• SEMBILAN •


Keisya segera turun dari mobil staf setelah sampai di depan hotel bintang lima. Dengan mengenakan seragam hitam, name tag, dan rambut yang disanggul rapi, serta make up tipis, dia masuk dalam hotel.

Alunan lagu lembut A Thousand Years, milik Christina Perri dari pengeras suara memenuhi seisi ballroom. Suasana ramai dan hangat seperti ini, selalu jadi obat pereda kesepiannya. Bulan sabit pun terbentuk di rona merah muda bibir Keisya yang bergumam mengikuti lirik lagu kesukaannya.

Rangkaian lampu bunga kerlap-kerlip paduan warna pastel antara biru dan pink yang menjadi tren pantone menambah semarak dekorasi. Nuansa lembut dari kolaborasi warna itu juga diaplikasikan pada kursi berjejer yang telah dipersiapkan untuk para tamu dan keluarga besar. Tampak hangat dengan karpet merah terbentang dari pintu masuk sampai ke pelaminan.

Tepat pukul tujuh malam, para tamu mulai berdatangan. Mereka memuji keelokan kedua pengantin yang dibalut busana putih dihiasi sulaman serta manik-manik berwarna merah muda dan emas. Hiasan kepala pengantin wanita juga buketnya dari rangkaian bunga daisy dan babybreath.

Di depan pelaminan, Keisya membidik raut wajah semringah dari sepasang pengantin yang duduk bersama kedua orang tua. Jika saja sampai waktunya Keisya menikah, siapa yang akan menjadi walinya?

Namun, itu masih jauh untuk dipikirkan. Keisya adalah anak tunggal, begitu juga ibu dan ayahnya. Jadi, mungkin dia nikah nanti harus memakai wali hakim.

“Jepretanmu bagus, ya,” kata Jeslyn yang memang sejak tadi mengawasi Keisya dari samping. “Kamu emang berbakat."

Keisya menyengir. Hidungnya mengembang karena dapat pujian lagi. “Makasih, Bu. Keisya senang melakukan pekerjaan ini.”

Jeslyn tersenyum lebar, secerah warna gaun yang dikenakannya. “Berarti waktu sesi pemotretan Devan bagus-bagus, dong?”

Keisya mengangguk pelan lalu menyodorkan kameranya pada Jeslyn. “Bagus, kok, Bu. Soalnya, Devan ganteng dan fotogenik, jadi enak difoto.” Keisya terkekeh. Walau sebenarnya, dia ingin muntah saat memuji cowok itu.

“Devan mau dipotret aja udah syukur.” Jeslyn memperhatikan setiap hasil foto Keisya. “Karena mantan fotografer yang dulu banyak mengundurkan diri, soalnya Devan gak bisa diam.”

“Kenapa sama Keisya beda?”

“Kalian ‘kan sudah saling kenal, satu sekolah lagi.” Jeslyn menggeleng-geleng, membuat Keisya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia mengharapkan apa?

“Kok, gak ada?” tanya Jeslyn sambil terus membolak-balikkan layar kamera di sana.

Napas Keisya tersekat, matanya melotot. Kenapa semua fotonya bisa hilang? Apa mungkin, dia tidak sengaja menghapusnya?

Keisya memejamkan mata, berusaha mengingat kejadian lalu. Seketika, memori itu mengantarkannya pada Daffa saat menembaknya di sekolah—dia menyerahkan kameranya sampai Daffa mengembalikan kamera itu setelah pulang sekolah.

Gue harus ngomong apa? Keisya berdiri tegap, dia menyeka keringat di dahinya. “Maaf, Bu, semua dokumennya udah Keisya pindahkan ke laptop. Nanti Keisya kirim ke Ibu, setelah pulang dari sini.”

Sepertinya alasan itu tidak cukup membuat Jeslyn tersenyum. Dahinya justru makin mengerut, tatapannya menusuk hingga bulu kuduk Keisya meremang. “Kamu bohong, ya?”

~•••~

Devan memarkirkan motornya di sebuah hotel tempat pernikahan berlangsung. Dia menyisir jambulnya hingga terlihat rapi, kemudian melirik jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Males banget anjir!

