12. Liburan (2)

Cuaca di luar cukup terik, rasanya sinar matahari bisa langsung membakar kulit jika tak mengenakan pelindung. Namun, di kondisi seperti itu, Rei justru memilih untuk mengenakan kemeja berlengan panjang warna navy dengan corak kotak-kotak sebagai penutup tubuhnya. Penampilannya langsung mendapat tatapan aneh dari para sepupu.

“Are you serious about wearing that shirt? It’s hot outside, Rei,” celetuk Sherina, adik Zion yang seumuran dengannya.

Si pemilik nama mengangguk mantap. “Yakin banget, apa salahnya? Malah nggak perlu pakai sunblock juga kalo begini.” Ia justru merasa pertanyaan Sherina terdengar aneh.

Mendapar jawaban itu, Sherina berdecak sebal. “Such a weirdo,” cercanya pelan.

Sejujurnya, Rei menggunakan kemeja lengan panjang untuk menutupi bekas luka di lengannya. Entah apa yang terjadi, pagi tadi Theo tiba-tiba murka. Tentu saja karena yang paling dekat adalah Rei, dia menjadi samsak. Dan sebagai imbasnya, lengan Rei membiru akibat tendangan asal dari cowok bermata almond itu.

“Udah, udah jangan berantem. Lagian hari ini kita main ke mall, jadi nggak aneh pakai baju lengan panjang di dalem tempat ber-AC,” lerai Jessica sebelum keadaan semakin keruh.

“Sekarang masuk ke mobil masing-masing, kita berangkat,” lanjutnya kemudian membuka pintu salah satu dari dua mobil yang mereka gunakan.

Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, Rei mengambil tempat duduk di samping Jessica. Selain menghindari suasana canggung jika duduk dengan sepupu yang lain, Rei juga tak ingin terjebak dalam satu mobil yang sama dengan Theo. Ada sedikit trauma yang tersisa dari insiden pagi tadi.

Roda kendaraan yang membawa delapan cucu keluarga Caleb itu melesat mulus membelah jalanan kota. Lalu lalang kendaraan yang tak sepadat ibu kota membuat mereka sampai tujuan dalam waktu yang relatif singkat. Namun, di waktu yang sesingkat itu Rei justru terlelap. Beruntung, tepukan pelan di pipi oleh Jessica berhasil membangunkannya.

“Kalian main aja biar Kakak nunggu di depan, ya. Mau beli minuman,” ucap Jessica ketika mereka tiba di depan pintu masuk sebuah game center.

Hal itu dihadiahi sorakan senang oleh semua orang. Tak butuh waktu lama, sekumpulan yang didominasi oleh remaja itu berhambur masuk dan membeli kartu untuk bermain bermacam permainan di dalam arcade. Melihat itu semua, Rei menelan ludah dengan susah payah.

Di satu sisi, rasa senang karena bisa mendatangi tempat ini bersama keluarga sangat membuncah. Namun, di sisi lain, keberaniannya telah dilibas habis oleh rasa terkucilkan yang sedari kemarin ia terima. Rei hanya bisa pasrah saat semua orang secara berkelompok memilih permainan, sedangkan dirinya tertinggal di belakang.

‘Ayo, Rei. Jangan takut, lo ‘kan bisa main sendiri. Kayak bocah TK aja yang butuh ditemenin,' batinnya menyemangati diri sendiri.

Menjauhkan diri dari rombongan, Rei mendekati salah satu wahana yang biasa ia mainkan saat pergi dengan kekasihnya. Ah, tidak. Maksudnya mantan kekasih. Karena saat ini Rei belum menjalin hubungan lagi sejak putus dengan Chelsea.

Cowok itu tersenyum lebar ketika wahana yang diincarnya tampak sepi pengunjung. Dengan cepat ia menggesek kartu untuk memulai permainan, dan melompat pelan ke atas papan permainan  itu.

“Sial, kalo gini gue bisa main sampai keringetan. Tahu gitu tadi pakai kaus aja,” kekehnya begitu teringat cercaan dari Sherina.

Namun, seperti biasa, keberuntungan lebih suka memusuhi Rei daripada berada di pihaknya. Ketika kakinya naik ke atas papan pijakan, rasa nyeri luar biasa menjalar di sekitar lengannya. Itu bekas tendangan Theo pagi tadi, dan efek sakitnya baru terasa sekarang.

“Ugh,” rintihnya pelan.

Bersamaan dengan itu, beberapa anak seusianya mendekat ke mesin yang akan Rei mainkan. Mereka memandang berai Rei karena tak kunjung bermain, tetapi tak satu pun dari mereka berani bertanya.

“Kalian mau main pump juga?” tanyanya mengulas senyum.

Ketiga remaja putri itu mengangguk kompak. Salah satu di antaranya yang mengenakan hijab akhirnya buka suara.

