11. Liburan
Liburan kali ini bisa disebut sebagai liburan paling menyenangkan di dalam daftar hidup Rei. Bagaimana tidak? Setelah sekian tahun hanya menghabiskan waktu libur panjang di rumah atau nongkrong, akhirnya dia bisa kembali merasakan liburan bersama keluarga. Ya, benar-benar bersama keluarga! Senyum lebar sudah menghiasi bibir Rei sejak mereka menginjakkan kaki di kota yang khas dengan nasi liwet itu.
“You look so excited, Rei,” tegur Samuel yang duduk di bangku sebelah sopir.
Sesampainya di bandara, mereka langsung disambut oleh sopir pribadi milik Mr. Caleb. Pria paruh baya itu sudah menyediakan semuanya agar anak serta cucunya dapat berlibur dengan nyaman.
“Gimana nggak excited, Pa? Udah lama banget kita nggak ke sini, dan sekalinya ke sini kita lengkap sekeluarga. Habis ini nggak liburan lagi pun aku nggak akan menyesal,” sahut Rei dengan mata tak lepas dari balik jendela. Sedari tadi ia sibuk mengamati keramaian di luar mobil.
Berbanding terbalik dengan si bungsu yang tak henti-hentinya tersenyum, Theo sudah memasang muka masam sejak awal mereka tiba di bandara. Tidak, dia tidak membenci liburannya, sebab sudah lama juga mereka tidak berkumpul seperti ini. Theo juga ingin segera bertemu dengan para sepupu.
Akan tetapi, keberadaan Rei benar-benar membuat keruh suasana hatinya. Bisakah bocah ini kita tinggal di rumah saja? Semua juga akan lebih nyaman jika wanita sok lembut itu sibuk dengan pekerjaannya.
Dua puluh lima menit perjalanan, mobil yang mereka tumpangi akhirnya memasuki halaman rumah dengan gerbang tinggi sebagai pelindung. Seperti yang Rei bayangkan, rumah kakeknya ini memang begitu mewah. Lengkap dengan para pekerja yang memegang peranan masing-masing.
Begitu sampai di depan pintu masuk, mereka langsung disambut dengan anggota keluarga lain yang sudah sampai lebih dahulu. Samuel yang biasanya kaku pun menjadi lebih ramah, bertukar sama dengan adik serta kakaknya. Sang ibu juga demikian, dan Rei lega ketika melihat Celine tampak menikmati pertemuan keluarga ini.
Bahkan Theo yang selama perjalanan tampak begitu suram berubah cerah ketika bertemu dengan para sepupu. Yah, bisa dikatakan, Theo jauh lebih akrab dan terbuka pada mereka dibanding dirinya. Entah perasaannya saja atau bukan, Rei sudah mendapat tatapan aneh dari beberapa anak. Hal itu cukup membuat kepercayaan dirinya menurun sekian persen, dan tak berani untuk menyapa lebih dulu.
“Hello, my little cutie pie. Kenapa diem aja? Ayo duduk bareng, dong,” sergah seorang gadis yang tiba-tiba muncul dari balik punggung Rei dan langsung merangkul cowok itu.
“Astaga, Kak Jessica, bikin kaget aja.”
Rei nyaris terjungkal karena gadis bermata biru itu tiba-tiba mengalungkan lengannya. Belum selesai rasa terkejutnya, lengan remaja itu sudah ditarik oleh Jessica dan kini ia sudah duduk di antara sepupunya. Rasanya canggung dan lega secara bersamaan. Namun, diam-diam ia bersyukur dengan keberadaan Jessica. Sosok paling tua di antara delapan cucu Mr. Caleb inilah yang bisa mencarikan suasana di antara mereka.
“How it’s going, Rei? It’s been a long time since our last meeting, right?” celetuk Jessica lagi. Gadis itu jelas tahu jika bukan dirinya yang memulai percakapan, semua orang akan mengabaikan keberadaan Rei.