Seharunya, dia sudah duduk santai di club sambil minum-minum bersama teman-teman. Namun, papanya mengancam akan mengusirnya dari rumah jika tidak menurut. Dia mau tidur di mana? Alhasil, tidak ada alasan untuk menolak. Di saat para tamu sibuk mengenakan pakaian resmi dan formal, Devan justru mengenakan sweater lusuh.

Devan makin menggerutu, masih banyak tamu yang berlalu-lalang di sekitar ballroom. Waktunya makin menipis hanya untuk mencari keberadaan Jeslyn.

Namun, bisik-bisik dari para tamu membuat perasaannya tidak enak. Tak lama, terdengar suara nyaring Jeslyn dari ujung toilet, membuat Devan mengurungkan niatnya untuk menelepon. Ibu tirinya sedang membentak seseorang.

“Keisya?” Napas Devan menderu. Giginya mengertak melihat Jeslyn menarik paksa tangan Keisya menuju tangga darurat. Cepat-cepat Devan menyusul mereka, sebelum hal buruk terjadi.

Keisya menunduk sedalam-dalamnya, jemarinya saling menggenggam dengan lengan yang begitu rapat. “Keisya minta maaf, Bu. Janji nggak bakal ulangi lagi. Jitak saja Keisya, Bu, bila perlu tendang, asal jangan dipecat.”

“Terus di mana letak tanggung jawab ka—“ Ucapan Jeslyn terpaksa putus ketika Devan menarik tangannya.

“Stop!” Suara Devan menggema ke seisi tangga. Napasnya tersengal, menahan gejolak amarah sejak Keisya ditarik-tarik seperti hewan tadi. “Ini bukan di rumah!”

Jeslyn mematung, menatap Devan. Mungkin tidak menduga akan kehadirannya yang datang secepat itu. Lepas dari Jeslyn, giliran tangan Keisya yang digenggam Devan, lalu dibawanya keluar hotel.

“Pakai jaket ini. Gak ada penolakan!” Devan menyodorkan jaket kepada Keisya.

“Lo emang gak sopan! Gue masih ada urusan sama Bu Jeslyn, tapi lo bawa gue keluar hotel?” Keisya menepis tangan Devan, berteriak lantang seperti pedemo.

Devan tidak bisa membedakan mana Keisya yang benar-benar marah, mana sifat bawaannya, yang jelas dia tidak akan membiarkan gadis itu kembali menemui Jelsyn. “Ikut gue!”

Sekarang Devan menarik tangan Keisya menuju motornya yang terparkir di depan hotel.

“Jangan paksa gue, monyet! Lo harusnya minta maaf sama orang tua lo.” Percuma, ucapan Keisya hanya dianggap Devan sebagai angin lalu sekalipun dia menyebutnya 'monyet'. Sikap acuh cowok itu, membuat air mata Keisya turun tiba-tiba. “Lo bener-bener nggak bersyukur punya mama!”

“Siapa yang lo sebut mama?” Baru kali ini Devan melepas genggamannya dengan kasar. “Dia udah mati!”

Seketika, Keisya tersentak kaget sampai diam mematung. Matanya melotot, tidak tahu harus berkata apa. Ucapan Devan berhasil mengetuk hatinya yang paling dalam. Mati?

Sang MUA Devan tiba-tiba muncul dari dalam hotel, lalu buru-buru mendekati Keisya. Berharap bisa memisahkan keduanya sebelum terjadi masalah yang lebih besar. “Say, bisa minta tolong temani akuh ambil make up di mobil? Kayaknya ketinggalan di sana.”

Sekalipun banci itu menarik-narik lengan Keisya, gadis itu enggan bergerak. Matanya masih fokus menatap Devan, begitu juga dengan Devan. Keduanya terdiam, saling menatap satu sama lain, bingung harus berbuat apa.

Sungguh, Devan tidak ingin berkata jujur, tetapi ucapan Keisya yang merendahkan itu, membuatnya seakan tidak bersyukur. Devan terkekeh sangking kesalnya, lalu menjauh dari hadapan Keisya. Tanpa pamit atau pun salam, cowok itu memasang helm, menaiki motor, lalu pergi meninggalkan gadis itu.

~•••~

Usai menegak minum, Keisya duduk bersama sang MUA di kursi taman yang tidak jauh dari hotel. Pikirannya masih kalut sejak Devan membuatnya syok di hotel tadi. Lantas, dia menghirup bunga-bunga yang lembap di sekeliling. Setidaknya, hal itu bisa membuatnya sedikit bernapas lega.

