• TIGA •



Sambil play musik di atas boleh kali, ya.

---

Napas Keisya tersengal begitu tiba di lorong kelas. Lututnya terasa berat setelah berlari-lari mengejar waktu. Lewat beberapa detik saja, dia pasti dihukum berlari keliling lapangan. Gara-gara kesenangan membaca pesan WhatsApp dari atasannya bahwa hari ini bisa bekerja, tanpa sadar tubuhnya mematung saat turun dari angkot tadi. Untung saja, gerbang belum ditutup.

Perlahan, rasa panas yang mencekik leher Keisya menghilang dibawa angin. Wajahnya berseri-seri, seperti bunga baru mekar. Sambil menghirup aroma embun yang menyejukkan, dia berjalan menuju kelas. Namun, senyumnya sirna ketika para murid berkumpul di depan pintu kelas.

“Kenapa, nih?” Keisya celingak-celinguk.

Tuh, si Daffa berantem sama Laura gara-gara duitnya hilang,” jawab salah satu penonton.

Astaga! Ini pasti gara-gara gue. Keisya memejamkan mata kuat-kuat. Sudah jelas dia sendiri pelakunya karena telah mencuri uang Laura kemarin. Tanpa pikir panjang, dia menerobos gerombolan murid yang menghalangi pintu masuk.

Di hadapannya, sudah ada Laura yang menatap nyalang Daffa. Mulut gadis itu terus meracau. Sedangkan, Daffa hanya diam sambil bersandar pada meja dan tangan yang menyilang di depan dada. Keisya meneguk ludah menyaksikan perseteruan sengit di antara mereka. Jujur, dia tidak bermaksud menjadikan sahabatnya sebagai kambing hitam.

“Ngaku enggak?” Laura menggebrak meja. Wajahnya memerah, seperti sudah lama tersulut emosi. Namun, Daffa justru menyeringai.

“Ngapain ngaku, orang engga salah.” Daffa berkacak pinggang.

“Mau main kucing-kucingan lo?”

Keisya ingin menenangkan Laura dengan mengusap bahu gadis itu, tetapi tangannya terlalu gemetar untuk sekadar menyentuh. Alhasil, dia hanya bisa mengepalkan tangan. “Ra, jangan marahin Daffa. Dia nggak salah,” ujarnya dengan suara mirip cicit tikus.

“Dia enggak mau ngaku, padahal udah nyuri duit gue kemarin!”

Suara Laura terdengar lantang, membuat Keisya makin takut untuk mengakui kesalahannya. Namun, sampai kapan dia membiarkan Daffa terus-terusan difitnah? Itu sama saja dengan membunuh sahabat sendiri.

Keringat dingin makin timbul di dahi Keisya seperti diguyur air. Kenapa sulit sekali untuk berkata jujur? “Beneran, Ra. Bukan Daffa pelakunya.”

“Terus siapa, Kei? Daffa hampir mukul gue kemarin. Itu bukti kalau dia mau bales dendam!”

“Masalah kemarin engga ada hubungannya dengan duit. Lo sendiri yang salah. Udah ngatain Keisya, nuduh lagi!” Daffa menyeringai, wajahnya begitu tenang karena memang bukan dia yang bersalah.

Laura menunjuk Daffa tepat di hidung. Dari jarak dekat, dapat Keisya rasakan deru napas Laura yang memanas. “Jam istirahat cuma lo sama Keisya doang yang ada di ruang OSIS!”

“Kali aja duit lo jatuh waktu pulang!”

“Jelas-jelas duit itu gue taruh di laci meja, enggak mungkin jatuh. Lo pikir duit itu bisa kabur sendiri?”

Kobaran panas dari mulut mereka saling membuncah. Menimbulkan ribut-ribut para murid yang sibuk bertaruh siapa pelakunya. Telinga Keisya berdengung seperti dikerumuni ribuan lebah. Tenggorokannya tersekat seperti ada karet yang mengikatnya. Sebentar lagi, pelajaran akan segera dimulai dan dia tidak ingin masalah ini makin berlarut-larut.

“Berhenti, deh!” Keisya meregangkan tangan sampai Laura dan Daffa terdiam. “Oke, jadi gue yang ambil duit lo, Ra.”