Rei tersenyum kikuk. “Masih seperti biasa, Kak. Tampan dan mapan, hehe,” kekehnya bermaksud mencairkan suasana.
Namun, decakan pelan dari tempat Theo duduk membuat Rei tersadar, dia tidak seharusnya membuat lelucon. Karena itu sama sekali tidak terdengar lucu bagi orang-orang yang tidak menyukainya. Dan harusnya Rei tahu, jika hanya Jessica yang bisa benar-benar menerima dirinya di sini.
“Ah, gimana kalau aku tunjukin kamarmu? Lagian kamu juga kelihatan capek setelah penerbangan, sekalian istirahat dulu sambil nunggu makan malam. Gimana?”
Tawaran dari Jessica seolah kode penyelamat untuknya. Dan tanpa ragu cowok itu mengangguk setuju. Meninggalkan sekumpulan orang yang mendadak kaku, lantas melangkah mengikuti jejak gadis di depannya. Rei dapat mendengar tawa dan canda tepat setelah kepergiannya. Hal itu membuat ia seketika tersadar, ternyata seperti ini rasanya tidak diterima.
“Nah, ini kamarmu sama Theo selama di sini,” celetuk Jessica setibanya mereka di depan pintu berbahan jati dengan ukiran yang unik.
Mendengar itu, Rei lantas terbelalak. “Sama Bang Theo? Aku nggak salah denger, Kak? Bukannya kita dapet satu kamar untuk satu orang?” tanyanya yang tak bisa menyembunyikan rasa terkejut.
Itu berarti dia akan berada dalam satu kamar dengan Theo selama satu minggu ke depan. Siapa orang gila yang memberi ide ini?
“K–kita mana mungkin bisa satu kamar, Kak?” lanjutnya dengan wajah memucat.
Melihat raut sang sepupu yang benar-benar tak biasa membuat Jessica hanya bisa menghela napas berat. “Mau gimana lagi, Rei. Rumah ini emang besar, tapi untuk jumlah kamar emang nggak sebanyak yang kamu kira. Dan cara satu-satunya, ya, dengan membagi satu kamar untuk dua orang. Toh, kasurnya juga gede,” balasnya. Meski ia tahu, bukan ini jawaban yang Rei inginkan.
“Tapi apa aku harus satu kamar sama Abang?” Ayolah, dia tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi Theo saat tahu jika mereka akan tidur di kamar yang sama.
Jessica menggeleng. “Sebenernya Kakak nggak mau bilang ini, tapi anak-anak cowok yang lain nggak mau satu kamar sama kamu. Jadi, mau gimana lagi?”
Gadis itu membuka pintu di depannya dan masuk terlebih dahulu kemudian menyerahkan kuncinya pada sang sepupu. Ia lantas menyalakan lampu serta menyibak tirai jendela yang menampilkan pemandangan taman bunga di belakang rumah.
“Hubungan kalian masih sama?” celetuknya yang masih asyik mengamati pemandangan dari balik jendela.
Rei jelas tahu maksud dari pertanyaan Jessica. Namun, ia tak segera menjawab dan membaringkan tubuhnya di atas ranjang yang memang berukuran besar. Memandang langit-langit kamar bercat putih itu kemudian menghela napas pelan.
“Kakak boleh keluar duluan, kayaknya aku mau tidur bentar, deh. Ngantuk,” ujarnya saat Jessica kini berbalik menatapnya. Seolah menanti jawaban atas pertanyaan yang barusan ia lontarkan.
Itu adalah sebuah isyarat bahwa Rei tak mau membahas soal itu. Dan Jessica paham soal batasannya. Gadis itu lalu beranjak menjauh dari jendela menuju pintu keluar.
“Okay, I know it’s hard for you to tell me the truth. But, just come to me if you need someone to talk. I’m always stand by your side,” ucap Jessica tepat sebelum gadis itu menutup pintu dan meninggalkan Rei sendiri di ruangan besar itu.
