• SATU •

Begitu ponsel berbunyi, Keisya segera mengambilnya lalu membuka pesan. Sepanjang pagi, dia berharap atasannya akan memberikan kabar baik. Sayang, isi pesan itu justru mematahkan semangatnya.

Hari ini tidak ada event, kamu boleh libur.

Keisya menghela napas sambil memejamkan mata membaca balasan pesan WhatsApp itu. Dadanya berdenyut seolah dipukul palu godam karena sudah pasti tidak akan ada pemasukan gaji apalagi bonus bulan ini. Ketika membuka, netra cokelatnya yang sayu mulai berkaca-kaca. Tangannya sibuk mengepal menahan air mata yang siap membasahi lesung pipitnya.

Kemampuannya belum bisa dimanfaatkan, walau Keisya sudah diterima bekerja paruh waktu. Padahal perusahaan itu bersifat informal dan baru dibangun, tetapi ternyata masih banyak orang yang meragukan kehebatan anak di bawah umur. Tidak hanya mencari kerja yang sulit, tetapi juga saat memulainya. Mengapa anak seusianya selalu dianggap bocah dan disisihkan dalam urusan pekerjaan? Seolah telah menjadi hukum alam saja.

Namun, Keisya yakin jika Tuhan akan tetap memberikan kebaikan. Setidaknya itulah harapan yang dia punya. Lantas, ketua OSIS itu mencoba berdiri tegap, tetapi makin lama dia berada di teras, angin makin berdesir membelai rambut panjangnya. Sudah cukup dia menarik napas panjang untuk ke berapa kali, saatnya masuk kembali ke ruang OSIS.

Pandangan Keisya kosong menatap layar laptop. Jari kuning langsatnya mematung di atas keyboard. Bayang-bayang ikut ambil bagian pada sesi pemotretan di suatu acara megah, membuat dirinya justru makin tersiksa karena semua itu tidak kesampaian. Semangatnya pun luntur untuk mengerjakan proposal.

Kalau dipikir-pikir, apakah ibunya dulu juga kesusahan mencari kerja? Setelah Ayah meninggal, ibunyalah yang selama ini banting tulang demi sesuap nasi. Memang harapan tidak sebanding dengan yang didapat, karena penghasilan ibunya pas-pasan untuk kehidupan mereka berdua.

Ibu, maaf Keisya belum bisa dapat duit.

Keisya tersentak begitu mendengar suara gebrakan pintu terbuka. Seketika dia berdiri dari kursi. Tubuhnya menegang ketika bisa mengenali siapa yang baru masuk. Sosok yang sama sekali tidak dia harapkan kehadirannya di ruangan ini.

Kalau saja pintu kayu itu bisa bicara, mungkin bakal mengumpati pelakunya. Tirai-tirai jendela, bahkan saling melambai seolah mengusir sang biang keributan pergi. Setidaknya, itulah yang dia harapkan.

Widiih, berani juga lo kabur jam pelajaran.” Cowok yang baru masuk itu menyeringai saat menyadari kehadiran Keisya lalu berbisik, “Kalau mau bolos, mestinya lo bilang sama gue. Gue kasih tau tempat yang seru. Jangan mengumpet sendiri di sini.”

Keisya membuka mulut, bersiap melantangkan suara. Namun, mukanya mendadak pucat saat merasakan kelembapan di belakang roknya. Dengan gelisah, dia mengusap ke bagian belakangnya.

Jangan bilang ....

Benar dugaannya, “hal itu” terjadi. Keisya mengetukkan kaki, tidak sabar menunggu pendatang itu ke luar ruangan. Namun, cowok yang masih berdiri santai sambil menggaruk hidung mancungnya di ambang pintu itu malah memandangnya penuh selidik. Dengan seragam olahraga yang basah oleh keringat menempel erat di kulit. Cowok itu mendekat, membuat jantung Keisya kian berdetak tidak karuan.

“Kenapa lo?” Suara yang berat terdengar dalam ruangan yang hanya berisi mereka berdua.

“Yang bukan perangkat OSIS nggak boleh masuk!” Keisya menunjuk pintu, mengisyaratkan cowok itu agar pergi. Tak lama, dia segera menarik tangannya, khawatir cowok itu menyadari dirinya gemetar.

“Emang ruangan ini punya nyokap lo?” Cowok itu menelengkan kepala ke salah satu sisi, membuat rambutnya terkena bias sinar matahari dari jendela.

Nada meremehkan dalam suara cowok itu membuat Keisya jengkel, tetapi ucapannya  memang benar. Tentu saja, ruangan ini milik sekolah. Namun, tidak seharusnya cowok jangkung menyebut-nyebut ibunya. Karena mengingat ibunya, sama saja dengan mengoyak hatinya.

