• ENAM •
Keisya mengerjap beberapa kali, memastikan bahwa dia tidak salah lihat, tetapi ternyata benar jika Devan yang menjadi objek fotonya. Alisnya bertaut, tangannya mengepal. Tidak di sekolah, bahkan dalam pekerjaan pun dia masih bertemu dengan cowok itu, sudah selayaknya bayangan yang selalu mengikuti. Memangnya model di dunia ini hanya Devan seorang? Mungkin, benar kata peribahasa, jika dunia ini hanya selebar daun kelor.
"Maaf, kayaknya gue salah tempat."
Buru-buru Keisya menjauh dari studio, berharap bisa menenangkan diri sejenak dalam toilet. Bayang-bayang bertemu model Hollywood seperti di film-film terpaksa pupus. Nyatanya dia harus bekerja untuk teman sendiri. Kenapa makin menghindar, Devan justru makin mendekat?
Mendengar teriakan Devan yang memanggil namanya, Keisya berlari kencang seakan dikejar setan, tetapi langkah Devan justru makin nyaring terdengar. Dan, cowok itu kini berhasil menggenggam tangannya. "Tunggu, lo fotografer yang baru?"
Keisya ingin mengiyakan, tetapi berat untuk mengangguk. Wajah Devan yang tampil lebih bersih dari saat di sekolah, juga tatanan rambut yang rapi, membuatnya terkesiap sejenak. Seberkas cahaya yang menyinari wajah cowok itu, sungguh menambah kadar kegantengannya. Astaga, kenapa gue jadi salah fokus?
"Seneng, ya, digenggam gue?" Devan mengangkat kedua tangan. Padahal, dia sendiri yang lupa melepaskan tangan gadis itu.
"Najis!" Mendengar itu, Keisya berlagak ingin muntah. Sedangkan, Devan menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Suasana mendadak hening, Devan pun berdeham untuk mencairkan suasana.
"Gue kira pegawai barunya banci kayak MUA, rupanya lo."
"Apalagi gue."
"Devan!" Tiba-tiba ada yang memanggil Devan. Mata Keisya kembali fokus pada name tag yang dikenakannya, Jeslyn, mendekati mereka sambil menyunggingkan senyum. "Sore nanti jangan pulang duluan, ya. Mama masih ada urusan sama klien, kamu mau nunggu, 'kan?"
Seketika, Keisya memelotot. Pikirnya, Devan hanya menjadi model sementara, rupanya cowok itu juga memegang penuh kendali atas perusahaan. Bagaimana bisa bosnya yang minim kerutan, berparas rupawan, dan bergaya elegan memiliki anak seperti Devan yang cenderung urakan? Padahal, dari segi wajah mereka juga tidak mirip sama sekali.
"Emang gue bisa apa? Atur sesuka lo."
Kembali Keisya dikejutkan oleh fakta. Matanya mengerjap, masih tidak percaya. Bisa-bisanya Devan menggunakan 'lo-gue' pada orang tua sendiri. Ingin rasanya dia mencabik muka cowok itu, tetapi cuma bisa menghela napas. Jika saja cowok itu bisa merasakan ditunggal orang tua, dia pasti akan menyesali ucapannya
sendiri.
Bukannya murka, Jeslyn justru membalas ucapan Devan senyum hangat. "Keisya ini masih SMA juga, loh, kayak kamu. Jadi, perlakukan dia dengan sopan, ya."
Tak kunjung mendapat tanggapan dari Devan, Jeslyn akhirnya pamit pergi, menyisakan suara samar pegawai lain yang sedang berbincang satu salam lain. Dalam diam, Keisya memerhatikan sorot mata Devan yang menatap kosong ke depan, seperti ada sebuah kegelapan yang disembunyikan cowok itu, tetapi entah apa.
Tak lama, cowok itu geleng-geleng, seakan baru tersadar dari lamunan. "Jadi, kapan kita mulai kerja?"