Rei mengusap wajahnya dan kembali menghela napas. Tampaknya, liburan yang ia tunggu-tunggu berjalan sedikit tidak sesuai ekspektasi.
🍬🍬🍬
Beberapa hari ke belakang sebelum berangkat ke Solo, Rei mengalami insomnia yang cukup parah. Semua berawal dari hari di mana ia ia menumpahkan susu panas ke tangan Theo. Bukan lagi takut yang menghantui, melainkan rasa bersalah akibat kecerobohan yang dia lakukan. Berulang kali Rei mencoba untuk menemui Theo dan meminta maaf, tetapi hasilnya selalu sama. Dia hanya mendapat umpatan dari sang kakak.
Mungkin itulah yang menyebabkan ia tertidur sampai melewatkan makan malam. Ketika terbangun, jam dinding sudah menunjukkan angka sepuluh. Tirai jendela yang tadinya terbuka kini sudah tertutup rapat. Hal itu sontak membuat Rei terbangun dengan tergesa. Pasti seseorang sudah masuk ke kamar ini.
Ketika mengedarkan pandangan, netranya menangkap sosok yang dicari tengah duduk di sofa panjang tak jauh dari kasur. Theo tengah fokus pada gadgetnya hingga tak menyadari jika Rei sudah terbangun. Barulah ketika Rei bangkit dan berjalan menuju kamar mandi, cowok itu mendongak dan meliriknya sekilas.
“Kalo lo mau tidur, tidur aja di sini, Bang. Biar nanti gue yang di sofa,” tukasnya ketika berjalan ke kamar mandi.
Tidur empat jam tanpa mimpi apa pun terasa menyegarkan. Mungkin Rei tidak akan bisa tidur lagi untuk beberapa jam ke depan. Jadi dia memilih untuk mandi dan mengganti pakaiannya. Kemudian akan bergerilya di dapur untuk menemukan makanan yang bisa disantap. Karena melewati waktu makan malam nyatanya membuat cacing-cacing di perut berdemo.
Seperti yang diduga, tak ada jawaban yang keluar dari mulut Theo. Sosok itu hanya mendengkus pelan dan kembali menatap ponselnya. Namun, bagi Rei itu jauh lebih baik daripada mereka bertengkar dan menimbulkan keributan di malam hari. Cowok itu melanjutkan langkah memasuki kamar mandi. Menyelesaikan mandinya dengan cepat dan bergegas menuju dapur. Rasanya, setelah mandi ia jadi lebih lapar.
Jam di ponselnya menunjukkan pukul setengah sebelas. Berhubung hari ini mereka baru sampai, Rei pikir saudara-saudara yang lain sudah tidur karena kelelahan. Akan tetapi, ketika ia menginjakkan kaki di dapur, lampu tempat itu masih menyala. Pertanda bahwa masih ada seseorang di sana. Dan demi apa pun, Rei harap itu bukan salah seorang dari sepupunya yang tak ia kenal akrab.
Namun, pernahkah takdir berada di pihaknya dengan suka rela? Tentu tidak, sebab sosok yang tengah berkutik di dapur ialah Zion, putra dari kakak ayahnya. Meski dia satu tahun lebih tua dari Theo, tetapi hubungan keduanya bisa dibilang cukup dekat. Rei beberapa kali melihat Zion bertandang ke rumahnya untuk sekadar menghampiri Theo dan pergi bersama.
“Ngapain bengong di situ? Masuk aja.”
Terlalu terkejut karena sosok yang berada di dapur adalah Zion membuat Rei tanpa sadar menghentikan langkahnya dan mematung di depan pintu. Canggung dan tak tahu harus bersikap apa, Rei akhirnya memantapkan diri untuk masuk dan melayangkan senyum tipis pada sosok yang tengah menikmati sepotong sandwich dan segelas susu hangat itu.
“Belum makan, ya? Gue nggak lihat ko ikut makan malem tadi,” celetuk pemuda itu tanpa menoleh.