“Kakaknya main dulu ndak (nggak) apa-apa. Kita bisa antre, kok,” ucap gadis itu dengan logat Jawa yang cukup kental. Hal itu dibalas anggukan oleh kedua kawannya.

Rei menggeleng. “Aku nggak jadi main, saldonya buat kalian aja, deh. Tiba-tiba pengen ke toilet,” ucapnya diselingi tawa ringan.

Ketiganya sontak melihat jumlah saldo yang tersisa di layar kemudian memekik kecil.

“Kakak yakin? Itu saldonya masih utuh, loh. Apa ini kita pakai dulu. Nanti kalau udah selesai dari kamar mandi, Kakaknya bisa main pakai kartu kita.” Gadis berhijab itu menatap Rei sedikit tak percaya.

“Iya, Kak. Lagian ini saldo kita juga cuma cukup buat main tiga kali. Punya Kakak kebanyakan,” timpal gadis berambut pendek.

Tentu saja saldo yang tertera cukup banyak, karena Rei berniat untuk memainkan game ini hingga lelah. Namun, sebelum bergerak pun tubuhnya sudah meronta untuk berhenti. Dia bisa pingsan jika memaksakan diri untuk bermain.

“Nggak apa-apa.” Rei turun dari papan permainan. “Nih, pakai aja,” ujarnya kemudian.

Setelah basa-basi singkat, Rei akhirnya bisa keluar dari area game center dan mencari keberadaan Jessica. Ia menemukan gadis itu sedang duduk di salah satu bangku yang berjajar di area food court.

Dahi Jessica mengeryit saat melihat sosok Rei berjalan menghampirinya.

“Kenapa malah ke sini? Kakak suruh kalian main. Ada masalah apa? Mana yang lainnya?” Tiga pertanyaan langsung dilontarkan bahkan sebelum Rei mendudukkan diri.

Mendengar rentetan pertanyaan itu, Rei justru tergelak. “Satu-satu tanyanya, Kak. Aku jadi seneng, nih, karena dikhawatirin,” godanya yang justru mendapat pukulan di lengan oleh Jessica.

“Aw!” Cowok itu mendesis pelan karena pukulan Jessica tepat mengenai bagian yang Theo tendang pagi tadi.

“Jangan lebay, pukulan Kakak nggak sekeras itu, ya,” decak Jessica.

Namun, di detik berikutnya, gadis itu terdiam. Netra biru itu menatap adik sepupunya penuh selidik.

“K–kenapa lihatin aku sampai segitunya?” Rei menggigit bibir bawahnya.

Apakah Jessica menangkap gelagat aneh darinya?  Dalam hari, Rei mengutuk dirinya sendiri. Jika Jessica sampai tahu Rei terluka karena Theo, dia pasti tidak akan tinggal diam. Sudah cukup ketegangan antara ia dan Theo di liburan kali ini. Rei tidak ingin hanya karena dirinya, semua menjadi kacau.

“Kamu dijauhi sama mereka?” pungkas Jessica penuh curiga.

Remaja di depannya yang semua tertunduk lantas mendongak. Menatap wajah yang kental akan darah Eropa itu kemudian menggeleng cepat.

“Enggak, Kak. Astaga, curigaan banget sama saudara sendiri. Aku ke sini karena tiba-tiba pengen nongkrong aja. Permainan di dalem kurang lebih sama kayak di mall sana. Bosen,” sahut Rei.

“Pasti sama pacar-pacarmu yang udah kayak jajaran piring hadiah deterjen. Banyak banget,” cibir Jessica yang langsung dibalas dengan tawa dari sosok di depannya.

Jessica tahu jika adiknya ini berbohong. Namun, melihat bagaimana Rei berusaha untuk menunjukkan bahwa ia baik-baik saja membuat gadis itu tak berani mengulik lebih jauh. Pada akhirnya, hanya hal-hal umum seputar sekolah yang menjadi topik pembicaraan mereka.

Bagi Rei, mendapat perhatian dari sosok sebaik Jessica adalah anugerah yang luar biasa. Gadis yang bahkan tak memiliki setetes pun hubungan darah itu bisa mengerti dan menerimanya tanpa penghakiman apa pun. Akan tetapi, kasih sayang itu juga membuat Rei tersadar bahwa tak sepantasnya ia terlena. Kebaikan itu tak sebanding dengan dirinya yang bukan apa-apa.

🍬🍬🍬

Di samping rasa kesalnya karena harus satu kamar dengan orang yang paling dibenci, Theo menikmati liburan kali ini. Dia bisa bertemu dengan saudara-saudara yang jarang dijumpai, kecuali Zion yang memang sering bermain dengannya.

