15. Keduanya Terluka

Bunyi berdebum diiringi jatuhnya beberapa tumpukan kursi yang semula tertata rapi memecah sunyi di salah satu ruangan yang jarang dijamah itu. Setelahnya rintihan terdengar dari sosok yang kini terduduk di lantai sembari memegangi punggungnya.

“Dasar gila,” ucapnya sambil mengusap darah yang menetes di sudut bibirnya.

Entah kesalahan apa yang sudah Calvin lakukan, tiba-tiba Theo menyeretnya ke gudang di dekat tempat parkir mobil. Tanpa mengatakan apa pun, lelaki itu langsung menghajarnya. Membabi-buta sampai Calvin tak memiliki sedikitpun celah untuk melawan. Hingga ketika Theo sudah berhenti, barulah remaja itu bisa mengeluarkan suara.

“Mau lo apa, sih, Bang? Tiap hari gangguin Rei terus. Tingkah juga seenaknya. Sadar nggak kalo lo childish?” lanjut Calvin.

Meski sekujur tubuhnya sudah terasa remuk, dia tetap melontarkan kalimat yang cukup mengundang amarah Theo. Terbukti dengan satu tendangan yang lagi-lagi menghantam tubuhnya tanpa ampun. Barulah ketika Calvin meringkuk di lantai dan terbatuk, ia menghentikan aksinya.

Yes, I’m childish. So what?” Theo menyisir rambut coklatnya ke belakang.

“Gue hajar lo juga karena lo itu anjing bocah itu. Lagian, mana ada anjing pelihara anjing?” lanjutnya terkekeh sarkas.

Theo tersenyum puas melihat Calvin yang babak belur di di tangannya. Akhir-akhir ini ia makin kesal karena Rei seolah tak goyah hanya dengan pukulan-pukulan yang ia berikan. Entwh tubuhnya yang mulai kebal atau apa, yang jelas itu membuat Theo jengkel. Kemudian sebuah ide muncul di kepalanya, yaitu dengan mengincar orang-orang yang dekat dengan Rei untuk menghancurkan bocah itu dari dalam.

Remaja itu bangkit kemudian mengambil ponsel dari saku celananya dan menghubungi nomor yang selama ini tak pernah masuk ke dalam daftar kontaknya. Namun, hanya dengan melihat tiga digit angka di belakang, ia tahu bahwa ini adalah nomor orang itu.

“Wah, keajaiban apa yang Tuhan kirim sampai-sampai gue dapet telepon dari lo, Bang? Pas masih di sekolah lagi,” sambar sosok di seberang panggilan, tepat setelah mereka terhubung.

Nada ucapannya yang terdengar ceria membuat Theo tersenyum miring.

I have a gift for you,” sahutnya singkat lantas mematikan sambungan. Ia mengambil beberapa gambar dari Calvin yang kini meringkuk di lantai kemudian mengirimkannya ke nomor yang baru saja ia hubungi.

“Nah, habis ini majikan bakal jemput anjingnya. Tunggu dengan nyaman di sini, ya. I’m off,” tukasnya.

Theo meludah hingga mengenai seragam Calvin, sebelum akhirnya berbalik dan benar-benar meninggalkan tempat itu. Pintu sengaja dibiarkan terbuka, karena mau bagaimana pun ia tak memiliki niat untuk membunuh seseorang di sekolah.

Langkahnya terasa jauh lebih ringan setelah meluapkan sedikit emosinya. Dia juga tidak sabar melihat bagaimana reaksi Rei saat melihat orang yang paling dekat dengannya terluka. Sungguh, membayangkan ekspresi sedih di wajah menjijikan itu sangat menggelitik perutnya.

Sementara itu, Rei tiba di gudang beberapa saat setelah Theo hengkang. Wajahnya telah kehilangan rona saat melihat sosok Calvin benar-benar ada di dalam gudang. Dengan kondisi yang sama persis dengan foto yang dikirim oleh Theo untuknya. Dengan napas yang masih memburu, ia membantu Calvin duduk. Kemudian memeriksa setiap luka di tubuh bocah itu.

“Lo ngomong apa aja ke abang gue, sampai bisa begini? A–ada luka yang parah nggak? Atau … atau kita ke rumah sakit buat cek detailnya. Bi–biar gue yang itu … gue—”

Melihat raut sahabatnya yang sudah sangat pucat, Calvin buru-buru menepuk pundak sosok di depannya pelan.

“Sst … tenang dulu, Rei. Atur napas dulu, jangan panik gini. Gue nggak apa-apa, tapi lihat lo begini rasanya jadi ikut panik. Rileks, oke?” selanya.

Rei menghela napas gusar. “Gimana gue bisa tenang? Muka sama badan lo babak belur kayak gini, Vin. Pelakunya abang gue sendiri, dan yang jadi penyebab utama itu gue!”

