• DUA •
Nyokap lo emang kenapa?
Seketika senyum Keisya sirna mengingat celetukan Devan. Dari kemarin, bahkan sampai sore ini, sosok cowok itu selalu saja menghantui. Sebab genggaman hangat cowok itu berhasil menyelamatkannya dari rasa malu di sekolah. Meski, ada rasa tertikam ketika mengingat kondisi sang ibu. Semoga saja kemarin adalah pertemuan yang terakhir.
Selesai meletakkan sebuah kotak berisi seragam Devan yang sudah bersih dalam laci kelas yang tiada orang, Keisya segera kembali ke ruang OSIS. Semua murid sudah pulang ke rumahnya masing-masing, hanya segelintir orang yang masih menetap untuk piket maupun melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler.
Keisya duduk di hadapan laptop dengan sorot mata sendu. Suara detak jarum jam memenuhi ruang OSIS yang sepi, terasa bagai tangan yang mencekiknya. Matanya beberapa kali mengerjap agar tetap terbuka.
Seharusnya, dia sudah mendapatkan uang banyak untuk membayar biaya pengobatan yang sudah ditagih rumah sakit. Namun, event yang dibatalkan kemarin, membuatnya tidak bisa memenuhi tenggat. Pikirannya tidak fokus, membuat kertas-kertas yang memenuhi mejanya masih putih bersih, belum tergores setetes tinta hitam. Dia mengembuskan napas, tetapi seperti ada karet yang mengikat dadanya kuat-kuat.
Bahkan, sahabat sekaligus wakilnya, Daffa, sampai tak menegur dari pojok sana. Beberapa kali cowok berdagu belah itu merobek kertas dan sibuk mengetuk-ngetuk meja dengan jemarinya. Bahunya sampai terangkat dan menegang. Melihat cowok itu tengah sibuk dengan pekerjaannya, Keisya memilih berdiam diri. Biarlah keluh kesahnya disimpan sendiri. Sudah cukup baginya, ada yang menemaninya di ruangan yang dingin ini.
Suara gebrakan pintu lagi-lagi mengagetkan Keisya, sudah seperti alarm bangun tidur saja. Rupanya, Laura datang dengan wajah masam. "Proposal kita ditolak." Gadis ber-freckles itu melempar proposal ke meja Keisya. Tangannya bertumpu di ujung meja sang ketua OSIS sambil menggigit bibirnya dengan gusar. Keisya tidak dapat berkata-kata dan hal itu membuat Laura makin kesal.
"Ditolak?" Daffa bangkit dan melotot saat lembaran kertas dari Laura tidak berisi tanda tangan Pembina OSIS.
"Jadi, udah jelas rencana kita ke Gunung Salak selama liburan enggak direstui pihak sekolah. Mereka enggak mengizinkan kita mengadakan acara ini." Laura mendengkus, tangannya disilangkan di depan dada.
Belum saja masalah Keisya selesai, masalah baru datang lagi secara bertubi-tubi, seakan belum cukup menghancurkan hatinya yang retak. Tangannya meremas ujung roknya, menahan gundukan air mata yang hendak keluar.
"Kok, bisa?" Daffa merebut proposal dari atas meja Keisya, membaliknya seakan memastikan sendiri kolom tanda tangan pembina yang masih kosong.
"Alasannya, Gunung Salak kejauhan dan berbahaya, apalagi di musim hujan. Kata pembina juga, makan banyak biaya. Sekolah enggak mau bertanggung jawab atas keselamatan kita dan menolak memberi surat rekomendasi," jelas Laura, kemudian duduk di kursinya sambil mengipasi wajah dengan lembaran uang yang diambilnya dari brankas, seolah uang itu cukup ampuh untuk mengeringkan keringatnya.
"Dana yang kita miliki juga masih kurang, mana ketuanya gerak lambat," lanjut Laura sambil melirik Keisya.
Jantung Keisya sejenak berhenti berdetak mendengar itu, seperti ada ultimatum yang meledakkan dadanya. Perasaan bersalah perlahan menyetrum darahnya. Ucapan Laura yang terasa seakan menyerangnya secara pribadi itu, sontak mengetuk hatinya bahwa pangkatnya sebagai ketua OSIS hanya julukan semata. Namun, dibalik rahang yang mengetat diam-diam dia membenarkan penilaian Laura.