Kini matanya menatap kosong lampu pond light yang menyinari dari dalam danau. Malam temarang yang begitu damai dengan bulan dan bintang.

“Dia udah mati!” Kalimat itu kembali berputar dalam benak Keisya, seperti kunang-kunang yang berkeliaran di sekelilingnya.

Apa benar mama Devan udah mati? Keisya masih tidak percaya, sebab belum ada bukti yang mengatakan jika mama Devan sudah meninggal.

Namun, melihat Devan melotot dengan alis bertaut dan mulut menganga ketika melontarkan kalimat itu. Meyakinkannya jika cowok itu berkata jujur.

Keisya menggeleng, tidak peduli. Bisa jadi Devan sedang tidak ingin menganggap Jeslyn sebagai mama, tetapi apa itu tidak terlalu kasar?

Tidak, Devan memang kasar dan suka menyuruh-nyuruh. Padahal, Jeslyn selama ini bersikap baik, pikirnya.

“Kamu pasti kaget lihat Devan yang ganteng berantem sama mamahnya.” Di samping Keisya, si banci memelintir rambut, seolah ingin mengungkapkan sesuatu, tetapi ragu. Jujur, si banci ini penyelamatnya dari kejadian yang cukup menegangkan tadi. “Itu bukan kali pertama mereka berantem. Udah sering, apalagi pas akuh dandanin Jeslyn.”

“Gimana nggak kaget. Abis dimarahin Bu Jes, Devan tiba-tiba bilang--” Keisya urung melanjutkan. Tidak ingin mencampuri urusan keluarga Devan karena merasa bersalah telah mengatainya tadi. “Ya, gitulah.”

“Gak enak banget, ya, say, berada di tengah-tengah mereka. Kayak mereka aja yang punya masalah sampai orang lain harus dengar.”

“Mas--” Keisya kembali mengurungkan ucapannya karena bingung harus memanggil si banci dengan sebutan apa, takut dia tersinggung. “Maksud gue, Mbak, pasti berusaha bertahan.”

“Panggil lo-gue juga gak apa-apa, say. Akuh masih muda, kok.” Si banci terkekeh tidak jelas, membuat bulu kuduk Keisya meremang. Semua orang juga tahu kalau dia bohong, kerutannya sudah mulai muncul, kumisnya pun masih terlihat dari balik make up.

Devan pasti tidak nyaman berhadapan dengan si banci ini. Rasanya geli.

“Itu waktu pertama kali, sih, say. Sekarang udah terbiasa karena kalau kerja akuh harus tetap profesional. Tapi gak bo'ong, yang Devan alami emang cukup serius.”

Keisya menggeleng-geleng mendengar suara berat nan kemayu itu. Masih banyak orang lain di luar sana yang hidupnya lebih sial, bahkan hancur. Devan saja enggan membuka mata dan tidak bersyukur memiliki orang tua. “Emang Bu Jelsyn sama Devan kenapa? Kayaknya hubungan mereka kacau banget.”

“Lebih dari kacau, Bu Jeslyn nikah sama papanya, padahal Devan gak merestui dan mama kandungnya milih pergi. Dari awal akuh kerja, Devan terus merasa kesepian. Dia selalu merhatiin foto mama kandungnya waktu akuh dandanin.”

Banci itu mengeluarkan selembar foto jadul dari dalam sakunya, menampilkan seorang wanita berambut panjang, mengenakan kebaya yang terlihat anggun.

Keisya menatap lamat-lamat foto itu, wanita di sana terlihat energik dengan senyum lebar, tetapi siapa sangka jika dia sudah pergi duluan diambil Tuhan. Namun, tetap saja Devan harus bersyukur karena mendapatkan penggantinya. Apalagi, seorang bos kaya dan punya perusahaan sendiri.

“Ah, Devan belum terbiasa aja kali. Dia nggak siap sama kehadiran mama baru. Udah bagus ada yang ngurusin.”

“Jangan cari aman cuma karena Bu Jelsyn bos kamu.”

“Gue gak cari aman, kok. Udah ditinggal ayah, ibu juga kena stroke dan belum sembuh sampai sekarang, tapi apa gue kelihatan punya masalah?”

“Jangan pikir, masalah Devan gak sebanding sama apa yang kamu alami. Mentang-mentang dia bad boy. Gitu 'kan rumornya di sekolah?”