Demi Tuhan lebih baik Keisya memotret ulat bulu yang menggelikan, daripada harus bertemu Devan setiap saat menjadi objeknya. Namun, mau bagaimana lagi kondisi ibunya lebih penting dan pengobatannya harus segera dibayar.
"Lebaran monyet. Sekaranglah! Pakai nanya lagi."
Keisya menjawab dengan ketus, lalu segera kembali ke studio. Sedangkan, Devan mengikutinya dari belakang. Dia merutuki kebodohannya sendiri yang tidak melanjutkan pergi ke toilet. Kalau begini, jadi terlihat sekali dia sedang menghindari cowok itu.
Begitu tiba di studio, Devan mengempaskan diri di kursi photoshoot. "Kenapa lo milih kerja di sini?"
Sebelum melakukan sesi foto, Keisya merapikan rambut di depan cermin. Sebenarnya, dia tidak benar-benar peduli akan penampilan. Hanya ingin memastikan, bahwa rona merah di pipinya sudah menghilang. "Kepo aja lo!"
"Gue cuma tanya, gak usah salting nanti waktu motret gue!"
"Please, nggak usah kepedean!"
"Gue ngomong berdasarkan fakta."
Keisya mengentakkan kaki, berharap itu cukup membuat Devan berhenti tertawa, tetapi gelak tawa cowok itu makin menjadi-jadi. "Udah, ah! Ayo, siap-siap, waktu gue nggak banyak!"
"Oke, yang kece, ya."
Keisya hanya memutar bola mata malas. Secara vertikal, tangan kanannya menggenggam erat-erat DSLR. Jari telunjuknya diletakkan di atas shutter untuk mengambil gambar. Sedangkan, tangan kirinya menggenggam bawah kamera, sekaligus untuk memutar lensa supaya objek terlihat lebih dekat. Tak lupa, kedua sikunya dirapatkan dan diturunkan sedikit, agar makin stabil.
Sebelum memotret gambar, Keisya harus memastikan set lighting dalam keadaan baik. Pertama, soft box atau main light dengan power satu per dua, supaya menyinari objek secara keseluruhan. Main light sebagai cahaya matahari alias cahaya utama dalam fotografi. Kemudian, fill light yang sedikit menyinari dari belakang Devan, agar rambutnya terlihat lebih hitam, ditambah dengan dimensi power satu per empat.
Yang tak kalah penting adalah pose model. Kebetulan, tekstur produk pakaian yang dikenakan Devan bergaris-garis. Artinya, Keisya harus mengambil foto close up atau lebih dekat dengan objek. Jangan sampai gerakan Devan yang salah, malah mengacaukan produk.
Untungnya tanpa diberi arahan, Devan sudah mantap dengan posenya. Dia duduk dengan memiringkan kepala sambil pura-pura merapikan rambut. Ekspresi wajah Devan terkesan misterius saat sedikit menyipitkan mata. Mungkin cowok itu sudah terbiasa menikmati aktivitasnya sebagai model.
Keisya sudah fokus dengan bidikannya, seakan tenggelam dalam kamera. "Posisi udah bagus. Tahan!"
"Gimana pun posisinya, gue tetep ganteng."
"Jangan bikin gue mual!"
Setelah terdengar suara 'klik', Devan masih tersenyum manis, lalu bertanya, "Kerja di sini doang lo?"
"Tolong, fokus dulu bisa nggak?"
"Orang nanya, tuh, dijawab baik-baik."
"Dibilangin diam! Entar nggak selesai-selesai kayak derita lo." Keisya menggeram, mencoba sabar, tetapi cowok itu malah mengekeh. Dasar tukang cari perhatian. Padahal Keisya sudah serius menekuni pekerjaan ini.
Gara-gara banyak mengoceh, kemeja Devan jadi berantakan. Keisya ingin bergerak maju, tetapi canggung untuk menyentuh cowok itu. "Kok diem? Katanya mau cepet selesai."
Santai, Kei, anggap saja Devan sayuran, batin Keisya. "Permisi, gue benerin dulu." Dia melangkah ke arah Devan, tangannya sudah terangkat, tetapi sedikit gemetar. Tatapan lekat Devan membuat Keisya merinding. Dengan sedikit memberanikan diri, Keisya merapikan ujung kemeja Devan ke samping. "Oke, jangan gerak!"