"Kalau ada masalah, kita bisa diskusi sama-sama. Engga harus nunggu ketua gerak." Daffa melantangkan suara.
"Saran gue, daripada Keisya niat enggak niat, mending keluar aja. Masih banyak orang gagal yang justru lebih baik dalam mengembani amanah." Laura mendengkus kesal.
"Maksud lo apa ngomong gitu?" Mata Daffa melotot memandang Laura dengan gusar. Proposal yang sedang dipegangnya digulung dengan tangan gemetar.
"Ya ... lo lihat sendiri ketua OSIS kita, fisiknya aja yang ada di sini, pikirannya melayang ke mana-mana. Kerjaannya cuma bengong enggak jelas." Laura menjawab omongan Daffa berdasarkan pengamatannya sendiri. Tangan bendahara OSIS itu menunjuk Keisya yang kini sudah berdiri.
Buru-buru Keisya mencekal tangan Daffa, sebelum cowok itu memukul Laura dengan gulungan proposal. "Udah, Daf. Ucapan Laura ada benernya. Emang gue yang salah!" Dia mengusap pundak cowok itu supaya tenang. Namun, deru napas Daffa justru makin menderu.
Ada rasa tertikam ketika Daffa menepis tangannya, tetapi Keisya memilih bungkam, apalagi saat cowok itu menyipitkan mata, lalu berbalik menghadap ke luar jendela. Jelas terlihat, tangannya mengepal di sebelah tubuhnya, seakan tak berdaya menahan amarah.
"Lo denger sendiri, 'kan? Memang dia yang salah. Ketua OSIS enggak amanah." Laura menyeringai lalu meletakkan lembaran uang dalam laci meja sekretariat, sebelum ke luar dari ruang OSIS.
"Gila, ya, lo cuma diam aja!" Daffa geleng-geleng menatap kepergian Laura, diacak-acaknya rambut dengan kasar. "Omongan dedemit kayak dia memang engga pantes didengar." Setelah menyisakan keheningan lama di ruang OSIS, Daffa melanjutkan ucapannya. Kini dengan emosi lebih tenang. "Tapi, lo juga bisa kali membela diri sendiri, bukannya diam saja kayak tadi."
Sekarang Daffa sudah berani membentaknya, berbeda dari sebelumnya yang cenderung tenang dan damai, tetapi Keisya membalas dengan senyuman. "Gue tau." Bohong jika dia tidak terpukul atas ucapan Laura. Semua yang dikatakan gadis itu adalah koreksi untuknya, agar bisa berbenah diri. Sudah cukup kesenduan mendominasi hatinya.
Keisya menoleh ke arah jendela, meratapi daun-daun yang menari dengan bebasnya bersama angin di luar sana. Coba aja daun itu duit semua, mungkin udah gue petik satu-satu. Namun, hal itu makin mengundang rasa panas yang menyusup di dadanya. Nyatanya, keputusasaan yang merayap makin dekat, menambah rasa jerinya.
Keisya kembali duduk di kursi, lalu meremas kertas di meja sampai menjambak rambut sendiri. Dia berusaha keras memikirkan jalan keluar untuk menyelesaikan masalahnya satu-satu persatu. Namun, makin dipikirkan, kepalanya justru makin pusing tujuh keliling karena tidak menemukan solusi sedikit pun. Ah, gue pusing!
"Kenapa lagi lo?"
"Gue pusing bentar lagi mau ujian, Daf, proposal juga nggak ada yang di acc. Gaji belum masuk, terus kalau nggak dapet duit, gue bakal disomasi!" Napas Keisya tersengal seperti dadanya kena ditembak katapel. Lampu neon di tengah-tengah ruangan memerihkan matanya. Dia menutup wajah, seakan-akan menyatukan jiwanya dalam gelap.
Daffa mengusap pundak Keisya berharap itu cukup menenangkannya, tetapi gadis itu menepis. "Gue udah bilang, engga usah dengerin Laura. Gue yakin lo bisa lewati semua. Sama Devan aja lo berani."
"Gue nggak bisa ngelanjutin ini lagi."
"Kita hadapi sama-sama, ya. Biar gue bantu."
"Nggak, Daf, bukan itu! Gue mau berhenti dari OSIS." Keisya menatap Daffa dengan muka pasrah. Dia harus bisa fokus, dan untuk saat ini, Laura benar. OSIS bukan prioritasnya.