Kemudian berkeliling kota Solo ternyata sangat menakjubkan. Di samping pusat perbelanjaan yang tak berbeda jauh dengan ibu kota, wisata serta kuliner kota ini sangat cocok untuk lidah Theo. Rasanya, dia ingin memiliki rumah di sini seperti sang kakek.

Sh*t!

Umpatan pelan terlontar dari mulut cowok itu ketika tanpa sadar bara dari ujung rokoknya jatuh mengenai tirai jendela. Beruntung bara itu langsung mati begitu jatuh di lantai. Theo mendengkus, ia kesal karena kamar yang ia tempati tak memiliki balkon sepwrti kamarnya di rumah. Jika ada, dia bisa merokok di balkon dan membuang puntungnya dari atas tanpa repot-repot membersihkan abu yang tersisa.

Tenggorokan yang mulai terasa sakit dan ujung rokok yang sudah memendek membuat Theo menyudahi aksi merokok diam-diam itu, dan menutup jendela. Usai memadamkan ujungnya, ia membungkus puntung yang tersisa dengan tisu lantas melempar benda itu ke tong sampah. Meski Samuel tak akan mengecek hingga kamar ini, tetapi membungkus bekas rokok usai dihisap sudah menjadi kebiasaan. Atau lebih tepatnya, setelah Samuel menghajarnya hingga nyaris sekarat karena ketahuan merokok.

Pukul dua belas lebih tiga puluh menit, begitulah waktu yang ditampilkan pada jam dinding antik yang terpasang apik di depan ranjang. Ekor matanya menatap sosok yang kini meringkuk di atas sofa dengan mata terpejam. Tumben, pikirnya.

Meski telah mencoba untuk tidak peduli, nyatanya Theo tetap terusik. Melihat wajah bocah menyebalkan ini saat tertidur membawa debar aneh yang sedikit menggelitik hati. Seolah mengatakan bahwa dia tak boleh membenci anak ini.

Emosi yang sulit dikendalikan terkadang membuat Theo berbuat di luar keinginan. Saat marah, ia butuh pelampiasan. Entah itu merusak atau melukai, dia harus melakukannya. Dan kebetulan Rei adalah sasaran empuk pagi itu. Namun, apakah ia terlalu berlebihan memukul? Mengapa bocah itu tampak tersiksa meski mata terpejam?

“Jangan sentuh ….”

Theo terlonjak dan mundur beberapa langkah. Sedikit terkejut dengan ucapan Rei. Ia pikir bocah ini sudah tidur, jadi dia bisa leluasa menatapnya.

Nyaris,' batinnya lega.

Namun, setelah kalimat singkat itu, tak ada lagi yang Rei keluar dari mulut. Matanya juga masih terus terpejam. Hal itu membuat kedua alis Theo menukik. Apa dia hanya mengigau? Padahal jantungnya sudah berdegup kencang saking paniknya.

Tak mau berhenti di situ, Theo kembali mendekat dan berjongkok tepat di depan sofa. Mengamati raut wajah Rei yang kini terlihat seperti orang kesakitan. Ia nyaris berpikir jika raut kesakitan itu karena ulahnya pagi tadi. Namun, kalimat yang baru saja terlontar dari alam bawah sadar Rei membuat Theo tersentak.

“Abang jangan takut, ada aku.”

“Hah?” Theo ternganga.

Belum sempat ia memproses maksud ucapan Rei, sosok yang sedari tadi diamati kini membuka matanya. Theo tak bisa berkutik, saat berusaha bangkit dengan tergesa, ia justru terjungkal.

“A–abang ngapain ngelesot di situ? Nggak tidur?” tanya Rei dengan mata setengah terpejam.

Posisi duduk Theo tampak aneh di mata Rei. Seolah-olah cowok itu baru saja melihat hantu atau semacamnya. Namun, melihat raut tak bersahabat dari sang kakak membuatnya tak berani mengulik lebih jauh. Cukup lama keduanya terdiam, ketika merasa pertanyaannya tak akan mendapat jawaban, Rei memilih untuk kembali berbaring. Kali ini dia mengambil posisi membelakangi Theo. Dan tak lama setelahnya, dengkuran halus terdengar. 

Sementara itu, Theo masih berada di posisi semula hingga lima menit berlalu. Kali ini hanya ada satu hal yang menggangu pikirannya. Apa maksud dari ucapan Rei tadi? Kalimat yang baru ia dengar, tetapi terasa tidak asing di rungunya.

–STRUGGLE–

Coba tebak, sebenernya rahasia apa, sih, yang disembunyikan sama Rei dan kedua orang tuanya dari Theo? (⁠ ⁠╹⁠▽⁠╹⁠ ⁠)

Yang sangat kepo bisa main ke Karyakarsa, ya. Link ada di bio

Sekian dan selamat membaca~

Salam

IM_Vha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top