"Bentar!" Devan buru-buru menggenggam hangat pergelangan tangan Keisya saat dia hendak berbalik.
Tatapan Devan begitu teduh, tanpa sadar jarak wajah Keisya dengannya makin menipis. Begitu hangat sampai membuat Keisya kikuk. Tolong, selamatkan jantungnya yang kian menderu, jangan sampai Devan mendengar detaknya. Jangan tatap cowok ini! Mau taruh di mana wajah gue?
"Jadi, gimana kondisi nyokap lo?"
Pertanyaan Devan yang tak terduga membuat Keisya terpana. Lagi-lagi Keisya harus membayangkan ibunya yang terbaring lemah di rumah sakit. Terlalu panjang untuk dijelaskan, bahkan dia masih belum siap untuk membagi rasa itu pada siapa pun. "Doain aja." Hanya itu yang mewakili jawaban dari segala bentuk pertanyaan mengenai ibunya.
"Gue mau lo terima ini." Tiba-tiba saja Devan bangkit dari kursi, mengobrak-abrik tas, lalu menyodorkan segepok uang untuk Keisya. "Sebagai ganti kelakuan gue yang udah ngatain nyokap lo."
Hati Keisya makin terpukul. Dia tidak ingin dipandang lemah. Sudah cukup harga dirinya dicampakkan oleh Laura, jangan lagi dikubur dalam-dalam dalam kegelapan bernama kasihan. "Nggak usah repot-repot."
"Ini uang lebih dari yang lo kira, gue jamin cukup."
"Lo cuma kasihan 'kan sama gue?" Keisya melantangkan suara, pandangannya kabur, dengan cepat matanya kini berkaca-kaca.
"Maksud lo?" Devan mengerutkan kening. Sikap Keisya membuatnya bertanya-tanya dalam hati. Siapa juga yang membantu karena kasihan?
"Nggak lo, nggak temen-teman lainnya, guru-guru juga ngasih donasi buat gue. Harusnya lo tau kalau gue bisa cari uang sendiri, gue aja nggak minta ganti rugi apa pun sama lo!"
"Gue gak ngasihani lo."
"Gue mau berhenti dari kerjaan ini." Keisya sudah tidak tahan berada di studio itu, seolah terjebak dalam sangkar. Sedangkan, Devan masih diam membeku. Keisya menepis air matanya yang sempat turun. Dia mencoba berdiri tegap, lalu bergegas membereskan barang-barangnya untuk pergi. "Permisi!"
"Gak bisa!" Devan menarik pergelangan Keisya secepat kilat, sebelum gadis itu pergi. "Cuma gara-gara duit, lo jadi begini? Ini bukan duit haram!"
Keisya menunjuk-nunjuk dada bidang Devan, berharap cowok itu akan mendengarkannya dengan baik. "Lo tau, orang bisa menunjukkan empatinya, tapi nggak ada yang tau rasanya. Gue aja masih nggak percaya ibu gue sakit, terus lo malah buat gue makin kelihatan buruk dengan duit-duit itu. Mending sekarang lo menyingkir dari muka gue!"
~•••~
Daffa berjalan beriringan dengan Keisya menyusuri salah satu toko buku yang cukup besar. Alunan musik karya Dave Koz berjudul All I See is You mengalun menyambut kedatangan para pengunjung. Orang berlalu lalang mencari buku favoritnya, tampak beberapa lainnya asyik membaca sambil duduk di pojok.
Keisya sangat menyukai suasana toko buku, terlihat dari senyumnya yang mengembang. Daffa ikut tersenyum ketika menghidu aroma buku-buku baru. Mungkin, dia bisa menemukan buku yang dapat membuat Keisya jatuh cinta padanya. Sudah sejak lama, Daffa memang diam-diam menyimpan rasa pada sahabatnya itu.