Sejak membaca balasan pesan tadi, Keisya sudah berusaha menahan gejolak api dalam dadanya agar tidak membakar, tetapi kini—

“Lo nggak tahu apa-apa tentang ibu gue, jadi jangan sebut dia!” Tangan Keisya mengepal sampai ruas kukunya memutih. Dia merasa kesal karena cowok itu berhasil mengusiknya. Matanya memanas akibat air mata. Ucapan ketus pemuda itu hanya katalis perasaan kalah dan tak berdaya yang Keisya rasakan saat ini.

Rupanya berhadapan dengan Devan begitu menyebalkan, apalagi semua perkataannya hanya dianggap angin lalu. Namun, kini tubuhnya gemetar karena rahang tegas cowok blasteran itu makin terlihat jelas, membuatnya hanya bisa menelan saliva susah payah.

Please, pergi sana!” Keisya mundur seperti undur-undur, sampai tangannya membentur tembok.

“Nyokap lo emang kenapa?” Kening Devan berkerut saat menyadari tangan Keisya selalu tersembunyi di belakang punggungnya. “Apa yang lo sembunyiin?"

“Nggak ada apa-apa!”

“Lo nyembunyiin apa, hah?” Langkah Devan makin cepat, membuat tenggorokan Keisya bergetar.

Sekarang kedua lengan Devan malah mengurung tubuhnya di sisi kanan dan kiri. Alhasil, Keisya terjebak dan tidak bisa lari ke mana-mana. Dia berdoa, semoga bau anyir itu tidak menyeruak permukaan. Namun, perhatiannya mendadak terkalihkan pada sebuah anting hitam yang menghiasi sebelah telinga Devan, persis preman pasar. Saking dekatnya, dia bisa mencium perpaduan aroma keringat dan min dari tubuh cowok itu, membuat jantungnya berdetak cepat seakan habis lari maraton.

“Mau apa lo?”

Bukannya menjawab, Devan justru menyeringai lalu berbisik hingga embusan napasnya terasa hangat di telinga Keisya. “Takut, hah?” Sambil terkekeh, Devan menepuk kepala Keisya seperti majikan sedang memberi pujian ketika hewan peliharaannya patuh menuruti perintah. “Gak usah takut. Gue cuma mau ngambil bola basket.”

“Gue nggak takut!”

“Lo takut, kelihatan di wajah cantik lo itu.” Devan menunjuk wajah Keisya dengan dagu.

Oh Tuhan, Devan menyebutnya cantik. Keisya mengerjap, merasa salah tingkah. Tidak pernah ada yang menyebutnya cantik kecuali Ibu dan Daffa, sahabatnya. 

Gelak tawa Devan kian mengudara, meyakinkan Keisya jika cowok itu sedang menertawakan wajahnya yang merah padam. Bisa-bisanya, dia ngegoda!

“Sialan! Gue nggak bakal maafin lo!”

Panas yang merambati wajah Keisya membuat bibirnya menekuk. Seharusnya dia tidak perlu merasa malu mendengar gombalan Devan. Kakinya dientakkan kuat-kuat, berharap itu cukup membuat Devan berhenti terbahak-bahak. Namun, suara berat Devan makin menjadi seolah ekspresi kekalahannya adalah hiburan.

Tak lama kemudian, Devan diam lalu kembali menyeringai. Dia melangkah mundur lalu melepas seragam olahraganya tanpa diminta. Seakan Keisya akan memintanya melakukan “itu” saja.

Dia mau apa? Keisya menelan ludah. Dadanya berdebar antara panik, gugup, dan ... ya, takut. Mereka hanya berdua di ruang OSIS ini, dan kini murid menyebalkan ini malah membuka bajunya. Gadis itu mendengkus seperti banteng menahan amarah.

Otot-otot biseps Devan menonjol mengenakan kaus singlet putih, membuat mata Keisya tidak dapat berpaling. Keisya lagi-lagi hanya mengerjap bingung ketika Devan malah menyodorkan seragam berkeringat itu padanya. Makin diangkat, bau keringat dari seragam itu agak menyeruak seiring dengan bau anyir dari roknya.

“Buru, entar makin merah.”

Cowok itu pasti melihat rona pipinya yang merah. Kalau tidak terlalu mawas diri, Keisya pasti akan mengipas-ngipas wajahnya, mengusir rasa panas. “Muka gue emang gini!”