Sontak saja, mulut Laura dan Daffa menganga. Para murid yang menonton tak kalah heboh. Ada yang membanting pintu, mengentakkan kaki. Bahkan, berbisik-bisik sambil menunjuk Keisya.

Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Semua kepalsuan akan terbongkar suatu saat nanti. Selihai apa pun seseorang bersembunyi. Maka, lebih baik Keisya mengaku sekarang, sebelum hal buruk lain menimpanya.

Laura masih saja menganga membentuk huruf 'o'. “Lo?”

“Iya, gue pelakunya.”

“Lo serius, Kei?” Daffa menatap Keisya dengan alis berkerut.

“Apa pengakuan gue belom jelas?”

“Gue enggak percaya, lo pasti bohong, ‘kan?” Laura sedikit menyeringai seolah ucapan Keisya hanya angin lalu. Setahunya, Keisya itu anak baik-baik, tidak pernah berani menyakiti orang lain, sekali pun dia memang menyebalkan karena akhir-akhir ini pekerjaannya sebagai ketua OSIS lalai. “Buat apa lo nyuri duit gue?”

Keisya membuang napas kasar lalu menelan salivanya dengan susah payah. Tidak ada gunanya menutupi kesahalan, Laura juga harus belajar cara menghargai orang lain. “Gue kesel lihat lo nyombongin duit, sedangkan gue berjuang mati-matian buat ngumpulin sepeser rupiah aja. Lo nggak pernah tau gimana rasanya ada di posisi gue!”

Setelah mengeluarkan segala unek-uneknya, Keisya terduduk lemas. Jujur, badannya sekarang panas-dingin. Air matanya hendak membuncah keluar karena semua amarah yang selalu dipendamnya akhirnya berhasil diutarakan.  Dadanya sudah lebih lega, setelah rentetan kalimat itu tercetus dari mulutnya. Lebih baik dia mengaku daripada Daffa jadi bulan-bulanan.

“Berjuang? Maksud lo apa, Kei?” Alis Laura bertaut seolah tidak suka dengan pengakuan Keisya.

“Berjuang buat pengobatan nyokapnya yang kena stroke,” celetuk Daffa.

“Daffa!” pekik Keisya. Dia berdiri dan menatap tajam Daffa sampai cowok itu bungkam. Tangannya mengepal, karena Daffa tidak peka pada kondisinya.

“Jadi begitu, memang sebaiknya duit ultah adek gue dipakai buat pengobatan ibu lo, ya. Dia jauh lebih butuh.”

Hati Keisya tertusuk begitu tajam, makin perih saat Laura tersenyum hangat. Tangan Keisya gemetar hebat. Dia ingin bertekuk lutut di hadapan Laura, tetapi Laura justru mendorongnya. “Bukan gitu, Ra. Maafin gue, gue khilaf. Gue janji bakal balikin duit lo!”

"Biar gue tunjukin cara yang baik biar dapat duit.”

“Maksud lo?” Dahi Keisya berkerut ketika Laura berjalan ke depan kelas. Semua murid sudah duduk di bangku masing-masing dan kini mereka fokus menatap Laura.

“Jadi, setelah ketahuan siapa pencurinya, gue mau ajak teman-teman semua mengumpulkan donasi untuk pengobatan ibu Keisya yang terkena stroke.”

~•••~

Begitu bel tanda pulang sekolah berbunyi dan guru keluar dari kelas, Laura segera menutup pintu rapat-rapat. Gadis itu menahan para siswa di kelas, hanya untuk memberikan sebuah pengumuman penting. Banyak terdengar nada kecewa dari para siswa, karena waktu mereka harus tersita.

“Sebelum pulang, kalian semua harus bahu-membahu bantu Keisya!” Papar Laura di depan kelas. “Biar ibunya cepat sembuh. Sedekah enggak bakal mengurangi harta dan buat kalian miskin.” Tak lama, semua teman-teman maju ke depan kelas untuk memberikan sebagian hartanya ke kardus bertulisan 'Donasi Untuk Ibu Stroke'. Entah ikhlas atau tidak, yang jelas mereka ingin pulang cepat, karena sudah ditunggu oleh ojek online atau hendak mengikuti ekstrakurikuler.

