1. Kesalahan
"What the f*ck are you doing in my room?!"
Suara itu diiringi dengan bantingan pintu si pemilik kamar ketika mendapati ada orang lain di dalam ruang pribadinya. Sedangkan sosok yang dimaksud justru membeku di tempat, terlalu terkejut dengan kedatangan sang pemilik.
Dengan langkah besar, pemuda itu menghampiri sosok yang masih mematung itu dan mendorongnya. Begitu kuat sampai tubuh yang tak bisa dikatakan ringan itu terhempas ke lantai.
"Gue nggak ngapa-ngapain, Bang. Sumpah. Cuma mau taruh oleh-oleh dari Papa. Pagi tadi mereka pulang dan bawa cemilan kesukaan lo," papar Rei, bocah yang masih terduduk di lantai.
Demi Tuhan, dia mengatakan yang sesungguhnya. Minggu pagi tadi, papa dan mamanya kembali dari perjalanan bisnis. Mereka bahkan sempat menyantap sarapan bersama. Sebelum akhirnya kedua orang dewasa itu kembali pergi. Dan hanya meninggalkan beberapa camilan serta pernak-pernik yang menjadi oleh-oleh setiap kali mereka melakukan perjalanan bisnis.
Sang ayah, Samuel, sudah berpesan kepada Rei untuk menyerahkan bingkisan berisi makanan khas daerah Semarang untuk Theo. Samuel tak menyerahkannya sendiri, karena cowok itu tak berada di rumah. Dan untuk melindungi Theo dari amukan sang ayah, Rei berbohong jika kakaknya itu masih pulas.
"K-kalo nggak percaya, lo cek aja sendiri. Itu bingkisannya ada di meja," lanjut Rei saat melihat Theo masih saja menatap tajam padanya. Ia mengusap pinggangnya yang nyeri akibat terantuk sudut meja.
Jemarinya menunjuk ke arah di mana ia tadi meletakkan kantong kertas yang beratnya lebih dari satu kilogram itu. Jelas Samuel membeli banyak makanan itu, karena tahu si sulung sangat menyukainya.
Namun, kali ini Rei sudah membuat kesalahan. Akibat terlalu bersemangat untuk memberikan oleh-oleh dari ayah yang sangat jarang berada di rumah, ia sampai lupa jika kamar Theo adalah area terlarang yang tidak boleh ia masuki.
Pemuda itu sedikit bernapas lega ketika melihat Theo beralih pada kantong kertas yang ia tunjuk. Akan tetapi, kembali tercekat saat sosok itu berjalan mendekatinya. Dia belum benar-benar berdiri ketika tangan Theo menjambak ujung rambutnya.
"Aw ... Bang! Sorry, gue bilang sorry."
Bahkan meski tinggi mereka nyaris sama, tenaga dan postur tubuh Theo jauh lebih kuat daripada Rei. Dengan mudah, cowok jangkung itu menjambak dan menyeret yang lebih muda keluar dari kamarnya.
Tak hanya itu saja, begitu keduanya berada di luar kamar, Theo langsung mendorong tubuh Rei hingga remaja itu lagi-lagi jatuh menghantam lantai. Ia juga melempar kantong kertas di genggamannya ke wajah Rei.
"K-kenapa di lempar?"
Rei buru-buru bangkit, dan memungut isi dari kantong yang berceceran di lantai. Beruntung makanan-makanan itu terbungkus rapat oleh toples plastik. Sehingga ketika jatuh, isinya tidak berceceran maupun kotor.
"Even if I like it. But that foods is already dirty. Dan gue nggak sudi makan apa yang udah tersentuh sama lo. So, just take it back or throw it away. I'm sick of it," tukas Theo kemudian kembali ke kamarnya dan membanting pintu dengan keras.
Rei tak lagi menyahut, dan hanya bisa menatap miris pada kantong di tangannya. Mungkin, jika tadi dia tidak berinisiatif untuk menyerahkan langsung oleh-oleh dari sang ayah, Theo tidak akan marah. Karena dia tahu, kakaknya itu benar-benar suka dengan aneka makanan khas Semarang.
Bahkan meski kesal dengan sang ayah, Theo masih mau menerima pemberian pria itu. Namun, ketika itu sudah berhubungan dengan Rei, maka rasa suka itu berganti menjadi benci.
Sudah terlampau sering ia berada di posisi ini, tetapi Rei sama sekali tidak terbiasa. Sesak yang menimpa tetap sama, perlahan menghimpit dada dan menggerogoti jiwanya.
"Semangat, Rei. Lain kali coba lagi."
Ia tersenyum getir. Bahkan meski sakit, dia tetap tidak akan mundur. Sudah banyak yang terjadi selama hampir tujuh ini, dan menyerah belum terdaftar dalam kamus hidupnya.
🍬🍬🍬
Remaja itu berjalan ke arah balkon dan mendorong pintu kaca di depannya dengan kasar. Bahkan bunyi bantingan yang keras pun tak bisa meredam gemuruh di dada. Ia masih marah, dan butuh sesuatu yang lebih untuk membuatnya reda.
"F*ck!"
Umpatan terlontar bersamaan dengan tendangan ringan ke pintu kaca. Kali ini dia tidak berani menendang terlalu keras, karena jika pecah, dirinya pula yang kena marah.
