• EMPAT •

Laura menghitung uang donasi yang telah terkumpul dan baru menyadari jika jumlahnya lebih dari yang diperkirakan. Sudah pasti Devan yang banyak menyumbang karena kemarin teman-temannya hanya memberikan uang recehan atau dari sisa uang jajan. Walau begitu, setidaknya dengan donasi ini diharapkan mampu membuat Keisya jera, agar tidak berani mencuri uangnya lagi.

Sejujurnya, ada rasa berbunga-bunga yang menjalar dalam dada Laura karena Devan mau repot-repot membantunya mengumpulkan uang donasi. Ternyata, Devan tidak seburuk gosip yang beredar, bahkan cenderung peduli.

Ah, memikirkan Devan membuat perutnya makin meraung-raung. Laura harus segera memesan semangkok bubur pagi ini. Di kantin masih banyak terdengar suara cicit burung, bersama embusan angin yang lembut. Hanya dia seorang murid di sana, tentunya dengan para penjual lain yang sibuk menyiapkan barang dagangan.

Saat pesanan tiba, aroma bubur yang menggiurkan langsung menyeruak ke hidungnya. Laura sudah tidak sabar untuk mencicipi bubur yang masih mengepulkan uang itu. Namun, baru saja menyendok bubur, terdengar suara Devan yang memanggil namanya dari arah barat.

Cowok itu tidak datang sendiri, ada Keisya bersamanya. Alis Laura bertaut karena baru pertama kali melihat mereka jalan bersama. Hanya saja, bibir Keisya cemberut, bahkan belum menyapanya sejak duduk di hadapannya. Namun, Laura enggan bertanya dan hanya mengedikkan bahu, membiarkan gadis itu kini keliling sendiri mencari pesanan.

Lagipula, melihat senyum manis Devan saja sudah cukup untuknya. “Jadi, gimana uang donasinya?”

Seketika senyum Laura memudar mendengar pertanyaan itu. Bukannya berbasa-basi dulu, Devan justru membahas uang donasi. “Belum gue kasih. Takut ditolak.”

“Kalau kurang, biar gue tambahin.”

Sebenarnya, Devan kelewat sultan atau justru terlalu kasihan dengan Keisya? Sehingga mampu menghambur-hamburkan uang. “Gue tau lo kaya, tapi enggak segitunya kali.”

“Loh, ‘kan niat gue baik.”

“Iya, tapi sesuatu yang berlebihan itu enggak baik.”

Bukannya mengiyakan, Devan justru menyeringai. Ditanggapi seperti itu, membuat Laura mendengkus dan ingin sekali dia mengacak-acak muka Devan, tetapi Keisya keburu kembali sambil membawa minuman.

Suasana mendadak terasa sepi dan tegang, membuat tubuh Laura kaku. Dia tidak suka dengan kesunyian dan ingin segera mencairkan suasana. “Dari duit donasi yang kami kumpulin kemarin, gue rasa cukup buat pengobatan ibu lo.” Akhirnya, Laura menyodorkan uang donasi itu, setelah maju-mundur mau memberikannya sekarang atau nanti. “Diterima, Kei.”

Bukannya menanggapi, Keisya justru menyeruput teh hangat dengan santai, seolah ucapannya hanya angin lalu. Ditanggapi seperti itu, membuat darah Laura makin mendidih. Tangannya pun menggebrak meja sampai Keisya tersentak. “Tolong, ya, manusia di depan lo ini lagi ngomong!”

Setelah menyingkirkan gelasnya, Keisya menyilangkan tangan  di depan dada. “Berapa kali harus gue bilang? Gue nggak mau! Kuping lo kayaknya perlu dibawa ke THT, deh.”

“Sadar diri, Kei, lo tuh udah nyuri. Gue, Devan, sama teman-teman lain juga udah rela bantuin, tapi tanggapan lo begini.” Tangan Laura mengepal. Dia tidak ingin berdebat, tetapi Keisya memancing emosinya. Ternyata, mau dengan cara baik sekali pun Keisya tetap keras kepala. “Mending mulut lo, tuh, yang difilter.” 

“Maaf, tapi gue nggak bakal terima duit itu. Sepeser pun.”

Laura bungkam mendengar penolakan itu, hatinya seakan terkoyak. Sedangkan, Devan menginjak puntung rokok yang disulutnya tadi sampai mati dan hancur. Membuat bulu kuduk Laura meremang. Dia yakin, kali ini Keisya pasti dihabisi oleh Devan. “Kalau lo gak terima duit itu, hati gue bakal gue remuk kayak rokok ini.”

