• LIMA •


Laura menyenderkan punggung di dinding, tepatnya di sebelah pintu kelas. Sesekali dia menghembuskan napas karena orang yang ditunggu-tunggu sejak pagi tadi belum juga menampakkan batang hidung. Devan pasti datang terlambat atau mungkin sedang membuat onar, pikirnya. Kalau saja dia tahu cowok itu ada di mana, mungkin tidak akan repot-repot menunggu.

Tak lama, terdengar suara tawa yang heboh dari tangga. Akhirnya, Devan datang bersama gerombolan temannya. Tanpa banyak pikir, Laura merenggangkan tangan, menghentikan langkah Devan yang hendak masuk ke kelas. “Dev, ada yang pengen gue obrolin sama lo.” Sebelum Keisya menaruh curiga, cepat-cepat dia menarik seragam Devan menuju ujung balkon, walau dengan usaha keras karena sempat ditolak.

“Ngapain lo narik gue ke sini?” Devan melihat ke bawah, menatap paving blok yang terlihat kecil dari tempatnya berdiri, berjarak sekitar dua kelas. Biasanya, Ayah yang sering menarik-nariknya seperti ini saat sedang marah. “Nyuruh gue terjun?”

Laura menggeleng, lalu menyodorkan lembaran uang. “Narik doang, bukan mau ngedorong lo. Gue mau kembaliin duit donasi ini lagi ke lo, soalnya Keisya enggak mau terima.”

“Masih keras kepala juga, tuh, cewek.”

“Kayaknya Keisya malu kalau gue yang ngasih langsung. Soalnya dia pernah nyuri duit gue.”

“Baru sadar lo?” Devan menghembuskan napas, menyenderkan lengannya pada pagar balkon, lalu mengamati awan mendung seakan sedang berpikir. “Sini duitnya! Biar gue yang kasih ke dia.”

“Tapi, duit ini tinggal punya kita berdua doang. Sisanya udah dibalikin sama yang lain. Enggak bakal cukup buat bayar biaya ibunya!”

“Repot banget lo. Kalau kurang, entar ditambah.”

Laura mengamati siswa-siswi yang berjalan di sekitarnya. Jantungnya berdetak cepat, takut jika Keisya mengawasinya. “Gue cuma enggak yakin Keisya bakal terima.”

“Gue pernah nganterin Keisya pulang. Mana cewek itu lagi bocor. Jadi, gak ada alasan bagi dia buat nolak.”

Alis Laura terangkat, sejak kapan ada cowok mengetahui seorang cewek sedang mengalami “itu”. “Kok, lo bisa tau Keisya lagi bocor?”

Seketika tubuh Devan mematung, wajahnya mendadak pucat sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, mencoba mencari alasan untuk bohong. “Maksudnya, bocorin soal gue yang ngerokok di kantin. Gue malas diskors.”

Laura mengangguk pelan, pikirnya Keisya sedang datang bulan, ternyata salah. Kalau saja benar, bukan hanya Keisya saja yang malu, dirinya juga ikutan malu sebagai sesama perempuan, karena hal itu cukup sensitif.

Mendengar kata rokok, Laura jadi memerhatikan bibir Devan yang memang sedikit menghitam dari hari sebelumnya. Embusan napas cowok itu pun berbau rokok, kasihan kalau harus mengurangi ketampanannya. “Memang seenak apa, sih, rokok? Enggak baik buat kesehatan, Dev, bisa mempercepat kematian.”

“Bagus, gue gak perlu nunggu lama.”

Laura menggeleng, heran dengan sifat Devan yang tidak peduli dengan dirinya sendiri, tapi malah peduli dengan orang lain. Sebenarnya, Laura bukanlah cewek iri, hanya saja jika ada orang lain yang mendapatkan kebaikan langka, tetapi bukan untuknya, hatinya mencelus tanpa sebab. Baik banget lo, Dev, sampai segitunya bantuin Keisya. Kenapa duitnya enggak dipakai buat kita makan bareng?