Seketika, tubuh Daffa mematung. Matanya menyipit ke arah gadis manis yang diam-diam mengisi relung hatinya. "Gue engga salah dengar, 'kan?"
"Gue serius, Daf!"
"Gue tau lo sibuk dengan kerjaan baru, tapi engga harus berhenti. Masih ada gue di sini yang siap bantuin lo."
Daffa mengusap wajah kebasnya sampai menggebrak meja, membuat Keisya tersentak kaget akibat suara benturan itu. Baru pertama kali, Keisya melihat wajah Daffa memerah seperti udang rebus. Bulu kuduknya sampai berdiri.
"Daf, gue capek ngurus ini, ngurus itu. Gue bukan robot! Gue cuma manusia biasa yang punya dua tangan."
"Ini masalah bukan main-main, Kei. Lo engga semudah itu buat keluar OSIS."
"Kalau gue sibuk terus, kapan gue bisa menemani Ibu di rumah sakit?"
Dada Keisya sontak tertikam seperti ditusuk pisau membayangkan senyum ibunya. Tenggorokannya tersekat seolah ada rantai besi yang mencekik lehernya. Mengapa semesta begitu tega menjatuhkannya dalam lautan kepahitan hidup? Kapan semua ini berakhir?
"Jangan menyalahkan keadaan, Kei! Apalagi buat keputusan waktu marah karena biasanya keputusan yang diambil engga benar."
"Tapi, gue bener-bener nggak sanggup, Daf!" Walau ingin berteriak, suara Keisya malah terdengar bergetar, bahkan di telinganya sendiri.
Rasanya berat jika Keisya harus melepaskan jabatan, ditambah seruan teman-teman yang selalu ada untuk mendukungnya. Namun, beginilah nasib yang Tuhan beri. Ayahnya sudah tidur untuk selamanya bertahun-tahun lalu, ketika dia masih SMP. Tak ada sanak keluarga yang bisa datang menjenguk apalagi memberikan bantuan. Dia harus mampu berdiri sendiri.
Keisya bingung harus bagaimana? Posisi ketua OSIS sudah menjadi targetnya sejak menginjakkan kaki di sekolah ini. Bukan hanya karena gengsi, tetapi bisa mempermudah urusan beasiswanya bahkan untuk masuk ke perguruan tinggi. Selain itu, betapa senangnya bila bisa mengharumkan nama sekolahnya. "Maaf perjuangan gue buat jadi ketua OSIS yang baik jadi sia-sia."
"Mungkin memang bukan di sini tempatnya. Oke, engga apa-apa. Gue berusaha yakin kalau semua bakal indah pada waktunya." Daffa mendesah lesu. Sebelum berjalan ke luar, meninggalkan Keisya sendirian, dia kembali berkata, "Biar gue yang ngomong sama pembina. Mundurlah kalau itu buat lo jadi lebih baik."
Bahu Keisya kian berat seakan ditimpa kontainer. Dia terpaksa mengubur impiannya dalam-dalam. Gadis itu tersenyum getir, mencengkeram kertas yang makin lama makin basah akibat air matanya. "Maaf, Daf," gumamnya sambil menatap punggung Daffa yang perlahan menjauh.
Mendadak mata Keisya terfokus pada laci meja sekretariat, tempat Laura menyimpan uang yang dipamerkannya tadi. Gadis blasteran dan kaya seperti Laura, harusnya tidak perlu sekolah. Kerja saja sebagai artis biar makin cantik dan banyak uang. Mungkin, jika Keisya mengambil uangnya, dia tak akan merasa kehilangan.
Perlahan-lahan, setan merasuki pikiran Keisya. Mumpung ruangan sepi, dia berjalan menuju meja sekretariat. Matanya melirik kanan-kiri, di luar tidak ada orang. Sepi. Dengan cepat jemarinya memainkan uang merah itu. Dia berhitung, ternyata nilainya lebih dari cukup. Seringai pun tercetak di bibirnya.
Maaf, Ra, salah sendiri bawa duit banyak ke sekolah.
----
Author note:
Ciee nyariin Devan, ya?
Wkwkwk, nanti, ya, yang lainnya kan pengin eksis juga.
Menurut kalian gimana tentang Keisya dengan duit itu?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top