Keisya memang menganggap Devan begitu, tetapi dulu. Seiring waktu berlalu semua terasa samar, Devan jadi tidak kelihatan seperti seorang bad boy. Akhir-akhir ini malah sweet karena mau menawarinya pelukan. Namun, cowok itu masih membuatnya jengkel, sebab terus mengasihaninya.

“Emang sifatnya gitu, kok. Sok berkuasa.”

“Oke, terserah kamu. Mau anggap dia sok berkuasa, nakal, pembuat onar, sombong, bagikuh dia gak lebih dari anak yang butuh perhatian.”

“Gue yakin, semua orang juga butuh perhatian, termasuk lo. Cuma ada yang pintar nyembunyiin ada yang nggak.”

Banci itu menyematkan senyum hangat. Kepalanya tertunduk sambil memilin jari, seolah ada sesuatu yang disembunyikannya. “Iya, say, ngapain juga Devan caper? Dia berharap sama siapa? Mamanya aja bunuh diri di depan matanya.”

Mendengar suara berat asli pria itu, Keisya terperanjat dan melotot sampai bola matanya hendak keluar. Dia mengerjap beberapa kali, memastikan bahwa telinganya tidak salah dengar. “Maksudnya?”

“Kok, akuh bilang-bilang, sih. Ya ampun, kesannya kayak berharap sama kamu.” Banci itu mengipas wajah berulang kali sambil menatap ke atas, seolah menahan tangis yang entah dari mana datangnya. “Devan harusnya terbiasa hidup sendiri kayak kamu. Iya, 'kan?” Keisya enggan menjawab. “Oke, say, akuh pulang dulu, udah dijemput sama my hubby.”

Tubuh Keisya masih mematung di tempat. Sekalipun banci itu melambaikan tangan dan berteriak untuk berpamitan. Mata Keisya masih fokus pada foto di tangannya. Dicueki seperti itu, sang MUA pun menjauh dan membiarkan Keisya tenggelam sendiri dalam pikirannya.

Mama Devan bunuh diri? Kapan? Kok bisa? Pertanyaan itu pun berputar dalam hati Keisya, seperti pusaran air.

Perlahan, Keisya meremas foto itu sampai remuk, lalu membuangnya ke kotak sampah di samping. Degup jantungnya berdetak cepat dibalut emosi yang meluap-luap. Bisa-bisanya mama kandung Devan bunuh diri di depan anaknya sendiri. Mama macam apa itu? Kenapa nggak direkam aja sekalian?

Keisya mendengkus, tidak ingin mengetahui alasan mengapa wanita itu bunuh diri, yang jelas hal itu sudah sangat parah. Benar yang dikatakan si banci, selama ini Devan bertindak semena-mena karena butuh perhatian dan perlu sembuh dari trauma.

“Devan hidup sendiri kayak kamu.” Keisya mengepalkan tangan kuat-kuat sampai ruas kukunya memutih, mengingat ucapan banci itu. Setelah semua fakta Devan terungkap, hal itu tidak mengubah apa pun. Dia masih hidup sendiri.

“Tapi Devan hebat bisa cari uang sampai rela menghibur anak-anak. Nggak kayak gue, bawaannya emosi terus lihat ibu sakit-sakitan dan dengan egoisnya keluar dari OSIS.”

Keisya mengambil batu di bawah kaki, lalu dengan napas menderu melempar batu itu ke danau. “Siapa bilang gue hidup sendiri!” teriaknya tidak setuju, sampai jangkrik pun bungkam dibuatnya.

Lebih baik Keisya tidak mengetahui masalah Devan. Hal itu hanya akan menambah beban pikirannya dengan tanggung jawab yang tidak seharusnya diterima. Namun, pilihan tetap di tangannya. Untuk menutup telinga, membiarkan hal itu berlalu begitu saja atau berusaha peduli.

Entah, rasanya dia ingin menjaga Devan. Mungkin, mengingat ayah yang juga meninggalkannya sedari kecil, meningkatkan insting protektifnya untuk melindungi cowok itu.

“Kesannya kayak berharap sama kamu.” Lagi-lagi ucapan banci itu membuatnya terngiang, seperti kaset rusak. “Banci itu ngerepotin aja. 'Kan gue jadi kepikiran Devan!”

----

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top