Devan mengamati Laura yang terus tertunduk, sepertinya gadis itu takut dengan ucapannya barusan yang seakan menyia-nyiakan hidup. “Gak usah nunduk!” Seketika, Laura mendongak. Suara berat Devan memecahkan lamunannya. “Tuh, lantai gak lebih ganteng dari muka gue!”

Laura mengerjap-ngerjap dan tanpa sadar jadi memerhatikan wajah Devan yang tampan. Namun, dia segera menguasai diri dengan meraih tangan Devan, lalu meletakkan lembaran uang di telapak tangannya. “Pokoknya lo harus bisa kasih ke dia. Biar enggak nyuri lagi, entar kebiasaan.”

Devan menyeringai karena berhasil mengelabui Laura soal Keisya yang “bocor”, lalu menepuk-nepuk uang itu di telapak tangan. “Lihat kemampuan gue nanti.”

“Semoga berhasil!” Laura menyematkan senyum sampai punggung Devan menghilang dari pandangannya. Harusnya, dia juga masuk dalam kelas sekarang, tetapi entah kenapa ada sesuatu yang menahannya. Seakan hatinya belum siap melihat keakraban Devan dengan Keisya.

~•••~

Devan menyugar jambulnya yang berantakan di depan cermin studio. Males banget anjir! gerutunya dalam hati ketika memerhatikan pantulan cahaya dari kaca. Matanya mengerjap-ngerjap karena pencahayaan studio yang kurang, hanya disinari oleh sinar soft box berbentuk kotak sebagai cahaya utama.

Beberapa orang tengah sibuk melakukan persiapan fotografi fesyen. Ada yang duduk di depan komputer untuk memantau hasil foto tethering, agar saat memotret objek, gambarnya akan langsung masuk ke komputer, ada yang menggantung lighting background berwarna putih, dan lain-lain.

Selagi menunggu fotografer datang, dia mencoba mengelilingi studio itu. Tangannya meraba reflektor yang lebar dan halus. Mama tirinya, Jeslyn, pasti baru membeli beberapa perlengkapan baru untuk menyeimbangkan cahaya, supaya hasil foto lebih halus. Wanita itu benar-benar totalitas dalam memimpin agensinya, dia pasti ingin objeknya tetap terlihat sempurna.

Makanya, sore ini Devan harus melakukan photoshoot untuk mempromosikan model beberapa pakaian terbaru yang diluncurkan oleh brand ciptaan Jeslyn. Sebenarnya, berpose dan memamerkan ketampanan overdosisnya dari Tuhan bukanlah hobinya.

Namun, sejak kenal dengan Jeslyn, mau tak mau Devan terpaksa membantunya. Wanita itu selalu saja meminta Devan untuk terlibat dalam bisnisnya. Bahkan, dia sudah beberapa kali menerima berbagai macam endorse pakaian. Mungkin keuntungan bagi murid SMA sepertinya bisa memperoleh penghasilan pundi-pundi rupiah sendiri.

“Kalian semua payah!”

Suara berat seorang pria langsung menggemakan seisi studio. Otomatis semua orang terkejut dan memandang pada satu titik. Setelah membanting pintu, pria yang dikenal sebagai fotografernya kini menunjuk-nunjuk wajah Devan.

“Gara-gara bocah kayak kamu, saya dipecat! Mentang-mentang anak bos, semena-mena kamu sama saya!” Pria itu menatap nyalang Devan, napasnya menderu, bau keringat menyeruak dari bajunya.

Sudah terhitung fotografer kelima yang Jeslyn pecat, alasannya pasti sama. Gara-gara Devan kurang fotogenik. Sayangnya, Devan tidak peduli urusan itu. “Emang gue yang minta lo dipecat?” Devan menyeringai seolah ucapan pria itu hanya angin lalu.