Ia mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celana, dan mengambil satu batang beserta pemantiknya. Aroma manis yang khas membuat dia merasa sedikit lega. Percikan api yang membakar ujung benda bernikotin itu semakin membuatnya terpana. Tanpa pikir panjang, Theo mengisap rokok itu kemudian meniupkan kepulan asap.
Dari tempatnya berdiri, semburat jingga yang tadinya memenuhi cakrawala telah benar-benar sirna. Sang surya sudah lama kembali ke peraduan, berganti dengan si rembulan yang kini tertutup awan.
Bibirnya terbuka, dan tak lama kemudian kembali terkatup. Ada banyak sekali yang ingin ia utarkan, tetapi kalimat hanya tertahan di tenggorokan. Sebab ia tahu, bersuara pun tak begitu berguna.
Rei.
Sejak pertama kali hadir di antara dia dan papanya, Theo sudah tidak menyukai eksistensinya. Bocah itu sama saja dengan ibunya, yang tiba-tiba hadir dan merebut apa yang seharusnya menjadi milik Theo.
Membuka hati? Itu adalah hal paling konyol yang pernah ia dengar. Bagaimana bisa Theo harus membuka hati pada orang asing yang perlahan berusaha menyingkirkannya?
Bahkan sekarang sang ayah sering memanggilnya sampah. Berkat kata-kata manis dari bibir wanita itu, kini dia menjadi tak lebih dari seonggok daging kotor di mata papanya. Setiap hal yang ia lakukan hanya akan dipandang sebagai kesalahan.
Di sini, dialah orang yang memiliki hubungan paling dekat dengan Samuel. Seperti kata pepatah, bahwa darah itu lebih kental daripada air. Theo adalah anak dari Samuel, terlahir dari rahim wanita yang berstatus sebagai istrinya.
Namun, kedatangan dua orang itu menggeser keberadaannya, hingga kini ia menjadi orang asing bagi ayahnya.
"Mama kalau pergi, harusnya ajak aku. Kenapa malah minta aku berjanji untuk berada di sisi orang yang bahkan nggak peduli anaknya hidup atau enggak? It's really hard for me," gumamnya.
Kalimat yang harusnya diucapkan dengan penuh air mata, kini hanya untaian kata tanpa rasa. Karena dia sudah menyerah sejak beberapa tahun lalu. Lebih tepatnya ketika Theo memutuskan untuk berhenti peduli, dan hanya mengikuti kata hati. Dengan begitu, apa pun bisa ia lakukan, dan segala yang terjadi tak akan disesali. Tak ada yang ia takuti, selain mati.
Ya, dia tidak boleh mati. Karena itu permintaan sang mama, tepat sebelum nyawanyaa terpisah dari raga. Dan Theo tidak berani melanggar satu-satunya permintaan, dari satu-satunya wanita yang ia cinta.
Puntung kedua baru saja akan ia nyalakan, ketika ketukan pintu menghentikan gerakannya. Sedikit gusar, Theo memasukkan kembali benda itu ke dalam wadahnya dan berjalan memasuki kamar.
"Apa?!" ketusnya tepat setelah pintu terbuka.
"Makan malamnya sudah siap, Den. Saya cuma mengingatkan, supaya Aden nggak lupa buat ngisi perut." Wanita setinggi lengannya itu menatap Theo takut-takut.
Dia adalah Bi Salma, asisten rumah tangga yang sudah bekerja untuk papanya selama lebih dari dua windu. Sekaligus saksi hidup dari segala hal yang pernah terjadi di kediaman ini.
"Maaf, Bi. Aku nggak bermaksud marah," sesal Theo ketika tahu siapa sosok yang telah mengetuk pintu.
"Apa dia ikut makan malam? Kalau ada, aku nggak akan turun." Yang Theo maksud adalah Rei, karena saat ini baik sang ayah maupun istrinya sedang tidak ada di rumah.
Wanita itu mengangguk. "Tapi Aden harus makan. Kalau nggak mau di bawah, biar makanannya Bibi bawain ke atas," tukasnya tampak cemas.
Meski tidak berhak ikut campur dalam urusan rumah tangga ini, dia masih berhak untuk mengkhawatirkan kondisi sang tuan muda. Dan Theo sendiri tidak merasa keberatan dengan tawaran dari wanita itu.
"Bawain aja, Bi. Nanti biar aku sendiri yang bawa piringnya turun," tutur Theo begitu sopan. Bahkan dia lebih menghormati wanita yang berstatus sebagai asisten rumah tangga ini daripada papanya.
Melihat binar bahagia di wajah wanita paruh baya itu membuat Theo mau tak mau ikut menarik kedua sudut bibirnya. Secuil kebahagiaan yang ia punya tak berasal dari keluarga, melainkan sesosok wanita paruh baya bermata teduh yang hanya menyandang status sebagai pelayan.
-STRUGGLE-
Buat yang nggak sabar sama kelanjutannya bisa ke KaryaKarsa, yaa. Aku update lebih dulu di sana. Link ada di bio 😗
Sekarang selamat membaca dan jangan lupa follow IM_Vha yaa. Tambahkan juga cerita ini ke reading list mu biar yang lain juga tau 🙆🏼♀️❤️
Salam
Vha
(02-08-2022)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top