Pipi Keisya memanas ketika ditatap kasihan oleh teman-teman lain. Rasanya, dia ingin menghilang saja dari bumi, daripada harus menyaksikan uang recehan itu masuk dalam kardus. Tangannya mengepal, karena Laura justru tersenyum mengumpulkan uang itu, di saat dirinya merasa direndahkan. Lantas, dia melangkah ke depan, lalu membanting kardus yang dipegang Laura sampai semua isinya berserakan di lantai.

“Lo apa-apaan, sih, Ra? Gue nggak butuh donasi!”

Seketika, Laura dan semua orang yang menyaksikan kejadian itu membeku. Suasana yang awalnya riuh berubah sunyi seperti kuburan, hanya ada bunyi derap langkah kaki orang lewat di luar kelas.
“Lo kenapa, sih, Kei?” Laura menyeringai. “Dibantu malah ngelunjak.”

“Lo pikir gue setuju sama ide lo?”

“Terus mau lo apa, hah?”

Keisya terdiam. Lidahnya kelu saat mendengar cibiran dari beberapa murid. Dia ingin berteriak kencang di muka Laura, tetapi enggan saat mengingat kesalahannya, seperti ada rantai yang menahan suaranya. Hati Keisya makin panas, karena Laura kini meraih puluhan uang receh tersebut untuk dimasukkan kembali dalam kardus.

“Bersyukur dapet duit!”

Kurang ajar!

Sontak saja Keisya mengangkat tangan, hendak mendaratkan tamparan keras ke pipi Laura, tetapi urung karena ekor matanya menangkap Devan yang berdiri di depan pintu. Matanya melotot, tubuhnya panas dingin, karena Devan memberikan tatapan sinis. Sepertinya, sudah lama cowok itu berdiri di sana.

“Biar gue bantu,” Devan buru-buru berjongkok di hadapan Laura, lalu membantunya memungut uang recehan itu.

“Makasih, Dev. Kalau tadi lo enggak datang, mungkin gue udah kena tampar.” Laura tersenyum, tapi ekspresi Devan datar seolah tidak mendengar apa-apa. Entah kenapa, seperti ada duri yang menusuk hati Keisya saat tangan Laura dan Devan bersentuhan.

Sorry, gak sengaja kesentuh.”

“Santai, cuma pegang, doang. Enggak bakal berdarah, kok.” Laura menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, pipinya tampak memerah.

“Kalian cocok, ya, sama-sama blasteran, cantik dan ganteng,” celetuk salah satu murid. Laura hanya terkekeh. Sedangkan Keisya hanya bisa menggertakkan gigi.

Devan memasukkan uang ribuan dalam kardus. “Gue ikutan nyumbang.”

“Oh, boleh-boleh, tapi orang yang butuh duit ini malah enggak mau.”

Devan sontak melirik tubuh Keisya yang mematung. “Dia?”

“Iya. Masa enggak bersyukur dikasih rezeki? Padahal walau kecil, rezeki yang kita miliki masih jadi impian buat orang lain.”

Devan menyematkan senyum seolah setuju dengan ucapan Laura. Hal itu, justru membuat hati Keisya makin terkikis. Jika memang donasi bisa menembus kesalahannya pada Laura, tentu dia akan membiarkan hal ini tetap terjadi. “Makasih banyak atas penghinaan lo, Ra. Gue terharu. Lanjutin aja sepuas lo!”

Keisya menyerah berbicara baik-baik dengan Laura. Semua usahanya tidak membuahkan hasil, maka pilihan terbaik adalah menjauh dari hadapan gadis itu. Keisya pun keluar dari kelas, tanpa peduli dengan teriakan gadis itu yang terus memanggil namanya.

“Tunggu, Kei, lo mau ke mana?!”

Keisya membenarkan letak tasnya, lalu menutup telinganya rapat-rapat sampai suara Laura tak lagi terdengar. Demi Tuhan, lebih baik dia mati konyol, daripada harus dikasihani oleh orang lain. Gue benci sama lo, Ra!

---
Author Note:

Jadi, guys kalian pilih cover yang mana?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top