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk. Dia memang tidak pingsan, tapi seluruh tubuhnya seolah remuk akibat serangan membabi buta dari Theo. Ia bahkan tidak bisa menggerakkan jemari tangannya yang diinjak oleh sang kakak.

“Ta—”

“Gue cuma suruh lo buat duduk, bukan ngomong. So, shut the fu*k up, and don’t talk to me. Denger suara lo cuma bikin mood gue jelek lagi,” sela Theo yang tak membiarkan Rei melanjutkan ucapannya.

Hanya hening yang berkuasa setelah Theo mengucapkan kalimat itu. Ia tak memiliki niat untuk berbicara, dan lebih memilih untuk fokus pada rokok di antara kedua jarinya. Sedangkan Rei, dia tidak akan berani buka suara setelah mendapat ultimatum seperti itu. Karena sejauh yang ia tahu, Theo tidak pernah bermain-main dengan apa yang ia ucapkan.

Akan tetapi, satu hal yang Rei syukuri dari luka yang ia dapat saat ini. Yaitu dia berhasil menyelamatkan dua juniornya dari amukan Theo. Jika tadi dirinya tidak datang dan bertingkah sok pahlawan, mungkin saat ini Hansa yang akan berada di posisinya.

Setelah selesai menghabiskan satu batang rokok, Theo akhirnya kembali berdiri. Ia menatap kondisi Rei yang masih bersimpuh di lantai dan sedikit terbelalak dengan tindakannya sendiri, luka di tubuh anak itu cukup banyak dan cukup untuk membuat seorang anak laki-laki menangis. Namun, Rei justru masih saja diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun sejak ia melarangnya untuk berbicara.

“Sekolah satu-satunya tempat gue buat bebas ngapain aja tanpa ada omongan tentang perbandingan di antara kita. But not long ago, you ruined everything. Semua orang bakal tahu hubungan kita, dan mereka akan mulai membandingkan. And in the end, I’ll be the bad one,” ujarnya kemudian.

Dari posisinya duduk, Rei bisa melihat dengan jelas kekecewaan yang tergambar di wajah datar Theo. Tahu … Rei jelas tahu alasan Theo tak ingin mengungkap fakta tentang hubungan persaudaraan mereka tak lain ialah karena tidak ingin dibanding-bandingkan seperti apa yang dilakukan oleh samule ketika di rumah.

Namun, ia juga tak bisa memutar waktu dan membatalkan semuanya, ‘kan? Pada akhirnya, Rei hanya bisa pasrah ketika kebencian Theo padanya semakin tumpah ruah, dan jarak antara keduanya semakin membentang jauh.

–STRUGGLE–

Ini scene ada di cerita Guiltless kalo ada yang pernah baca itu, wkwk.

So, yang masih inget alur Guiltless juga bakal tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Tapi yang kepo dan mau ngintip spoiler di cerita sebelah juga percuma, karena udah aku unpublish 🤣🤣

Pada akhirnya, tetap sabar dan tunggu puncaknya ya (⁠≧⁠▽⁠≦⁠)

Sekian, dan see you next part~

Salam

Vha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top