Tak disangka-sangka, ternyata Devan menggombali Keisya. Membuat dada Laura berdenyut dan makin pedih, seperti ditusuk-tusuk jarum. Tangannya mengepal. Giginya menggertak entah kenapa.

“Makasih gombalannya, berkat lo nafsu makan gue hilang!” Keisya segera mengusap mulutnya dengan tisu, lalu bangkit berdiri. Saat akan lewat di samping Laura, buru-buru Laura menggenggam tangannya.

Laura menatap mata Keisya tajam, di sudah tidak tahan memendam amarah yang sedari tadi bergejolak. “Kei, terima duit ini atau ibu lo enggak bakal sembuh!”

Giliran Keisya yang membelalak, lalu mendorong bahu Laura sampai berteriak seperti orang gila. Alhasil, bahu Laura nyeri karena sibuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh dari kursi. Untung saja ada Devan yang bagaikan Ironman menghadang tubuh Keisya supaya tidak memukul Laura.

“Apa? Lo berani nyumpahin ibu gue, Ra? Gila lo!” Keisya mencoba mendorong tubuh Devan supaya menyingkir, tetapi usahanya sia-sia karena kalah kuat dengan cowok itu.

“Kalem, Kei! Jangan berantem di sini!”

Devan mencoba menenangkan Keisya dengan memegangi leher gadis itu dan menatapnya lekat-lekat. Hasilnya Keisya diam, walau napasnya masih terdengar tersengal. Sedangkan, Laura hanya duduk diam, terlalu takut untuk menatap gadis itu. Dia sadar ucapannya tadi melampaui batas, tetapi emosinya keburu tersulut.

Dari arah timur, Daffa tiba-tiba datang mendekat ke arah Keisya. Keringat bercucuran dari pelipisnya, sambil memegangi lutut, dia mencoba mengatur napasnya yang naik-turun. Tampaknya habis berlari-larian. “Kei, lo dipanggil guru BK. Katanya … nyokap lo masuk ICU lagi.”

Seketika Laura berdiri, ikut syok melihat Keisya mematung. Wajah Keisya langsung pucat. Tangannya yang tadi sibuk memukul dada bidang Devan, kini terkulai lemas. Astaga, bayar ICU kan mahal, dapat biaya dari mana gue? Ngapain coba ibu sampai drop lagi?

“Ayo, cepat ke ruang BK! Biar diantar Pak Guru ke rumah sakit.” Daffa bersiap menyusul Keisya yang sudah duluan pergi, tetapi Laura cepat-cepat menahan tangannya.

Laura meletakkan uang donasi tadi di telapak tangan Daffa. “Gue mengandalkan lo. Tolong buat Keisya terima.”

Daffa diam sejenak sampai akhirnya mengangguk, lalu berlari menyusul Keisya. Sungguh, Laura tidak sampai hati untuk menyumpahinya. Dia hanya mengancam sedikit, tetapi malah berujung penyesalan yang kini menggunung.

~•••~

Setelah mencuci tangan dan memakai baju (skort), Keisya masuk dalam ruang ICU. Yang pertama menyergapnya adalah bau obat-obatan dengan suara naik-turun tabung monitor pendeteksi detak jantung yang terdengar begitu menyayat hati. Belum apa-apa, lututnya sudah gemetaran karena tidak sanggup melihat kondisi ibunya, tetapi Dokter mendesaknya untuk mendekat karena waktu berkunjung terbatas.

Begitu berdiri di samping tempat tidur, dilihatnya wajah ibunya yang pucat, bersama kabel elektroda, slang infus, dan peralatan medis lain yang menghubungkan ke tubuh wanita itu. Pemandangan inilah yang membuat tulangnya seakan runtuh. Saat ibunya terbaring lemah di ranjang rumah sakit, bersama puluhan alat yang mengikat tubuhnya. Apalagi sampai saat ini, belum ada tanda-tanda yang menunjukkan ibunya akan bangun.

Mata Keisya berkaca-kaca. Kepalanya mendongak, menatap dinding ruangan yang bercat putih, menahan air matanya agar tidak luruh. Sambil menggenggam penyangga besi ranjang yang dingin, hatinya mencoba menerima, bahwa semua ini memang bukanlah mimpi. Namun, rasa bersalah justru menghantui, seperti kenapa dia tidak bisa menjaga ibunya dengan baik? Apa selama ini perhatiannya kurang? Dan lain-lain.

Dada Keisya berdenyut saat mengusap tangan ibunya yang sudah keriput. Eva tidak lagi muda, bahkan telah memasuki kepala empat. Rasanya baru kemarin, wanita itu tersenyum dan membuatkan arum manis untuknya. Sekarang, jangankan bersuara dan berbicara, untuk membuka mata saja, ibunya belum bisa.