"Biasa juga lembur?" tanya Daffa sambil melihat arah jarum jam yang menunjukkan pukul delapan malam tergantung di dinding toko.
"Kerjaan hari ini cuma potret model doang," jawab Keisya sambil membalik lembar halaman sebuah buku.
"Nice. Pasti cakep, ya."
"Cakep, sih, tapi nyebelin."
"Maksudnya?"
"Disuruh diam, dia malah ketawa-tawa kayak monyet, 'kan jadi makin lama!"
Daffa hanya mengangguk kecil ketika Keisya membolak-balikkan lembar buku berjudul All About Stroke karya Lanny Lingga dengan cepat. Dia tidak ingin merusak mood gadis itu dengan banyak bertanya. Namun, dalam hatinya timbul rasa penasaran, klien seperti apa yang mampu membuat gadis itu beberapa kali mendengkus?
"Namanya juga hari pertama kerja, lama-lama terbiasa."
"Kalau modelnya Devan, mana bisa biasa."
Tubuh Daffa mendadak kaku dan membeku. Devan? Dia mengorek telinga dengan telunjuk, memastikan supaya tidak salah mendengar. "Maksudnya, Devan kelas kita? Kok bisa?"
"Bos gue itu mamanya Devan." Keisya cemberut sambil memeluk erat buku dalam genggamannya. "Gue juga nggak mau, tapi gimana?"
Dunia Daffa seakan porak-poranda. Makin hari, kedekatannya dengan Keisya makin minim, ditambah saingan seperti Devan yang ganteng dan punya banyak fan di mana-mana. Bagaimana jika nanti dia disisihkan oleh waktu, sehingga jauh dari Keisya? "Kalau lo bisa berhenti dari OSIS, berarti juga bisa berhenti kerja."
"Niatnya gitu, tapi nggak semudah omongan. Coba lo deh, yang cari kerja buat gue."
Daffa terdiam sejenak. Benar juga, dia saja tidak tahu pekerjaan apa yang cocok untuk anak seusianya. Namun, apa pun akan dia lakukan agar Keisya tidak berada dalam genggaman orang lain. "Kalau gue jual motor, apa lo mau cari kerja lain?"
"Bego!" Sontak saja Keisya memukul kepala Daffa sampai terdengar gedebuk. Pukulan Keisya membuat Daffa mengaduh karena kepalanya jadi nyeri dan berdenyut. "Lo gila, ya? Kalau lo mau pergi ke mana-mana, pakai apa? Baling-baling bambu?"
Daffa mendesah gusar, ekspresi gadis itu makin masam. "Kenapa engga cari kerja lain?"
"Nggak bisa, Daf, yang tamat kuliah aja susah cari kerja, apalagi gue yang masih SMA. Lagian, perusahaan EO kayak gitu, cuma ada satu di kota ini."
Tangan Daffa mengepal sampai buku-bukunya memutih, tak sedikit pun wajah Keisya tampak semringah, apalagi tersenyum. Gadis itu tidak pernah memahami arti perjuangannya. "Gue benci lo yang-"
"Benci?" Alis Keisya bertaut dengan mulut sedikit menganga. "Benci sama gue?"
Seketika, Daffa terdiam membeku, merasa mati kutu. Harusnya, mulutnya digembok saja, supaya tidak ceplas-ceplos tanpa sadar.
"Kenapa, Daf?"
Kenapa harus gue yang jawab sedang lo yang engga peka sama perasaan gue? Lo engga tau kalau selama ini gue sayang sama lo. Gue mau kita lebih dari sahabat ataupun adik-kakak, benak Daffa berkomentar panjang kali lebar. Desakan Keisya membuat hati Daffa meronta.
Daffa telah bersungguh-sungguh memantapkan hatinya untuk Keisya. Mata teduh dan suara lembut gadis itu sudah membuatnya mabuk kepayang. Dia tak akan membiarkan siapa pun menggandeng tangan gadis itu. Namun, haruskah dia menjelaskan tentang perasaannya yang sebenarnya sekarang?
-----
Hi, guys jangan lupa tinggalin komen ya 🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top