“Lo pikir gue bego?” Mata Devan menyipit angkuh, hampir membuat Keisya merasa bagai makhluk luar angkasa. “Dari bau juga semua orang bisa nebak.”

Tanpa meminta persetujuan, Devan langsung melingkarkan seragam itu ke pinggangnya, membuat napas Keisya tersekat. Lutut Keisya gemetar hebat karena risi. Sontak, Keisya melotot apalagi kemudian cowok barbar itu menarik tangannya ke luar ruang OSIS. Rasanya Keisya ingin mencabik-cabik wajah Devan karena melakukan dan menyebut sesuatu itu secara gamblang.

“Dev, apa-apaan ini? Lepasin!” Keisya mencoba menepis tangan Devan, tetapi tenaganya tidak berarti.

“Nurut sama gue!”

Astaga, kok gue mau diatur-atur gini, sih?! pikir Keisya, kini hanya berjalan mengikuti sosok Devan.

Sekarang, Keisya percaya desas desus kalau Devan seorang bad boy. Cowok itu bertindak sesuka hati. Keisya jengah ketika berpapasan dengan beberapa murid yang menatapnya sinis, sebagian mengerutkan dahi, bahkan banyak juga yang berbisik-bisik sambil menunjuknya dan Devan. Rasanya, dia ingin menghilang saja dari muka bumi.
Devan menunjuk sebuah warung kecil di seberang sekolah dengan dagunya. “Ukuran berapa? Merk apa?”

“Gue aja yang ke sana.”

Langkah Keisya terpaksa berhenti ketika Devan buru-buru mencekal tangannya. “Gak usah! Biar gue.”

Gigi Keisya mengertak. Dia tidak ingin menjawab karena selain malu, Devan juga pasti merasa tidak nyaman. Terbukti dari raut wajahnya yang datar, seperti tripleks. Ditambah, banyak murid lain yang melintas dengan tatapan heran. Namun, apa boleh buat, seperti kata pepatah telanjur basah mandi sekalian. Setelah meyakinkan diri, Keisya mendekatkan wajahnya pada Devan lalu berbisik, “Ukuran sedang, pakai sayap.”

Tanpa menunggu jawaban dari Devan, Keisya segera masuk WC lalu menutup wajahnya rapat-rapat dengan tangan sedingin es. Pipinya masih saja panas seakan terbakar, pasti merah seperti udang rebus. Bukan hanya itu saja, jarak ruang OSIS ke WC memang jauh, paling dekat saja berjarak lima ruangan kelas.

Semesta sungguh jail, kenapa dia harus di hadapkan dengan Devan dalam keadaan seperti ini? Padahal, walau dia sering bertemu, momen itu berlalu tanpa makna. Jangankan berbalas tegur sapa, saling menganggukan kepala saja tidak pernah.

Keisya menghela napas, sampai kapan dia terus-terusan berdiam diri di WC? Semua orang mengantre menunggunya keluar. Mau menghindar dari Devan juga tidak bisa, karena cowok itu sudah bersedia menolongnya.

Walaupun rasa malu terus saja menghantui dirinya, Keisya memberanikan diri keluar dari bilik dan menghampiri Devan yang sudah menunggunya di luar. Seberkas cahaya tampak di wajah cowok itu yang tersenyum cerah. Lalu, cowok itu menyodorkan sekeresek berisi pembalut. Tak hanya satu, melainkan satu pack. Anehnya lagi, ada banyak es krim yang diberikan untuknya. “Gue anter lo pulang.”

Keisya terkesiap sejenak. Matanya mengerjap-ngerjap memandang raut muka Devan yang datar seperti tripleks. Dia serius?

“Gak usah mandang gitu. Gue emang ganteng.”

Jantungnya mencelus, tetapi Keisya segera menguasai diri. “Makasih, tapi gue bisa pulang sendiri.”

“Gak ada penolakan!”

----
Author Note:
Dear Pembacaku,

Tolong baca cerita ini baik-baik dan resapi. Maksudnya: jangan hanya baca lewat begitu saja, sebagai sekadar sebuah caption yang ditulis manis di sosmed.

Aku malu, rasanya seperti ditelanjangi. Bacalah keseluruhan cerita ini, tubuh ini, aku ingin kalian tahu seluk-beluk bahkan sampai butiran terkecil yang ada di sini.

Penulis pun menceritakan ini dengan hati-hati karena meski manusia tidak abadi, cerita ini abadi.

Cerita ini akan dipublish beberapa part saja karena akan diterbitkan mohon pengertiannya. 🙏

Tinggalkan komen yang berkesan supaya bisa kubagikan bersama teman lain di instagram @angelica.story

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top