Pria itu mulai mencondongkan tubuh ke arahnya, mengasongkan dagu. “Saya bakal jadi fotografer yang profesional keluar dari sini. Lihat saja kamu!” Sial sekali, setiap akan photoshoot pria ini selalu datang sambil marah-marah. Membuat bulu kuduk Devan meremang. Makanya, terkadang dia jengkel untuk menghormati orang yang lebih tua, termasuk orang tuanya sendiri.

“Terus ngapain lo masih di sini?” Mata Devan tak kalah menyalang. Sambil berkacak pinggang dia menepuk pundak pria itu sampai terdorong ke belakang. “Mending fotografer yang cantik, bening, daripada tua bangka begini.”

“Bangke!” Pria itu membanting topi yang dikenakannya ke lantai, lalu menginjak-injaknya sampai penyet, sebagai bentuk pelampiasan atas rasa kesalnya pada Devan. “Saya juga gak butuh model yang pencicilan kayak kamu. Mending model yang cakep dan seksi!”

Setelah puas memaki-maki Devan, pria itu pun keluar dari studio. Devan menghadiahi pria itu dengan mengacungkan jari tengah yang memiliki arti kotor, lalu pergi menuju ruang ganti sambil membawa baju pertama yang akan dikenakannya.

“Buat gue tambah gila, tuh, orang!”

Tak lama kemudian, Devan selesai berganti pakaian dan duduk di depan cermin rias. Sambil bersungut-sungut, seorang banci mulai memoles wajah tampan Devan dengan make up natural yang tipis agar tampak sempurna di depan kamera. “Ada aja, yah, kelakuan bapak-bapak.”

“Mau keluar juga lo dari sini?” Devan menepis tangan banci itu.

“Santai, Cyin. Akuh mau merias muka gantengmu dulu, nih.” Meski takut menatap wajah masam Devan, banci itu tetap bekerja dengan profesional. Setidaknya, dia bisa membuat Devan tenang, meski tahu cowok itu menahan rasa geli karena sentuhannya. “Emang fotografer itu gak jelas, sih. Suka datang telat. Kalau akuh gak masalah Devan mau kesal, marah, benci, atau gengsi bilang cinta.”

Alis Devan bertaut mendengar karangan pria ini. Untuk apa dia mencintai seorang pria? Jelas-jelas dirinya masih normal. Dan lagi, kenapa dia harus disalahkan padahal bukan dia yang memecat orang lain? “Gak jelas lo pada. Gak ada cewek cantik apa yang kerja di sini?”

“Sebentar lagi, permintaanmu akan dikabulkan!”

“Merasa jadi peri lo?”

Pria itu terkekeh, lalu menghembuskan napas sambil merapikan peralatan make up-nya karena sudah selesai. “Udah ada fotografer yang baru, masih muda, cantik, tapi akuh iri.”

“Siapa?”

Suara pintu terdengar berderit, seorang gadis masuk, berjalan mendekat sambil menunduk ke kamera di tangannya. Mata Devan sontak terbelalak ketika mengenalinya. Dia baru mengetahui jika fotografernya dipecat dan penggantinya adalah Keisya. Gue gak salah lihat, 'kan?

Ketika Keisya mengangkat wajahnya dan pandangan mereka bersirobok, Devan tenggelam dalam tatapan bisu Keisya. Di lihat dari wajah pucat Keisya dan mulutnya yang menganga, Devan bisa memastikan bahwa gadis itu juga tidak mengira akan bertemu dengannya di sini.

Tubuh keduanya mematung. Detik seakan berhenti, memberi jeda kepada mereka untuk menatap satu sama lain. Apakah pertemuan ini hanya kebetulan semata atau salah satu kenakalan sang takdir?

-----
An: Pertemuan sesungguhnya dimulai yuhuuu. Guys lagi PO nih masa kalian ketinggalan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top