• SEPULUH •


Devan menunduk, meratapi tangki minyak motor di depannya, lalu menangis dengan bahu terguncang-guncang. Sudah lama sekali, sejak terakhir kali dia menangis karena mama kandungnya meninggal.

Beruntung, Devan masih bisa menahan diri agar perasaan itu tidak melimpah ruah. Celetukan Keisya membawanya kembali ke ingatan beberapa tahun lalu. Memori akan hal-hal yang tidak ingin diingatnya.

Jeritan tajam Mama menembus kabut dalam pikiran Devan. “Buka matamu. Devan, lihat Mama!”

Dengan susah payah, Devan berhasil membuka kelopak matanya. Matahari yang bersinar seakan menusuk matanya. Wajah mamanya yang pucat pasi memenuhi pandangannya yang sempit.

“Mana yang sakit?”

Devan membaringkan diri dalam pelukan mamanya di halaman depan rumah. Pupil matanya membesar bergetar melihat kental merah yang mengucur dari lututnya. Rasanya nyeri, dia ingin mengungkapkan jika rasanya sangat sakit, tetapi lidahnya kelu.

“Gara-gara batu sialan!” umpat Devan setelah bisa berbicara. Tangannya memukul sepeda di sampingnya yang langsung mendapat teguran.

“Gak boleh ngomong kasar! Kamu lama-lama jadi mirip Papa.”

Sontak Devan terdiam. Dia paling benci dibilang mirip papanya karena pria itu selalu bersikap kasar kalau dirinya ketahuan berbuat salah. Untung saja ada mamanya yang selalu datang menolong seperti malaikat.

“Devan cuma boleh mirip Mama.”

Mama tersenyum seolah menghilangkan segala rasa sakit Devan. Sebesar apa pun masalah yang menimpanya, mamanya tetap selalu ada untuk membantunya, Devan berjanji tidak akan melepaskan Mama sampai kapan pun

“Ayo, naik ke punggung Mama.”

“Devan bisa jalan sendiri.”
Sekuat tenaga, Devan mencoba bangkit. Tidak akan dia biarkan peluh mengucur membasahi dahi mamanya. Walau, dia harus berjalan dengan rasa nyeri.

Makin dekat ke rumah, bayang-bayang wajah papanya yang sangar semakin terasa jelas, Devan memperhatikan lututnya dengan cairan yang sudah berubah kecokelatan dan terlihat buruk. “Nanti Mama disalahin sama Papa.”

Mama menggeleng pelan. “Gak apa-apa, yang penting bukan kamu yang dimarahin.”

Lagi-lagi Devan diam. Pikirannya menyuarakan bahwa mamanya beranggapan jika Papa juga akan khawatir melihat kondisinya, tetapi itu salah. Papa justru akan membentaknya dengan wajah memerah seperti udang rebus.

“Maksud papamu baik kok. Mama aja yang kurang jagain kamu.”

Devan mendesah gusar. Masih aja Mama belain Papa! Langkahnya pun terhenti karena mamanya mendadak mau muntah. Jantung Devan berdetak sangat cepat melihat wajah sang Mama semakin pucat dan mata makin menguning.

“Ma, mama kenapa?”

“Udah, ayo, lanjut jalan, nanti luka kamu tambah sakit.”

Devan diam, mamanya pasti sedang mengalihkan topik pembicaraan. “Devan juga bakal lindungi Mama.”

Sedari tadi Devan diam mematung dengan pandangan kosong ke depan. Kesadarannya baru kembali setelah kendaraan di belakang membunyikan klakson berkali-kali karena lampu lalu lintas sudah hijau. Dia mencibir dan lanjut melajukan motor.

“Maaf, Devan memang pembawa sial.” Devan menyeka air matanya, melampiaskan rasa sesaknya dengan memukul setir keras-keras sampai tangannya berdenyut nyeri.

Terlalu perih untuk mengenang masa lalu, Devan menggeleng dan mengalihkan pandangan ke lain sisi hingga bayang-bayang wajah cengo Keisya mendadak muncul di pikirannya.

“Abis ini Keisya pasti benci sama gue.”

~•••~

Tubuh Devan gemetar seusai meneguk soda dingin. Tenggorokannya lebih sejuk, walaupun belum mampu menyejukkan jiwanya yang hambar. Sorot matanya yang sendu masih mengingat senyum sang mama. Seluruh energi dalam tubuhnya seolah terkuras habis dimakan luka masa lalu.