Di balik ventilator, napas Eva terdengar begitu pelan. Dokter membenarkan posisi alat bantu napas itu, supaya lebih pas. Andai saja Keisya bisa menggantikan posisi ibunya, pasti ibunya tidak akan merasa kesakitan. “Stroke iskemik ibumu kambuh. Dia drop lagi karena terindikasi pecah pembuluh darah dalam otaknya, tapi jangan khawatir. Dia sudah dioperasi dan sebentar lagi bangun. Jadi, kita tunggu saja.”

Oke, tapi sampai kapan gue harus nunggu Ibu sembuh?

Ingin Keisya menanyakan itu, tetapi bisanya hanya mengangguk kecil. Hatinya perih melihat kondisi Eva yang begitu damai. Berulang kali dia mencoba berdiri tegap, tetapi gelak tawa Eva dan senyum teduhnya terus terbayang dan mengikis hatinya. Tidak pernah disangka, waktu sudah berbalik. Kini dia yang harus membelai dan merawat Eva seperti seorang anak.

“Saya harap, kamu tidak lelah atau kehilangan kesabaran merawat ibumu.” Dokter menepuk-nepuk pundak Keisya, tetapi tepukan saja belum cukup mengangkat semua beban di bahunya. “Karena setelah ini, ibumu butuh banyak terapi untuk mengembalikan fungsi otaknya.”

Di balik jiwa raganya yang rapuh, Keisya mengiyakan. Sambil tersenyum kecut, dia berterima kasih kepada Dokter atas jasanya mengobati Eva. Makin lama dia berada di ruang ICU, makin banyak usaha yang harus disusun dalam kepalanya demi kesembuhan ibunya.

Karena tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Dokter mengajak Keisya keluar dari ruang ICU dan menyarankannya untuk konsultasi dengan salah satu perawat. “Secepatnya ibumu diberikan rehabilitasi fase akut selama dua minggu. Semua rincian biayanya akan dijelaskan sama salah satu perawat, kamu tinggal ke bagian administrasi.”

Jantung Keisya berpacu cepat ketika membaca deretan angka di kertas yang disodorkan oleh Suster di hadapannya. Keringat dingin mulai membanjiri dahinya, sudah pasti uangnya kurang, bahkan jauh dari kata cukup. “Sus, kira-kira biayanya bisa kurang nggak, ya?”

Keisya menggigit bibir, tangannya saling menggenggam, berharap suster ini akan memberikan sedikit keringanan. “Soalnya, saya masih sekolah, Sus. Saya juga baru dapat kerjaan dan belum digaji. Saya udah jual barang-barang di rumah. Motor terus barang lain. Tapi uang yang saya dapat nggak sampai segitu, Sus. Tapi, saya pengin ibu saya sembuh. Kira-kira bisa dikurang biayanya gitu, Sus?”

Suster tersebut diam memandang Keisya, seperti sedang menimbang-nimbang. “Baiklah kalau gitu, Dek. Nanti saya coba hubungi bagian manajemen. Semoga saja nanti … ada potongan sesuai dengan uang yang kamu punya.”

Keisya mengiyakan. Semoga aja ada potongan. Kalimat itu terus saja diucapkannya berulang kali dalam hati. Selagi menunggu panggilan Suster selanjutnya, sesekali dia menengok ke arah kaca untuk melihat kondisi Eva. Jika sampai biaya pengobatan ibunya tidak dipotong, ke mana lagi dia harus mencari uang, selain berharap dari gaji? Menerima uang donasi dari Laura? Ya, bisa saja karena terpaksa.

Setelah setengah jam berlalu, akhirnya Suster tadi kembali memanggil Keisya. Senyum Suster tersebut mengembang, membuat Keisya makin berharap akan keajaiban. “Alhamdulillah, Dek, mengenai administrasi ibumu semuanya sudah saya uruskan dan dikonsultasikan ke pihak administrasi. Dan ibumu sudah dapat potongan.”

“Jadi, saya cuma membayar sisanya, Sus?”

“Iya, betul.”

Seketika Keisya merapatkan telapak tangan. Wajahnya berseri-seri, lalu menunduk sedalam-dalamnya di hadapan Suster tersebut. Tidak henti-hentinya dia berterima kasih, seperti menemukan oasis di padang pasir. Akhirnya, doanya terkabul dan dia tidak perlu menerima uang donasi dari Laura.

----
Author note:

Gimana tanggapan kalian guys 🥺 semoga gak jenuh, ya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top