Dia bahkan sudah sebisa mungkin menghindari interaksi dengan Theo. Karena dengan begitu, kemungkinan konflik di antara mereka pun akan semakin mengecil. Namun, siapa sangka kini Theo malah mengubah targetnya.

“Argh! Gue nggak tahu harus gimana lagi buat menyikapi dia!” Rei meremas rambutnya dan berteriak frustrasi.

“Udah jangan dipikirin, bukan salah lo. Sekarang tolong bantu gue ke UKS dulu. Lukanya mulai kerasa sakit, nih,” sergah Calvin ketika melihat Rei mulai diserang rasa panik.

Melihat wajah Calvin yang tampak bersikeras menunjukkan bahwa dia baik-baik saja membuat Rei tak bisa berkata lebih banyak. Dengan sisa kekhawatirannya, remaja itu memapah sang kawan menuju ruang kesehatan sekolah.

Sepanjang jalan menuju UKS cukup lengang karena jam pelajaran telah dimulai. Kebisuan di antara dua pemuda itu membuat suasana semakin hening. Rei diam karena tengah sibuk dengan isi kepalanya yang berisik. Sedangkan Calvin memilih bungkam karena dia tahu jika berbicara hanya akan memperkeruh keadaan.


🍬🍬🍬


Dua hari.

Ya, selama itu Rei tak kembali ke rumah dan menginap di apartemennya. Dengan tujuan menghindari Theo agar tidak ada perseteruan di antara mereka. Namun, seolah tak membiarkan hidupnya tenang, dia justru menghajar Calvin sebagai gantinya.

“Kenapa lo harus lakuin itu, sih, Bang? Calvin bahkan nggak ada hubungannya dengan masalah kita. Tapi kenapa lo hajar dia sampai segitunya?” Ia menatap sosok yang duduk di sofa itu dengan nanar.

“Gue bahkan berusaha buat nggak muncul di hadapan lo. Tapi kenapa lo malah sentuh orang yang nggak bersalah?”

Tangan Rei terkepal erat, sekuat tenaga ia menekan emosi yang bergejolak di dada hingga membuatnya sesak. Namun, sosok yang diajak bicara justru tampak begitu tenang dan mengabaikan keberadaannya. Theo masih bergeming dengan pandangan tertuju pada layar 50 inci yang menayangkan serial kartun anak yang selalu menjadi favoritnya.

“Bang—“

“Berisik,” sela Theo yang kini beralih menatapnya tajam, “kalo udah berusaha buat nggak nunjukin diri di depan gue, harusnya diterusin. Ngapain sekarang ada di sini? Muka lo bikin muak tahu nggak?”

Tatapan Theo kembali fokus pada layar televisi di depannya. “I think it’s more fun than just bothering you,” gumamnya yang masih bisa tertangkap oleh teliga Rei.

“Lagian anjing nggak tahu diri kayak gitu, pantas untuk dapat pelajaran,” lanjut Theo.

“Dia manusia, bukan anjing!” seru Rei dengan suara bergetar. Baru kali ini ia berani bersuara keras di depan kakaknya, dan demi apa pun itu menakutkan.

Cowok itu memijit pelipisnya yang mulai terasa pening. “Orang yang lo benci itu gue, ‘kan? Ya udah, cukup gue aja yang lo hajar, lakuin apa pun yang bikin lo puas. Tapi jangan libatin orang lain, Bang. Please. Gue bisa beneran gila kalo kayak gini,” ucapnya yang semakin memelan di akhir kalimat.

Dengan segala perlakuan buruk yang didapat, Rei berani menjawab dengan lantang bahwa ia mampu betahan. Dan dia juga mau menunggu hingga sosok ini mau membuka hati. Namun, melihat orang lain terluka karena dirinya, Rei benar-benar tidak bisa menghadapinya. Dia bukan suatu yang spesial hingga harus membuat orang lain terluka karenanya.

Decakan pelan terlontar dari bibir Theo. Ada kalimat panjang yang sebenarnya ingin ia utarakan. Tentang kekecewaan dan rasa tersingkirkan yang sudah sekian lama terpendam. Namun, lidahnya terasa kaku, dan berakhir dengan bangkitnya pemuda itu dari tempat duduk dan meninggalkan Rei yang masih setia dalam beku.

Sungguh, ia sangat benci situasi seperti ini. Mengapa setiap kali berhadapan, selalu dia yang menjadi pihak tersakiti? Tidak adakah di antara mereka yang menyadari, jika Theo juga terluka? Dia juga korban, tetapi tak pernah dihiraukan.

–STRUGGLE–

It's Calvin Alvaro

Sekian, dan selamat membaca. Semoga betah sampai tamat. Paling bab 20-25 kelar🤣

Salam

Vha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top