Terdengar derap kaki berjalan mendekat. Devan berbalik badan, ternyata Jeslyn masih saja mendekatinya. “Mama kira kamu sudah lupa jalan pulang.”

Lupa diri tepatnya. Devan membanting pintu kulkas sampai botol-botol kaca dalam kulkas itu saling bertabrakan. “Iya,” ucapnya dingin.

Sejak masuk dalam rumah, Devan sudah disambut hangat oleh senyum Jeslyn. Sayang, Devan hanya menanggapi dengan kedikkan bahu. Dia tidak peduli Jeslyn mati kedinginan atau tidak tidur semalaman karena menunggunya. Semua itu, tetap akan membuat hatinya disulut api amarah dan dendam.

“Kamu pasti capek. Ayo, makan dulu sekalian ngobrol.” Jeslyn menyiapkan makanan penuh di meja.

Aroma hidangan itu menyeruak, menggugah selera, ditambah asap yang masih mengepul. Devan menelan saliva susah payah, ditambah perutnya memang keroncongan. Padahal ada seorang koki di rumah, tetapi Jeslyn masih niat memasak sendiri. Devan menggeleng, mungkin saja ada racun di dalamnya.

“Papa mana?”

“Lagi baring di kamar sambil baca buku. Katanya butuh istirahat.”

“Gue juga butuh istirahat.” Devan langsung berlari ke kamar.

“Devan!” Sepertinya, Jelsyn menyuruh Devan untuk berhenti, tetapi cowok itu tidak mengindahkan panggilannya. Mau tak mau, Jeslyn menyusul anak itu ke kamar.

“Gue capek, mau tidur. Jangan buat pusing!” Devan menunjuk pintu, bermaksud mengusir Jeslyn.

“Emangnya kenapa kalau papamu gak ikut makan? Kita masih bisa makan berdua.”

Devan mendengkus ketika wanita itu menampilkan sorot sendu. Wanita itu masih enggan menyerah, membuat tenggorokan Devan seakan terkena penyakit gondok.

Beruntung Devan masih punya hati sehingga tidak mengeluarkan kata-kata negatif yang bisa menyinggung perasaannya. “Gue gak lapar.”

“Kamu kenapa makin cuek, Dev? Maaf kalau Mama salah.”

Mendengar kata ‘salah’ mengingatkan Devan pada kejadian di pernikahan klien malam tadi, Jeslyn sempat membentak Keisya, bahkan menarik kasar tangannya di muka umum.

Tega-teganya dia menyakiti hati seorang pekerja keras seperti Keisya, mentang-mentang gadis itu yang paling muda di perusahaannya.
“Puas abis ngebentak Keisya? Berapa korban lagi yang harus lo sakiti hatinya?”

Kali ini Devan berhasil mengeluarkan perkataan yang cukup membuat hati Jeslyn terpukul. Terbukti dari wajahnya yang mendadak lesu dan tertunduk. “Maksud kamu apa? Mama cuma nasihati Keisya kok supaya dia lebih disiplin.”

“Apa harus sampai narik-narik kasar tangan dia?”

“Mama terpaksa karena klien belum pulang. Itu juga masih dalam lingkungan kerja.”

Devan sambil berkacak pinggang. Jika saja obrolan itu tidak melibatkan orang yang penting untuknya, sudah dari tadi dia mendiamkan Jeslyn. Terus sejak kapan Keisya terasa penting?

Napas Devan menderu, matanya merah. Dia paling tidak suka saat mendengar kata bunuh diri. Hal itu, mengingatkannya pada mama kandungnya. Beruntung, dia masih bisa mengatur emosi, kalau tidak mungkin pipi Jeslyn sudah mendapat cap merah lima jari.

“Kalau berani kasar dengan Keisya lagi, gue hajar lo!”

Terdengar suara gebrak pintu terbuka yang menggemakan seisi kamar. Devan melotot melihat papanya datang sambil membawa ikat pinggang. Tanpa bisa menghindar, ikat pinggang itu sudah diangkatnya.

Seketika, mata Devan terpejam, bahunya nyeri luar biasa, dan panas. Tak hanya sekali, melainkan berkali-kali hingga air mata Devan keluar tanpa dapat ditahan. Ya, papanya baru saja menyebatnya.

“Anak kurang ajar!” teriak Papa.

----

Part ini agak kasihan ya :")

Udah sampai di sini aja guys part freenya. Yuk dibeli novelnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top