Suara beratnya membuat Rei tersentak. “I–iya, Bang. Tadi ketiduran, hehe,” sahutnya salah tingkah.
Zion membulatkan bibirnya tanpa suara, kemudian kembali mengabaikan Rei. Hal itu dihadiahi helaan napas lega oleh uang lebih muda. Akhirnya dia bisa mengambil makanan tanpa harus mendapat tatapan tajam dari si pemilik mata elang itu.
Menu yang disajikan untuk makan malam hari ini cukup beragam. Namun, Rei hanya mengambil opor ayam sebagai lauk dan segelas air putih sebagai pelengkap. Ia mengambil kursi tak jauh dari tempat Zion duduk, sedikit takut jika berdekatan maka dia akan mengganggu kenyamanan si sepupu.
Sama sekali tak ada percakapan di antara mereka selama Rei menyantap makanannya. Sangat hening, hingga denting sendok yang beradu dengan piring saja terdengar berisik. Bagi Rei ini sangat tidak nyaman, dia ingin sekali mengajak sosok yang terhalang satu meja di sampingnya itu untuk berbicara. Namun, mengingat kepribadian Zion yang cukup keras membuat ia mengurungkan niat itu dalam-dalam. Dia tidak ingin citranya semakin buruk di depan sepupu-sepupunya karena salah bicara.
Niat awal, Rei ingin segera kembali ke kamar usai mencuci piring yang tadi ia gunakan. Namun, pertanyaan yang terlontar dari bibir Zion menghentikan langkah bocah itu.
“Lo nggak capek ada di situasi kayak gini selama hampir tujuh tahun? Gue yang lihat aja capek.” Zion meletakkan ponselnya ke atas meja dan menatap lekat pada Rei yang berdiri tak jauh dari rak piring.
“Kalo lo mau semua berakhir, cukup jujur aja ke Theo soal hal itu, ‘kan? Meski nggak menjamin perlakuan dia bakal berubah, tapi setidaknya dengan jujur mungkin bakal ada kesempatan di mana dia bisa mulai mikir soal tindakannya,” lanjut Zion yang masih menatap lekat Rei dengan raut datar.
Terdapat jeda cukup lama untuk Rei bisa menjawab pertanyaan singkat itu. Lelah? Tentu saja, siapa yang tidak akan lelah hidup dalam tekanan segala arah selama bertahun-tahun. Akan tetapi, membuka rahasia hanya untuk mengoyak luka lama sama saja dengan egois, ‘kan?
“Gue nggak ngerti kenapa lo bisa sampai ngomong kayak gitu, Bang. Padahal kalo sampai Bang Theo tahu, dia pasti bakal hancur. Lagian, cuma masa lalu kenapa harus dibahas?” balas Rei tersenyum tipis.
Zion berdecak pelan. “Its not the point, Rei. Gue cuma nggak mau Theo semakin jauh gara-gara kalian memilih bungkam. Lagian, di sini yang paling ngerasain efeknya lo, ‘kan?” tukasnya mulai kesal akan respons Rei yang terkesan pasrah.
Lagi, kalimat itu dihadiahi dengan senyuman dari si lawan bicara. Rei kembali melanjutkan langkahnya yang tertunda. Zion pikir anak itu akan berhenti dan melemparkan balasan atas ucapannya. Namun, nyatanya tidak, Rei sama sekali tidak berhenti hingga punggung bocah itu menghilang dari pandangan.
“F*cking idiot!” Zion mengumpat tertahan.
Dia paling benci orang yang mengesampingkan kebahagiaan orang lain dibandingkan diri sendiri. Orang-orang semacam itu bahkan sampai tidak sadar jika dirinya telah terluka parah.
–STRUGGLE–
Pilih adek apa abangnya? 😃
Maaf Minggu kemarin nggak update. Sibuk kali orang nggak penting ini 🥲
See you next time, dan silakan ke Karyakarsa kalau mau baca bab lebih cepat. Di sana udah end. Thanks for reading 🫶
Salam
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top